Thursday 20 September 2007

Imam Syafi'i dan Pengikutnya Masa Kini

Berbagai gerakan ilmiah dalam Islam sudah berkembang pada kurun abad pertama dan kedua H, ia mendapat ke'legalan' dalam lingkup kebebasan berfikir, politik dan sosial yang luas. Islam memberi kebebasan berbicara sebagaimana memberikan kebebasan pada akal dan jiwa. Islam juga memberikan dorongan penuh ilmu dan pemikiran, Islam adalah kekuatan penggerak yang menimbulkan ledakan intelektual dan tsaurah tsaqafiyyah (revolusi budaya) yang luar biasa. Banyaknya gerakan ilmiah dengan ragam corak dan warnanya melahirkan alternatif dan solusi atas berbagai problematika yang timbul sesudahnya. Namun kondisi yang menyejukkan hembusan ilmu pengetahuan dan pemikiran ini kemudian menimbulkan banyak perselisihan yang terus melebar, tidak hanya dalam ide dan gagasan saja, akan tetapi juga mengarah kepada hal-hal yang pokok (ushuly) dan cara berfikir. Sebagaimana perbedaan antara penduduk Hijaz (ahl al-asar) dengan penduduk Irak khususnya Baghdad yang mengedepankan penalaran rasional (ahl al-ra'yi). Perbedaan yang tajam dalam tataran ushuli ini kemudian melahirkan perselisihan (ikhtilaf) dalam banyak persoalan fiqh yang diikuti dengan berbagai diskusi perdebatan dan pertempuran wacana antar ulama. Perselisihan tersebut terkadang berujung pada pembentukan madzhab atau aliran tertentu, atau pembentukan kelompok yang berdasarkan letak geografis atau berdasar pada kultus individu.
Ketika kebebasan ilmiah dan pemikiran mencapai puncak kebebasannya, muncullah ketidakstabilan dan kerancuan dalam diri umat. Berbagai reaksi muncul, dari pengakuan hingga penolakan. Namun ada juga yang sangat moderat, rasional dan ilmiah. Adalah Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, salah satu ulama yang menjadikan metode ilmiah yang komprehnsif sebagai alat penuntun dalam menghadapi fenomena kebebasan berfikir pada masa itu.
Salah satu kelebihan Imam madzhab yang dianut masyarakat indonesia ini adalah kerena ia melakukan perjalanan dalam mencari ilmu keseluruh negeri, menemui dan bergaul dengan para ulama, mujtahid dan kaum cendekia di kediaman mereka. Ia berdiskusi, bertukar pikiran dan selalu mendengarkan argumentasi mereka, yang kemudian diseleksi guna membangun konstruksi pemikiran dan madzhabnya.
Dalam konteks sejarah atau metodologi, kita akan menemukan seorang Syafi'i sebagai sosok yang moderat (al wasathiyyah) dan kompromis antara pandangan kelompok ahl al-asar dan ahl al-ra'yi. Sikap ini semakin jelas ketika Syafi'i lebih memihak ahl al-asar dalam menetapkan kedudukan teks dan prioritasnya, yaitu Al qur'an dan Sunnah. Namun pada sisi lain, ia cenderung pada kelompok rasionalis ahl al-ra'yi dalam merumuskan dasar prinsip qiyas, menetapkan dan memperluas cakupannya.
Meskipun demikian, ia berseberangan dengan ahl al-asar yang dianggap terlalu memudahkan dan kaku dalam merujuk Al-qur'an dan Hadits secara literal. Ia mensyaratkan penelitian dan verifikasi atas nash, dengan menyatukan dan mengkompromikan antar makna dan hukum yang betujuan untuk menghilangkan kerancuan dan kekakuan dalam melandaskan teks dan aktualisasinya. Menurutnya tidak semua orang yang bersikap literal-tekstual memiliki dan mendapatkan kebenaran.
Disisi lain, ia pun berseberangan dengan ahl al-ra'yi. Ia sangat mencela ketergantungan mereka atas akal dan rasio dan terlalu berlebihan dalam menggunakannya. Ia sangat menentang ijtihad intuitif-rasional yang dikenal dengan istihsan, ia pun kemudian mempersempit ruang ijtihad akal dengan membatasinya melalui qiyas, dan menjadikan ijtihad dan qiyas seakan-akan sebagai dua istilah yang bermakna satu (Al Syafi'i, al risalah)
Demikianlah sikap seorang Imam Syafi'i, dengan mengkaji, meneliti dan memetakan pandangan ahl al-asar dan ahl al-ra'yi secara bersamaan serta mengambil apa yang menjadi keunggulan dan kelebihan mereka, ia adalah penggagas pertama ilmu ushul fiqh, ilmu yang sejak awal mulanya dilengkapi dengan metode analisis dan observasi serta disertakan pula batasan-batasan akan kesalahan dan kerancuan dalam berijtihad dan berargumentasi.
Sudah semestinya, sebagai pengikut madzhab Syafi'i kita berusaha mencontoh sikap dan usahanya dalam mencari solusi dan kerancuan yang timbul pada saat ini, bukan hanya mengekor pada 'produk' dan melupakan 'proses'nya. Sangat disayangkan bahwa mayoritas pengikut madzhab Syafi'i (khususnya di Indonesia) telah lupa dan meninggalkan keteladanannya. Alih-alih meneladani sikapnya, siapa Imam Syafi'i dimana dan kapan lahirnya, bagaimana proses pendidikannya dan apa saja produk pemikirannya, hanya segelintir penganut madzhabnya yang mengetahuinya. Sungguh ironis......(albi)
Allahummaftah qulubana!
Allah Knows Best
G8/I 010807, 12:00AM

Filsafat dan Metodologi Pemikiran Islam

Banyak kalangan yang telah salah faham tentang filsafat Islam, ia masih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit kajian metafisika. Hal tersebut tidak hanya terjadi dikalangan pesantren di Indonesia dan Madrasah di Pakistan yang memang masih diselimuti trauma-filsafat, namun juga di berbagai perguruan tinggi Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah (kata pengantar dalam Wacana Baru Filsafat Islam:2003) hal serupa juga saya rasakan di IIU Islambad, kajian filsafat masih banyak terfokus pada aspek historis tanpa ada perhatian berarti terhadap aspek metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi. Akibatnya –menurut saya- dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Yang dimaksud dengan filsafat Islam sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian panjang lebar tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam beserta tokoh-tokohnya, tapi lebih merupakan bahasan tentang proses berfikir. Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan 'proses' berfikir dan bukan sekedar 'produk' pemikiran. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain. Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah melakukan bunuh diri intelektual (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982)
Kelesuan berfikir dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan (Bunyah al Aql al Araby:1990). Karena itu kita tidak boleh lagi berpaling dan menghindar dari filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit untuk menjelaskan identitasnya dalam lingkungan dunia global. Namun filsafat yang saya maksud disini bukan hanya sekedar uraian sejarah dan tokoh-tokohnya yang merupakan 'produk' pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi.

Metodologi Bayani, 'Irfani dan Burhani
Dalam khazanah filsafat Islam dikenal tiga buah metodologi pemikiran, bayani, 'irfani, burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci al qur'anlah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut. 'Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Sedangkan burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, teks dan pengalaman hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logis.
Masing-masing dari ketiga model metodologi berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam), irfani menelurkan teori besar dalam sufisme dan burhani telah membawa filsafat kepada puncak kegemilangannya. Namun bukan berarti ketiga metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika berhadapan dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas terletak ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat berhadapan dengan pertentangan tersebut nalar bayani biasanya cenderung mengambil sikap dogmatik, defensif dan apologetik, ia demikian tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang sehat. (untuk lebih lanjut lihat Farid Esack, Qur'an, Liberation and Pluralism: 2006). Sedangkan dalam metode 'irfani bisa lihat dari ter'baku'kannya term-term semisal ilham, kasyf dan dlamir dalam tarekat-tarekat dengan berbagai wiridnya. Hal inilah yang kemudian dikritk oleh Fazlur Rahman sebagai religion within religion (Islam:1979) sementara itu, metode burhani, meskipun ia rasional tapi masih lebih berdasar pada model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam perkembangan pemikiran kontemporer. (al Mantiq al Aristhi kama Shawwarahu al Ghazali: 1980)
Melihat kenyataan diatas, bisa disimpulkan bahwa masing-masing metodologi tidak bisa digunakan secara mandiri untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapainya, ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah jalinan sirkuler. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perngembangan keilmuan Islam kedepan. Amin
Allah knows best
Albi, 130907, 12:00AM

ORIENTALIS, FILSAFAT DAN ISLAM

Dalam kajian studi orientalis tentang filsafat Islam ada kesan kuat yang sudah berkembangan dan mengakar sejak awal kajian mereka bahwa “filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam. Ia tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka menambahkan, peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja, tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan dari filsafat Yunani. Bahkan lebih dari itu menurut mayoritas orientalis justru filsafat Islam menjadi polusi dan limbah yang mengotori atmosfir keilmuan dan peradaban Yunani dalam hembusan angin sejarah manusia.
Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam (Majid Fakhry: 2002) menyebutkan setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban Yunani. Gairah intelektual muslim tersebut oleh sebagian besar orientalis dilihat sebagai upaya-semu dalam mengIslamkan khazanah intelektual Yunani. Padahal kegairahan tersebut berangkat dari ajaran fundamental Islam sendiri yang bukan hanya memerintahkan para pemeluknya untuk menelaah dan mengkaji tapi juga mengkritisinya dalam upaya mencari hikmah, hadis yang menyeru untuk “menuntut ilmu sampai ke negeri Cina” dan “memungut hikmah dari sumber manapun ia berasal” merupakan contoh kecil dari perhatian Islam mengenai hal ini. Kegagalan para peneliti Barat dalam memahami motif intelektual muslim yang dimulai sejak abad ke-9 inilah yang akhirnya membawa kegagalan yang lebih besar dalam memahami proyek Islam secara utuh yang mengakibatkan klaim sepihak bahwasanya Islam adalah agama hegemonik vis a vis peradaban dunia.
Yang kedua, minimnya penguasaan para sarjana Barat terhadap literatur kebudayaan Islam secara umum dan pengembangannya di daratan Persia pasca Ibn Rusyd secara khusus. Melepaskan sejarah filsafat Islam dari konteks perkembangannya pasca ibnu Rusyd, khususnya di Persia akan semakin mengukuhkan klaim dan asumsi duplikasi filsafat Yunani dalam filsafat Islam. Perpaduan dan penggabungan dua buah peradaban bukanlah duplikasi dan upaya-semu dalam peningkatan peradaban manusia. Murtadha Muthahhari membuktikannya dalam buku Islam dan Iran; Suatu Kontribusi Timbal balik secara ekstensif menerangkan hubungan saling memperkaya antara peradaban Persia dan Islam, hal ini menunjukkan bahwasanya Islam merupakan agama yang memiliki daya tampung luar biasa terhadap segenap aktifitas yang menyempurnakan potensi manusia.
Adalah louis Massignon, Reynold Nicholson, Annemarie Schimmel, William Chittick dan Sachiko Murata yang telah memulai berbagai kajian ilmiah dalam studi Islam -khususnya mistisisme- meskipun masih belum mencapai tataran ilmiah-objektif, namun telah membangunkan kesadaran Barat akan kekayaan khazanah Islam di belahan Timur. Kejutan ini berlanjut dengan berbagai penelitian filsafat Timur oleh Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu dan para orientalis kontemporer lainnya. Namun demikian masih begitu banyak objek yang luput dari kajian orientalis dalam melihat sejarah Islam, terutama tradisi intelektual-filosofis Islam di belahan Timur. Disamping itu masih banyak kajian orientalis yang menonjolkan tokoh-tokoh dan pokok pemikiran mereka dalam kaitannya dengan tradisi filsafat Yunani dan Neoplatonis, dan bukan sebagai suatu sistem yang utuh dan otentik. Penonjolan hal inilah yang akhirnya memudarkan ciri khas Islam sebagai sejarah filsafat yang holistik dimata sarjana Barat.
Bukti otentisitas keislaman filsafat Islam -yang terlepas dari atribut duplikasi sebagaimana klaim mayoritas sarjana Barat- bisa dirangkum dalam dua segi:
Pertama, dari segi sumber, kita menemukan semangat para filosof untuk perenungan filosofisnya dalam konteks sumber-sumber pengetahuan Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu Islam yang lain, filsafat Islam pada hakikatnya bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah. Dengan landasan inilah S.H. Nasr menyatakan bahwa filsafat Islam disebut Islam bukan hanya karena pemekaran filsafat didunia Islam dan ditangan para sarjana muslim, melainkan karena seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber utama, yaitu Wahyu Islam....(S.H. Nasr dan Oliever Leaman: 1996).
Semua filosof mulai dari al-Kindi, al-farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Mulla Sadra, Ibn Bajjah, Suhrawardi, al Razi hingga filosof kontemporer semisal Khomeini dan Muthahhari telah hidup dan menghirup udara realitas Al qur’an dan Sunnah. Mereka berpegang teguh kepada sumber wahyu Islam. sebagai contoh, konon Ibn Sina ketika mendapat permasalahan yang rumit, dengan segera ia akan ke masjid dan melakukan shalat meminta petunjuk Allah. Al-qur’an dan Sunnah telah mengubah filsafat menjadi filsafat profetik. Realitas yang terkandung dalam Al-qur’an merupakan landasan awal mereka dalam berfilsafat. Sehingga al-aql al nadzary-nya para filosof Islam tidak bisa semerta-merta bisa disamakan dengan nous-nya Aristoteles, -meskipun terminologi arestotelian masih tetap digunakan- karena pola berfilsafat mereka telah mengacu kepada sumber wahyu Ilahi.
Kedua, dalam kata hikmah (para filosof muslim cenderung menggunakan istilah hikmah sebagai pengganti filsafat) kita bisa menemukan ciri khas filsafat Islam yang lain, yaitu sinergi antara perenungan filosofis, penyucian jiwa, dan ritual keagamaan. Kata hikmah disebut lebih dari duapuluh kali dalam Al-qur’an. Dengan memakai istilah hikmah sebagai pengganti al-falsafah, para filosof sebenarnya ingin menegaskan posisi filsafat Islam. Hikmah merupakan perpaduan tritunggal akal-ruh-raga untuk mencapai kesempurnaan intelektual-spiritual-ritual manusia. Itulah makna hikmah dalam filsafat Islam yang belum tercakup dalam filsafat Yunani kuno.
Catatan singkat tentang genealogi filsafat Islam yang unik dan khas diatas tidak ditujukan untuk membangkitkan sikap sentimen dikalangan Islam terhadap Barat dan orientalisnya, namun diharapkan untuk meningkatkan kesadaran dialog antar-peradaban yang sehat, sejajar dan adil. Dialog bukanlah ajang dimana yang satu merasa superior terhadap yang lainnya, dialog merupakan upaya saling memahami secara ilmiah-objektif, adil dan proporsional terhadap peradaban lain, sehingga kebenaran yang menjadi tujuan bersama bisa tercapai. (albi)
Allah knows Best.
H I/141 010907, 06:00 PM