Tuesday 31 July 2007

Belum Ada Judul

Sejarah mencatat bahwasanya orientalis Barat (tidak semua, karena ada pula dari mereka yang objektif dalam penelitiannya) berusaha dengan giat untuk selalu mencari titik kelemahan Islam, dari keotentikan al qur’an kemudian kritik atas hadis, dan lainnya. Melihat kebuntuan dalam mengaburkan otentitas kitab suci mereka mengalih pada penelitian yang ingin menyimpulkan bahwasanya Islam adalah agama yang irrasional, tidak masuk akal dan penuh khurafat.
Namun bagaimanapun gigihnya Barat untuk membuktikan bahwa ajaran Islam tidak relevan dengan akal akan berujung dengan tangan hampa pula, alih2 menyatakan ke”statis”an Islam, mereka malah terperanjat kaget betapa rasionalnya ajaran Islam, ini terbukti dari studi dan kajian mereka tentang ilmu kalam dan filsafat Islam. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional atau teologi dialektis, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Ilmu kalam sangat dialektis dan logis. Dengan mempelajari ilmu kalam yang mengakibatkan berbagai polemik, akan melatih umat Islam untuk melihat kembali agamanya. Agama Islam sudah berada ditangan umatnya selama 15 abad. Kita tidak boleh melihat perjalanan panjang itu dengan hampa tanpa makna. Sudah barang tentu banyak hal –negatif maupun positif-yang terjadi dalam kurun waktu sepanjang itu. Orang yang tidak mempelajari turast (warisan lama) dan tiba2 mengklaim kembali kepada qur’an dan Hadits, bisa terjerembab kedalam tafsiran yang paling awal terhadap qur’an dan sunnah.
Dengan ilmu kalam kita bisa mempelajari banyak hal. Contoh mudahnya adalah sifat yang 20. sifat yang 20 ini tidak semerta merta datang begitu saja. Ia mempunyai latar belakang yang rumit sekali. Banyak lagi contoh yang lain, kata aqidah yang berarti simpul atau ikatan tidak termuat dalam term al qur’an, namun sekarang seolah2 ia seperti suci, sakral. Contoh kongkrit lainnya adalah kalimat ushuluddin. Secara logika kalau ada ushuluddin berarti ada juga furu’uddin, dan tiba2 kita sudah diwarisi stereotip bahwa ushuluddin adalah ilmu kalam sedangkan furu’uddin adalah fiqh. Artinya sangat menjadi artificial(dibuat-buat). Tapi apa benar begitu? Dulu Ibn Taimiyyah dan beberapa ulama lainnya tidak setuju dengan pembagian ushul-furu’ tadi. Jadi dengan mempelajari kalam dan sebagainya orang akan menjadi terbuka dan tidak dogmatis. Memang diakui sebagai konsekwensinya terjadi apa yang disebut dengan relatifisasi doktrin (ajaran), yakni ketika orang mengetahui bahwa suatu doktrin adalah dari hasil proses sejarah. Dan inilah yang dikhawatirkan banyak ulama Islam termasuk di Indonesia.
Menurut saya, sebenarnya kekhawatiran tersebut berlebihan. Sebab dalam ajaran2 Islam ada bagian2 yang absolut, tetap dan tak boleh berubah, misalnya bahwa Allah itu Esa dan kita wajib berbuat baik, bahwa kita berbuat untuk mencapai ridhaNYa, dan sebagainya. Jadi kita tidak perlu khawatir akan muncul relatifisasi doktrin sbagaimana yang dikwatirkan sebagian besar ulama. Karena hal yang tersebut diatas haruslah berpegang teguh kepada ajaran dasar Islam yakni qur’an dan sunnah dan bahwa tidak semuanya bisa ditafsirkan secara metaforis, namun ada juga hal2 absolut yang tidak berubah, tapi disini kita diuntut untuk jeli dalam membedakan antara keduanya. Wallahu a’lamu bisshowab. Albi
H I/141 060607, 08:00 PM

Islam, Fundamentalisme dan Dongeng pengantar tidur

Melihat berbagai fenomena yang ada saat ini, entah dinegara kita maupun dipakistan (dan juga Negara muslim majority lainnya) tiba2 saya teringat dengan dongeng “lullaby” sebelum tidur ibu tercinta saya….
Singkat ceritanya begini….
Ada seorang pemuda yang tampan, mempunyai teman hewan peliharaan beruang yang sejak kecil sudah dilatihnya dan amat setia. Pada suatu hari, sang pemuda ketiduran dibawah pohon rindang. Ia diganggu oleh seekor lalat, sehingga terganggu tidurnya, sang beruang berusaha mengusir lalat tersebut, namun dasar lalat, diusir sekali datang lagi dan begitu seterusnya.
Melihat hal ini si beruang yang taat dan setia itu, merasa jengkel karena tuannya diganggu tidurnya. Saking jengkelnya diambilnya batu besar disampingnya dan dengan sekuat tenaga dilemparkannya kearah sang lalat. Lalat itu mati, tapi pemuda itu juga mati, karena lalat yang dilempar tadi tepat berada dikening si pemuda.

Saya baru sadar sekarang, betapa dalam nilai yang bisa diambil dari dongeng pengantar tidur tadi…
Kita semua mencintai Islam sebagai agama kita. Kitalah beruang dalam dongeng tadi. Dan Islam adalah pemuda tampan itu. Lalat adalah gangguan2 yang muncul dari umat Islam terhadap Islam, entah itu ‘fundamentalisme’, cara berpikir beku (malas pakai otak lebih suka berperilaku), golongan sekuler-liberal atau ‘penyakit’ seperti yang dibilang Muladi. Kita menghindarkan segala bahaya tadi dari Islam agar tetap subur dan menjadi pegangan kita. Caranya dengan menghalau lalat tadi dengan sapu lidi, obat atau kipas dan lain sebagainya. Dengan kata lain kita menjaga Islam dari segala gangguan tadi dengan mendidik diri kita supaya tidak hanya belajar fikh saja atau hadits saja atau tafsir saja, akan tetapi -umpamanya saja- melihat fiqh abad 10-15M dengan konteks sosial sekarang, cara kita bukanlah seperti yang dilakukan beruang tadi, karena dengan tindakan sembrono meskipun dengan niat yang baik (niat saja gak cukup!) maka matilah si pemuda tadi.
Dengan munculnya berbagai macam ‘penyakit’ dalam ‘tubuh’ kita, kita harus berfikir jernih dengan niat yang tulus mencari ‘obatnya’ sehingga cerita siberuang diatas tidak perlu terulang kembali…….

Politik (kekuasaan) Solusi Umat?

banyak kaum umat Islam yang berfikir bahwa jika aspek politik bisa direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. pendapat ini -menurut saya- bisa dibilang sebagian benar tapi kurang sempurna. memang kekuasaan politik adalah bagian penting dari permasalahan umat. karena daulah adalah pendukung perkembangan agama. ini tidak hanya dibuktikan oleh islam, namun juga agama2 lain. sebagai contoh mari kita lhat agama kristen yang berkembang dengan demikian pesatnya di Eropa tak bisa dipungkiri merupakan jasa besar Konstantin yang mengeluarkan dekrit 'edict of milan' dan Theodosius yang kemudian menjadikan kristen sebagai agama resmi negra Romawi. demikian pula halnya dengan agama Budha yang tidak terlepas dari campur tangan Ashoka. demikian pula dalam agama2 lain, sulit untuk memisahnya dengan politik baca:kekuasaan) sama halnya dengn ideologi2 juga tak lepas dari campur tangan penguasa (marxisme, kapitalisme, sosialisme dsb). eksistensi dan poerkembanganya sangat ditopang oleh kekuasaan. komunime kehilanagan pamor setelah sovyet runtuh. kapitalisme juga 'kayaknya' akan sulit menegukan wksistensinya jikalau suatu saat amerika ambruk mengikuti jeak sovyet.

tapi, perlu kita catat disini, bahwa kekuasaan bukanlah segala2nya. ssejarah mencatat banyak pemikiran, keyakinan, attitude dari masyarakat yang tidak sejalan dengan penguasa. peran ulama disamping umara (kekuasaan) juga memegang peranan yang tak kalah pentingnya, keduanya harus diselaras-harmonikan. para aktivis politik harus mempunyai pemahaman yan benar tentang Islam. jika tidak mereka nantinya akan menjadi perusak Islam yang signifikan. jadi -menurut saya- tidaklah benar apabila dlam perjuangan Islam kita mengabaikan slah satu aspek kehidupan. kesemuanya harus pada posisi masing2 secara proporsional. itulah namanya adil.....

contoh riil adalah teladan baginda rasul SAW memulai dakwah dengan aspek ilmu, memberkan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentan konsep2 dsr dalam Islam. afkar (pondasi pemikiran) mafahim (pemahaman) maqayis (standar2 nilai) dan 'ketundukan' yang Islam ditanamkan secara kokoh kepada para shabat waktu itu. akhirnya mereka bisa tampil sebagai sosok ulama-cendekiawan yang handal dalam berbagai bidang kehidupan. bisa dibuka lembaran sejarah bagaimana hebatnya argumentasi ja'far bin abi thalib ketika berdebat dengan \raja najazyi dan kafir quraisy di mekah. ja'far yang terjepit terdesak oleh serangan kafir minta perlindungan raja najasyi yang kristen, beliau mampu menguraikan argumen yang canggih seputar maslah kristen dan Isa yang menjadi titik sentral kontroversi dalam Islam dan Kristen.

jadi kesimpulan yang bisa saya ambil, dalam menghadapi problematika saat ini kita harus bijak, dan bisa mensinergikan berbagai aspek keilmuan kejiwaan kebendaan dan lainnya. jadi kekuasaan bukanlah satu2nya sarana (tapi bukan berarti harus menafikan secara mutlak atau mengurangi esensinya yang signifikan) harus ada sinergi antara 'ulama-umara' sehingga kaum muslim bisa kembali mengukir kejayaannya......wallahu a'lam.

Islam; Historical Religion?

dalam mata kuliah 'comparative religion' kita bisa melihat begitu banyak tekanan2 dan beban psikologis dalam umat kristiani (inkuisisi, penolakan sains dan konflik sektarian).melihat hal ini, tindakan yang diambil oleh para pemuka kristen dengan meski 'terpaksa' merevisi ulang konsep teologis mereka agar sesuai dengan perkembangan zaman. akhirnya mereka merubah pandangan 'eksklusif' mereka menuju pandangan yang terbuka 'inklusif' namun (menurut sebagain besar mereka) itu saja belum cukup, mereka kemudian melebarkan sayap teologi inklusifnya menuju teologi yang bercorak 'pluralis'. hal ini mendapat reaksi keras dari pihak kereja yang kemudian pada tahun 2001 mengeluarkan dekrit 'dominus jesus' yang secara tegas menentang pluralisme agama.

maka amat wajar kalau kiranya Huston Smith (the worlds religion,1991) menyimpulkan bahwa 'christianity is basically a historical religion.........' (tolong islahnya pak Eko ya kalo salah...). kristen merupakan agama sejarah, maka dari itu perubahan 'evolusi teologi' masih terbuka. karena konsep teologisnya terbentuk melalui proses sejarah yang akhirnya melahirkan 'kristens' (kristen yang banyak) yang mengakibatkan relatifnya 'truth claim'. kebenaran menjadi relatif sesuai pendapat masing2 yang dalam istilah filsafatnya sufhisthaiyyah 'indiyyah hal yang demikian ternyata juga terjadi dalm agama hindu budha dan agama kulturan dan agama sejarah (historical religion) lainnya.

contoh perubahan ekslusif-inklusif-pluralis bisa kita tengok dari pertarungan martin luther-paus. yang mengakibatkan pengucilan dan ancaman hukuman mati pada luther. luther akhirnya melarikan diri dan kemudian mendirikan kristen protestan. hal tersebut disusul dngan konflik berkepanjangan -sampai hari ini- dan merupakan catatan kelam dalam sejarah umat kristiani. disamping hal2 yang sudah dipaparkan diatas, problematika teks bibel juga menambah kerincuan polemik sektarian dalam kristen. yang pd ujungnya menjadikan agama (kristen) harus mengubah diri dan beradaptasi dengan sejarah, yang sesuai dengan tuntutan sekularisme dan liberalisme peradaban Barat.

demikian polemik teologis kristen yang rumit, yang kita sayngkan sekarang, mengapa para 'ilmuan' muslim (termasuk Indonesia) latah ikut2an umat kristiani? (dengan menerapkan paham islams (banyak islam) ) harusnya kita melihat secara adil jangan asal 'membeo'. kita harus meletakkan keduanya secara adil dan proporsional. kajian yang kritis dan mendalam tentang sejarah, konsep dan fenomena modern terhadap kekristenan dan agama2 lain sangatlah diperlukan supaya tidak dengan mdah menggeneralisir masalah. karena pengabaian kajian2 kritis diatas akan menyimpulkan bahwa semua agama adalah sama,( ini bisa kita lihat dari pemikiran Huston smith, john hick, WC Smith, dan juga beberapa ulama muslim semisal husein nasr dan frichof schuon)

merujuk kepada pendapat mas ni'am mengenai teori objektifitas (metode yang bags akan menghasilkan objektifitas). kita harus melihat bahwa banyak dari teori2 dan metodologi yang lahir dari latar belakang yang khas sejarah Barat-Kristen tidak begitu saja dengan mudahnya diaplikasikan untuk studi terhadap Islam. disini dituntut kejelian peneliti dalam memilh dan memilah metodologi untuk penelitiannya. sebab apa? islam tidak mengalami problem teologis-historis sebagaimana yang dialamai kristen.

dengan demikian kita bisa menghidar tradisi latah dan 'membeo' kepada istilah asing (pengadopsian sah2 saja asal melalu proses islamisasi' dan penyaringan yang adil dan jangan sampai sang tamu (Barat) kemudian mengganti posisi tuan rumah(Islam) ) tanpa melakukan kajian ktiris-historis sebelumnya.

Islam bukanlah historical religion, al quran juga bukan merupakan 'karangan' rasulullah SAW, tapi Islam adalah agama wahyu dan alqur'an adalah wahyu dan bukan karangan manusia.
allahumma arina al haqqa haqqan war zuqna ittiba'ah

Why Do They Hate Us?

banyak sekarang ini pemerhati Islam baik muslim maupun non-muslim yang bertanya tanya, kenapa agama islam dan umatnya sering -untuk tidak dikatakan selalu- menjadi target kolonialisme dan kritikan barat dibanding dengan agama2 yang lain dalam catatan sejarah manusia? tidak kita lihat kritikan2 Barat yang bertubi2 -selama beratus2 tahun lamanya- terhadap siddarta gautama, lao tse, kung fu tse, dibanding dengan kritikan mereka terhadap rasulullah SAW......
semalem sewaktu 'hunting' buku bersama temen saya marli, saya menemukan 'jawaban' yang ditulis oleh muhammad naquib al attas dalam bukunya Islam and Secularism (kalau tidak salah di bab empat) secara ringkas beliau menyatakan alasan atau sebab2 mengapa Barat 'menyerang' Islam, muhammad SAW serta umatnya secara bertubi tubi
1- kebangkitan islam diatas pangung sejarah peradaban manusia telah menantang keuniversalan kristen beserta ajaranya
2- sejak awal mulanya, ajaran islam telah menggugat dsar2 agama kristen dan aqidahnya dengan menolak bahwa Allah tidak beranak pinak serta hakikat nabi isa serta siti maryam yang berlainan dengan ajaran mereka
3- al quran juga dngan jelas menceritkan tingkah laku yahudi (bani israil) dalam menyelewengkan ajaran para nabi dari bani israwl
4- islam telah merubah tubuh dan jiwa orang orang barat secara revolusioner dalam berbagai bidang (linguistik,budaya,susial,keilmuan dan ekonomi)
5- perluasan islam yang massif termsuk wilayah2 yang dimilki oleh Bizantium
5- Islam mempunyai potensi besar untuk bangkit kembali berdasarkan dengan konsep2 tajdid dan mampu utuk menantang hegemoni barat pada masa yang akan datang.

demikian beberapa alasan yang disimpulkan oleh al attas dalam buknya Islam and secularism.....
yang ingin saya garisbawahi disini adalah, bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim menyikapi hal ini?apakah kita harus selalu apriori terhadap bart dan selalu curiga? ataukah kita menerima merka apa adanya tanpa kritik yang objektif....
menurut hemat saya, islah adalah agama dan worldview (baca: pandangan hidup) yang tlah melahirkan peradaban gemilang dan memukau
dan untuk mempertahankannya dan mengembangkannya tidak berarti menolak mentah2 msuknya unsur2 barat (peradaban asing). sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain tanpa proses adaptasi.....
dr hamid fahmi pernah menulis "jangan sampai tamu (peradaban asing) menjadi tuan rumah di rumah kita (peradaban Islam)

Hakekat Ilmu

Ilmu adalah suatu hal yang mulia, maka dari itu, beramal tanpa ilmu sama dengan ‘membabi-buta’. Merupakan kewajiban bagi tiap Muslim sebelum beramal adalah berilmu. Agar aqidah kita lurus dan terjaga kualitasnya, ia harus selalu kita pupuk dengan ilmu. Bila ‘pupuk’ ilmu ini benar, maka imannya pun akan tumbuh subur dan lurus, dan si empunya akan dihiasi dengan sikap dan sifat-sifat yang terpuji. Namun sebaliknya, apabila ilmunya tersebut adalah ‘racun’ maka ia akan menghancurkan tanaman iman dalam diri si Muslim. Yang akan membawa dia pada sikap skeptik agnostik dan melihat segala sesuatu dengan kacamata positivisme. Kebenaran bukanlah hal yang abadi, namun relatif……
Karena itu, kemungkaran yang terbesar dalam pandangan Islam, adalah kemungkaran dibidang aqidah atu kemungkaran yang mengubah dasar-dasar Islam. Kemungkaran ini berasal dari ‘rusaknya’ ilmu yang telah berubah statusnya dari pupuk menjadi racun. Kemungkaran di bidang ilmu lebih besar dibandingkan dengan amal. Sebagai contoh, dosa pengingkaran kewajiban sholat 5 waktu lebih besar dibandingkan dengan orang yang meninggalkan shalat karena alasan ‘malas’, tapi masih meyakini kewajiban shalat tersebut. Demikian juga pengingkaran terhadap ayat-ayat alqur’an adalah lebih besar dosanya dibandingkan dengan orang yang tidak mengamalkannya akan tetapi masih meyakini kevalidannya….
Marilah kita pupuk iman kita dengan ilmu yang benar-benar ilmu, bukannya ‘racun’ yang akan mengobrak-abrik keimanan kita…….
Amal memang merupakan hal yang signifikan dalam Islam, tapi itu saja tidaklah cukup…..harus ada ilmu yang benar untuk mengarahkan amal tersebut….
Wallahu warasuluhu a’lam

HIKMAH

Islam selalu memerintahkan umatnya untuk selalu mencari ilmu dimanapun dan kapanpun berada, sebuah hadits yang tidak asing lagi ‘carilah ilmu sampai ke negeri China’ merupakan gambaran betapa islam menjunjung tinggi martabat ilmu (baca:akal) karena maklna yng bisa kita ambil dari hadist tersebut adalah, kita tidak hanya diperintahkan belajar ilmu-ilmu agama, tapi juga berkewajiban untuk belajar ilmu ‘dunia’, dari hadist diatas juga bisa kita ambil kesimpulan bahwa kita, umat Islam diperintahkan untuk tidak bersikap apriori terhadap hal-hal asing. Hikmah, dimanapun berada dan dari manapun asalnya, adalah merupakan harta orang Muslim yang hilang. Maka kita harus mengambilnya. Maslahnya sekarang, yang wajib kita pahami terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan ‘hikmah’ dan untuk apa ia digunakan. Jangan sampai minyak goreng dibuat keramas dan sampo dibuat goreng ikan…..harus tahu mana minyak goreng mana sampo. Dan kemudian harus mengetahui apa kegunaan masing2 dari sampo dan minyak goreng. Demikian juga ilmu2 yang datang dari barat, kita harus tahu benar apa dan bagaimana ia, dan apa pula gunanya. Tidak perlu terburu2 dengan hal2 yang baru yang nampaknya ‘logis’ dan ‘mencerahkan’. Ada pepatah jawa yang bilang, ‘ojo gumunan’. Janganlah mudah kagum dan terpesona oleh hal-hal yang tampaknya menyilaukn mata, lalu tanpa basa basi membuang khazanah lama yang sudah tahan uji selama ratusan tahun.

Adapsi dan Adopsi

kalau kita mau jujur membuka lembaran-lembaran sejarah secara objektif akan kita temukan bahwa yang mendorong lahirnya tradisi keilmuan dan timbulnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam adalah cara pandang islam (worldview) dan bukan lah semerta2 pengaruh budaya luar, implikasinya adalahpengembangan konsep2 ilmiah atau disiplin ilmu baru dalam Islam harus merujuk kepada pandangan hidup Islam tadi. sebab, ilmu tidak dapat timbul dan berkembang pada suatu masyarakat dari hasil impor. (alparslan, Islamic science)
artinya adalah, suatu ilmu tidak dapat muncul begitu saja dalam suatu peradaban atau kebudayaan yang tidak memiliki latar belakang tradisi ilmiah. memang kita tidak memungkiri adanya pengaruh asing. tapi harus kita fahami pengaruh tersebut oleh umat Islam terdahulu adalah 'diadapsi' bukannya 'diadopsi' melalui peminjaman konsep2nya atau istilah2 tertentu. isltilah istilah asing tersebut disebut sebagai konsep pinjaman atau elemen pinjaman. karena proses pinjam meminjam antara suatu budaya ke budaya lain adalah hal yang alami 'natural process'. ada ungkapan menarik dari prof MM sharif (tentang penggambaran pemikiran muslim sebagai kain dan pemikiran asing sebagai jahitannya)dalam bukunya a history of muslim philosophy. yang kurang lebih sebagai berikut "although it was a golden thread we shold not take the thread for the fabric". kalau dimaknai secara bebas "meskipun jahitan itu adalah benang emas kita hendaknya tidak menganggap jahitan itu sebagai kain"....
artinya adalah...jika pemikiran asing masuk kedalam pemikiran Islam, ia akan mengalami proses 'islamisasi' oleh meknisme yang ada adalam worldview Islam. oleh sebab itu kita tidak layak menganggap dan menempatkan elemn2 itu sebagai elemen dominan dalam Islam. ia hanyalah berperan secara 'marginal'. malah, sebenarnya ketika elemen2 asing itu ditransmisikan ke dalam worldview Islam, pada saat yang sama telah terjadi proses Islamisasi. disaat ini pandangan hidup Islam dengan struktur konseptualnya yang kokoh dapat dijadikan sebagai framework kajian pemikiran keislaman. ia dapat dipakai untuk menggali dan mereformulasi konsep2 penting dalam tradisi pemikiran Islam, mengembangkan suatu disiplin ilmu pengetahuan Islam yang baru maupun untuk merespons tantangan2 pemikiran filosofis dari berbagai ideologi dan pandangan hidup asing.....sekali lagi kita harus bisa membedakan antara 'adapsi' dan 'adaptasi'...
wallahu a'lam

Menyikapi Perbedaan

membaca kembali beragam diskusi, perdebatan, dialog, analisis, argumentasi, interpretasi dan pertukaran pendapat dalam Islam adalah merupakan hal yang wajar, karena memang Islam adalah agama yang meletakkan akal pada tempat yang tinggi, banyak ayat2 alquran yang secara tegas mensinyalir urgensi akal dan penggunaannya, tapi al qur'an juga memperingatkan bahwa penggunaan akal harus di"monitor" oleh wahyu Tuhan.
mengingat hal diatas rasanya kurang bijak-menurut saya- kalau pintu2 menuju ruang keilmuan yang progressif dan dinamis ditutup begitu saja dengan dalih 'takut' akan terjadinya perpecahan umat, memang kita juga harus berhati2 untuk mengemukakan suatu 'bahan' untuk didiskusikan, mengingat dalam Islam ada ajaran2 absolut yang bersifat statis dan tak boleh berubah. apalagi bila hal2 yang sensitif tersebut kita lontarkan begitu saja kepada "khalayak". tapi untuk kalangan akademisi?.......kenapa tidak? bahkan menurut saya hal tersebut merupakan langkah positif yang perlu kita kembangkan. bukankah kita juga yang nantinya akan menghadapi 'bombardir' pertanyaan2 berkenaan dengan hal2 sensitif tersebut dimasyarakat? lalu jawaban apa yang akan kita berikan apabila pintu2 menuju ruang tersebut ditutup? bukankah dampak negatifnya akan lebih besar?
sejak lama, disetiap sejarah peradaban manusia pasti terjadi perbedaan dan pertentangan, tak lepas pula umat Islam, bahkan para sahabat sekalipun, banyak contoh yang telah kita ketahui bersama dan tak perlu saya sampaikan disini. dengan kata lain, perbedaan pemikiran adalah evolusi, adaptasi dan perubahan-yang cepat atau lambat-pada keperluan manusia dalam sejarah peradabannya yang terus mengalami perubahan. sudah barang tentu proses menuju perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah dan tak jarang menyebabkan adu argumen dan pendapat yang kadang diselingi dengan kata2 yang pejoratif. ini merupakan keharusan "sunnatullah". kita tidak bisa memaksakan "uniformy" (penyeragaman) dalam satu perkara, karena itu akan menyalahi 'fitrah'.
bukankah sebagai muslim kita wajib tahu tentang agama kita? (apalagi sebagai mahasiswa, otomatis tanggung jawab tersebut semakin besar dan berat) bukankah kita harus mengetahui seluk beluk dinamikanya?
semakin kita menguak dan membuka lembaran2 sejarah agama kita, akan semakin terbuka pikiran kita, bagaimana beragamnya pendapat pendahulu kita mengenai agama dan penafsirannya. memang tidak kita pungkiri ada memori yang berdarah2 berkenaan dengan kasus 'beda pendapat' tapi apakah dngan demikian kita kemudian menutup dialog, diskusi dan tukar pikiran mengenai hal yang mungkin dianggap "peka dan sensitif" oleh sebagian kalangan? apakah setiap hal yang 'dikhawatirkan' nantinya menimbulkan perpecahan kemudian kita berhenti mengkajinya?lantas apa yang akan kita lakukan jikalau berbicara mengenai khilafah, jihad, pluralisme, poligami dkk dilarang dngan dalil "sesama muslim kok gak akur!.....
banyak perkara dalam agama kita yang memunculkan keragaman pendapat umatnya. menurut saya, menghindar dari hal2 yang sensitif tersebut bukanlah sikap yang dewasa, kita harus ingat, siapa kita dan untuk apa kita berdialog dan berdiskusi.....
perbedaan bukanlah 'hantu' yang harus kita takuti, untuk menghindarinya bukan berati kita harus lari darinya...menurut saya, yang terpenting adalah sikap dewasa kita dalam melihat segala perbedaan yang ada......bagaimana kita berusaha dengan tenang menghadapi isu2 "peka" tersebut dan bukannya kabur, ketika anda lari darinya, berarti anda juga telah lari dan menghindar dari sunnatullah.
saya kira sebagai mahasiswa tidaklah layak untuk menutup diri dari hal2 yang teramat penting tersebut (pembahasan masalah agama) bagaimana kita berani lantang berteriak Muslim sedangkan kita tidak mengetahui apa hakikat Islam kita........
perbedaan bukan untuk dihindari,
perbedaan tidak selamanya melahirkan perpecahan...
tapi perbedaan bisa melatih kita untuk lebih peka, bijak dan dewasa.....
untuk apa ada dialog dan diskusi dimilis ini kalau kita takut berbeda?
demikian, mohon maaf apabila ada kata yang kurang berkenan.

wassalam

hamdan maghribi

Nash, Akal dan Ijtihad (renungan malam)

Berbagai rentetan diskusi dan dialog telah banyak dilakukan semenjak lahirnya Islam, saling mengisi dan melengkapi, ataupun kadang sebaliknya, saling bertentangan dan bertolak belakang. Apalagi bila ranah kajiannya mengenai hal-hal yang tergolong ‘sensitif’ dan ‘peka’ terutama hal yang mengenai nash wahyu dari Allah yang sudah jelas tidak ada kesalahan dan kekeliruan.
Berbagai macam tanya dalam hatiku menyeruak, apakah nash ini dapat diaktualisasikan dalam dunia nyata, sehingga terwujud keadilan bagi umat manusia? Bagaimana sesuatu yang tsabit melihat dan memahami perubahan, dan mewujudkan kemaslahatan yang organik yang selalu berubah?
Jika membumikan al qur’an pada realitas menjadi tuntutan zaman, maka bagaimana memahami makna dan tujuan dari nash tersebut?
Mungkinkah manusia bersatu dalam perspektif tunggal terhadap satu teks dalam satu ruang dan waktu, bahkan berlainan zaman?
Nah, jika persepsi ini benar dalam menafsirkan nash Ilahi, apakah persepsi manusia mencapai derajat kesucian?
Dan dengan berbagai varian persepsi (baca:interpretasi) manusia, manakah yang dianggap suci?
Al quran berkali2 menyeru kita untuk menggunakan akal, jika bersungguh sungguh dalam memfungsikan akal untuk memahami nash, menjelaskan makna dan tujuannya dianggap sebagai ijtihad, maka apakah ijtihad ini memerlukan pintu yg kapanpun bisa dibuka dan ditutup? Kondisi yg bagaimana yg bisa membuka dan menutupnya?
Apakah dengan terbukanya pintu ijtihad bagi akal –dengan segala keterbatasannya- akan melahirkan kesalahan?
Penutupan pintu ijtihad (apabila ia punya pintu) tidak lain sebagai bentuk pengebirian dan pemasungan akal manusia. Padahal Allah memerintahkan untuk menggunakan akal dan nalar, mengoptimalkan kekuatan logika dan bukannya logika kekuatan..........
Ya Rabb....
Salahkan hambaMU apabila mempertanyaakan semua itu.....
Ini hanyalah wujud syukurku atas nikmatMU, nikmat akal yang membedakanku dari semua makhlukMU.....
Ya Rabb...bukalah hati hambaMU...
Aku mohon dengan sangat...
Aku mohon dengan sangat...
Aku mohon dengan sangat...

Inklusif vs Eksklusif

terma2 seperti inklusif, ekslusif, konservatif, progressif dsb..seakan2 tak kunjung reda membanjiri berbagai media dinegara kita...
namun dalam kesempatan kali ini saya ingin meangkat tema ekslusif-inklusif terlebih dahulu..
banyak kalangan yang menafsirkan ekslusif merupakah sikap merasa benar sendiri, selain ajaran dia adalah salah dan penafsiran pejoratif lainnya...
disini saya kok cenderung berpihak pada sikap 'ekslusif' (dalam arti yang proporsional tentunya)
deskripsi saya begini...
jika seorang muslim tidak boleh menganggap atau meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama yang lain salah, maka untuk apa konsep dan lembaga2 dakwah? jika seseorang tidak yakin dngan apa yang dianutnya (dengan dalil kebenaran relatif) maka untuk apa ia berdakwah? untuk apa berhisbah 'amar ma'ruf nahi mungkar'?sedangkan dia sendiri tidak yakin mana yang benar dan mana yang mungkar...
konklusi 'gampangan'nya adalh para agnostik (golongan yang selalu ragu) akan berdakwah juga kepada hal2 yang ragu2, sebenarnya kalo kita mau jeli sedikit, mereka sejatinya juga telah memilih keyakinan baru, yaitu tidak ada agama yan benar, atau semua agama benar. ia tidak memilih sikap untuk tidak beragama, artinya, ia telah memilih agama baru dengan teologi yang baru pula yang kemudian disebut dengan teologi agama2. sebagaimana yang disuarakan WC Smith, John Hick, Weber, SH Nasr dan Frichof Schoun...
memang para orientalis (tidak semua) dari sononya selalu berupaya untuk mendekontruksi dan mereduksi makna Islam dan terus berjalan mengiringi catatan sejarah.
namun ironisnya, banyak kalangan muslim sendiri sekarang yang menyambung lidah para orientalis tersebut dalam upaya dekonstruksi makna Islam, dan yang lebih ironis lagi, banyak dari kalangan alim ulama yang menganggap hal tersebut sebagai hal yang remeh.
allahummaftah qulubana!

Problematika Teologi

adalah Ludwig Feurbach yang menegaskan bahwa prinsip dasar dari filsafat bukan "substansi" ala spinoza, atau juga kant dan fitche yang membawa prinsip "ego", bukan pula "absolut identity"nya Schelling, maupun Hegel dengan "akal absolutnya, namun menurut dia yang benar adalah realitas wujud, yaitu manusia....
oleh karena itu -masih menurut feurbach- manusia merupakan prinsip tertinggi dari filsafat, meskipun agama dan konsep teologi membantahnya, namun hakikatnya...agamalah yang menyembah manusia (religion that worship man...begitu katanya). kemudian ia menmbahkan bahwa tuhan adalah manusia dan manusia adalah tuhan...akhirnya agama mau tak mau harus menafikan Tuhan yang bukan manusia...the true sense of theology is anthropology...and religion is the dream of human mind.
berawalk dari sinilah -ide feurbach- kemudian muncul para antropolog/sosiolog dan teolog semacam Martin Buber dan karl Marx
menghadapi fenomena yang demikian terpecahlah kemudian para teolog krsten menjadi 2, yang pertama adalah teolog konservatf (Mascal) yang berpegang teguh pada "tradisi" dan yang kedua adalah radikal (Bonhoeffer) yang mersikeras untuk menanggalkan baju agama dari hal2 duniawi (baca: sekulerisme)
kemudian muncullah Harvey Cox sebagai penengah antar keduanya, cox ingin menjembatani dua kubu yang paradox secara ekstrem, yakni teologi radikal dan teologi konservatif...
namun pendapat cox ini pun ditentang berbagai kalangan, baik agamawan maupun sosiolog....dst..dst...

gambaran diatas ingin mengungkapkan bahwa sanya gagasan sekulerisasi ataupun yang lainya (pluralisme, liberalisme dkk) muncul di Barat (kristen) karena ketidak sanggupan doktrin dan dogma agama (kristen) untuk menjawab tantangan dan fenomena peradaban barat yang terbentuk dari berbagai unsur.....

nah...sekarang, seperti yang sudah kita ketahui bersama, banyak kalangan diIndonesia, yang demikian getolnya ingin mengaplikasikan pengalaman barat dengan trauma2 teologi kristen kedalam Islam...

apakah memang Islam (secara pengalaman teologis) mengalami polemik seperti yang dihadapi kristen? tentu jawabnya tidak....
lantas bagaimana seharusnya kita bersikap dengan paham2 asing tersebut?...
teori "adapsi dan adopsi" yang pernah saya posting beberapa hari yang lalu -menurut saya- bisa dijadikan salah satu dari sekian banyak renungan.....

menurut anda?

Belajar dari Pakistan

*tulisan ini di muat dalam jurnal al qalam, edisi juli, no: 9 thn 2Fenomena fundamentalisme, ekstrimisme dan militansi Pakistan yang saat ini direpresentasikan oleh Lal Masjid begitu ramai menghiasi berbagai surat kabar lokal, nasional bahkan internasional, berderet aksi para taliban (santri) dan talibat (santriwati) masjid tersebut, dimulai dari pendudukan library, penangkapan pemilik “rumah bordil”, penggerebekan “panti pijat” cina, pembakaran toko-toko CD hingga penculikan polisi yang diakhiri dengan operation silence atas perintah Musharraf. Mereka melakukan itu semua atas dalih penegakan syariat Islam, mereka melihat bahwa pemerintah sudah mandul, bahkan berperan aktif memerangi syariat Islam di negara yang sudah jelas berasaskan Islam ini.Melihat sejarah, dasar pendirian Republik Islam Pakistan yang terartikulasikan dalam gagasan pendirinya, Iqbal dan Jinnah, merupakan kehendak komunitas Muslim untuk membentuk negara dimana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Gagasan tentang Islam yang hendak diterapkan di dalam negara Pakistan juga terukir dalam benak para pendirinya yaitu Islam yang lebih dekat kepada semangat aslinya dan kemodernan, tetapi sayang para pemimpin komunitas tradisional memahaminya sebagai Islam yang berorientasi ke belakang yang tertuang dalam rumusan Islam sejarah (baca: masa lampau). Akibatnya, sejak awal berdirinya Pakistan pada 3 juni 1947, mereka mengalami kesulitan yang serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan berkepanjangan yang tak bisa dihindari antara kubu modernis dan fundamentalis-tradisionalis -yang kemudian melahirkan Konstitusi tahun 1956 dan 1962 dan amanden-amandemen yang tidak memuaskan semua pihak- merupakan bukti riil dari kesulitan itu.Akhirnya ketika mereka sampai pada hukum Islam, kesulitan serupa dihadapi kembali oleh umat Islam Pakistan. Kubu modernis melihat hukum Islam harus dimodernisasi agar selaras dengan perkembangan zaman sehingga slogan universalisme Islam menjadi nyata. Sementara kubu fundamentalis-tradisionalis menuntut bahwa, apa yang sudah menjadi hasil ijtihad para fuqaha klasik lewat deduksi dan derivasi dari al qur’an dan sunnah harus diterapkan secara literal tanpa terkecuali. Akibatnya kontroversi sengit tak dapat dihindarkan. Ini merupakan cerminan betapa sulitnya umat Islam Pakistan dalam mendefinisikan Islam dalam konteks negeri mereka akibat pemahaman yang ‘kurang bijak’.Dalam perdebatan ini, kubu modernis kesulitan dalam memutus kaitannya dengan masa lampau dalam menerima nilai-nilai modern, sementara kaum fundamentalis- tradisionalis menemui kesulitan dalam membebaskan diri dari masa kini (baca: modern) dan berapologi dalam lindungan gemerlap masa lalu. Kubu modernis menuding para fundamentalis telah menuhankan sejarah, bukan lagi Allah, karena cenderung merujuk ke masa silam. Sebaliknya kubu fundamentalis-tradisionalis menuduh kubu modernis mempunyai keimanan yang salah karena memandang bahwa terma-terma Barat lebih unggul dari Islam dan menolak otoritas masa lampau (Luthfi Assyaukani, ed. Wajah Islam Liberal di Indonesia, 2001 hal 30-32).Hal ini mengakibatkan kerancuan dalam definisi Islam yang menyertai pengalaman Pakistan sejak awal lahirnya. Kompromi yang mereka capai bersama banyak memunculkan kekecewaan dan kecurigaan antar dua belah pihak, kontroversi tersebut akhirnya melebar, muncul kemudian penjarahan, pembakaran, aksi bom bunuh diri, terorisme dan pembunuhan. Fenomena lal masjid baru-baru ini merupakan contoh aktual akibat kontroversi ini. Akhirnya pengalaman Pakistan -sebuah negara Islam- memberikan gambaran kelam tentang Islam, seakan-akan dalam Islam, untuk mencapai surga harus dengan perang, menjarah, membakar, merusak, bom bunuh diri dan berbagai aksi teror lainnya, orang yang tidak sependapat harus dienyahkan. Islam digambarkan sebagai agama yang tidak pernah mengakui persamaan, kedamaian, toleransi dan keadilan.Hal diatas merupakan contoh riil bagaimana nasib suatu golongan apabila dalam memahami keyakinannya secara kaku dan rigid. Harusnya ‘sejarah kelam’ umat Islam bisa membuka mata dan hati mereka dan mencairkan kebekuan cara pandangnya. Sehingga pengalaman buruk ini tak terulang kembali untuk kesekian kalinya. Mari kita ambil pengalaman Pakistan ini sebagai pelajaran yang berharga bagi kita untuk membangun bangsa Indonesia pada khususnya dan umat Islam pada umumnya menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Mashaibu qoumin ‘inda qoumin fawaid (albi)Allah Knows BestG8/I, 300707, 02:25 AM

Sunday 29 July 2007

Turki, Jepang dan Tradisi Nenek Moyang

Innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan (QS, 16:90)
Dalam menilai sesuatu kita dituntut untuk adil, atau berusaha menuju keadilan, ayat diatas dengan nyata menerangkannya, akan tetapi bukan berarti kita harus selalu berhusnuddzan dalam menilai, memang untuk adil kita diharap meletakkan landasan husnuddzan tersebut. Akan tetapi, tentu saja kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharap seseorang yang tidak mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangan jauh2 ke non-muslim orang muslim masih bisa salah.
Tidak sedikit dari umat Islam yang terkadang melihat modernism adalah Barat plek 100% ada juga yg berpendapat Barat dan budayanya adalah setan dalam wujud manusia maka dari itu harus dihindari, segala bentuk kegiatan yang berbau Barat adalah bid’ah, kedua pandangan diatas merupakan salah satu contoh penafsiran yang kurang tepat –menurut saya-
Dalam hal ini saya berpendapat dan berpegang pada jargon al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah, memelihara yang lama yang baik dan dan mengambil yang baru yang lebih baik. Maksudnya kita perlu mengembangkan tradisi intelektual yang otentik secara intensif. Ada seorang orientalis, H.R.Gibb yang agak objektif bilang “kalau tren modernis Islam tidak berpegang pada warisan intelektual mereka akan mengalami pemiskinan intelektual, yang akan menyebabkan kemacetan berpikir”. Karena apa yang mereka lakukan ga nyambung dengan masa lampau, ibarat kata maju kena mundur kena, mundur hancur karena buta akan warisan intelektual Islam dan majupun akan terhadang oleh Barat, yang tidak terkalahkan karena kita tidak punya bekal, hal ini dialami secara dramatis oleh Turki.
Turki merupakan bangsa non Barat pertama yang merasa harus modern supaya tidak ketinggalan oleh Barat, tetapi tetap saja gagal. Dibanding dengan jepang, yang agak terakhir ingin modern dibanding turki, justru sekarang merupakan ancaman besar peradaban barat, khususnya dibidang teknologi. Sekarang apa kaitannya Turki, jepang dan slogan diatas?
Menurut Nurcholish Madjid (dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, 1990) jepang adalah bangsa yang dengan teguh menerapkan al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah,sedang turki tidak, sehingga bagi orang jepang kemodernan itu secara organik terkait dengan jepang, kemodernan bukan barang asing lagi, tapi merupakan “produk lokal”. Sedangkan diturki nilai kemodernan masih asing dan hal tersebut didramatisasi oleh Kemal ataturk. Kalaupun dia menghapus sistem kekhalifahan mungkin agak bisa dinalar (meskipun saya kurang setuju dengan penghapusan tersebut) ataupun dengan pelarangan ulama2 untuk tampil dimasyarakat, ada juga beberapa alasan logis yg bisa diterima. Akan tetapi yang sangat fatal adalah mengganti huruf arab dengan latin untuk menulis bahasa turki. Alasannya sangat naif, ataturk berpendapat bahwa turki tidak akan modern kecuali apabila berhuruf latin, dan diakui oleh eropa. Ia ingin sekali dipanggil sebagai orang eropa.
Dengan menggantikan huruf arab tersebut terputuslah mata rantai intelektual turki dengan masa lampau, sejarah mencatat bahwa selama tujuh abad kekhalifahan turki mewariskan banyak hal, terutama bidang arsitektur dan seni. Memang dalam pengetahuan mereka tidak begitu hebat namun dalam sistem administrasi dan kemiliteran kehebatan mereka diakui, dan khazanah intelektual yang kaya tersebut tersimpan dan tertulis dalam bahasa turki usmani yang berhuruf arab, yang orang turki sekarang tidak bisa membacanya karena sudah berganti dengan huruf latin. Mereka terputus dengan masa lampau hanya gara2 huruf latin, sednagkan kedepan mereka harus bersaing dengan Barat yg sulit tersaingi dalam waktu singkat.
Apa bedanya dengan jepang? Jepang (kita ambil contoh simbolis saja) tidak berpikir untuk mengganti huruf kanji mereka dengan latin. Unsur kebudayaan dan ke’jepang’an teguh dipertahankan, mereka tetap bangga ber’etos’kan jepang. Mata rantai intelektual jepang tetap terhubung rapi dan kuat. Yang dengan demikian mereka mampu bertahan, bahkan sekarang menjadi saingan terberat Barat.
Bagaimana dengan indonesia?
Umur negara kita (yang mayoritas Mulim) sebentar lagi masuk usia ke 62, waktu yang sudah seharusnya membuat rakyatnya dewasa, tapi sayang kita masih terpuruk dalam golongan ketiga dunia. Tapi hal tersebut tidak boleh membuat putus asa, sekaranglah waktunya untuk memulai, mencipatakan ‘kemodernan’ di berbagai segi yang berangkat dari sejarah dan tradisi intelektual sendiri al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah. Karena merupakan hal naif apabila kita bicara tentang hal2 kontemporer tanpa bisa membuat kaitan organis denga masa lampau.
Abraham Lincoln, salah seorang presiden amerika, betapapun dia adalah anak kandung intelektual Barat. Oleh karen itu lincoln tidak akan pernah menjadi lincoln tanpa tahu sejarah, filsafat dan budayanya. Sulit dibayangkan, eropa, Jepang dan negara maju lainnya akan menjadi seperti sekarang ini bila mengabaikan masa lampaunya seperti turki (dan mayoritas negara berpenduduk muslim) yang berkoar2 tentang msalah kontemporer dalam politik misalnya, tapi tidak tahu al ahkam al shulthaniyyah. Dan inilah pemiskinan intelektual.
Allah knows Best
G8/I 290707, 02:30AM

Hamdan Maghribi

Thursday 26 July 2007

ILMU DAN AMAL

Merupakan suatu keharusan apabila agama membawa faedah dan perbaikan hidup, namun hal tersebut tidak akan pernah terlaksana apabila sistem ajarannya tidak dilaksanakan. Dari sudut pandang yang demikian apabila kita gunakan untuk menghayati kandungan al qur’an tentang dosa apabila kita mengatakan sesuatu namun tidak mengerjakannya (QS, 61:3). Maka Islam yang menjanjikan kebaikan dunia dan akhirat akan menepatinya. Namun sekali lagi apabila jika sepenuhnya ajarannya dilaksanakan.
Memang manusia terbatas kemampuan dalam melaksanakan ajaran Islam, bahkan antar manusiapun sangat fariatif tingkat kemampuannya.
Sejarah telah menunjukkan betapapun what so called ‘zaman keemasan’ tidak terbebas dari kekurangan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Melihat kenyataan tersebut mari kita lihat bersama ayat al qur’an yang memerintahkan kita untuk bertaqwa kepadaNya “sebisa mungkin” mastatho’tum (QS, 2:286)
Saya disini ingin membahas kata “sedapat mungkin” dalam ayat diatas (karena tidak sedikit yang memahaminya dengan nalar pesimis), disitu terdapat pesan agar manusia, dalam melaksanakan ajaranNya, tidak bersikap ‘sekedarnya’ melainkan berusaha dengan sungguh-sungguh menuju puncak kemungkinan dan kemampuan tertinggi. Inilah hakikat ijtihad, suatu bentuk tanggung jawab moral seseorang kepada kewajiban melaksanakan ajaran yang di yakininya. Sebagai ‘reward’nya ia tetap mendapatkan pahala sekalipun kelak ternyata menghasilkan sesuatu yang salah atau kurang tepat. Dan apabila tepat ‘reward’ tersebut akan berlipat menjadi dua: pertama karena adanya pelaksanaan tanggung jawab moral tersebut dan kedua karena pelaksanaan dari ajaran tersebut yang tepat. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, 2005) hal ini juga di tegaskan kembali oleh baginda Rasul bahwa orang yang berijtihad dan tepat akan mendapat dua pahala, dan orang yang berijtihad namun keliru maka ia masih mendapatkan satu pahala.
Ijtihad untuk malaksanakan suatu ajaran tentunya harus diikuti dengan ilmu dan pengetahuan secara tepat. Yang pertama harus mengetahui ajaran itu sendiri. Karena logikanya apabila pemahaman tersebut salah maka pelaksanaannya pun akan ikut salah, dan akan mengakibatkan kekeliruan prinsipil. Namun pengetahuan tentang ajaran secara tepat saja belum menjamin pelaksanaan yang tepat. Pada tingkat pelaksanaan harus juga difahami kondisi sosial dan lingkungan tempat melaksanakan ajaran tersebut. Tanpa kedua pemahaman tersebut segala usaha pelaksanaan ajaran akan terperosok kedalam jurang normativisme (sikap berpikir menurut apa yang seharusnya, kurang menurut apa yang mungkin) yang nantinya kan mendorong pengikutnya untuk cenderung radikalistik-destruktif.
Maka dari itu, jaminan keunggulan, superioritas dan kejayaan akan dikaruniakan oleh Allah kepada yang beriman dan berilmu. Beriman, maksudnya adalah mempunyai orientasi ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan ridha Tuhan sebagai tujuan akhir segala perbuatan. Berilmu, berarti mengerti ajaran secara proporsional, sebagaimana ilmu yang Allah karuniakan kepada Nabi Adam sebagai bekal mengemban tugas khalifah dibumi, yang menjadikan manusia unggul diatas malaikat. Memang iman akan mendorong manusia untuk selalu ‘terarah’ kepada kebaikan. Tapi iman saja tidak bisa melengkapi manusia dengan kecakapan dan ‘ketrampilan’ tentang teori dan praktek dari pelsksanaan ajaranNya. Jadi tidak menjamin kesuksesan, sebaliknya ilmu saja, mungkin akan membuat orang terampil berbuat ‘nyata’. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmu tadi yang akan membawa si empunya kepada kemudharatan (banyak contoh riil didepan kita). Bahkan akan lebih celaka dari orang yang tidak berilmu sekalipun. Maka Rasul bersabda man izdada ilman walam yazdad hudan, lam yazdad lahu illa bu’dan (barangsiapa bertambah ilmunya tanpa hidayah, maka ia tidak akan bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah). Jadi kita dituntut untuk mensejajarkan iman dan ilmu guna mencapai kesuksesan.
Allah knows Best
G8/I 260707, 08:30 PM

Tuesday 24 July 2007

Perbedaan

Hamdan Maghribi
Adalah Islam, salah satu dari abrahamic religion disamping Yahudi dan Kristen, meski paling muda, Islam mampu membuktikan dirinya sebagai agama yang paling pesat perkembangannya. Kurang dari satu abad setelah kelahirannya, Islam sudah menyeberang ke Eropa (spanyol) dan menjadikannya puat budaya dan peradaban hingga abad ke 15M. Dibawah naungan Islam, berbagai suku bangsa hadir dengan corak dan warna adat, tradisi dan worldview masing-masing. Tentu saja ketika masuk ‘payung’ Islam ada prinsip-prisnsip fundamental yang harus dipegang, prinsip dasar yang membuat mereka disebut Islam. Tetapi mengadopsi prinsip Islam tersebut tidak lantas mematikan khazanah tradisi dan peradaban mereka, inilah tanda universalitas Islam.
Islam datang dengan penuh kesederhanaan, baik ajaran maupun pemeluknya, menjadi orang Islam tidaklah susah, kaya atau miskin bukan menjadi kendala, Islam juga tidak melihat adanya kesenjangan sosial berdasarkan materi dan tahta, semuanya tergantung kadar iman dan takwa. Atas dasar itulah para saudagar kaya Mekkah merasa ‘kebakaran jenggot’ karena wibawa mereka jatuh. Akhirnya dengan segala daya upaya berusaha menghalangi nabi Muhammad dan dakwahnya demi melanggengkan status qou yang bertahun-tahun telah mereka nikmati. Namun dengan keagungan rasulullah dan kegigihan para sahabat, Mekkah pun dapat di taklukkan dan berdirilah sebuah bangunan politik di Madinah, bermula dari sana berbondong-bondong orang arab maupun non-arab dengan status sosial yang beragam memeluk Islam. Islampun tidak identik lagi dengan orang pinggiran seperti ketika mereka dianiaya saudagar kaya Mekkah. Tapi menjadi agama yang khas dan kreatif dalam mengakomodasi kekayaan tradisi umatnya yang beragam dan memfasilitasinya untuk menjawab tantangan zaman.
Berbagai aliran pemikiran tumbuh subur yang kemudian oleh para ulama diklasifikasikan menjadi beberapa bagian antara lain adalah fikih, teologi (ilmu kalam), filsafat dan tasawuf. Dalam masing-masing aliran ada keragaman yang saling mengkritisi. Dalam fikh misalnya ada madzhab Hanafi yang rasional berseberangan dengan madzhab az Dzahiri yang literal. Ada pula madzhab Hanbali yang dekat dengan madzhab Dzahiri, dan Maliki yang dekat dengan madzhab Hanafi, ada pula madzhab Syafi’i yang kurang lebih berda ditengah-tengahnya (sudartono abdul hakim (editor), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan humaniora, 2003). Dalam telogi ada Mu’tazilah yang rasional dan progresif berseberangan dengan Imam Ibn Hanbal dan para pengikutnya yang tradisionalis. Ada pula Asy’ariyah yang berusaha menengahi keduanya. Bahkan didalam masing-masing madzhab pun masih ada sub-aliran. Dalam mu’tazilah misalnya terbagi menjadi Mu’tazilah Basrah dan Baghdad kemudian masing-masing individu dalam sub-sub aliran tersebut juga mengembangkan pemikiran individu yang variatif dan khas. Dari sini lahirlah tradisi Islam yang kaya dan beragam. (Hasan As Syafi’i, Al Madkhal Ila dirasati ‘Ilmi Al Kalam, 1988)
Apa yang digambarkan diatas hanyalah contoh dinamika masyarakat muslim yang variatif. Hal tersebut bukan hanya dalam ajarannya tapi juga diberbagai aspek kehidupan yang lainnya. Dengan keberagaman tersebut bukannya membuat Islam mundur, namun berkembang dengan dibarengi munculnya berbagai disiplin ilmu keagamaan (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985) Perlu diingat pula, zaman keemasan Islam tidak semata-mata ditandai dengan berkembangnya ilmu keIslaman, tetapi juga dengan keberagaman ilmu pengetahuan, sains, sosial dan politik.
Maka dengan berjalannya waktu umat Islam harusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi segala perbedaan didalamnya. Perbedaan bukan untuk dihindari tapi untuk difahami. No differences can make only difference. Allah knows best (Albi)
H I/141, 210707, 01:00 AM

Thursday 19 July 2007

Intgegrasi Ilmu dan Agama

Integrasi Ilmu dan Agama
Hamdan Maghribi
Sesungguhnya ide dan kontroversi tentang integrasi ilmu dan agama di berbagai kalangan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Kalau kita telaah ulang ternyata gagasan integrasi ilmu dan agama sudah lahir bersamaan dengan munculnya Islam, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Namun lambat laun hal tersebut pudar dan bahkan hilang dari umat Islam, kita lihat bagaimana kemudian Barat merangkak menuju kebangkitannya melalui penerjemahan karya ulama-ulama klasik Islam, namun sayang disaat yang sama justru umat Islam diam bahkan mundur dari kemajuan.
Melihat kondisi tersebut gagasan integrasi tersebut sungguh amat terasa urgensinya sekarang ini, ia tidak hanya sekedar mempertegas bahwa pandangan dikotomis antara ilmu dan agama (Islam) tidak lagi produktif. Namun juga untuk menegaskan bahwasanya Islam sesungguhnya bisa difahami melalui berbagai perspektrif, karena Islam bukan ajaran yang tertutup dan menutup diri. Ia bisa didatangi dan difahami oleh siapapun melalui berbagai jalan variatif sekalipun. Karena itu perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangatlah bermanfaat sebagai salah satu alat untuk memahami keluasan dan kemahabesaran Tuhan dan ajaranNya; Islam (Sudarnoto Abdul Hakim (editor), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, UIN Press, 2003)
Dari cara pandang tersebut maka akan tidak berlebihan apabila kita menggaris bawahi sikap para ulama dan ilmuwan terdahulu kita yang memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap ilmu pengetahuan, kemajuan peradaban dan kemanusiaan dengan terus menggali dan meningkatkan khazanah intelektualnya tanpa melihat apakah ia karya asing atau tidak. Bahwasanya terjadi pertentangan dan perselisihan antara para ulama dahulu bukanlah selisih pandang terhadap integrasi ilmu dan agama, melainkan ikhtilaf dalam keyakinan (baca: madzhab). Contoh riilnya adalah mihnah (inkuisisi) yang pernah dilakukan oleh pemuka mu’tazilah yang menyiksa Imam Ibn Hambal karena menolak kemakhlukan qur’an. (A.Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsaat Islam, 2003)
Sudah semestinya kita menjadikan pengalaman masa lalu sebagai ‘ibrah, kita ambil baiknya dan tinggalkan jeleknya. Cara pandang ulama terdahulu terhadap integrasi ilmu dan agama patut kita contoh. Namun kita harus jeli dan bisa memilah serta memilih, jangan sampai kita mengadopsi tanpa ada proses islamisasi. Syamsuddin arif mengatakan bahwa umat Islam saat ini terpecah pendapatnya menjadi tiga dalam memandang hubungan agama dan ilmu, golongan yang menolak serta merta tanpa kopmpromi dengan alasan bid’ah, yang kedua golongan yang menelan mentah-mentah begitu saja dan yang ketiga adalah golongan yang menerima namun dengan ‘seksama’. Sudah pasti golongan pertama dan kedua tidaklah layak kita jadikan sikap, karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal, sikap ketiga yang merupkan langkah adil dan bijak dalam melihat perkembangan ilmu dan sains, yaitu menerima dengan seksama dan meletakkan pada porsinya secara proporsional (Syamsuddin Arif, Islam dan sains, www.insistnet.com)
Hendaknya, dengan berjalannya waktu diharap bertambah pula sikap dewasa umat Islam dalam melihat segala fenomena yang ada, dengan melihat catatan sejarah para pendahulu kita tanpa melupakan kontribusi Barat modern, namun sikap menerima tersebut bukanlah permissif begitu saja tanpa ada proses. Disini kejelian kita sangat dibutuhkan. (albi)
Allah knows best
G8/1 200707,01:00AM

Thursday 12 July 2007

Pluralisme Agama; an Introduction

Untuk memahami diskursus pluralisme agama hendaknya kita telusuri sejarahnya, paling tidak, sejak awal abad 20an. Adalah Ernst Troeltsch seorang teolog Kristen asal Jerman yang mengemukakan urgensi sikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal antar umat kristiani maupun antar agama, ia menambahkan lagi bahwa umat kristiani tidak berhak untuk mengklaim dirinya benar sendiri (truth claim), berturut2 setelahnya kemudian diikuti oleh William Hocking dan Arnold Toynbee, seorang sejarawan yang terkenal dikalangan akademisi. kalau kita runut, faham diatas sudah dirintis oleh tokoh protestan liberal F. Schleilmacher (sekitar paruh abad 19) dengan protestantisme liberalnya.
dari sini bisa kita lihat, bahwa pluralisme agama sebagai bentuk liberalisasi agama merupakan respon teologis terhadap liberalisasi politik yang telah muncul sebelumnya. liberalisasi politik ini dimunculkan oleh para "founding fathersnya" demokrasi pada awal abad modern, yang kemudian secara prakteknya dijalankan oleh Amerika (waktu itu kecenderungan barat selalu ingin memodernkan segala bidang, termasuk juga agama (baca:Kristen)) slah satu ciri kemodernan ini adalah globalisasi, demokrasi dan human right. Dari wacana inilah kemudian lahir pluralisme politik...kalau dilihat dari sisi ini, sebenarnya pluralisme agama adalah gerakan politik "par exellence" dan bukanlah agama. dasar dari faham ini adalah persamaan, kebebasan dan tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran dirinya sendiri.
bagaimana sikap gereja?
disini perlu kita cermati, karena oleh para pengusung pulralisme di Indonesia sering digambarkan bahwasanya para "ulama" kristen terkesan mengamini gerakan tersebut. hal ini perlu diluruskan, mengingat pihak gereja, disaat bergulirnya isu tersebut menentangnya dengan keras. indikasinya terlihat jelas dengan terus berjalannya misi kristen keseluruh dunia (kristenisasi), John Hick (tokoh pulralisme internasional dan juga teolog di gereja Presbyterian) banyak mendapat tantangan dari pihak gereja, yang akhirnya melahirkan perdebatan antar pro-kontra pluralisme (perdebatan tersebut bisa di baca di "problem in the philosophy of religion" diedit oleh Harold Hewitt) dari buku tersebut bisa kita lihat begitu banyak kelemahan faham pluralisme agama.
bagaimana dengan indonesia?
pertanyaanya sekarang, bagaimana msadepan faham ini bila diterapkan diindonesia? melihat keterangan diatas, jika faham ini dikembangakan di Indonesia (yang mayoritas Muslim) akan memunculkan berbagai permasalahan teologis, dan bahkan juga sosial-politik serta HAM yang luar biasa...
apa kelemahan pluralisme agama?
setidaknya pluralisme memiliki beberapa kelemahan yang fundamental, menurut anis malik toha (tren pluralisme agama:2005) dan adian Husaini (pluralisme agama:Haram:2005) ada beberapa point penting yang perlu dicatat mengenai ide pluralisme tersebut

pertama, kaum pluralist mengaku menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran dan tidak pluralist! karena menafikan kbenaran "eksklusif" sebuah agama, mereka menafikan truth claim, tapi mereka sendiri mengklaim bahwa ajarannya (pluralisme) adalah paling benar dalam memahami agama. tampaknya disini mereka tidak sadar kalau mereka melanggar kaidah fundamental mereka sendiri....

kedua, adanya 'pemaksaan' nilai2 budaya barat (westernisasi) terhadap negara2 timur, dari embargo perang dll, ini menandakan tidak adanya toleransi Barat terhadap Timur. mereka merelatifkan tuhan2 orang Timur (yahweh, yesus, Trinitas, Trimurti dsb) namun pada waktu yang bersamaan 'secara tidak sadar' mereka telah mengklaim absolut tuhan mereka sendiri "the Real" yang diusulkan Hick ataupun 'al Haq'nya Hussein Nasr. diantara mereka pun (antara hick dan Nasr), belum ada kata sepakat mengenai istilah 'the real' dan 'al haq' (adnan aslan: religious pluralism between Cristian and Muslim Philosophy :1997)

ketiga, bila kita cermati dengan seksama, pluralisme agama merupakan agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritualnya sendiri. sebagaimana humanisme, juga merupakan agama, yang menuhankan nilai2 kemanusiaan, sebagaimana yang dilontarkan "bapakknya" postivisme August Comte. john Dewey pun mengatakan bahwa demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai2 demokrasi.
hal tersebut bisa dikaitkan dengan 'teori civil' religionnya Robert N Bellah (civil Religion in america) disini ia menyimpulkan bahwa yg berkembang diamerika adalah 'agama civil' yaitu agama yang tidak berpihak pada agama2 tradisional apapun yang dipeluk oleh warganya.

keempat, pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secra utuh, seperti mengenkan simbol2 keagamaan dll.

jadi wacana pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya 'unifomy' (penyeragaman) segala bentuk perbedaan dan keberagaman agama, hal ini jelas jelas scr ontologis bertentangan dengan "sunnatullah" yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri, karena itu, aneh jikalau gagasan tersebut ingin digagaskan di Indonesia yang mayoritas Muslim.

wallahu wa rasuluhu 'know best'
G8/1 kemis, rolas-juli-rongewupitu/ jam siji awan