Sunday 30 March 2008

Eropa dan Islamphobia

Oleh: Nur Rohim Yunus

Ketakutan terhadap syariat Islam yang melanda opini masyarakat Indonesia rupanya juga ditopang oleh ketakutan dunia Barat terhadap agama ini, khususnya dataran Eropa. Bila penolakan undang-undang berbau syariat makin marak terjadi di negeri kita, maka Eropa ramai-ramai berusaha mencari inovasi baru untuk menyudutkan agama ini. Hasilnya Islam menjadi fokus perhatian dunia dan menambah kebencian orang awam terhadapnya. Umat Islam Eropa yang tak tahu menahu menjadi korban intimidasi, dianiaya, dihujat, dikucilkan bahkan tak sedikit yang kehilangan haknya sebagai manusia.
Dampak ini juga semakin memperkuat semangat aktifis Islamphobia di Indonesia untuk melumat habis slogan-slogan yang berupaya menerapkan konsep syariat di dalam lini kehidupan masyarakat dan negara. Bedanya, pelaku Islamphobia di Eropa dari golongan kuffar tulen, sedang di Indonesia dari golongan yang masih berbaju muslim.
Awal mula ketakutan ini sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya peristiwa 11 September dan pelarangan jilbab di Perancis. Islam dijadikan sebagai pusat perhatian dari berbagai kalangan, terutama para pemerintah dan media massa dunia. Mereka dengan gencar menuduh Islam sebagai agama kekerasan dan pemicu aksi terorisme 11 September. Namun, tuduhan-tuduhan itu malah membuat banyak kalangan semakin ingin tahu tentang Islam dan mempelajari dengan seksama ajaran ini. Merekapun akhirnya menemukan bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadis dipenuhi dengan ajaran keadilan dan anti kezaliman. Akhirnya, timbul komunitas baru di dataran Eropa, sebuah komunitas muslim minoritas yang berani ditengah kukungan terali ketakutan publik di sekitarnya.
Meningkatnya angka imigran muslim di negara-negara Barat, termasuk Eropa sejak beberapa dekade lalu pada mulanya disambut baik oleh pemerintah negara-negara tersebut, karena mereka merupakan sumber tenaga kerja yang murah. Tetapi secara perlahan-lahan, para imigran muslim tersebut mulai menunjukkan jatidiri dan identitas keislaman mereka, antara lain dengan membangun masjid serta pusat-pusat keislaman, serta secara aktif menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.
Pada saat itulah pemerintah di berbagai negara Eropa pun mulai merasa terancam bahaya. Apalagi, dakwah dan pengenalan Islam di Eropa telah semakin meluas, sehingga semakin banyak masyarakat Eropa yang memeluk agama Islam. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika telah dijadikan sebagai dalih untuk menekan umat Islam di Eropa, baik melalui agen polisi, perekonomian, politik, maupun propaganda.
Jika diperhatikan dengan teliti, tekanan yang dilakukan terhadap umat Islam Eropa, kita akan mendapati bahwa tekanan itu datang dari dua arah, yaitu dari pemerintah dan dari media massa. Di antara kedua poros anti Islam di Eropa ini memang terdapat jalinan yang erat. Setiap kali ada pejabat pemerintah Eropa yang mengeluarkan pernyataan yang menentang Islam dan umat Islam, media massa Eropa akan meliputnya dengan gencar.
Pemerintah di negara-negara Eropa sama sekali tidak mencegah berbagai propaganda anti Islam yang dilancarkan sebagian media massa, dan bahkan memberikan dukungan. Dengan cara ini, pemerintah negara-negara Eropa dan sebagian besar media massa Barat berusaha untuk menghalang-halangi pesan hakiki Islam agar tidak sampai kepada masyarakat dan umat Islam menjadi terkucil.
Perancis bisa disebut sebagai pemegang bendera dalam usaha memerangi umat Islam. Setelah melalui pembahasan panjang, akhirnya pemerintah Perancis sejak tahun lalu telah memutuskan untuk melarang para guru dan pelajar yang berjilbab memasuki sekolah-sekolah di Perancis. Bahkan, pejabat dan media massa negara ini juga mengemukakan usulan agar para imam masjid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Perancis dalam menyampaikan khutbah serta memasukkan topik budaya dan sejarah Perancis di dalam khutbah mereka. Sebuah keinginan yang mustahil diterapkan oleh umat Islam.
Meskipun Perancis selama ini mengklaim diri sebagai tempat lahirnya demokrasi dan kemerdekaan, namun tindakan pemerintah dan media massa negara ini yang menekan dan menghina lima juta umat Islam di Perancis, jelas bertentangan dengan klaim tersebut.
Setelah Perancis memberlakukan larangan berjilbab bagi pelajar dan guru sekolah, Jerman pun tak ketinggalan untuk mengikuti langkah Perancis tersebut. Kini, sebagian negara bagian di Jerman telah memberlakukan larangan bagi kaum muslimah yang berjilbab untuk masuk ke sekolah atau kantor pemerintah.
Di Jerman pun, para pejabat pemerintah, tokoh partai, dan media massa, saling mendukung dalam memberlakukan kondisi dan aturan diskriminatif dan tidak demokratis. Jerman yang menganut paham demokrasi liberal itu, kini malah menghalangi kebebasan warga negaranya dalam berpakaian sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Di Belanda, seorang sutradara Belanda bernama Theo Van Gogh telah memproduksi sebuah film berjudul “Submission”. Di dalam film itu diceritakan tentang perempuan berjilbab yang ditindas oleh keluarganya. Film itu juga menggunakan ayat-ayat al-Quran mengenai perempuan yang diputarbalikkan maknanya. Tak heran bila kaum muslimin Belanda sangat marah dan tersinggung atas film tersebut. Awal bulan November 2004, Van Gogh tewas terbunuh dan kejadian itu memberi kesempatan kepada pemerintah Belanda untuk menangkapi kaum muslimin dan melancarkan propaganda anti Islam yang meluas.
Pemerintah Eropa adakalanya mengambil langkah-langkah yang tidak masuk akal dalam berhadapan dengan Islam. Sebagai contoh, Menteri Pembaharuan Italia beberapa waktu yang lalu menyerukan agar masjid-masjid di negara itu ditutup. Alasan yang dikemukakan oleh menteri Italia itu adalah karena masjid menyebarkan terorisme. Padahal penutupan masjid dan tempat-tempat ibadah agama samawi lainnya jelas bertentangan dengan undang-undang internasional dan prinsip kebebasan beragama.
Ironisnya, meskipun pemerintah Eropa melakukan kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam di benua itu, namun merekapun tak segan-segan melancarkan tuduhan anti HAM kepada negara-negara lain. Padahal, justru kebijakan negara Eropa kepada umat Islam-lah yang sesungguhnya merupakan pelanggaran atas HAM. Namun, aksi-aksi musuh-musuh Islam itu memang tidak akan pernah berhenti dan hal ini telah dicantumkan dalam al-Quran, surat Mumtahanah ayat dua yang artinya sbb. ”Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakitimu dan mereka ingin supaya kamu kembali kafir.”
Perilaku mereka sebenarnya lebih bersumber dari rasa ketakutan yang besar terhadap Islam. Sehingga kebijakan pemerintah eropa dan aktifitas kalangan media cenderung memojokkan Islam. Bahkan mengklaim agama ini sebagai sumber terorisme. Padahal ketakutan yang tak beralasan ini malah membuat Islam lebih berkembang dan tersebar diseantoro dataran eropa. Senjata yang mereka gunakan untuk memerangi dan menindas Islam, malah berbalik dan menusuk tubuh mereka sendiri.
Tak mustahil, kelak disuatu masa dataran Eropa akan menjadi negeri-negeri muslim. Berbondong-bondong masyarakat mengakui Islam sebagai agama pembawa rahmat dan kasih sayang. Mereka kalangan Islamphobia pun sedikit demi sedikit akan punah dan binasa ditelan ketakutan yang mereka buat sendiri. Walau mereka tak akui sekarang, tapi kelak merekalah yang akan berteriak: we confess it...!!!. (Islamabad, 31 Maret 2008. Refleksi tulisan A Confession by Hamdan Maghribi).

Saturday 29 March 2008

A CONFESSION

“Kita hidup dibawah naungan teror”, demikian kata Barat menuding rangkaian teror yang ditebar kaum ‘fundamentalis’ melalui gelombang teror dari runtuhnya menara kembar WTC di New York, bom bunuh diri di Bali, hingga peledakan kereta api di madrid. Untuk memahami kemerosotan hubungan tiga arah Yahudi, Islam dan Kristen yang semakin menunjukkan kemerosotannya dengan munculnya berbagai sikap intoleran dan curiga, kita harus menelusuri kembali dan menguji asal usul sejarah dan perkembangan tiga agama besar di dunia ini dan bagaimana proses perubahan hubungan antara ketiganya. Para Islamolog menemukan bahwa dalam Islam terdapat trdisi toleransi yang termanifestasi secara de jure dan de facto terhadap keyakinan atau agama yang lain. Dalam kitab suci Al qur’an, umat Kristiani dan Yahudi di sebut sebagai ahli kitab diperlakukan dengan penuh hormat dalam nuansa toleransi sepanjang sejarah kekuasaaan Islam. ahli kitab dengan segala keyakinan dan keimananya sama seperti Islam, muncul dari sumber wahyu spiritual. [1] Lebih lanjut lagi, sejarah mencatat kontribusi Islam dalam perkembangan peradaban Barat sangatlah kuat.
Bermula dari penghancuran dramatis kota Jerussalem oleh tentara Romawi pada 70M, hampir seluruh keturunan Yahudi dengan berberat hati kabur menyelamatkan diri ke berbagai daerah di Eropa hingga Jordan selama masa pegasingan. Ajaran merekapun mulai menyebar disamping kristen koptik yang pada waktu itu sedang dilanda perang teologi tentang kemanusiaan Jesus. [2]
Pasca pengasingan tersebut, tepatnya tahun 570 M Rasulullah lahir, beliau sepenuhnya yakin akan kebenaran ‘utusan Allah’ yang disandangnya sebagai penerus ajaran-ajaran terdahulu. Beliau datang untuk merekonstruksi pondasi keyakinan agama yang telah mengalami berbagai distorsi dan manilpulasi. Berbeda dengan Kristen yang selalu penuh hasrat menekan agama lain, Islam dari awal datangnya bersama Rasulullah senantiasa menekankan betapa pentingnya toleransi antar agama, yang kemudian berdampak dengan kedamaian harmonis antara tiga agama samawi tersebut dibawah naungan hukum Islam. Yahudi sebagai cotoh, disaat penganutnya menghadapi dua dilema antara mati atau hidup sebagai warga kelas rendah di Eropa, menikmati kekayaan budaya dan keyakinan mereka dengan leluasa, demikian juga Kristen dipersilahkan untuk menjalankan ritual agama sebebas bebasnya dibawah naungan Islam. Berbagai aliran spiritual dalam Yahudi dan Kristen termasuk paham Kaballah disinyalir muncul dengan penuh gairah dalam atmosfir kerukunan beragama dimasa Islam berkuasa.[3]
Pengaruh Islam Spanyol terhadap perkembangan Barat modern tidak bisa dipungkiri. Berbagai institusi mutakhir kala itu di Andalusia merupakan ide awal dari munculnya universitas sekelas Oxford dan Cambridge di Inggris.[4] Di saat para bangsawan Eropa masih berkutat dalam monarki absolut, Islam telah menjadi rumah singgah yang nyaman bagi para filosof, ilmuwan, penyair, matematikawan dan astronom.[5] Islam dispanyol juga memberikan warisan arsisektur dan peninggalan karya seni yang berlimpah. Literur-literatur mengenai filsafat, logika, matematika, arsitek dan seni tersebut diterjemahkan dari bahasa Arab bukan bahasa Yunani atau Suryani. Pola pikir yang modern dari ilmuan muslim kemudian merayap menyelusuri pemikiran para ilmuwan teolog Kristen di Barat dalam menentukan modelnya.[6] bersamaan dengan filsafat dan matematika Islam juga membawa ilmu kedokteran dan arsitek yang merupakan buah dari perpaduan spiritual-intelektual Islam dimana wahyu menjadi panutan.
Ssegala hal tersebut diatas tiba-tiba menjadi kontras apabila subjeknya diganti dengan Kristen. Hal ini tampak dengan jelas bagaimana brutalnya inkuisisi dan gaya opressif gereja yang mengaku sebagai ‘jelmaan tuhan’ pasca disalibnya jesus, hal serupa juga tercatat jelas dalam lembaran sejarah dimasa perang salib. Disaat para ksatria Kristiani secara keji menyembelih ‘infidel’ setelah mereka menguasai jerusalem, Islam justru memberikan ruang penuh aroma ‘enlightment’ dan buaian intelektual yang menaungi para ‘infidel’ tersebut. Spanyol bukan hanya satu-satunya jembatan tradisi antara Kristen dan Islam. penaklukan Islam atas sicilia dan berbagai tempat lainnya merupakan lahan subur dalam proses perkawinan budaya tersebut.
Dalam kehidupan yang serba rumit sekarang ini, dimana agama dan tradisi islam diserbu beragam tuduhan pejoratif dari berbagai penjuru, harusnya Barat sadar, mengingat dan mengakui bagaimana mereka dimasa tirani intoleran Kristen (baca: gereja), begitu berhutang pada wawasan spiritual dan tradisi islam berupa toleransi agama, penghormatan luar biasa terhdap segala bentuk kegiatan ilmiah, konsep persaudaraan yang masih sangat relevan hingga saat ini. Barat telah mendapat pelajaran berharga oleh Islam di Spanyol, disaat Eropa dalam kegelapan dibawah opresi gereja dan intoleransi beragama, kejumudan pikiran dan penganiayaan intelektual. Confess it!
Albi HI-141 290308
[1] Goodwin, Geoffery, Islamic Spain, hal. 8-9
[2] Armstrong, Karen, History of Jerussalem, hal. 153
[3] Armstrong, Karen, Muhammad, hal 22-23
[4] Ahmed, Akbar S, Discovering Islam, hal. 4
[5] Goodwin, Geoffery, Islamic Spain, hal. 5

[6] Wallace Murphy, What Islam Did for Us, hal. 3

Thursday 27 March 2008

FIGUR

Manusia dengan segala kelebihan yang dianugrahkan Tuhan tidak dipungkiri juga memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan yang beragam antara yang satu dan lainnya, sesuai dengan kualitas dan kuantitas masing-masing dalam mengasah dan mengasuh bekal utama akal dan penyeimbang, hati nuraninya. Dengan ragam dan corak kelebihan serta kekurangan tersebut manusia memiliki fitrah untuk saling memberi dan menerima, madaniyyun bi al tab’i demikianlah para ilmuan muslim klasik menyebutnya. Hal ketergantungan tersebut semakin terasa dalam masa dimana para penghuni bumi semakin berjelal dan penuh sesak saat ini.
Berbagai fenomena yang melanda dunia –khususnya dunia ketiga, lebih khusus lagi umat Islam- tak luput dari slogan ketergantungan tadi, hanya saja secara jujur harus diakui porsi take and givenya penuh ketimpangan, betapa negara dunia ketiga begitu tergantung dengan bangsa adikuasa. Hal tersebut akhirnya membuat kaum muslim semakin ber’suka rela’ menghunjamkan cengkeraman sang ‘pemberi’ kedalam tubuhnya. semenjak runtuhnya Khilafah, dari generasi ke generasi umat Islam semakin memperlihatkan mental ketergantungannya. Ditambah lagi dengan lunturnya berbagai figur Islam dalam berbagai ranah sosial, ekonomi, budaya, pemikiran, bahkan agama. Betapa generasi sekarang lancar dan fasih dalam melafadzkan nama semisal Emile Durkheim, Marx, Hegel, Kant, Descartes, Ricouer, Faucoult, Wittgeinsten, Ernest Gelner, Kuhn, Rosseau dan segudang nama lainnya namun merasa heran dan asing mendengar nama para sahabat, Ibnu Khaldun, al Farabi, Ibnu Rushd, al Kindi, Ibn Rabban, Jabir Ibn Hayyan, Imam Syafi’i dan nama-nama tokoh muslim lainnya. Sudah hilangkah identitas kita?
Tak ada salahnya memang memahami dan mempelajari pemikiran para tokoh yang tersebut diatas, bahkan bagi penulis hukumnya adalah wajib, tapi apakah dengan itu kita harus melupakan khazanah klasik dengan kekayaan intelektualnya yang berlimpah? dalam hal ini rasionalisasi turats yang sering dikemukakan Hasan Hanafi patut mendapat perhatian yang proporsional. Agar kita ‘nyambung’ dengan sejarah identitas kita sebagai muslim, karena kita yang sekarang ini tidaklah wujud dengan serta merta dalam ruang hampa, tapi melalui proses sejarah yang panjang.
Moment Maulid Nabi atau Sirah Conference merupakan waktu yang tepat untuk merenungi berbagai dekadensi yang terjadi dalam umat Islam, sekaligus mencari solusinya. Karena salah satu penyebab utama kemunduran adalah hilangnya sosok dan figur Rasulullah yang ‘utuh’ dalam diri umat. ‘Yang utuh’, karena selama ini peringatan tahunan yang semakin marak itu, hanya sebatas kulitnya saja, kurang begitu bisa mengambil esensinya. Sebagian golongan melihat Rasulullah sebagai figur agung yang sangat suci, hingga melupakan unsur kemanusiaannya, golongan yang lain juga secara radikal berteriak dan menuduh golongan pertama telah menuhankan dan mengkultuskan Rasulullah secara berlebih, mereka mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah sosok manusia biasa seperti kita yang tak luput dari dosa dan patut dikiritisi, mereka beralasan, dengan kritik tersebut justru akan menghadirkan sosok rasulullah yang ‘hidup’ dan manusiawi. Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap?
Setiap manusia membutuhkan figur, teladan dan panutan. Hal ini merupakan keniscayaan, sesuai dengan fitrah manusia. Namun cara kita beradaptasi dengan figur tersebut harus proporsional sehingga tidak akan melukai sang figur dan menyakiti diri kita sebagai pendukungnya. Bukti tersebut bisa kita lihat dimana-mana, misalnya, lihat bagaimana rakyat indonesia begitu mengagungkan figur Gusdur sebagai presiden idaman pasca lengsernya suharto. Rakyat Indonesia kemudian tergoda untuk memproyeksikan segala impian dan utopia kepadanya. Akhirnya Gusdur tak ubahnya seperti totem yang akan disembelih sebagai penebus politik akan kondisi riil yang penuh ketimpangan. Justru sekarang sikap rakyat berbalik mengagung-agungkan Suharto dengan segala ketentraman dan kenyamanan hidup kala meraka dibawah kekuasaannya. Hal ini mengingatkan kita pada figur Soekarno, disaat akhir masa jabatannya hampir semua lapisan masyarakat ‘mencemoohnya’ namun kemudian mendewakannya sedemikian rupa.
Islam tidak mengenal mistifikasi figur sebagimana yang tersebut diatas, bahkan figur Rasulullah sekalipun. Sikap Abu Bakar menenangkan para sahabat ketika Rasulullah wafat perlu kita contoh bukannya Umar yang dengan berang ingin menebas pembawa berita kematian Rasulullah. Menjadikan Rasulullah figur dan teladan bukan berarti berkeyakinan bahwa beliau masih hidup dan akan hadir di tengah kita atau dengan bernyanyi dan menari sepanjang malam sebagaimana yang dilakukan sebagian golongan, namun menjadikan beliau figur dan tauladan adalah dengan menghadirkan akhlak, sikap dan perilaku beliau dalam diri kita dan kehidupan sehari-hari kita. Marilah kita jadikan figur Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam

Tuesday 4 March 2008

MENYANDINGKAN ULAMA DAN UMARA

MENYANDINGKAN ULAMA DAN UMARA
Hamdan Maghribi
Mendudukkan agama(ulama) dan pemerintah(umara) dalam sebuah bingkai tatanan dan sebuah sistem yang terpadu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam diskursus perpolitikan, dua buah entitas tersebut selalu berada dalam ketegangan yang berujung pada perdebatan yang rumit sepanjang sejarah manusia. Bermacam wacana tentang kedaulatan muncul dari arena perdebatan kedua elemen penting dalam bermasyarakat tersebut.
Ada paham teokrasi, yang menyatakan kedaulatan penuh ditangan Tuhan. Faham ini menginginkan agar Tuhan(yang termanifestasi dalam bentuk golongan “elit agama” ) yang menyelesaikan berbagai macam realitas, termasuk negara. Pengelolaan sebuah negara harus murni bersumber dari teks-teks suci tanpa ada andil nalar manusiawi. Faham ini bersumber dari faham teosentrisme yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu. Muncul kemudian faham demokrasi yang menuding faham teokrasi telah menuhankan golongan elit agama, mereka buta dan acuh terhadap berbagai realita bahwa manusialah yang lebih berhak mengatur dirinya sendiri, toh Tuhan juga menganjurkan penggunaan nalar untuk mengejawantahkan berbagai tema langit yang sulit untuk dicerna termasuk dalam hal bernegara. Faham ini melihat bahwa manusialah yang harus menjadi pusat. Bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat merupakan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam teori ini agama dipandang sebagai urasan pribadi yang tidak boleh diseret kedalam ranah publik. Bahkan negara harus bisa “menjinakkan” agama agar tidak mengintervensi wilayah publik.
Melihat kedua faham diatas yang saling menafikan satu dan lainnya, Abu al A’la al Maududi datang dengan membawa faham yang ingin menyandingkan kedua faham diatas, teori yang kemudian dikenal dengan teo demokrasi ini secara sederhana adalah faham kedaulatan yang berada ditangan Tuhan dan manusia sekaligus. Meskipun sebuah negara yang dalam pengelolaannya berada dalam hak penuh rakyat (manusia) namun ia tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang telah ditetapkan oleh tuhan dan apabila ada petentangan yang terjadi antara keduanya maka pendapat Tuhan harus dikedepankan dengan keyakinan bahwa ada hikmah diluar nalar manusia yang tidak bisa terjangkau. Hal ini menunjukkan bahwa teori yang dibawa Maududi belum bisa menjadi penengah antar kedua faham sebelumnya, karena teo-demokrasi lebih cenderung kepada teokrasi.
Meski ketiga teori diatas tampak sederhana, namun dalam tataran praktis terdapat beragam kerumitan yang tidak mudah terselesaikan. Karena kecenderungan masing-masing paham untuk menginterfensi satu sama lain. Maka disini dibutuhkan sebuah kerangka berfikir yang utuh dan bijak agar keduanya bisa tertampung secara proporsional, agar umat manusia bisa keluar dari segala macam masalah dan musibah. Menghapus unsur manusiawi dalam bernegara merupakan sebuah kenaifan dan sikap pesimis berlebih, karena hal tersebut sama saja dengan menegasikan eksistensi manusia sebagai objek dalam bernegara. Demikian pula sebaliknya, amat sombong bila manusia dengan berbagai kelemahan dan keterbatasannya ingin menyelesaikan segala realitas kehidupan dengan daya nalarnya tanpa memberikan porsi bagi sang pencinta nalar tersebut. Lantas bagaimana kita (umat Islam) menyikapi hal tersebut? Haruskah kita libatkan agama dalam ranah politik dan meniggalkan negara untuk meneguhkan agama? Ataukah ada cara untuk memadukan keduanya? Kalau ada apakah batasan-batasannya?
Dewasa ini banyak umat Islam yang berfikir bahwa jika aspek politik bisa direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. pendapat ini bisa dibilang sebagian benar tapi kurang sempurna. memang kekuasaan politik adalah bagian penting dari permasalahan umat. karena daulah merupakan pendukung perkembangan agama. Ini tidak hanya dibuktikan oleh Islam, namun juga agama-agama lain. Sebagai contoh mari kita lihat agama Kristen yang berkembang dengan demikian pesatnya di Eropa tak bisa dipungkiri merupakan jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan dekrit 'edict of milan' dan Kaisar Theodosius yang kemudian menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi. Demikian pula halnya dengan agama Budha yang tidak terlepas dari campur tangan Raja Ashoka. demikian pula dalam agama-agama lain, sulit untuk memisahnya dengan kekuasaan, sama halnya dengan ideologi, ideologi juga tak lepas dari campur tangan penguasa (contoh: marxisme, kapitalisme, sosialisme dsb), Eksistensi dan perkembanganya sangat ditopang oleh kekuasaan. Komunisme kehilangan pamor setelah Sovyet runtuh. kapitalisme juga 'sepertinya' akan sulit meneguhkan eksistensinya jikalau suatu saat Amerika ambruk mengikuti jejak Sovyet.
Tapi, perlu kita catat disini, bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Sejarah mencatat banyak pemikiran, keyakinan, attitude dari masyarakat yang tidak sejalan dengan penguasa. Peran ulama disamping umara (kekuasaan) juga memegang peranan yang tak kalah pentingnya, keduanya harus diselaras-harmonikan. Para aktivis politik harus mempunyai pemahaman yan benar tentang agama (Islam). Jika tidak mereka nantinya akan menjadi perusak Islam yang signifikan. Jadi -menurut saya- tidaklah benar apabila dalam perjuangan Islam kita mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Kesemuanya harus pada posisi masing-masing secara proporsional. Itulah namanya adil. Contoh riil adalah teladan baginda rasul SAW yang memulai dakwah dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentan konsep-konsep dasar dalam Islam. Afkar(pondasi pemikiran) mafahim(pemahaman) maqayis (standar-standar nilai) dan 'ketundukan' yang Islami ditanamkan secara kokoh kepada para sahabat waktu itu. Akhirnya mereka bisa tampil sebagai sosok ulama-cendekiawan yang handal dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dibuka lembaran sejarah bagaimana hebatnya argumentasi Ja'far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan raja najasyi dan kafir quraisy di Mekah. Ja'far yang terjepit dan terdesak oleh serangan kafir minta perlindungan raja najasyi yang kristen, beliau mampu menguraikan argumen yang canggih seputar masalah Kristen dan Isa yang menjadi titik sentral kontroversi dalam Islam dan Kristen.
Jadi kesimpulan yang bisa diambil, dalam menghadapi problematika saat ini kita harus bijak, dan bisa mensinergikan berbagai aspek; keilmuan, kejiwaan, kebendaan dan lainnya. Jadi kekuasaan bukanlah satu-satunya sarana (tapi bukan berarti harus menafikan secara mutlak atau mengurangi esensinya yang signifikan), harus ada sinergi antara 'ulama-umara' sehingga kaum muslim bisa kembali mengukir kejayaannya. (albi)
wallahu a'lam.