tag:blogger.com,1999:blog-12752475193785010302023-11-15T07:52:15.938-08:00SEEK THE TRUTHwe should not make the intellect our God. it has, of course powerful muscles but no personality, it cannot lead it can only serveHamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.comBlogger68125tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-90201148064470249022008-12-17T01:49:00.000-08:002008-12-17T01:50:40.267-08:00Pakistan, Negara 'Unik' Penuh Polemik<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CUsers%5CHAMDAN%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span style="" lang="IN">Pakistan is a disfunctional state,</span></i><span style="" lang="IN"> demikian tutur Tariq Ali, penulis yang sosialis dan juga jurnalis kawakan senior Pakistan. Berdirinya Pakistan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mayoritas elite politik India kala itu, bahkan mayoritas menyatakan bahwa Pakistan adalah <i>unexpected state</i>. Berdirinya Pakistan bermula dari kalangan intelektual muslim di India yang kemudian mendirikan partai Liga Muslim yang di nahkodai oleh M. Ali Jinnah. Berakhirnya perang dunia kedua mempunyai ‘berkah’ tersendiri bagi India kala itu. Moment tersebut di gunakan Gandhi untuk meminta kedaulatan penuh dari Inggris dan Ali Jinah tak ketinggalan ’merayu’ agar rakyat muslim bisa lepas menjadi negara Pakistan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Sejak awal Pakistan berdiri, sudah terjadi kontradiksi struktur pembagian wilayah antara West Pakistan dan East Pakistan yang jaraknya lebih dari 1000 mil, mereka sungguh berbeda latar belakang, entah bahasa, etnis dan suku, hanya faktor agamalah yang menyatukan mereka, meskipun ada banyak jga perbedaan dalam ranah fiqhnya. Bahkan di West Pakistan<i>pun</i> (sekarang Pakistan) permasalahan etnis masih sangat kental, belum ditambah dengan fenomena sektarian yang menyeramkan, semakin <i>klop</i> aroma perpecahan yang ada. Hal ini amat berbeda dengan India, yang meskipun memiliki lebih dari 36 bahasa dan terdiri dari bermacam suku mereka masih dengan bangga mengatakan <i>I’am Hindustani</i>. India lebih kuat semangat nasionalismenya dibanding Pakistan. Hal inilah yang banyak dikritisi oleh pengamat luar maupun lokal yang kemudian menyatakan bahwa Pakistan adalah negara ’kutukan’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Muncul juga kemudian beberapa pernyataan bahwa berdirinya Pakistan ’mirip’ dengan Israel, karena keduanya berdiri atas landasan <i>religious identity</i> Pakistan dengan identitas Islamnya dan Israel dengan Yahudinya. Yang secara kebetulan, menurut banyak laporan bahwa keseharian para elite politik awal mereka tidak mencerminkan landasan idiologi negara yang di perjuangkannya. Menurut Tariq Ali, banyak laporan yang menyatakan bahwa Ali Jinah adalah seorang atheis, <i>non-believer,</i> ada juga yang menyatakan kalau dia penganut faham syi’ah. Mereka hanya menggunakan kedok agama untuk penguatan kedaulatan untuk menancapkan <i>status quo</i>nya. Uniknya lagi, pernyataan bahwa Pakistan ’sama’ dengan Israel keluar dari mulut pemimpinnya Ziaul Haq yang mengatakan <i>’Pakistan is like Israel and want to be Israel’</i> entah apa maksud isi kepala sang president waktu itu sehingga terlontar kalimat kontroversial tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Tentang kemandirian, Pakistan amat jauh dari kesan itu. Dari awal berdirinya sebagai ’hadiah’ dari Inggris, kemudian perjalanan politiknya yang selalu dibayangi oleh hegemoni Amerika. Sejak perang dingin hingga detik ini Pakistan selalu berlindung dibalik wajah garang Amerika. Sejarah tidak pernah berbohong. Ketika amerika yang waktu itu di bawah kendali Carter merupakan donatur utama dalam mencetak para ’teroris’ generasi pertama. Buku-buku panduan jihad radikal dicetak oleh pihak Amerika di Universitas Nebraska dan dibagikan ketiap madrasah di Pakistan. Nampaknya nafsu Amerika ingin membalas dendam -ketika kalah telak di Vietnam dengan membuat kekalahan yang sama pada Soviet dengan Afghanistan- menghalalkan segala macam cara. Sekarang, setelah Soviet runtuh dan Amerika menjadi satu-satunya simbol kekuatan dunia. Maka dengan arogan menuding propaganda terorisme dengan ikon Usamah bin Ladin dan al qaidahnya sebagai target utama. Dan lagi-lagi usaha ini diamini oleh ’anak manis’nya, Pakistan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dalam menangani masalah kemiskinan dan kesehatanpun pemerintah pakistan terkesan acuh tak acuh. Terlihat dari besarnya dana yang digelontorkan untuk kepentingan meliter ditambah juga proyek nuklir yang didirikan sejak pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto. Ada penemuan yang mengagetkan dari UNDP berkenaan dengan rakyat di Pakistan. Tercatat dalam 10 tahun terakhir 60% bayi yang lahir di pakistan dinyatakan <i>stunted</i> (kerdil, menyusut tingginya dari tinggi rata-rata) ini menandakan buruknya gizi dan kesehatan mayoritas masyarakatnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dalam hal kesejahteraan dan keadilan, Pakistan yang ’berlandaskan’ Islam justru kalah dengan India dalam <i>land reform,</i> reformasi kepemilikan tanah dari <i>lanlord</i> (tuan tanah). Jadi bisa dibayangkan betapa tingginya ketimpangan yang ada di Pakistan hingga saat ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dulu, para pengamat sempat menaruh harapan kepada Zulfikar Ali bhutto yang melakukan perubahan radikal dengan mendirikan PPP yang mengagendakan <i>modern social democratic state</i> dan mendapat dukungan luar biasa dari rakyat. Namun hal tersebut tinggal slogan tanpa makna setelah akhirnya Bhutto meninggal di tiang gantungan. Anehnya lagi, tak seorang pun dari pendukungnya yang turun kejalan untuk menolak hukuman tersebut, mungkin karena takut atau merasa terlalu mahal untuk mengorbankan keselamatan jiwa hanya untuk seorang Zulfikar, entahlah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Mengenai perseteruan ’abadi’ dengan India yang saat ini telah memulai ’perang’ pernyataan tentang isu terorisme dan radikalisme terkait berbagai tindak anarkisme di kedua belah pihak. Proyek nuklir dan militerpun dijadikan sebagai ajang ’unjuk kekuatan’ pada tetangga. Sehingga prioritas fundamental dalam penanganan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan terabaikan. Tak satupun rezim penguasa Pakistan bisa menangani masalah pokok ini. <i>Musharraf and the gang</i> juga dinilai sama mandulnya dalam hal tersebut, <i>they are living under the illusion</i>, mereka hidup dalam bayang-bayang ilusi dan ketergantungan terhadap Amerika. Pengangkatan Shaukat Aziz sebagai Perdana Menteri waktu itu disinyalir lebih cenderung karena kedekatannya terhadap Amerika, sehingga dia bisa dijadikan alat untuk merayu Amerika, bukan karena harapan akan kontribusinya terhadap rakyat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Belum lagi masalah ‘terorisme’ yang sekarang sudah terlanjur menjadi isu global. Anehnya pemerintah selalu menyalahkan madrasah tanpa mengadakan reformasi sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan tingginya angka kemiskinan dan banyaknya populasi -satu keluarga rata-rata memiliki 6 anak-. Ingin menyekolahkan susah mencarikan nafkah juga payah. Akhirnya ketika para <i>mullah</i> datang dan meminta anaknya untuk disekolahkan dan dibawa ke madrassah mereka menyerahkannya. <i>At least to get something</i>, mungkin demikian pikirnya tanpa ada kekhawatiran akan kelangsungan anak tersebut nantinya, mau dicetak jadi ‘mesin’ peledak bom atau ‘alat’ radikalisme yang lain. Dan sekali lagi ini bukan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap mesin penghadang teroris, namun lebih kepada kebutuhan fundamental sebuah masyarakat berperadaban, yaitu ekonomi, kesehatan dan pendidikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">President yang terpilih sekarang pun tak jauh dari catatan-catatan kriminal tingkat tinggi, dari tuduhan pembunuhan saudara iparnya hingga isu korupsi yang memberikan dia gelar <i>‘Mr. Ten Percents’.</i> Melihat pentas politik Pakistan tak ubahnya dengan film yang diangkat dari komik yang penuh ‘lelucon’ yang tak lucu. Bagaimana tidak, lihat saja wasiat Benazir Bhutto yang menyatakan bahwa anaknya Bilawal yang masih belasan tahun umurnya di baiat sebagai ketua partai seumur hidup! Dan roda kepengurusan partai di urus sang suami yang sekarang menjabat sebagai president Pakistan. (what’s on the earth going on here!) <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Belum lagi polemik berkepanjangan di NWFP yang sudah amat akut. Yang begitu kuat memegang agama (tradisi?) dengan begitu ekstremnya. Bisa kita cek diberbagai media cetak nasional maupun lokal bagaimana mereka membakar sekolah khusus wanita dan berbagai aksi teror yang lain. Pakistan......memang negara yang ‘unik’ sekaligus penuh polemik. (to be concluded)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Albi, 171208/14:30<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">*tulisan ini bukanlah analisa pelik terhadap geopolitik Pakistan, namun hanya sekedar refleksi penulis terhadap fenomena yang tercerna dalam memory kecilnya melalui berbagai ‘media’.<o:p></o:p></span></p>
<br /><span class="fullpost">
<br />
<br />
<br /></span>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-74920363867891082132008-12-15T23:54:00.000-08:002008-12-15T23:58:17.363-08:00urgensi identitas dalam meretas jalan komunikasi<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CUsers%5CHAMDAN%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Pendahuluan</p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa komunikasi mempunyai urgensitas yang sangat substansial dalam kehidupan universal. Bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya dunia tanpa adanya elemen komunikasi. Muculnya buruk sangka dan perasaan penuh curiga akan selalu menemani roda peradaban manusia. Komunikasi merupakan elemen penting dalam ruang lingkup bermasyarakat bahkan dalam ruang yang paling sempit sekalipun dalam berkeluarga. Keharmonisan dan kerukunan amat bergantung dengan elemen yang satu ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Islam yang berperan sebagai agama penutup dan pelengkap rentetan agama samawi melihat pentingnya kesadaran umat untuk memahami dan melaksanakan komunikasi. banyak ayat al Qur’an dan juga Hadist yang menganjurkan kita untuk selalu menjalankan komunikasi dalam ragam ranah kehidupan. Baik bersosial, bermasyarakat bahkan ibadah vertikal. Islam selalu menganjurkan untuk menggunakannya bukan hanya <i>man to man relation</i> namun juga <i>man to God relation</i>. Yang bermuara pada konsep <i>tauhidi</i>. Islam menolak dengan keras dikotomis ritual dan ibadah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Namun sayang, keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam tidak berjalan pararel dengan pemahaman dan pelaksanaan umatnya. Sehingga terkesan betapa Islam menjadi ‘negeri dongeng’ yang utopis. Sehingga umat Islam yang membayangkan dan mencita-citakan kehidupan islami rasulullah dan zaman keemasan Islam di Baghdad di anggap apologetik yang ahistoris dan apolitis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Hal inilah yang kemudian ditakutkan oleh sebagian cendekiawan muslim, bahwasanya akan muncul -dari miskomunikasi (dalam arti yang seluas-luasnya) umat terhadap saudaranya seiman dan juga teks ilahi- faham dan aliran yang ekstrem, jumud, kaku dan rigid. Meskipun dari kuantitas amatlah minim namun kelompok ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang tinggi. Ditambah dengan sikap Barat yang phobia terhadap Islam dan selalu membenturkan Islam dengan peradaban Barat, dan menuding Islam sebagai <i>common enemy</i> yang berbahaya pasca perang dingin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Artikel ringkas ini tidak bemaksud untuk membahas satu persatu problematika umat secara holistik dan proporsional dikarenakan ruang dan waktu yang sangat terbatas dalam artikel ini. Tulisan ini hanya memfokuskan tentang makna fundamental dari komunikasi dalam Islam sehingga bisa terjalin silaturrahim dalam hubungan antar sesama muslim, antar umat dan hubungan dengan Allah swt.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="" lang="IN">Relasi antara Identitas dan Komunikasi<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pertama-tama penulis ingin membawa kepada beberapa contoh riil dilapangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hampir bisa dikatakan bahwa tak seorangpun manusia di bumi ini yang terlepas dari arus globalisasi. Sehingga silaturrahmi dunia maya pun sudah tidak bisa dihindarkan. Banyaknya <i>blog</i> dan <i>milist</i> yang bertebaran merupakan bukti bahwa telah muncul arena sosialisasi baru. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Bila kita aktif dalam dunia maya, atau paling tidak bergaul dengannya kita akan mudah menemukan ragam komentar dan diskusi. Bila kita sedikit teliti dalam mengikuti alurnya akan kita temukan begitu banyak ungkapan yang penuh emosi dan caci maki apabila ada pendapat yang dianggap keluar dari rel konvensional. Biasanya komentar yang ‘nggak jelas’ itu muncul dari individu yang menyembunyikan identitasnya atau dibelakang nama samaran. Sehingga dia berani melontarkan kata-kata yang tak bertanggung jawab.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dari fenomena tersebut terlihat adanya pola yang beraksi dengan konsisten dalam berbagai kasus, semakin kabur identitas yang terlibat dalam komunikasi virtual, semakin besar kemungkinan untuk menimbulkan paraktek komunikasi tak bertanggung jawab. Sebaliknya, apabila identitas pesertanya jelas, kemungkinan komunikasi tak bertanggung jawab itu akan sedikit sekali kemungkinananya. Kalau tidak bisa dibilang hilang sama sekali. Karena dengan identitas yang jelas komunikasi akan terkontrol. Ada semacam tuntutan etika yang mewajibkan kedua pihak untuk saling menjaga etika dalam bersilaturrahim.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ketika mengendarai kendaraan, banyak dari pengemudi yang dengan seenaknya melontarkan kata-kata tak beradab bila merasa haknya sebagai pengguna jalan telah dilanggar oleh pengemudi lain. Hal inipun besar kemungkinan karena tidak adanya ikatan emosional sebagai individu yang saling kenal. Dan masih contoh lain.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dari dua contoh diatas, penulis berkesimpulan bahwa salah satu faktor tersebut adalah absennya identitas. kaburnya identitas dalam individu memberikan dorangan untuk melakukan hal-hal yang diluar etika manusiawi. Semakin kabur identitas seseorang akan semakin berani ia dalam bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Apabila kita bawa contoh dan kesimpulan tadi kedalam ranah dan ruang lingkup yang lebih luas, kita akan menemukan relevansinya dalam kehidupan sehari hari kita sebagai makhluk universal. Dan kalau kita mau sedikit berkontemplasi tentang ajaran Islam, kita akan menemukan jawaban dan solusinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Konflik intra dan antar umat beragama merupakan contoh riil dalam fenomena kontemporer. Selalu ada rasa was-was dan buruk sangka antar umat, bahkan dalam kesatuan umat itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh hilangnya identitas dan keengganan suatu kelompok untuk memahami identitas yang lain. Dengan berlandaskan pada dalil-dalil agama yang diinterpretasikan dengan kaku, akhirnya segala aktiftas kemanusiaan yang dilakukan dengan umat lain atau kelompok yang berbeda pendapat selalu ditemani dengan perasaan curiga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Maka konsep silaturrahim yang dibangun atas komunikasi tak bertanggung jawab dan pengkaburan identitas harus kita rubah secara radikal. Karena hal tersebut sama sekali tidak mendapatkan legalitas dalam Islam. Bahkan Islam sangat mengutuk praktek silaturrahim yang ‘menyimpang’ tersebut. Janganlah kita latah ikut-ikutan Barat yang demi menegakkan hegemoninya harus mencari ‘common enemy’ sehingga bisa selalu waspada. Kita mempunyai aturan-aturan kemanusiaan yang demikian sempurnanya yang tercantum dalam lembaran-lembaran al Quran dan Hadits nabi. Namun perlu diingat, lembaran tersebut tidaklah untuk di interpretasikan secara literal saja, harus ada upaya kontekstualisasi dengan syarat berlandas kepada acuan-acuan yang sudah ditetapkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="" lang="IN">Kesimpulan<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Dari uraian diatas kita mendapatkan sedikit gambaran tentang arogansi sebuah peradaban yang muncul dari kebencian atas dominasi agama dan muncul dari spekulasi penuh humanisme yang materialistik dan positivistik. Sebagai umat Islam kita tidak boleh latah serta merta dengan melihat progresifitas fisik-material mengikuti apa saja dari pemegang hegemoni tersebut. Sebagaimana yang dilakukan ‘pembaharu awal islam’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Islam tidaklah mengenal arogansi semacam itu. Islam juga tidak mengajarkan kita slogan-slogan ‘kekerasan’ seperti benturan peradaban (clash of civilization), common enemy dan pandangan dikotomis sebagaimana ideologi mayoritas bangsa Barat. Islam mengajarkan kita ‘dialog’ bukan ‘benturan’, Islam menjadi besar di Barat (Andalus) meskipun secara kuantitas minoritas namun bisa memimpin masyarakat yang multiras dan multikultur. Islam juga mampu berartikulasi dalam dialog antar peradaban dengan adaptasi ‘take and give’ yang berlandaskan pada asas-asas Islam tentunya. Tidak lain hal positif tersebut muncul dari pemahaman dan usaha untuk memahami <i>the others</i> dengan komprehensif sebagaiana yang dianjurkan Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Sudah semestinyalah kita sebagai umat yang besar dengan ajaran universal mampu menghadapi segala tantangan modernitas dan globalisasi. Bukan dengan menghindarinya bukan juga dengan konfrontasi namun dengan dialog yang islami. Namun hal ini bisa terwujud kalau kita mulai dari dini dan dalam hal yang paling sederhana dalam lingkungan kita. Dengan membangun dan menguatkan identitas dan menjalin silaturahim dengan komunikasi. Sehingga kesejahteraan universal bisa terwujud dengan Islam yang <i>rahmatan lil ‘alamin.</i><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="" lang="IN">Wallahu a’lam<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Albi, Rawal Town 13:00/121208<o:p></o:p></span></p>
<br /><span class="fullpost">
<br />
<br />
<br /></span>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-3443318114189284562008-09-19T10:51:00.000-07:002008-09-19T10:55:06.884-07:00global pop culture<span class="fullpost">'GLOBAL POP CULTURE'<br />(Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial Budaya?)<br />Alfina Hidayah<br /><br />Pendahuluan<br /><br /> Adalah periode bersejarah bagi perubahan dunia yang sangat cepat dan dramatis semenjak dekade terakhir pada abad ke-20 hingga saat ini, dan proses globalisasi merupakan bagian yang berperan penting dari perubahan tersebut.(1) Globalisasi juga telah memberi warna dan erat hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial; seperti masyarakat, golongan dan budaya.(2) Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang. Fenomena tersebut tidak hanya berkutat dalam urusan politik, ekonomi, agama atau teknologi namun juga mencakup ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas, yaitu sosial dan budaya. Semua komponen tersebut merupakan objek globalisasi yang saling berhubungan satu dengan lainnya, sehingga munculah negara-negara yang berideologi, berbudaya, beretika dan bermoral tunggal yang terangkum dalam sebuah masyarakat global.<br /><br />Globalisasi dan Perubahan Sosial Budaya<br /><br />Dengan tumbangnya Uni Soviet dan Komunisme oleh ‘kekuatan baru’ Kapitalisme, maka Uni Soviet terbagi menjadi beberapa bagian negara-negara baru. Sedangkan negara-negara lain dibelahan timur baru saja berangsur bangkit dari jerat kolonialisme, sehingga mereka masih mengejar keterbelakangan dalam membangun sistem sosial, perekonomian dan politiknya. Dari sinilah globalisasi mulai di perkenalkan. Ia juga berperan penting dalam mengusung paham Kapitalisme ke negara-negara berkembang yang masih mencari jati dirinya. Fenomena tersebut merupakan indikasi atas upaya Barat dalam mengokohkan tancapan hegemoninya terhadap bangsa timur. Adapun maksud sesungguhnya adalah supremasi Amerika atas dunia. Hal serupa juga diungkapkan oleh Roger Gharoudy, orientalis Prancis yang kemudian memeluk Islam dan dikenal sebagai filosof muslim Perancis.(3)<br />Dilihat dari sudut pandang etimologi, 'globalisasi' merupakan sebuah sistem organisasi atau bisnis yang beroperasi dalam skala global,(4) istilah tersebut telah diperkenalkan untuk pertama kalinya pada era 60an yang sebagian besar digunakan dalam konteks Ekonomi. Pada bidang Ekonomi dan Manajemen Sastra, adalah Levitt (1983) yang mengenalkan istilah globalisasi yang tertuang dalam bukunya, Globalization of Markets. Di bidang Sosiologi, ada Roland Robertson yang mengenalkan istilah ini pada tahun 80-an, dan pada studi Media & Budaya, Marshall McLuhan telah memakai istilah 'global village' dalam bukunya Understanding Media di tahun 60an. Kemudian beranjak ke tahun 1990an dimana penggunaan istilah tersebut sangat pesat dan telah menjelma menjadi kosakata harian, tidak hanya diucapkan oleh para akademis dan pebisnis, namun juga telah menyapa media serta sudut kehidupan masyarakat luas.(5)<br />Secara terminologi 'globalisasi' merupakan proses interaksi yang intensif antara individu dan proses integrasi pasar global, yang hasilnya bukanlah suatu kebetulan tapi telah dikemudikan oleh perubahan-perubahan Politik, Ekonomi dan Teknologi tertentu yang menghapus adanya batas-batas antar negara. Menurut Sakiko Fukuda-Parr dalam artikelnya yang berjudul New Threats to human security in the era of globalization, proses globalisasi tidaklah baru, tapi telah muncul sejak tahun 1990an sebagai hasil dari eksistensi tiga kekuatan baru yang menjadi motif dan stimulusnya, yaitu; Liberalisasi Ekonomi, Liberalisasi Politik, Teknologi Informasi dan Komunikasi. (6)<br />Definisi lain yang ditulis oleh Dr. Khalid Abdul Halim As-Suyuti dalam artikelnya 'Al-Hiwaar Baina al Diyanaat al-Tsalas fi 'Asri al- 'Aulamah', bahwa globalisasi merupakan kebebasan dalam menuangkan komoditas, kapitalisme dan berfikir liberal dalam segala aspek kehidupan universal tanpa adanya batas dan ikatan. akan tetapi banyaknya kontroversi didalamnya telah memperkuat bahwa globalisasi tidak lebih dari suatu bentuk 'hegemoni',(7) di mana sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus -yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia dikuasai-. Dengan kata lain, dapat disimpulkan -dari beberapa definisi diatas- bahwa 'globalisasi' adalah sebuah proses tatanan masyarakat universal yang tidak mengenal batas wilayah, dimana suatu tatanan tertentu muncul kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara lain 'yang disadari atau tidak' telah menjadi panutan dan kiblat bagi bangsa-bangsa di penjuru dunia.<br />Banyaknya definisi 'globalisasi' menandakan kesimpang-siuran pengertian dan proses yang rumit, sehingga belum ada barometer yang baku dalam memaknai istilah tersebut. Disamping banyaknya isme-isme yang memiliki kesamaan maksud dengan globalisasi, seperti Westernisasi, Modernisasi, Liberalisasi, Internasionalisasi dll. Akan tetapi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa paham-paham tersebut merupakan bagian dari proses globalisasi, karena semua paham diatas saling berkaitan satu dengan lainnya.<br />Kehadiran globalisasi telah membawa beberapa pengaruh, baik positif maupun negatif dalam setiap aspek kehidupan manusia. Seperti Politik, Ekonomi, Ideologi dan sosial budaya. Adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi pada Politik dan Ekonomi berimbas pula terhadap sosial budaya negara-negara pengusung globalisasi.(8) Proses tersebut biasa dikenal dengan 'global pop culture' yaitu budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau ruang lingkup global. <br />'Budaya' dalam bahasa Inggris disebut Culture, yang artinya adalah: "Setiap seni dan manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif. Termasuk didalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari sekelompok masyarakat tertentu".(9) Sedikit berbeda dengan definisi yang ditulis oleh T.S.Eliot di pendahuluan bukunya 'Notes towards the Definition of Culture', mengenai keterkaitan budaya dan agama, ia mengatakan bahwa Budaya akan muncul sebagai produk dari Agama atau Agama adalah produk dari suatu budaya. Menurutnya, syarat-syarat munculnya Budaya adalah sebagai berikut: yang pertama yaitu 'organik' (tidak direncanakan tetapi tumbuh secara berkesinambungan) dan kemudian melahirkan sebuah tatanan yang dikenal dengan 'Strata Sosial'. Yang kedua yaitu sangat penting bagi suatu budaya untuk dapat diselidiki atau dipelajari, memiliki letak geografis tertentu dan memungkinkan terbagi kedalam budaya-budaya lokal. masalah yang akan muncul kemudian adalah problem 'Regionalisme'. Yang ketiga yaitu keseimbangan kesatuan dan perbedaan dalam Agama, yang mana hal tersebut merupakan universalitas doktrin dengan ritual dan kebaktian keagamaan tertentu.(10)<br />Sedangkan Budaya dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah, bentuk plural dari kata Buddhi (budi atau akal) yang maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayan merupakan sarana hasil karya, rasa dan cipta suatu masyarakat. Dapat kita simpulkan bahwa budaya itu bersifat abstrak, karena ia adalah sistem pengetahuan yang didalamnya terdapat ide dan gagasan-gagasan pikiran manusia. Akan tetapi bentuk perwujudannya adalah berupa ‘benda-benda’ yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang berbentuk materi dan nyata.(11)<br />Perihal perubahan dan perkembangan sosial budaya, hal itu sangat mungkin terjadi apabila kebudayaan dalam masyarakat tertentu melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Seperti halnya yang terjadi pada sejarah peradaban manusia semenjak peradaban Mesir kuno yang diakui sebagai peradaban tertua di muka bumi ini. Bahwa ia mempunyai pengaruh kuat terhadap peradaban-peradaban belahan lain di dunia seperti Babilonia, Persia, India, Cina dan Yunani (Barat). Pengaruh itu terjadi karena adanya gesekan-gesekan peradaban dan budaya antara masyarakat yang berbeda sehingga secara berangsur-angsur akan menghasilkan perubahan dan perkembangan pada komunitas tersebut(12) Sedangkan perubahan sosial merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam masyarakat yang terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat manusia itu sendiri yang ingin selalu berubah. Menurut Hirschman, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan itu sendiri.(13)<br />Ilmuwan modern juga berbeda pendapat tentang isu-isu perubahan sosial. ada kelompok yang mengacu kepada informasi perubahan sosial dengan memadukan aspek penting terhadap kehidupan sosial. Bahwa setiap masyarakat dan budaya akan melakukan perubahan secara terus menerus, cepat atau lambat. Kelompok ini dipimpin oleh Welbert Mure, yang mengatakan persamaan fenomena perubahan, universalitas dan komunisme. Kelompok lainnya adalah kelompok yang menitik-beratkan pada interpretasi perubahan sosial, dimana muncul ilmuwan-ilmuwan sosial yang ‘diskriminatif’ dalam melihat perubahan sosial dan perubahan peradaban atau kebudayaan, mereka mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan hal yang utama karena ia merupakan perubahan yang membangun masyarakat bersosial.(14) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial adalah: tekanan kerja dalam masyarakat, efektifitas komunikasi dan perubahan lingkungan (alam). Begitu juga perubahan budaya dapat timbul dengan adanya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru dan interaksi dengan kebudayaan lain.(15) Namun faktor-faktor tersebut tampak sedikit 'memaksa' dan sempit, dikarenakan banyaknya faktor lain yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan budaya, seperti ideologi, kepentingan Agama, individu, politik dll.<br /><br />Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya<br /><br /> Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas, tepatnya pada negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya proses tersebut. Diantaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat, sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas, ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia.(16)<br /> Bentuk yang ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasipun bermacam-macam, mulai dari Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (ekspor-impor, penyebaran produk-produk global, dll), hiburan (film, musik), seks bebas, nilai-nilai, gaya hidup dst.(17) Sebagai contoh yang diungkapkan George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society, bahwa McDonald atau jenis fast-food lainnya yang di usung oleh Amerika telah menjadi fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel, aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&Bs dll yang menyebar luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara.(18) Bagaimanapun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi serta budaya warisan nenek moyang mereka. Akhirnya globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran satelit internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal.(19)<br /> Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan konflik sosial di masyarakat non-Barat, yang mana mereka memiliki warisan budaya dan kehidupan relijius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung globalisasi dan kapitalisme.(20) Karena globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku berupa tatanan etika dan selebihnya, yang mana perubahan tersebut acapkali membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada wilayah perkotaan (urbanized area) dimana proses modifikasi baru saja ditembus, seperti yang banyak terjadi di negara-negara ketiga.(21)<br /> Adapun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin dan ilmu pengetahuan dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju. Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat -khususnya anak muda-, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian, potongan dan warna rambut, pilihan hiburan dst. Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidak pedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya.(22)<br />Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat, seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap, berperilaku hingga keberagamaan suatu masyarakat.(23) Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa, maka kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang disebarluaskan oleh globalisasi tersebut.<br /><br />Penutup<br /><br />Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru, ia muncul bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri, baik dalam politik, ekonomi dll. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi budaya, yaitu: (i) secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama masalah tranportasi, komunikasi dan arus informasi. (ii) Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol dan fakta. Meninggalkan dogma-dogma kuno seperti mitos dll, yang digantikan dengan sebuah doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan metode analisis-kritis. Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya.(24) Hal ini dikarenakan adanya bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap syle bentuk budaya tertentu, yang mana cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi budaya yang sangat besar dalam skala dunia.(25)<br />Oleh sebab itu, Budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting yang dimiliki oleh suatu bangsa, jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang; norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi. Karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya, mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata mereka, dll. (26)<br />Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara ‘jajahannya’, bedanya kalau zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power. Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap tegukan, tapi apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan, pasien pun akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh opium tersebut. Tapi perlu di ingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun, tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus berobat.<br /> Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang 'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul timbal-balik yang fair dan equitable. Karena globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa kita, sehingga kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budaya-budaya seberang, tapi juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain. Wallahu wa rasuluhu a’lam <br /><br />End Note:<br />1. Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization dalam Human Inscecurity in a Global World, Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker (editor), Harvard University Press, Cambridge, 2005, hal: 1<br />2. Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization: An Introduction dalam Islam Encountering Globalization, Ali Mohammadi (editor), Routledge Curzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002. hal: 1<br />3. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al-'Aulamah dalam Annual Journal of International Islamic University, Islamabad-Pakistan, 2002. Vol: 10, hal: 230<br />4. Concise Oxford English Dictionary, Edisi 11.<br />5. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 1<br />6. Fukuda, Sakiko-Parr, Op. Cit., hal: 1-4<br />7. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Op. Cit., hal: 230<br />8. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 2<br />9. Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11<br />10. Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture, Faber and Faber, London, 1962. Hal: 15<br />11. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan<br />12. Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999. hal:87-106<br />13. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan<br />14. Al-za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah, Daar al-Syuruq, Jeddah. Hal: 32<br />15. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan<br />16. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx<br />17. Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, dalam Majalah Islamia, Edisi IV, 2005. hal:13-14 <br />18. Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993. Hal: 1-2<br />19. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 15 <br />20. Ibid, hal: 13<br />21. Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism dalam Globalization, Democratization and Multilateralism, Stephen Gill (editor), United Nations University Press, Japan, 1997. Hal: 4<br />22. http://www.wikimu.com/n ews/Opini.aspx<br />23. Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996, hal: 251-255<br />24. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx<br />25. Gill, Stephen, Op. Cit., Hal: 5<br />26. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 16-17 <br /><br /><br />Referensi:<br />Al-Za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah. Daar al-Syuruq, Jedah, tanpa tahun<br />Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam (Majalah Islamia). Edisi IV,<br />2005<br />As-Suyuti, Khalid Abdul Halim. Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al<br />'Aulamah (dalam Annual Journal of International Islamic University), Islamabad-Pakistan,<br />2002. Vol: 10<br />Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11<br />Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture. Faber and Faber, London, 1962<br />Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization (in Human Inscecurity dalam a Global World edited by Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker). Harvard University Press, Cambridge, 2005<br />Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization An Introduction (dalam Islam Encountering Globalization edited by Ali Mohammadi). RoutledgeCurzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002<br />Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism (dalam Globalization, Democratization and Multilateralism edited by Stephen Gill). United Nations University Press, Japan, 1997<br />Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999<br />Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993<br />Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996<br />http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan<br />http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx<br /><br /><br /><br /><br /></span>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-59803142448085483562008-09-11T23:49:00.000-07:002008-09-11T23:53:14.767-07:00Ramadhan<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CUsers%5CHAMDAN%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:PMingLiU; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-alt:新細明體; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} @font-face {font-family:"\@PMingLiU"; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:PMingLiU;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Ramadhan, demikianlah orang menyebutnya, rangkaian hari dalam sebulan yang penuh dengan untaian rahmat Ilahi, lantunan ayat-ayat suci, dzikir, sedekah, zakat, dan banyak lagi kebaikan dan berkah didalamnya. Seandainya dalam setiap tahunnya selalu dilalui dengan indahnya ramadhan. Atau mungkinkah kita sebagai umat Islam telah salah dalam memahaminya? Seakan ramadhan hanyalah satu-satunya waktu dalam ajang kontes pertandingan amal dimana seluruh umat berlomba menjadi juara, namun di bulan yang lainnya tidak ada bekas sama sekali dalam kehidupan serta perilakunya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Ramadhan adalah bulan pelatihan diri, bukan hanya pelatihan dimensi spiritual saja, namun ia merupakan olah fikir, olah jiwa dan olah raga. <span style="color:black;">Bilamana manusia <span style=""> </span>tanpa siyam/puasa, tanpa latihan menahan diri, sebagaimana bilamana ia tanpa rukun/tiang Islam yang lain, apalagi tanpa ajaran Islam sedikitpun.</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Banyak yang takut dan phobia terhadap Islam karena ada yang memakai Islam untuk alat kepentingan dirinya, keluarganya atau kelompoknya; sebab dalam sejarah agama manapun hal tersebut sering terjadi; agama untuk kepentingan dirinya, keluarganya, kroni-kroninya, kelompoknya, golongannya dsb.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Hal ini harus diluruskan, dikembalikan lagi bahwa Islam adalah penghormatan dan penghargaan, islam adalah identitas, pelatihan, pendidikan dan pelatihan untuk selalu berlomba-lomba <i>fastibiqul khairat</i> dunia akhirat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Diatas status dan fungsi itu semua Ramadhan merupakan ibadah, ubudiah, pengabdian; bakti, persembahan; penyembahan, penghambaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="background: white none repeat scroll 0% 0%; text-align: justify; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;"><span lang="IN" style="color:black;">Puasa merupakan ujian menuju perolehan maslahat manusia sendiri. Sayang kita kurang atau bahkan tidak sadar,seakan itu untuk Allah swt. saja, berdasar sabda Rasul dalam hadits: <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN" style="color:black;">....fa'innahuu lii, wa ana ajzii bihii,dst</span></i><span lang="IN" style="color:black;">.; artinya puasa adalah untuk KU. Kita harus menyadari bahwa puasa kita, ramadhan kita banyak mengandung nilai plus bagi diri kita. Ia merupakan Santapan otak, bimbingan jiwa dan tuntunan budi menuju kualitas insan yang berTAQWA. Dalam Islam, tidak ada kegiatan ibadah yang sepi dan kosong dari kandungan unsur kejiwaan dan<span style=""> </span>nilai – nilai kemanusiaan. Penataan aneka ragam bangsa juga ditanamkan dalam sendi-sendi IBADAH KITA. termasuk juga ibadah Ramadhan. Sehinga dengan berpuasa kita bisa menjernihkan hati, mencerahkan fikiran dan menggelorakan amal shaleh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Maka salah apabila kita menilai puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya sebagai dimensi individual-spiritual, hubungan vertikal tanpa unsur horizontal. Islam mencakup semua. Vertikal dan horizontal, spiritual dan intelektual. Maka dari itu naif apabila ada segolongan orang dengan melihat pengalaman pahit umat beragama lain menyatakan bahwa Islam adalah agama pribadi, agama antar individu dan tuhannya. Karena banyak sekali unsur pembelajaran sosial dibalik ritual ibadah tersebut. Dalam hal ibadah shalat misalnya, imam sholat/masjid, siap dengan cadangan yang tak kurang kualitasnya. Apa dasar filisofis, rahasia, hikmah "WHY, mengapa?" nya. Adzan, waktu dan "the man" nya, juga lafadh-lafadhnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Kesehatan, kekuatan dan kesabaran sebagai tiang - tiang persyaratan setiap ibadahnya. Subuh, dhuhur, ashar, maghrib, isya' dengan kedisiplinan disiplin dan rahasia - rahasianya, spesifikasinya. Di tambah dengan sarana dan prasarana kualitas keikhlasan, kekhusyukan yang harus diupayakan dengan perwujudan maksimal. Why? Disinilah salah satu tanda universalitas Islam. Yang merangkul segala aspek kehidupan. Islam bukan hanya olah rohani, namun upaya dalam melatih kesadaran manusia untuk sholeh secara individu, sholeh secara sosial dan menjunjung tinggi profesionalisme dengan catatan berlandaskan pada ajaran qur’an dan sunnah rasulNya. Sehingga kebahagiaan dunia akhirat bisa tergapai. Ramadhan, merupakan salah satu rangkaian ibadah untuk menuju tujuan tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Disinilah diperlukan kesadaran individu dalam berIslam. Pidato, ceramah, diskusi, dialog, seminar, dan sebagainya tidak cukup, belum menjamin keberhasilan penyadaran. Kesadaran diharapkan datang bila dikerjakan dengan faham yang benar. Maka, kegiatan-kegiatan Ramadhan, sayang bila kurang diintensifkan; dilengahkan! Merugilah kita bila dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya justru menurun kwalitas dan kwantitasnya, rugi dan merugikan! Kehilangan sesuatu yang mahal tidak pantas kalau tidak menimbulkan penyesalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Untuk mewujudkannya, memang perlu usaha membina, menciptakan kemauan, kesempatan dan miliu penunjang. Tidak berdosa, insya Allah, bila dilakukan dengan sedikit pemaksaan. Harus diingat bahwa syetan juga mengintensifkan pemaksaan agar tidak taat. Kita berusaha,berupaya, IBLIS menggoda kita; tidak<span style=""> </span>berusaha, tidak berupaya IBLIS juga menggoda. "berpuasa, menahan diri, membentengi nafsu<span style=""> </span>ditengah-tengah arena pesta pora<span style=""> </span>kema'siatan: makan, minum, gerakan/tontonan/pertunjukan syahwat<span style=""> </span>keduniaan, merupakan ajang pelatihan diri, pembelajaran dan penyadaran diri. Dengan puasa ramadhan umat kita akan berhasil memenanginya! Hingga IBLISpun gigit jari!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Ramadan merupakan ujian sikap nyata,dalam amal perbuatan, bukan ujian lisan bukan ujian tulis juga bukan sekedar ujian fisik kekuatan. Spesifikasi Ramadhan sebagai<span style=""> </span>bulan obral rahmat kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNYA, investasi ritual, dan sosial. Haruslah kita manfaatkan dengan sesempurna mungkin sebagai Benteng proteksi total dari segala macam dan bentuk bisikan rayuan kesesatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="color:black;">Kegiatan ramadhan adalah ibadah, keilmuan, kesadaran, kepedulian dan kemasyarakatan, mewaspadai penjajah akbar, paling berat "PEMUASAN NAFSU DIRI", sebab kalau dibebaskan, tidak disegerakan, sampai melestarikan Ibahiyyah, Permisivveness sungguh akan merusak kesehatan jiwa raga kita nantinya. Siyam Romadlan Kita bukan berupa<span style=""> </span>menghadiahi sesaji makan minum, jasa kepada ALLAH tapi dengan bakti pengabdian total dan pengorbanan maksimal, kapital aset-aset tabungan dihari penghitungan,"yaumul hisaab" menuju <i>falaah</i>, kemenangan, <i>sa'aadah</i>, kebahagiaan. Untuk di dunia, Untuk diri kita, dan untuk akhirat kita.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="background: white none repeat scroll 0% 0%; text-align: justify; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;"><span style="" lang="IN">Kalau ada orang kafir mengatakan " <i style="">It's good for you but not good for me</i>" maka demikianlah ma'na ibadah dalam Islam. ALLAH punya kriteria, dan raport tersendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>
<br /><span class="fullpost">
<br />
<br />
<br /></span>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-66000298258052582202008-09-11T23:44:00.000-07:002008-09-11T23:49:42.168-07:00“The Raison d’etre” Keselarasan Antar Agama di Pakistan<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CUsers%5CHAMDAN%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Islam telah banyak melahirkan revolusi peradaban dan dinamika budaya, yang semua itu tak lepas dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Dalam setiap kehidupan telah diatur di dalamnya, tak terkecuali urusan Politik, Ekonomi, dll. karena Islam merupakan suatu budaya, agama dan negara. Begitu pula Islam telah banyak berpengaruh dalam meningkatnya sumber daya manusia secara keseluruhan. Pantas kalau hal tersebut menjadi landasan berdirinya sebuah negara Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pakistan merupakan salah satu negara dari sebagian kecil negara di dunia yang berdiri berasaskan agama. Dengan ditetapkannya Islam sebagai ideologi mereka, sebagian besar sistem dan aturan agama diberlakukan lebih dominan dalam berbagai permasalahan sosial. Maka, salah satu syarat yang diberlakukan untuk menjadi Presiden Republik Islam Pakistan-pun harus seorang muslim yang mampu menjalankan semua aturan-aturan Islam sebagai muslim yang baik dan juga berstatus penduduk asli Pakistan. Dengan demikian, Islam merupakan agama dengan tuntunan yang harus dijalankan bagi seluruh penganutnya, dan menjadi tata aturan dalam pemerintahan Pakistan itu sendiri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Pakistan berdiri karena keinginan penduduk muslim di anak benua (sub-kontinen) untuk membangun tempat tinggal dan kehidupannya sesuai dengan ajaran dan tradisi Islam, bahwasanya mereka ingin mendemonstrasikan kepada dunia bahwa Islam mampu memberikan obat mujarab untuk setiap penyakit yang mana telah menyerang kehidupan manusia hingga saat ini. Maka Pakistan didirikan dengan alasan Ideologi dan kemanusiaan. Karena konflik yang terjadi antara muslim dan Hindu bukanlah urusan politik semata, tapi merupakan masalah ideologi. Ini merupakan suatu perjuangan yang patut dikagumi bagi sekalian muslim demi tegaknya negara Islam Pakistan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Namun lain halnya kenyataan yang sekarang ini hadir di tengah-tengah kita, sebuah fenomena sosial yang sedikit banyak menyita perhatian berbagai kalangan hingga masyarakat luas. Bukanlah hal yang aneh memang, bila suatu negara yang dibangun berdasarkan agama, kemudian tumbuh berkembang lalu melupakan bahkan meninggalkan landasan atau pondasi kenapa semula ia dijadikan. Berbagai budaya dan tradisi baru mulai bermunculan di hampir seluruh Negara Islam, tak terkecuali seperti yang kita perhatikan belakangan ini di Negeri Ali Jinnah, Pakistan. Sebuah masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan tatanan dan banyak aturan-aturan islami. Bahkan seperti yang telah disebutkan di atas, Pakistan merupakan Negara yang berdaulat Islam. Sejarah nyata telah seringkali kita dengarkan bagaimana perjuangan para pendiri beserta laskarnya untuk membebaskan umat Islam di <i>Sub-Continent</i> pada masa itu, agar bisa menjalankan syariat Islam dengan baik dalam sebuah naungan Negara Islam. Hingga tercapailah harapan mereka dengan berdirinya Negara Islam Pakistan, yang tentunya tak lepas dari masalah-masalah yang mulai bermunculan kemudian. Seperti urusan sekte, perbedaan agama, dll.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Kiprah para muslim yang berjuang di berbagai bidang dan sektor-sektor penting Negara, dari sebelum berdirinya Pakistan hingga saat ini sudah sangat besar menambah kredibilitas dan kekuatan Islam untuk membangun Pakistan, baik Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya, dll. Walaupun tidak secara <i style="">gamblang</i> diterangkan, namun akan terlihat jelas disini bagi sebagian massa yang menjunjung tinggi arti sebuah Nasionalisme Bangsa, bahwa penduduk muslim adalah penduduk sah Pakistan dengan adanya mayoritas dan minoritas kelompok dalam negeri. Dengan kata lain berarti penduduk non-muslim sebagai agama minoritasnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Sebagian orang akan berpendapat bahwa sebuah negarapun bisa maju bila mungkin tidak melahirkan beragam sekte khusus, atau menggolongkan penduduk ke dalam kelompok-kelompok tertentu, sehingga tidak menjadikan adanya kelompok minoritas dalam suatu negara. Seperti halnya fenomena agama minoritas di berbagai bahkan hampir di semua negara, termasuk Pakistan. Sebuah permisalan Zia ul Haq yang dikenal sebagai Presiden diktator militer Pakistan, saat beliau mencabut hak suara penduduk minoritas (non-muslim) dalam pemilihan. Dengan sistem hak suara yang terpisah antara muslim dan non-muslim maka akan menggeserkan peralihan suara pula. Kemudian Zia ul Haq juga membagi seluruh penduduk negeri ke dalam lima kelompok agama/kepercayaan dan tidak diperbolehkan bagi agama minoritas untuk memberikan suaranya atas orang muslim. Begitu pula tidak diperkenankan untuk memilih non-muslim (agama minoritas).<i style=""> Walhasil </i>penduduk muslim akan lebih mengabaikan agama minoritas dan akan menjadikan mereka sebagai warga negara kelas dua atau tiga, layaknya “orang asing” di Tanah Air mereka sendiri, sebuah kampung halaman dimana nenek moyangnya telah tinggal sejak bertahun-tahun bahkan ribuan tahun lalu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Sejak saat itulah maka dibentuk “The Raison d’etre”.<span style=""> </span>Yang maksudnya tidak lain adalah suatu keadaan dengan adanya perbedaan atau perbandingan manusia ke dalam kelompok-kelompok. Karena tidak adanya alternatif lain yang dapat mereka ambil, dan hanya ada satu garis besar yang menyatakan bahwa masyarakat mayoritas dan tempat untuk masyarakat yang beragama minoritas. Pada konstitusi tahun 1973 dengan suara bulat, maka telah disetujui oleh seluruhnya usul perubahan dalam satu sekte disebutkan Ahmadiyah seperti halnya non-muslim yang dengan demikian menjadi agama minoritas. Ini juga termasuk di dalamnya penduduk Hindu, Kristen, dll. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Hal demikian merupakan konteks ideologi sebagai negara Islam, bahwa sistem pemilihan yang terpisah memberikan peranannya untuk suatu perusakan atau pembinasaan dalam pemerintahan ketika diktator militer memperkenalkan sebuah sistem tersebut yang mana bertujuan untuk membagi suatu Negara ke dalam jangkauan yang lebih luas lagi. Dengan kata lain, menjadikan masyarakat Kristen dan Hindu hanya bisa memberikan suaranya kepada agama mereka sendiri pada masa itu, yang kemudian lahirlah pusat pembangunan sumber daya manusia atau yang mereka sebut sebagai “Human Development Centre”. Tentu saja itu akan menimbulkan tekanan pada keharmonisan antar masing-masing kepercayaan yang ingin mempromosikan sebuah kesepakatan dan kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut. Salah satu alasan kenapa timbul banyak kerusakan dimana-mana adalah masih adanya pemisahan atau penggolongan masyarakat. Maka kita akan melihat sebuah fenomena dalam konteks nyata negara Pakistan, yaitu Negara yang berideologikan Islam kokoh dan kuat, yang kemudian akan nampak selanjutnya kibaran bendera agama minoritas yang mana mereka layaknya sekelompok orang asing dari segala segi dan dalam setiap level.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Membangun sosial Islam yang ideal haruslah memperhatikan kepada perkembangan pola kehidupan dan isu-isu sosial yang erat sekali kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam kasta, kepercayaan, warna, daerah, status ekonomi, dll., dengan tetap menjunjung tinggi norma-norma dan nilai akhlak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN">Keselarasan antar kepercayaan yang sama sekali berbeda bukanlah kemewahan atau kesenangan, tapi justru merupakan sebuah keharusan yang mutlak. Ia mengalir dari ideologi negara dimana para muslim bersama-sama mengangkat dan memperbaiki aturan-aturan yang ada. Reformasi dan reformulasi atas ideologi ini mampu menghendaki keberanian yang besar dan kerja keras. Namun itu merupakan agenda pokok kekuatan liberal dalam negara. Tapi dalam kurun waktu terakhir ini, hal itu hanyalah mimpi semata. Realita yang menuntut adanya keselarasan antar agama, dimana muslim dan non-muslim berkolaborasi bersama untuk memajukan bangsa, bahu-membahu setiap hari dan bekerja biasa seperti penduduk lainnya dalam satu negara yang sama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Tentunya sebagai muslim kita dapat mengerti apa saja yang diberlakukan dalam syariat Islam. Sunah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menghormati sesama, tidak merendahkan yang satu dari yang lainnya. Karena sebagai muslim kita harus percaya, bahwa agama dan Tuhan kita adalah yang benar. Namun kita tidak melupakan agama atau kepercayaan yang dianut oleh umat lainnya, tetap bertoleransi sesuai dengan batasan yang telah diatur dalam Islam. Begitupun juga telah dikatakan dalam pidatonya Muhammad Ali Jinnah, pada majelis konstitusi 11 Agustus, beliau mengatakan kepada seluruh masyarakat Pakistan pada masa itu: <i style="">“ kalian bebas...kalian bebas untuk pergi ke kuil-kuil, kalian bebas untuk pergi ke masjid, atau tempat peribadatan lainnya di Pakistan. Kalian diperkenankan untuk beragama, berkasta, atau berkeyakinan apapun. Bahwasanya itu tidaklah menjadi urusan Negara, …dll…dll…dll…Pakistan Zindabad!.”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="IN">Sumber Bacaan:<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-style: italic;"><b><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></b><span style="" lang="IN">1. Rauf, Abdul. <u>Islamic Culture in Pakistan.</u> Ferozsons, Lahore, 1994. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-style: italic;"><span style="" lang="IN">2. Sattar, Abdul. <u>Pakistan’s Foreign Policy 1547-2005.</u> Kagzy, Karachi, 2007. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-style: italic;">3. Sidhwa, Bapsi. </span><u style="font-style: italic;">Ice-Candi-Man.</u><span style="font-style: italic;"> Penguin book, India, 1988.</span><o:p></o:p></span></p> Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-67054725689058672008-07-10T03:50:00.000-07:002008-08-27T05:01:27.290-07:00Khayalan<div style="TEXT-ALIGN: justify"><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Prediksi para pemikir, antropolog dan sosiolog sekelas Comte, Freud, Weber, Durkheim, Marx, Darwin yang menyatakan bahwa agama akan ditinggalkan para pengikutnya ternyata tidak terbukti kebenarannya, justru diawal abad 20 geliat keagamaan semakin terasa dengan munculnya berbagai jurnal studi agama, berdirinya rumah ibadah dan makin kuatnya ketergantungan manusia pada simbol keagamaan. Hal ini semakin menggilas prediksi ‘dunia sekular’ sebagai cadangan tunggal yang diramalkan para pemikir Barat awal abad 19. Pandangan tersebut bermula dari berbagai macam penemuan ilmiah yang selalu mematahkan dokrin-doktrin agama (baca: kristen). Semakin mereka menemukan penemuan baru, semakin berkurang otentitas dogma gereja dan kitab sucinya. Maka terjadilah bentrok antar teolog dan saintis kala itu, yang tak lepas dari kekerasan fisik yang berdarah-darah. Galileo Galilei dan Bruno merupakan bukti ril dari kebiadaban tirani para ‘wakil tuhan’ masa itu. Hal inilah yang membangkitkan semangat anti gereja dikalangan masyarakat, khususnya para saintis. Anggapan bahwa agama dan Tuhan hanyalah khayalan semakin kuat menggema dalam berbagai ruang ilmiah. Inilah cikal bakal sebuah aliran yang kemudian menamakan diri mereka sebagai ateis.<?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Namun semangat anti-Tuhan dan agama para saintis-ateis seakan tenggelam dengan gairah keagamaan yang muncul. Nama-nama agamawan kembali muncul menggantikan tokoh idola sekular abad 19 dan awal 20. sebut saja nama Khomaeni, Desmond Tutu, Paus Yohanes Paulus, Bunda Theresa, Dalai Lama dan masih banyak kaum agamawan yang muncul menggeser ide-ide sekularistik ateis.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Kebangkitan agama sudah hampir lima dekade, dan para ateis juga sudah tenggelam dalam keputus asaan. Tapi diawali dengan runtuhnya WTC di AS oleh ‘wakil Tuhan’, bom di Spanyol, Bali, peledakan di Inggris, bom bunuh diri di Pakistan yang juga merupakan tanggung jawab yang di klaim oleh ‘orang-orang yang beriman’, polemik berkepanjangan umat kristiani di Irlandia seakan memberikan amunisi baru yang dahsyat buat para atheis untuk menghantam Tuhan dan agama. Seakan mereka berteriak “inilah ajaran agama! Inilah anjuran Tuhan! Menghancurkan setiap inchi garis kemanusiaan!” mereka bersorak gembira, sekularisme bangkit lagi! Atheisme belum mati! Bukan darwin yang mengancam eksistensi kemanusiaan dan peradaban, tapi agamalah yang merusaknya. Darwin tak pernah menyuruh untuk membunuh, agamalah yang dengan lantang meneriakkan aroma kematian dengan bumbu kekejaman. Agama bangkit bukan untuk perdamaian, tapi pertikaian dan kematian.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Inilah fenomena kontemporer, bahwa faham sekular-ateis semakin menemukan jalan mulusnya menuju singgasana globalisasi. Muculnya para ateis semisal Richard Dawkins, Sam Harris, </span><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;">Christopher Hitchens dan Daniel C. Dennett dalam berbagai acara talk show di berbagai media, menunjukkan geliat baru neo-darwinisme ini. Belum lagi buku-buku mereka menghiasi rak-rak <i>best seller</i> diberbagai toko buku di dunia, sebut saja <i>The End of Faith</i>nya Harris (2005) <i>God Delusion</i>nya Dawkins (2006) <i>Breaking the Spell</i> karya Dennet (2006) dan karya Hitchens <i>The God is Not Great</i> (2007) kesemuanya langsung ludes dipasaran. Banyak dari para pembacanya yang dengan yakin akhirnya menyatakan bahwa mereka adalah ateis pengikut dawkins dan kawan-kawan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;">Dawkins dalam bukunya <i>God Delusion</i>, menolak keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari bukti-bukti ilmiah yang ditemukannya. Dawkins adalah seorang ahli biologi evolusioner dan pengikut setia Darwinisme. Baginya sangat jelas bahwa bukti-bukti ilmiah menunjukkan ketiadaan Tuhan. Yang dia maksud dengan “Tuhan” bukanlah Tuhan seperti yang digambarkan <i>religious saintists</i> semisal Einstein dan pengikut Deisme lainnya (Tuhan ada namun tidak melakukan apa-apa, Dia hanya mencipta lalu meningalkannya), tapi Tuhan personal yang disembah sebagian besar pengikut agama, khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bukunya tersebut ia juga memberikan 6 argumen kenapa kita harus yakin dengan ketiadaan Tuhan. (Dawkins, 2006, hal: 111-159)<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;"><span style="font-size:+0;"></span><span style="font-size:+0;"></span>Dawkins yang juga diamini pengikut setianya meneror agama dan Tuhan dengan bertubi-tubi. Mereka hendak mengusir Tuhan dan agama jauh dari lingkungan kemanusiaan dan peradaban. Agama selalu dengan seenaknya mendaku penemuan-penemuan ilmiah sebagai ilmu Ilahi yang sudah termaktub dalam kitab suci, tanpa mau mencari kebenarannya. Klaim atas validitas eternal kitab suci ini menambah geram kaum ateis. Ditambah dengan <i>the worship of gaps </i>(penyembahan celah; ejekan Dawkins terhadap kaum kreasionis yang selalu memasukkan unsur Tuhan dalam celah yang belum bisa di temukan oleh nalar ilmiah (Dawkins, 2006, hal: 125-134)) yang diusung oleh kaum agamawan. Hal tersebut bukan menguatkan argumen wujud Tuhan, justru nantinya akan semakin menguatkan argumen kaum ateis. Karena semakin celah-celah tersebut tertutup dengan penemuan ilmiah yang rasionil akan semakin sempit pula ruang lingkup tuhan didalamnya, bahkan akan hilang sama sekali.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;"><span style="font-size:+0;"></span>Gambaran fenomena diatas merupakan pertarungan pemikiran kontemporer yang terjadi antara kaum ateis penolak Tuhan dan agamawan. Memang mayoritas agama dan dogma kitab suci yang mereka tentang adalah ajaran kristen dimana mereka berinteraksi langsung dengannya sejak kecil, sedangkan Islam dan agama Timur lainnya mereka pelajari dengan kacamata antropologis-sosioligis. Namun justru hal ini yang amat berbahaya. Karena dalam memahami Islam dengan metode demikian bisa membawa kesalah fahaman yang fatal. Hal ini akan semakin parah, karena arus globalisasi yang kuat merupakan sebuah keniscayaan yang kita akui bersama merupakan penyalur berbagai macam aliran pemikiran dan kebudayaan terhadap dunia global yang nantinya akan merasuk secara perlahan dalam pemikiran umat Islam tanpa sadar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;"><span style="font-size:+0;"></span>Argumen-argumen Dawkins dalam <i>The God Delusion</i> telah menohok ulu hati agamawan Barat maupun Timur. Sebagai umat Islam, kita harus menerima kenyataan bahwa banyak dari ulama kita yang hanya <i>wait and see</i> terhadap penelitian ilmiah dan kemudian mencari ayat al-Qur’an dan kemudian mencocokkan dengannya. Kemudian sibuk menulis buku dan artikel menunjukkan bukti ayat-ayat al Qur’an yang sesuai dengan penemuan tersebut. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;"><span style="font-size:+0;"></span>Sungguh ironis apabila umat Islam dangan kesempurnaan ajarannya yang merupakan nilai final dari semua agama sebelumnya tidak melaksanakan ajarannya. Puluhan ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir, menelaah alam, makhluk dan lainnya hanya sekedar <i>buah bibir</i> bacaan umatnya tanpa ada bentuk implimentasi praktis. Kita tidak sadar bahwa penemuan ilmiah yang ada nilainya relatif, sebagai konsekwensinya apabila dikemudian hari ada penemuan yang mematahkan argumen awal dengan bukti ilmiah yang memadai, maka argumen awal akan gugur. Apabila kita hanya sekedar mencari titik temu antara penemuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an, itu sama saja menghukumi relativisme al Qur’an. Sudah saatnya umat Islam sadar dan bangkit dari tidur panjangnya. Segala kesempurnaan ajaran agama harus digunakan dengan maksimal. Bukannya berhenti pada ayat-ayat teertentu dan kemudian menafsirkannya secara kaku dan rigid yang akhirnya melahirkan berbagai kekerasan dan kekejaman atas nama agama.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;"><span style="font-size:+0;"></span>Disini<span style="font-size:+0;"> </span>saya kira pentingnya rekonstruksi ide Islamisasi Ilmu yang pernah digulirkan oleh Al Attas dan Faruqi. Sehingga pemahaman umat akan berbagai ilmu dan pengetahuan selalu berlandaskan framework Islam. Sehingga tidak mudah terombang ambing oleh samudara logika relativisme ilmiah. Dan kejayaan sains Islam bisa terwujud tanpa harus meyakini bahwa Tuhan hanya sekedar khayalan manusia yang pesimis dan fatalis.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><i><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;">Allah Knows Best<o:p></o:p></span></i></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:TTE18560D8t00;">Albi 100708, 16:30<span style="font-size:+0;"> </span><o:p></o:p></span></p></div>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-21895140733150168002008-07-10T03:48:00.000-07:002008-07-10T03:50:40.857-07:00'Sembahyang'; Identitas Umat Beragama<span class="fullpost"> </span><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CUsers%5CHAMDAN%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; text-align:right; mso-pagination:widow-orphan; direction:rtl; unicode-bidi:embed; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} pre {margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Courier New"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} span.gen {mso-style-name:gen;} @page Section1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0; mso-gutter-direction:rtl;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: center;"><span style="" lang="SQ">Oleh: Alfina HM
<br /></span></p><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: justify;"><span style="" lang="SQ">Agama merupakan landasan setiap umat manusia, termaktub dalam kisah panjang bagaimana sebenarnya manusia itu membutuhkan sesuatu yang <i>supreme-power</i> untuk bersandar dan menyerahkan diri. Tak lepas dari itu, setiap agama pasti memiliki ritual dan ibadah yang berbeda dan bermacam-macam. Karena ritual merupakan bagian pokok dari suatu agama. Dengan kata lain ia disebut juga sebagai tata cara keagamaan. Secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa orang yang beribadah atau melakukan ritual tertentu berarti ia adalah penganut agama tersebut, maka segala praktek keagamaan seperti 'sembahyang' adalah sebuah identitas bagi setiap umat beragama. <o:p></o:p></span></p><div> </div><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-indent: 36pt; direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: justify;"><span style="" lang="SQ">Agama Hindu memiliki keyakinan terhadap banyak Tuhan (dewa-dewa) yang harus mereka sembah, seperti Brahma, Wisnu, Siwa dll. Begitu juga dengan agama Budha yang mengabdikan dirinya dalam ritual-ritual agama seperti yoga untuk mencapai nirvana. Umat Yahudi melakukan sembahyang atau doa selama beberapa kali dalam sehari <i>(sekharit, Mincha, ma'ariv</i>), puasa dll sebagai ritual mereka. Tak ketinggalan dengan umat Kristen yang biasa melakukan ibadah mereka setiap hari minggu seperti <i>Eucharist</i> yang mereka percayai sebagai seremonial suci, serta masih banyak sakramen lainnya. Lalu bagaimana dengan ritual umat Islam yang terangkum dalam lima rukum Islam, misalnya salat? Kenapa seorang muslim harus salat dan apa untungnya meninggalkan salat? Bukankah masih banyak ibadah lainnya yang berpahala seperti bersedekah, membantu orang lain dll? <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: justify;"><span style="" lang="SQ"><span style=""> </span>Salat merupakan suatu ibadah memuliakan Allah Swt yang menjadi tanda rasa syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad Saw dengan ketentuan Al-Quran dan Sunnah. Salat sendiri sudah ada dan telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, seperti perintah salat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, Nabi Syu'aib, Nabi Musa, dan kepada Nabi Isa <i>Alaihim Assalam</i>. Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh kisah-kisah yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil) yang menceritakan bagaimana Nabi-nabi terdahulu melakukan salat (beribadah kepada Allah Swt). Berikut isi Perjanjian Lama dalam kitab keluaran (<i>Exodus</i>) 34:8 "<i>Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut dihadapan Tuhan yang menjadikan kita</i>". Dalam Perjanjian Baru dikatakan dalam surat Markus 14:35 "<i>Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya</i>". Dengan demikian maka jelas bagi umat Islam bahwa salat sudah menjadi tradisi dan ajaran yang baku bagi semua Nabi dan Rasul Allah beserta para pengikutnya sepanjang jalan, Allah Swt telah berfirman: "<i>Sebagai ketentuan Allah (sunnatullah) yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekalipun tidak akan menemukan perubahan bagi ketentuan Allah itu</i>" (Q.S: Al-Fath: 23) <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: justify;"><span style="" lang="SQ"><span style=""> </span>Dalam Islam salat merupakan salah satu rukun Islam, dimana agama akan kokoh berdiri diatasnya. Salat juga merupakan pengabdian (ketundukan) yang mencakup fisik, mental dan spiritual seorang muslim kepada Allah Swt yang diawali dengan mengucapkan Takbir (<i>Allahu Akbar</i>) meyakini bahwa Allah Swt Maha Besar dan diakhiri dengan salam. Begitu pentingnya salat bagi seorang muslim telah berulang kali Allah tegaskan dalam firman-Nya, bahwa hukum yang berlaku bukanlah '<i>semau</i>' hamba-Nya, akan tetapi sudah ditetapkan dan tidak bisa ditawar lagi.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;"> <pre dir="ltr"><span style=";font-family:";font-size:12;" lang="IN"><span style=""> </span>Allah Swt memberikan keutamaan mengerjakan Salat dengan perintah untuk selalu menjaganya karena
<br />semua amal saleh akan dibalas dengan surga kelak, dimana kita akan tinggal selamanya. Allah Swt berfirman: <i>
<br />"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusuk dalam sembahyangnya"</i>
<br />(Q.S: Al-Mukminun 1-2) <span style="color:red;"><o:p></o:p></span></span></pre></div> </div><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; unicode-bidi: embed; text-align: justify;"><span class="gen"><i><span style="" lang="IN">Wallahu a’alam</span></i></span><i><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></i></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;">
<br />
<br /></div>
<br /></div>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-18324972217732519472008-06-30T03:24:00.000-07:002008-07-02T15:36:21.239-07:00Hindu rituals and ceremonies in contemporary Bali and its impact on muslim society (a research proposal)<div style="text-align: center;">By: Alfina Hidayah HM<br /></div><br />Preface<br />According to Concise Oxford English dictionary the term 'Hinduism' means a major religious and cultural tradition of the Indian subcontinent, including belief in reincarnation and the worship of a large pantheon of deities.<a title="" style="" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> This religion develops and expands to a number of countries in the world, and Indonesia is one of them where Hinduism has existed and continues to survive with other religious communities.<br /> The expansion of Hindu in Indonesia started when the native people of the archipelago went to India for trade; the Indians reciprocated in the beginning of first millennium. As more and more Indians started settling in the archipelago, their influence started increasing. Over the islands; so much so that many Hindu kingdoms were founded in Java and have affected the Indonesian society and its customs.<a title="" style="" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br /> After the advent of Islam in the 11th century, the religion and beliefs of a majority of the people became Islam which continues to this day. However, one notice that even with the gradual downfall of the Hindu kingdoms one can still find their strong and perhaps increasing influence in the environment and community in contemporary Indonesia. Most of them inhabit the Hindu island of Bali, where the entire population is Hindu with an approximate percentage of 93% of the settled citizens.<br /> Hinduism in Bali Indonesia has many rituals which have influence the society particularly the Muslims’ society. Since their ancestors were adherent of Animism who believed in a supernatural power that organizes and animates the material universe. Subsequently the Hindus of Indonesia also adopted the animistic as well as their original beliefs and practices. Unfortunately, traditional Javanese Muslims also practice those rituals of Animism and Hindu. These kinds are a mixture of religion and indigenous cultures.<br /><br />Introductory Statement<br /> The project will undertake to answer the questions “what is the impact of Hindu rituals and practices upon the Muslim community of Bali. These questions are:<br />1. How do Hindu kingdoms develop and rule the ancient archipelago in the history of Indonesia? (development of ancient Hindu in Indonesia)<br />2. The classical Hindu in Indonesia is a mixture of Hindu and Buddha as a single religion, why?<br />3. When we look at the contemporary Indonesia, we will find that Hindu make an effort to revive as one religion and separate from Buddhism, this revival what they called by Parisada Hindu Dharma. What are their aims for that?<br />4. What are their rituals which still present until today?<br />5. Bali is known as gods island (Devata Island), is Hindu and its rituals the main reason that promote Bali into well-known and became rich tourism island today?<br />6. Why is a Balinese Hindu more concerned with the rituals and art than beliefs, laws etc?<br />7. What is the impact of Hindu rituals on the society especially upon the Muslims?<br />8. Why the Muslims adopt and adapt the Hindu rituals? What are their purposes?<br />9. What is our position and statement as Muslims concerning this issue?<br /><br />Methodology of Research<br /> This project will try to answer the above questions through a historical study and a brief introduction of Hinduism in Indonesia all over its various periods. Secondly will mention some of their main rituals and ceremonies practices in detail to understand which are related to and adopted by Muslims. Finally I will come up to the contemporary issues between Hindu and Islam which relate to this topic followed by approaching to the conclusion that being a Muslim what we are going to do then.<br /><br />Outline<br /><br />I divided my topic as below:<br />ü A brief introduction to the historical background of Hinduism in Indonesian Archipelago<br />ü Chapter one: The rituals and ceremonies<br />ü Chapter two: Its impact on Muslim society<br />ü Conclusion<br />ü References <br /><br />Some references arranged for project<br /><br />Concise Oxford English Dictionary (Eleventh edition)<br />Hinduism in Indonesia-wikipedia, the free Encyclopaedia<br /><br />Radhakrishnan, S. The Hindu Dharma. (International Journal of Ethics, Vol. 33, No. 1, (Oct., 1922), pp. 1-22). The University of Chicago Press<br /><br />Schiller, Anne. An "Old" Religion in "New Order" Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation. (Sociology of Religion, Vol. 57, No. 4, (Winter, 1996), pp. 409-417). Association for the Sociology of Religion, Inc.<br /><br />Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respons gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia. (The Muhammadiyah movement and its controversy with Christian mission in Indonesia). Mizan, Bandung Indonesia, 1998<br /><br />Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Mizan, Bandung-Indonesia, 2001.<br /><br />Van der Kroef, Justus M. The Hinduization of Indonesia Reconsidered (The Far Eastern Quarterly), Vol. 11, No. 1, (Nov., 1951), pp. 17-30. Association for Asian Studies.<br /><br /><a title="" style="" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Concise Oxford English Dictionary (Eleventh edition).<br /><a title="" style="" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respons gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia. (The Muhammadiyah movement and its controversy with Christian mission in Indonesia). Mizan, Bandung Indonesia, 1998. P.1.Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-22944635693701265212008-06-29T04:58:00.000-07:002008-06-29T04:59:33.518-07:00Can romance novel be a type of Islamic literature?Question<br />Can romance novel be a type of Islamic literature?<br /><br />A. Introduction<br /> In the Eickelman and Anderson, 1999, in the Muslim World, Maimuna Huq wrote that how romance novel can be a suggestion and a message that implied moral and ethic. She begin her writing with the reaction of Bangladeshi toward the controversial novel lajja written by Bangladeshi feminist-secularist writer Tasleema Nasreen, it seemed to demonstrate the growing strength of Islamic “fundamentalism” in Bangladesh. Further, she explain that some enjoy reading her works and some “fundamentalists” write novel themselves-romantic ones with hard cover as “secularly” and provocatively illustrated as Nasreen’s, a style and language as contemporary as hers, and plots equally laden with the suffering of women in an unjust society, paradoxically, the producers and readers of these novels consider them “Islamic” works, so do not deem them objectionable. It shows us how the “symbolic Islam” and all product that come from “fundamentalists” has already so-called taken for granted. It is similar to Charles Lindholm research about Muslim daily life, he said that before the coming of anthropology to understand Islam and Muslim daily life, the rural tribal Muslim only bothered about using the Sheikh to resolve their conflict and took the authority of religion for granted. She added that most scholars of Bangladesh attribute the recent and unexpected growth in Islamic activism to “internal” effort to the state and “external” efforts of Middle Eastern countries. It shows us how it related to Olivier Roy description about the interventions of “islamist” or “neo-fundamentalist” in spreading secularization within Islam (Roy 2002: 25-57) <br /> Huq’s article on new media in the Muslim world (here, she take Bangladesh as her object) identifies that romance novel as a form of media products that are consumed by the Bengali middle classes. She identifies how “islamist” writers and publisher have in the past written about piety and ritual related themes while increasingly more and more of this literature is changing its form. She shows how a lot of the new publications are written in the genre of romance novels with implied on moral messages.<br /> <br />B. Mas’ala Texts, Biographies, Booklets and Novels<br /> Mas’ala texts provide detailed and specific information on how to benefit from Qur’anic verses in various aspects of life-health, intellectual ability, socio-economic well being, family affairs, and the attainment of greater virtue or sawab for success in the Life After Death. Most of Islamic literature produced between 1971-1975 focused on mas’ala. The books enjoy wide popularity, although both Islamic and secular activists tend to look down on them.<br /> Mas’ala text play a significant role in shaping public consciousness of Islam by encouraging a ritual-based piety in readers. The content of the books spreads quickly by words of mouth, especially in the densely packed middle class and lower middle class neighborhoods, foregrounding Islam and the Qur’an in daily practice, even if the text do not encourage explanations. More like handbooks than discursive formations, Mas’ala texts appeal to a majority of the madrassa-educated.<br /> Lacking in secular modalities for meaningful renderings of sacred phenomena, mas’ala texts fail to engage a majority of the modern-educated, who are reluctant to perceive a text as authoritative and interesting simply because it’s full of Qur’anic verses and a text as authoritative and interesting simply because it’s full of Qur’anic verses and hadith. While the newer mas’ala texts respond to shifting criteria for persuasiveness more effectively than older ones, they do not compete well with more recent booklets and novel in attracting reader in society with rising levels of modern/secular higher education, especially readers from influential circle.<br /> Like mas’ala texts, biographies are an old literary form, one that constituted a very popular category of Muslim Bengali literature during the nineteenth and early twentieth centuries. They are one of the few types of Islamic literature available in general bookstores, probably because of their apolitical nature, easy-read style, and suitability for both adult and children. The texts are primarily stored at stores affiliated with Islamists groups and located around group headquarters or mosques that tend to be Islamists strongholds, such us Kantaban Mosque in Dhaka.<br /> One example of the new biographies is Sirate Ibnu Hisham, translated from Arabic into Bangla by Akram Farooq and first published in 1988, this biography of the prophet Muhammad is much longer and of a more “authoritative” or “serious” appearance than most popular biographies. Another biography is Rasulullah Biplabi Jiban (The Revolutionary Life of the Messenger of Allah).<br /> Booklet started to appear in noticeable numbers in 1970s. As far as the basic nature of their contents is concerned, of course they can be traced to “social” and “political” works of 19th and early 20th century punthi literature. current booklets are cheap and readable because they adhere closely to colloquial Bangla and treat specific issue. The production of most mas’ala and traditional biographical texts is not directly connected to Islamic activism, but most authors, publishers, and readers of booklets are affiliated with various Islamic groups.<br /> While some Islamists do not accept novel as “Islamic” literature, according to Huq, some Islamic publishers see novels becoming the most popular form of Islamic writing in the near future. Most importantly, added Huq, perhaps these novels bridge the gap between the type of romantic novels written by Nasreen, who advocate transcendence of all social mores and attack religious values, and normative Islamic literature, which is preoccupied with reaffirming Islamic principles, purifying society, and decrying the moral depravity of various Bengali cultural practices.<br /> Among more contemporary Islamic novels are series of paperback thriller such as Thypoon and Saimoom, which closely resemble secular series like Masud Rana and Western in both writing and appearance style. Most important, stressed Huq, romantic fiction, as a popular performative genre and emblem, is a powerful pathway to the heart of the national imagination. Speaking in general term, Huq added, madrassa students tend to read romantic novels by Islam-orientd writers; Bengale-medium students read novels by secularly oriented writers.<br /> Reading between the lines in such novels where Islam barely perceptible, one could perhaps see in them certain implicit Islamic messages, such as the ill of extra-marital sexual relations and of free mixing, and the need to uproot prostitution. However, such views are also fully consonant with popular Bengali cultural ideology. Instead of relying on Islam for legitimizing a particular social value, as early generations of Islamists in the region tended to do, contemporary Islamic novelist draw on the authority of popular notions of “cultural decency”.(Huq, 1999:134-151)<br /><br />C. Conclusion<br /> It remains difficult to define “Islamic” literature, especially since there is little consensus among readers: Islamic is a volatile signifier. But looking on several kinds of Islamic literature tell us several things.<br />First, mas’ala texts, biographies and booklets exemplify an “objectification” of the Muslim consciousness-codification, principles, citation from the Qur’an and hadith, and recognizable forms of authority.<br />Second, novel depict a different type of objectification: Islam is objectified not through apparent systematicity, coherence, organization, and the positing of clear-cut difference but through the openness of cultural symbols and shared local notions, the presence of Islamic element like premarital romance, the voicelessness of religious authority, and the absence of particularity.<br />Third, variety in Islamic literature, even within a specific category such as the novel, reflects a pluralistic view of Islam.<br />Forth, types of literature such as thrillers and romantic novels indicate attempts to talk about religion in ways that undercut either “secularist” or “fundamentalist” approach to Islam.<br />Fifth, closeness in form between secular and Islamic writing styles, as is evident in the novel, reflects complex interactions between formal, secular, higher education and informal religious training, especially in the case of writers affiliated with the politic Islam.<br />Sixth, while the recent varieties of Islamic literature do not have massive audiences, they are often aimed at and read by those from the prestigious circle of upwardly mobile professionals, the powerful communities of high school, college and university students, and the influential associations of small and big businessman. (Huq, 1999:152-155)<br />Last, Maimuna Huq thesis is related –implicitly- to sociological theory of Lindholm and Roy as we mention above, and according to Huq, romance novels can be assumed as a type of Islamic literature. Because, a lot of the new publications are written in the genre of romance novels with implied on moral messages and of course religious doctrine of daily life.Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-46927278202706004392008-06-29T04:51:00.002-07:002008-08-27T04:20:11.851-07:00Is secularization a sociological process initiated by the Muslim encounter with and migration to the West?<?xml:namespace prefix = o /><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="PlaceType" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="PlaceName" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><object id="ieooui" classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D"></object><style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style><br /><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter {margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; tab-stops:center 216.0pt right 432.0pt; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} a:link, span.MsoHyperlink {color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {color:purple; text-decoration:underline; text-underline:single;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:595.45pt 841.7pt; margin:72.0pt 57.6pt 72.0pt 115.2pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-gutter-margin:11.5pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><br /><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b>Question<o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">Is secularization a sociological process initiated by the Muslim encounter with and migration to the West? </p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b><o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b>Answer<o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b>A. Introduction<o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:0;"></span>More than twenty years after the success of the Islamic revolution in <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:country-region st="on">Iran</st1:country-region>, the wave of Islamic radicalism that has engulfed the <st1:place st="on">Middle East</st1:place> since the late 1970s is taking a different course. The mainstream Islamist movements have shifted from the struggle for a supranational Muslim community into a kind of Islamo-nationalism: they want to be fully recognized as legitimate actors on the domestic political scene, and have largely given up the supranational agenda that was part of their ideology, said <st1:city st="on"><st1:place st="on">Roy</st1:place></st1:city>[1] On the other hand, the policy of conservative re-Islamization implemented by many states, even secular ones, in order to undercut the Islamist opposition and to regain some religious legitimacy has backfired. It has produced a new brand of Islamic fundamentalism, ideologically conservative but at times politically radical. This neo-fundamentalism is largely de-linked from states’ policy and strategy. At first glance it is less politically minded than the Islamist movements—less concerned with defining what a true Islamic State should be than with the implementation of shariat (Islamic law). Though the movement is basically a socio-cultural phenomenon, it has also produced an extremist expression which is embodied in loose peripheral networks, such as the organization Al Qaida, headed by Osama bin Laden, responsible for the destruction of the <st1:place st="on"><st1:placename st="on">World</st1:placename> <st1:placename st="on">Trade</st1:placename> <st1:placetype st="on">Center</st1:placetype></st1:place> on 11 September 2001. Consequently, international Islamic terrorism has shifted from state-sponsored actions or actions against domestic targets toward a de-territorialized, supranational and largely uprooted activism. Nevertheless the strategic impact of these new movements is limited by the very fact that they have such scarce roots in the states’ domestic politics. However, this is not the case in <st1:country-region st="on">Pakistan</st1:country-region> and <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Afghanistan</st1:place></st1:country-region>, which are now the hotbed of contemporary Islamic fundamentalism. </p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:0;"></span>According to <st1:city st="on"><st1:place st="on">Roy</st1:place></st1:city><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn2" name="_ftnref2"><span style="font-size:0;">[2]</span></a> the relationship of Muslims to Islam is reshaped by globalization, westernization and the impact of living as minority. The issue is not theological contents of Islamic religion, but the way believers refer to this corpus to adapt and explain their behaviors in a context where religion has lost its social authority. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Roy</st1:place></st1:city> didn’t consider it to be a different Islam. The corpus, the basic tenets and rituals, the pillars of the faith are absolutely consistent with the learned tradition of theological and legal knowledge. Moreover, certain forms of globalization of Islam are explicitly fundamentalists by stressing the need to return to a ‘pure’ Islam, that of the salaf, the pious ancestors. Global Muslims, said Roy, either Muslim who settled permanently in non Muslim countries (mainly in the West), or Muslims who try to distance themselves from a given Muslim culture and so stress their belonging to a universal ummah, whether in purely quietist way or through political action.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn3" name="_ftnref3"><span style="font-size:0;">[3]</span></a> <p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b><o:p></o:p></b></p><b>B. Neo-Fundamentalism and Secularization<o:p></o:p></b> <p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:0;"></span>“Islamism” is the brand of modern political Islamic fundamentalism which claims to recreate a true Islamic society, not simply by imposing the shariat, but by establishing first an Islamic state through political action. Islamists see Islam not as a mere religion, but as a political ideology which should be integrated into all aspects of society (politics, law, economy, social justice, foreign policy, etc.). The traditional idea of Islam as an all-encompassing religion is extended to the complexity of a modern society. In fact they acknowledge the modernity of the society in terms of education, technology, changes in family structure, and so forth. The movement’s founding fathers are Hassan Al Banna (1906–1949), Abul Ala Maududi, and, among the Shi’as, Baqer al Sadr, Ali Shariati and Ruhollah Khomeyni. They had a great impact among educated youth with a secular background, including women. They had less success among traditional ulamas. To Islamists, the Islamic State should unite the ummah as much as possible, not being restricted to a specific nation. Such a state attempts to recreate the golden age of the first decades of Islam and supersede tribal, ethnic and national divides, whose resilience is attributed to the believers’ abandonment of the true tenets of Islam or to colonial policy. These movements according to <st1:city st="on">Roy</st1:city><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn4" name="_ftnref4"><span style="font-size:0;">[4]</span></a> are not necessarily violent, even if, by definition, they are not democratic: the Pakistani Jama’at Islami and the Turkish Refah Party (now fazilet) as well as most of the Muslim Brothers groups have remained inside a legal framework, except where they were prevented from taking political action, as was the case in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Syria</st1:place></st1:country-region>, for instance. </p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:0;"></span>In fact, this new brand of supranational neo-fundamentalism is more a product of contemporary globalization than of the Islamic past. Using two international languages (English and Arabic), traveling easily by air, studying, training and working in many different countries, communicating through the Internet and cellular phones, they think of themselves as “Muslims” and not as citizens of a specific country. They are often uprooted, more or less voluntarily (many are Palestinian refugees from 1948, and not from <st1:city st="on">Gaza</st1:city> or the <st1:place st="on">West Bank</st1:place>; bin Laden was stripped of his Saudi citizenship; many others belong to migrant families who move from one country to the next to find jobs or education). It is probably a paradox of globalization to gear together modern supranational networks and traditional, even archaic, infra-state forms of relationships (tribalism, for instance, or religious schools’ networks). Even the very sectarian form of their religious beliefs and attitudes make the neo-fundamentalists look like other sects spreading all over the planet.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b>C. Conclusion<o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">“Islamism” is the brand of modern political Islamic fundamentalism which claims to recreate a true Islamic society, not simply by imposing the shariat, but by establishing first an Islamic state through political action.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">The state the Islamist parties are challenging is not an abstract state, but rather one that is more or less rooted in history and is part of a strategic landscape. The Islamist parties themselves are the product of a given political culture and society. Despite their claim of being supranational, most of the Islamist movements have been shaped by national particularities.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">This “nationalization” of Islamism is apparent in most countries of the <st1:place st="on">Middle East</st1:place>.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">However, the mainstream Islamist movements, while consolidating a stable constituency inside their own country, are losing their appeal beyond their borders.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">Three elements characterize these groups (well embodied by the Taliban/Osama bin Laden coalition). </p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">First, they combine political and militant jihad against the West with a very conservative definition of Islam, closer to the tenets of Saudi Wahhabism than to the official ideology of the Islamic Republic of Iran.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">The second point is that these movements are supra-national. A quick look at the bulk of bin Laden’s militants killed or arrested between 1993 and 2001 show that they are mainly uprooted, western educated, having broken with their family as well as country of origin.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify">Third, while Islamists do adapt to the nation-state, neo-fundamentalists embody the crisis of the nation-state, squeezed between infra-state solidarities and globalization. The state level is bypassed and ignored.</p><div><div id="ftn1"><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:0;">[1]</span></span></a> <span style="font-size:0;"><a href="http://www.iht.com/cgi-bin/search.cgi/query=oliver">www.iht.com/cgi-bin/search.cgi/query=oliver</a></span></p></div><div id="ftn2"><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref2" name="_ftn2"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:0;">[2]</span></span></a> Roy, Olivier, 2004, <i>Globalised Islam the Search for New Ummah,</i> p ix-x</p></div><div id="ftn3"><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:0;">[3] </span></span>In this field <st1:city st="on"><st1:place st="on">Roy</st1:place></st1:city> has successfully describe globalization within Muslims and Islam; unfortunately, he is too west-minded in his opinions, like other orientalists before him.</p></div><div id="ftn4"><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref4" name="_ftn4"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:0;">[4]</span></span></a> Roy, Olivier, 2004, p 1-2, 22-23</p></div></div>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-7899710074786117712008-06-29T04:50:00.000-07:002008-08-27T04:37:02.844-07:00TOWARDS AN ANTHROPOLOGICAL DEFINITION OF RELIGION<?xml:namespace prefix = o /><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><div align="justify"><object id="ieooui" classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D"></object><style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style><br /><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><br /></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN">Question<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Should a religion be defined according to belief, ritual or their lived experience in everyday life?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN">Answer<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: center" align="justify"><b><span lang="IN">TOWARDS AN ANTHROPOLOGICAL DEFINITION OF RELIGION<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN">A. Introduction<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Religion has already for a long period been a topic of anthropological study. It is Sir Edward Burnett Tylor (1832 - 1917), who is considered as the founding father of the anthropological study of religion. He saw religion as a way to understand the unexplainable (Stanley Tambiah 1990: 43). Nowadays the phenomena religion is seen as a cultural universal. But the concept religion certainly is not. In the nineteenth century French encyclopedias introduced the concept, that etymological can be traced back to the Latin `religare´, meaning to tie back. The anthropologists, in contrast with for instance theologians, do not ask whether there is divine truth in religion, but looks at the content of the religion. The view on religion is very well typified by the definitions used for the concept. Max Weber refused to define religion and didn’t take religion seriously (Bryan Turner 1974: 177) and that might indeed be the wisest thing to do. But I will take some anthropological definitions. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN">B. Definitions of Religion<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">In classical anthropology the definitions tend to focus on religion in `traditional´ societies. In this they put emphasis on the interaction with supernatural entities<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Although subject of debate, religion in my view is very well possible without any supernatural beings, as Durkheim has debated in the case of Buddhism. The most important point of Durkheim is that religion can be seen as something sacred or as he puts it: <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">a unified set of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden, - beliefs and practices which unite [into] one single moral community, all those who adhere to them(Durkheim 1995: xxxiv)<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> </span><span lang="IN">In Durkheim’s view, it is the authority and beliefs of a society that make things sacred or nonsacred (in his terminology, profane). Religion is consequently best understood neither as the result of supernatural revelation (although Durkheim recognizes that this may be a personal view held by the member of a religion), nor as an illusion or set of mistaken ideas (which might be the viewpoint of a skeptical outsider who does not accept the religious beliefs). Rather, religion is best understood as the power of a society to make things sacred or profane in the lives of its individual members. According to Durkheim, the social and religious power of sacredness are one and the same, since to hold something sacred is to demonstrate one’s commitment to and respect for the authority of one’s tradition.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">What also is worth noting is that he takes religion as being both believe and practice. Furthermore Durkheim sees religion specific as something collective, while magic would be typified by individual practice. With his emphasis on a community as the basis of religion, that what often is referred to as shamanism would for instance not be considered a religion. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Another definition is by Sir Edward Taylor<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> He defines religion as “the belief in Spiritual Being”. Taylor’s treatment of religion is remarkably different from Robertson Smith’s sociological treatment of it in religion of the semites (1899). Smith sees totemism as the earliest manifestation of religion, in which the religion of the group or clan dominates individuals, and in which rite precedes belief, Taylor’s conception of religion put belief before rite, and saw its original basis in individual psychology. And from these basic premises he built up his scheme in evolutionary terms. Thus lower natural religion was transformed into higher revealed religion, distinguished by morality and ethics.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Taylor systematically built up other progressions: from the belief in souls to belief in spirit after death. By means of these progressions tylor constructed his (hypothetical) developmental scheme from animism to polytheism to monotheism, the last being the highest form.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Another definition is by Clifford Geertz. He defines religion as <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">(1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic (Geertz 1985: 4).<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> </span><span lang="IN">A little remark I can not keep to myself is that implicitly Geertz suggest that the religious experience is not true (an aura of factuality, it seems to be realistic), while in my view anthropologists shouldn't do any pronouncement about its truth, but need to be able to see it as the truth of the people studied. Like Durkheim who states: All [religions] are true in their own fashion. It is the task of the anthropologist to understand these fashions. As a critical point to Geertz´ definition that it lacks specificity. It wouldn't contain a directly observable, formal characteristic which is universally applicable as a means of identifying the religious. So it doesn't leave the anthropologist much to study, as I would interpret it. Hereafter they define religion themselves as: <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">All explicit and implicit notions and ideas, accepted as true, which relate to a reality which cannot be verified empirically (van Baal & van Beek 1985: 3)<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> </span><span lang="IN">So I must have misinterpreted their critics because here Geertz' symbols, moods, motivations and conceptions have been reduced to only notions and ideas. But there is also a similarity between the two definitions. In contrast with Durkheim and Tylor, both Geertz and van Baal & van Beek take non-empirically perceivable objects (notions and ideas; a system) as the core of religion instead of also having an eye for the practice. To me it seems to be this aspect can not be lacking in a definition, especially one of social scientists. Not only what is believed but also what is done marks the difference between religions. Some people might refer to their religion as mainly being the actions they are taking while others might emphasis the beliefs. So a definition should at least leave it open whether believe or action is taken as the core of the religion. In my point of view an anthropological definition of phenomena should somehow give a handle. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">In other hand, Malinowski sharply separated off science from religion. Science was a “profane” activity, while religion grouped with magic belonged to the “sacred” domain. (Staley Tambiah 1990: 67)<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">This demarcation is basically opposed to Taylor’s scheme, which grouped magic with science as “pseudo-science”. Malinowski characterization of “science” was both simpliciticand generous when he actually credited the Trobianders with the possession of scientific knowledge (Stanley Tambiah 1990:67-68). <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><b><span lang="IN">C. Conclusion<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Above this a definition in my point of view should embrace the dimensions in which religion is expressed. A lot of times it is these dimensions that are referred to as religion. Further essential to me seems the relation with something spiritual, in the broadest sense, being a quality of a human individual or an entity on its own. So summing up a definition in the line of the given arguments should have eye for the cognitive as well as the per formative nature of religion. It should somehow incorporate the dimensions in which it is expressed and take awareness of the fact that it has something to do with the spiritual. With these ingredients one comes to something like: <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">A set of beliefs and/or actions to regulate and approach reality, expressed in: (a) doctrine, (b) philosophy, (c) myth, (d) symbol (e) ethic, (f) ritual, (g) matter, (h) experience and (i) social organization, in some way related to spiritual qualities, phenomena or entities. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">In my point of view, to accentuate a point made before, religion is not something that can be studied, at least not by social scientist. It can only see expressions of religion, or to be more precise - but maybe a little confusing - the way it sees a human expression as the expression of what she refers to as religion. So only the expressions, of which certainly a limited number are included in the definition, can be studied. The point of it refers to as religion is that sometimes, because religion is not empirically perceptible, it is not clear whether an expression is religious. The field of ethics can supply us with a good example of this. The Moslems are forbidden to talk about bad things occurring in the Holy Book. One could look at this as a religious ethic: you should not talk about the bad things, but in the way described it maybe has more significance to look at it as socio-political ethic. For the sake of the Qur’an as a Source, there should be given a good image to the outside world, and there doesn't seem to be much religious about that. <o:p></o:p></span></p><div align="justify"><span style="font-size:85%;"><span lang="IN" style="font-family:';">This example shows that religion is very much intermingled with secular life. Religion is next to striving for spiritual goals also used for all kind of worldly goals. "Elementary" forms of religion are focused on mundane, worldly concerns: health, rainmaking, prosperity or as Weber puts it: "religious or magical behaviour or thinking must not be set apart from the range of everyday purposive conduct, particularly since even the ends of religious and magical acts are predominantly economic" (Sociology of religion 1965: 1)</span> </span></div><div id="ftn1" align="justify"><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[1]</span></a> <span style="font-size:85%;">Guido Verboom, 2006, Religion, <i>http://mongoluls.net/mongolian-religion/religiondef.shtml</i><o:p></o:p></span></p></div><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref2" name="_ftn2"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></a> Emile Durkheim,1995, <i>The Elementary Forms of Religious life</i>, translator’s introduction, (trans.) Karen Field</p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref3" name="_ftn3"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></a> <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:city st="on"><st1:place st="on">Stanley</st1:place></st1:city> Tambiah, 1990, <i>Religion, Magic, Science and the Scope of Nationality,</i> p: 47-48</p><p class="MsoNormal" style="MARGIN: 5pt 0cm; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref4" name="_ftn4"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[4]</span></a> <span style="font-size:85%;">Geertz, C.1985. <i>Religion as a cultural system. Anthropological approaches to the study of religion</i>. M. Banton. <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>, Tavistock: XLIII, 176. Cited in Guido Verboom,<i> </i>op. cit.</span></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref5" name="_ftn5"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></a> Baal, J. v. and W. E. A. v. Beek, 1985. <i>Symbols for communication an introduction to the anthropological study of religion.</i> Cited in Guido Verboom, op. cit.</p>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-41644257941857321952008-06-29T04:22:00.000-07:002008-08-27T04:33:13.370-07:00DEDUCTION<?xml:namespace prefix = o /><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><div align="justify"><object id="ieooui" classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D"></object></div><style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style><br /><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:PMingLiU; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-alt:新細明體; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} @font-face {font-family:"\@PMingLiU"; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><br /><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Deduction is the process of figuring things out that are necessary true, provided that the assumption we start with, called the premises, are true. Geometry is based on deductive thinking. So are all those word problems you had to do in math class.</p><div align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Aristotle provided a famous example of a kind of deduction that he called a syllogism. It consists of three statements: two premises and a conclusion.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Here is Aristotle’s syllogism about Socrates:</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">All men are mortal</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Socrates is a man</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Socrates is mortal</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">From the two premises, we can deduce the conclusion for certain.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">As Aristotle himself noticed, the conclusion is only certain if the premises in fact true. If all men aren’t mortal, or if Socrates is not a man, then the conclusion that Socrates is mortal may be false.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">As you’ll see later in chapter 7, Aristotle developed a whole philosophical system –including epistemology, metaphysics, and ethics- largely with the help of syllogism that assured him that his ideas were logically consistent. And, for the most part, his ideas are logically consistent. Unfortunately, this doesn’t make them all true. Many of Aristotle’s premises can be shown to be false.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Even so, Aristotle’s thinking has been extremely influential; partly because he has helped other philosophers focus on the logical consistency of their ideas. Deduction is the best way to expand what we already know. If we can be sure of our premises and the meaning of the words we use, it leads to reliable information.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><b>INDUCTION<o:p></o:p></b></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Another important logical process is induction –a way of making generalizations about things<span lang="AR-SA" dir="rtl">-</span>. Induction, like deduction, moves from premises to conclusions. But unlike deduction, induction leads to conclusions that may not be true even if the premises are true. Inductive conclusions are only probable, not certain.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">For example, if we want to know what color crows can be and we go out and find a good number of crows and all of them are black; it’s a pretty good bet that all crows are black. But can we be sure? Even seeing a million black crows doesn’t mean for certain that there isn’t a crow out there somewhere that is lime green. The best we can do is say that all crows are probably black.</p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: left" align="justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: left" align="justify">Induction is, in some ways, less certain than deduction, but induction can do a lot that deduction can’t. Induction for example, can help generate hypotheses. A hypothesis is a generalization that we think might be true, but that might not actually be true.<o:p></o:p></p>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-21270627687770638032008-06-19T11:15:00.000-07:002008-08-27T04:31:03.889-07:00KEBANGKITAN NASIONAL (SEABAD KONTROVERSI SEJARAH DI INDONESIA)<?xml:namespace prefix = o /><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><div align="justify"><object id="ieooui" classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D"></object></div><style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style><br /><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:PMingLiU; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-alt:新細明體; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} @font-face {font-family:Georgia; panose-1:2 4 5 2 5 4 5 2 3 3; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} @font-face {font-family:"\@PMingLiU"; panose-1:2 2 5 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:136; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611969 684719354 22 0 1048577 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:PMingLiU;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:PMingLiU;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} a:link, span.MsoHyperlink {color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {color:purple; text-decoration:underline; text-underline:single;} p {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:PMingLiU;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/Users/HAMDAN~1/AppData/Local/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><br /><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Sejarah merupakah sebuah fenomena peradaban manusia yang unik, dengan adanya sejarah kita bisa menguak tabir masa lalu, namun sejarah juga bisa melahirkan kontroversi dan perdebatan panjang. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Pada dasarnya, sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar terjadi, bersifat mutlak. Namun, kemudian ia akan menjadi relatif bila dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang. Singkatnya, kejadian itu sendiri bersifat absolut, tapi setelah ditangkap dan sampai pada manusia kejadian itu kemudian menjadi relatif. Dengan demikian, kebenaran sejarah merupakan kebenaran relatif. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam perdebatan dan kontroversi. Sejarah konvensional yang menjadi pegangan umum harus rela untuk direkonstruksi begitu ditemukan bukti baru. Maka tidak heran hingga detik ini telah muncul banyak versi sejarah. Sejarah bukanlah fenomena yang hanya mengakui hitam-putih, panjang-pendek, banyak warna dan ukuran yang menghiasinya. Namun, selama tidak mengandung bias dan tidak untuk kepentingan kekuasaan, versi-versi sejarah tetap memberikan nilai yang berarti. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Namun pada galibnya, Sejarah dijadikan doktrinasi dalam legitimasi politik pemerintah, yang mengakitbatkan penyelewengan fakta. Sejarah menjadi milik penguasa, dinasti atau orde yang berkuasa.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Hal inipun terjadi di negara kita. Telah terjadi pembengkokan sejarah dan pengaburan fakta. Setelah reformasi bergulir, puluhan buku yang mempertanyakan dengan berani dan terbuka merupakan bukti riil. Sejarah yang sudah ada dianggap tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta dan bukti sejarah. Sumbernya dipalsukan dan interpretasinyapun bias. Sejak saat itu pula sejarah harus diluruskan, sebab pemalsuan sumber sejarah merupakan pembengkokan atau rekayasa sejarah.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Selama ini publik bingung dengan banyaknya peristiwa masa lalu yang kabur atau dikaburkan sebab ditampilkan sesuai kehendak politik. Kini semenjak lengsernya rezim orde baru, sejarah Indonesia tidak lagi menjadi dominasi pemahaman rezim, namun menjadi kontroversi sengit dikalangan para sejarawan dan peneliti.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Menurut Asvi Warman Adam (2007), kontroversi sejarah di Indonesia dikarenakan fakta dan interpretasi yang dilakukan pemerintah berkuasa <i>tidak tepat, tidak lengkap </i>dan<i> tidak jelas. </i>Akibatnya, begitu rezim otoriter itu tumbang, sejarah yang direkonstruksinya pun tumbang. Maka, terjadilah polemik dan kontroversi sejarah di tengah masyarakat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Masih menurut Asvi, peristiwa masa lalu yang masuk dalam kategori pertama, misalnya, Peristiwa 30 September 1965. Peristiwa tersebut masuk dalam kategori pertama karena Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatu dengan Gerakan 30 September, G 30S/PKI, seakan partai tersebut adalah dalang tunggal di balik percobaan kudeta 1965, padahal ada versi lain tentang keterlibatan militer, Soekarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Bahkan, belakang ada yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak". Karena itu Asvi menyatakan bahwa penggunakan istilah Gerakan 30 September lebih obyektif daripada yang lain (Gestok, Gestapu, G 30 S/PKI).(<i>Koran Tempo</i>, 1/04/2007).<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Yang masuk kategori kedua, misalnya, tentang Budi Oetomo yang kelahirannya, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan. Sedangkan Sarekat Islam yang berdiri pada 1905 lebih nasionalis walau namanya sendiri berunsur agama. Asvi berpendapat bahwa peringatan tersebut dapat dilakukan, namun dengan mengenang dan mempersandingkan kedua organisasi perintis tersebut.</span><span lang="IN" style="font-family:Georgia;"> </span><span lang="IN">Termasuk dalam kategori ini adalah kisah hidup para pahlawan yang selama ini dikesankan sebagai manusia tanpa cacat, atau pahlawan yang sengaja tidak dikenang,</span><span lang="IN" style="font-family:Georgia;"> </span><span lang="IN">dibuang dari gelanggang sejarah.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Sedangkan kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia, misalnya naskah asli Supersemar. Sampai saat ini naskah asli surat itu tidak jelas keberadaannya, oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah Supersemar itu benar ada atau tidak.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Maka dari itu, peristiwa yang masih samar tersebut perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif guna menempatkan sejarah pada posisi sebenarnya. Masa lampau memang sudah berlalu, namun ia tak mati, rohnya tetap hidup dan berhubungan dengan masa sekarang dan masa depan. Karena itu, sepakat dengan Hasan Hanafi (2000), bahwa rekonstruksi masa lampau akan tetap diperlukan guna memetakan masa depan. Sejarah mengandung kebijakan (<i>wisdom</i>) dan kebajikan</span><span lang="IN" style="font-family:Georgia;"> </span><span lang="IN">(<i>virtue</i>) untuk dijadikan pedoman, penilaian, agar manusia bertindak lebih baik dalam memetakan masa depan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Dalam artikel singkat dan sederhana ini penulis tidak akan mengkaji berbagai peristiwa di atas, namun akan berkonsentrasi pada pembahasan kontroversi momen kebangkitan nasional yang masih menjadi bahan perdebatan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas hingga kini. Tepatkah 20 mei menjadi patokan dasar harkitnas? Kira-kira demikianlah pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN" style="font-family:Georgia;"><span style="font-size:+0;"></span><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">KONTROVERSI DAN PERDEBATAN TIADA HENTI<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Sebuah kebangkitan bermula disertai dengan parameter dan fakta sejarah yang digunakan. Menurut Syafi’i Ma’arif (<i>Republika, 06/04/2008</i>) Kebangkitan nasional harus diartikan sebagai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa, bukan kebangkitan suku-suku bangsa. kelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalah sebuah terobosan kultural-intelektual yang sangat penting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlah mayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain, yaitu suku Jawa, yang sekarang meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jasa tokoh-tokoh seperti Dr Wahidin Soedirohoesodo dan Dr Soetomo dengan gagasan pencerahannya bagi suku Jawa (saat itu disebut bangsa Jawa), tentu punya makna tersendiri.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Ketetapan politik untuk sebuah peristiwa penting tanpa dasar sejarah yang solid, posisinya tentu tidak lebih dari mitologi, rapuh sekali. Dalam Anggaran Dasar BU, ditetapkan di Yogyakarta 9 Oktober 1908, pasal dua berbunyi: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Tetapi, juga harus dikatakan bahwa sebelum tahun 1920-an, selain Sarekat Islam (SI) dan BU memang tidak ada organisasi manapun di nusantara yang sudah menggagas tentang kemungkinan munculnya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia yang tegas dengan watak nasionalnya. Apalagi pada abad ke-19, sosok bangsa Indonesia dalam mimpi pun tidak terbayang oleh masyarakat kala itu. Maka, akan sangat bijak jika pemerintah dan masyarakat kita sekarang mau mengkaji ulang keputusan politik tahun 1948 (awal peringatan harkitnas) yang menetapkan kelahiran BU, 20 Mei 1908, sebagai tonggak kebangkitan nasional.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Mengenai kontroversi ini sejarawan Rushdy Hussein menegaskan, munculnya momen kebangkitan nasional pada tahun 1948 atas usul Ki Hajar Dewantoro dipicu dari keadaan politik Indonesia yang belum stabil sebagai negara yang baru lahir. Pertikaian antar partai politik kala itu semakin menambah suramnya masa depan bangsa. Maka pemerintah memutuskan untuk menjadikan 20 mei sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan harapan pertikaian antar partai kala itu bisa teredam dengan momen tersebut. Kepanitiaanpun dibentuk dengan keanggotaan yang multi partai.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn1" name="_ftnref1"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:+0;">[1]</span></span></a> </span><span lang="IN">Namun ada hal yang dilupakan dalam peristiwa tersebut, tambah Hussein. Presiden Soekarno pada tahun 1948 dalam pidatonya <i>satu machtspolitiek</i> (Politik Kekuasaan) sudah mengimbau agar tanggal tersebut kelak ditinjau kembali.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn2" name="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:+0;">[2]</span></span></a> Jadi, 20 Mei belum tentu tepat sebagai lambang kebangkitan nasional. Dan rupa-rupanya kita lupa, sampai hari ini tetap saja secara tradisional menggunakan lahirnya BU sebagai tonggak kebangkitan nasional tanpa mengetahui sejarah kelahirannya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Fakta sejarah juga membuktikan bahwa BU tidak bertahan lama, karena bubar pada tahun 1935. Disamping keanggotaannya yang feodalistik dan a-nasionalis sehingga kuantitas anggotanya kalah jauh dibandingkan dengan SI, BU juga kalah bersaing dengan SI yang berani merambah ranah politik dan dengan lantang menentang kolonialisme. Hal ini yang menurut sebagian sejarawan menjadikan pamor BU tergeser kebelakang yang akhirnya bubar pada tahun 1935, sepuluh tahun sebelum para <i>founding fathers</i> mendeklarasikan kedaulatan Indonesia. Tak heran apabila hal ini memicu perdebatan panjang para praktisi sejarah tentang penetapan BU sebagai landasan awal kebangkitan nasional. Dan menuntut peninjauan ulang tentang hari kebangkitan nasional.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Selain lahirnya BU yang menjadi patokan konvensional kebangkitan nasional, lahirnya SI pada tahun 1905 -tiga tahun lebih awal dari BU- juga merupakan awal dari jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tidak hanya mengedepankan otot dan kekuatan dalam melawan kolonialisme, meskipun SI menjadikan sentimen keagaamaan sebagai landasan pergerakannya. Sehingga tidak sedikit dari sejarawan yang berpendapat bahwa 16 oktober –tanggal lahirnya SI- lebih layak menjadi patokan kebangkita nasional. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Ada juga yang menjadikan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn3" name="_ftnref3"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:+0;"> [3]</span></span></a> sebagai tonggak awal kebangkitan nasional, salah satunya adalah Syafi’i Ma’arif, dia menegaskan bahwa, memang BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun yang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa bernama Indonesia.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">PENUTUP<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN"><span style="font-size:+0;"></span><span style="font-size:+0;"></span>Sebelum abad ke 20 perjuangan rakyat indonesia masih bersifat kedaerahan, bersifat kekuatan fisik tanpa memperhitungkan kekuatan otak. Jadi hanya otot yang dipertaruhkan. Tapi 1905 dan 1908 senang atau tidak senang pergerakan pada waktu itu sudah menggambarkan bahwa otak gerakan etis itu memunculkan satu peristiwa besar, yaitu pendidikan bagi semua orang di Hindia. Tanpa pandang bulu. Dan pendidikan itulah sebetulnya yang menyadarkan orang akan arti sebuah nasionalisme dan kemerdekaan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Beragam kontroversi tentang manakah yang layak menjadi landasan kebangkitan nasional semakin marak dan terang-terangan, khususnya setelah bergulir era reformasi. Lahirnya BU, SI/SDI atau bahkan Kongres Pemudakah yang harus menjadi tonggak awal kebangkitan? Menurut hemat penulis, perdebatan semacam ini tidak perlu diperpajang, dalam artian, sepanjang fakta dan sumber otentik sejarah telah dituturkan dengan jujur kepada masyarakat. Biarlah masyarakat nantinya yang menilai. Toh, setiap pergerakan yang ada kala itu, SI maupun BU, sama-sama telah memberikan kontribusi signifkan berupa pencerahan akan arti kemerdekaan dan nasionalisme yang lebih elegan, sehingga muncul berbagai organisasi dan partai politik yang beragam hingga kemerdekaan diraih oleh bangsa kita pada tahun 1945.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN">Terlepas dari kontroversi diatas, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa bangit secara faktual bukan sekedar seremonial. Lima permasalahan besar bangsa ini, yang pernah diutarakan Presiden SBY,<a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftn4" name="_ftnref4"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:+0;">[4]</span></span></a> krisis ekonomi, ancaman disintegrasi, praktek KKN, terorisme dan intervensi pihak asing perlu dijadikan musuh bersama (<i>common enemy</i>) yang menjadi tanggung jawab bersama, disini -sepakat dengan muladi-<span style="font-size:+0;"> </span>rejuvenasi (peremajaan) optimisme bangsa merupakan harga mutlak. Jangan kita berhenti pada perdebatan tiada henti yang semakin menggoyahkan persatuan, tapi mari menuju aspek riil yang membutuhkan uluran tangan bersama. Bersama indonesia bisa!<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><i><span lang="IN">Allah Knows Best<o:p></o:p></span></i></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><i><span lang="IN">Albi,190608,14:05 <o:p></o:p></span></i></p><p style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><p style="BACKGROUND: white; moz-background-clip: -moz-initial; moz-background-origin: -moz-initial; moz-background-inline-policy: -moz-initial" align="justify"><o:p></o:p></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="font-size:+0;">[1]</span></span></span></a> <span lang="IN">pelaksanaan harkitnas pertama kali diketuai oleh Ki Hajar dewantoro dengan wakil sugito dari PKI, anggotanya pun terdiri dari PNI, Masyumi dan partai lainnya kala itu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref2" name="_ftn2"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="font-size:+0;">[2]</span></span></span></a> <span lang="IN">Dalam pidatonya tersebut Bung Karno menggaris bawahi, “andaikata bisa diselenggarakan peringatan kebangkitan nasional ini pada tahun-tahun mendatang, cobalah dievaluasi setiap 10 tahun”. Maksudnya tentu, apakah benar mengambil angka 20 Mei itu, artinya lahirnya Boedi Oetomo itu tepat. Itu yang dia mau bicarakan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref3" name="_ftn3"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="font-size:+0;">[3]</span></span></span></a> <span lang="IN">Istilah Kongres Pemuda merupakan istilah yang pertama kali digunakan dalam pertemuan pemuda yang menelurkan trilogi pernyataan semangat nasionalisme yang sekarang lebih di kenal dengan Sumpah Pemuda. Istilah Sumpah pemuda baru digunakan pada tahun 1958 oleh Bung karno. Lihat, Asvi Warman Adam, <i>Seabad Kontroversi Sejarah</i>, Ombak, Yogyakarta, 2007.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-create.do#_ftnref4" name="_ftn4"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size:10;"><span style="font-size:+0;">[4]</span></span></span></a><span style="font-size:10;"><span style="font-size:+0;"> </span></span><span style="font-size:85%;">Transkip kuliah umum tertanggal 4 September 2007, di Universitas Airlangga-<?xml:namespace prefix = st1 /><st1:city st="on"><st1:place st="on">Surabaya</st1:place></st1:city>. Lihat:<span style="color:black;"><a href="http://www.sekretariatnegara.com/"><span style="TEXT-DECORATION: none;color:black;" >www.sekretariatnegara.com</span></a>.</span> Jumat, 25 April 2008<span style="font-family:Arial;">. </span>dikutip dari: Muladi Mughni, <i><span lang="IN">Rejuvenasi Aura Optimisme; sebuah Modal bagi kebangkitan Nasional</span></i><span lang="IN">, Naskah LKTI dalam rangka Harkitnas di KBRI Islamabad, 20 mei 2008.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoFootnoteText" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><o:p></o:p></p>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-91399890945298194992008-05-26T13:36:00.000-07:002008-08-27T04:42:53.099-07:00the ethic of plato<p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">'Ethic' is one of the important aspects</span><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" > </span></b><span lang="EN-GB">in human's life,</span><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" > </span></b><span lang="EN-GB">there are many different ideas discusses about ethics, whether it such branch of knowledge or philosophy. However it will be explained here in my project 'The ethics of Plato' and the first chapter is clarifying the different definitions of Ethics among some scholars.<?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The second chapter will give brief introduction of Plato. Plato is one of the famous philosophers of Greek who considered the ethics to be his research study. And the last chapter is the ethics of Plato, which give more details about Plato and his idea of ethics. </span><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">However, may this project be able to grant an addition to our knowledge and valuable.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: right" align="right"><i><span lang="EN-GB">By, Alfina Hidayah<o:p></o:p></span></i></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >Chapter One: </span></b><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >What is Ethic?<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part One: The Definitions of Ethic<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">There are many definitions of ethics; according to Concise Oxford English Dictionary it means a set of moral principles: the puritan ethic. Originated from Middle English: from Old French 'ethique' from Latin 'thice' from Greek (he) 'thike' tekhne) '(the science of) morals, based on ethos.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn1" name="_ftnref1"><span class="MsoFootnoteReference">[1]</span></a> And the word ethos means the characteristic spirit of culture, era or community as manifested in its attitudes and inspirations. It derived from Greek means nature, disposition, (plural) customs.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn2" name="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></a> </span><span lang="EN-GB">According to Arabic language, ethic means '<i>khuluq'</i>, which intend to the similar words around character, behaviour, nature or attitude. And every <i>khuluq</i> relates to '<i>Khaliq'</i> (the Creator), both are derived from the same letter with different spelling. The first will be read <i>Khuluq</i> (ethic) and the second read <i>Kholiq</i> (the Creator), that in every ethics of people should be connected and based upon the Creator's willing. Because the submission of ethics it's not just relates to human beings but to the Creator as well and to all universe.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn3" name="_ftnref3"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></a> </span><span lang="EN-GB">There are number of terminological meanings of ethics according to some scholars, are:<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">1. <span dir="ltr"><span lang="EN-GB">In the Greek philosophical ethics differs from later moral philosophy in ways that reflect the difference between Greek society and modern society.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn4" name="_ftnref4"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></a> It is Socrates when he talks about moral he believed that all the moral virtues were forms of knowledge; in such a way that when we knew what justice was, it followed that we would be just.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn5" name="_ftnref5"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></a> </span></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">2. <span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Definition of Ibrahim Anis, that ethic is character which tied up in the soul of man, by this will create many actions, good and bad, without any thought and judgment.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn6" name="_ftnref6"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></a> </span></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">3. <span dir="ltr"><span lang="EN-GB">According Kant, what he was saying about a moral precept is that nothing is unconditionally good except a good will, health, wealth, intellect, are good only in so far as they are used well. But the good will is good. The good will's only motive is to do its duty for the sake of doing its duty. Whatever it does intend to do, it intends because it is its duty.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">And there are many other scholars have conversed about ethics.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >Chapter Two: </span></b><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >Who Is Plato?<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato he was born in Athena 427 B.CE and died on 347 B.CE, he was a student of Socrates, he concern on his philosophy of ethics and many discovering of sciences which has began with Socrates. He wanted to complete his research on philosophy of ethics, soul or psychology of human beings, and any problems of sciences, physic and metaphysic, the matters of social, the management of education, politics, laws, etc. [7]</span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part One: His life<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify" align="center"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato was born around high class family in Athena on 427 B.CE, when he was young he acquainted with a famous philosopher Socrates who was became his teacher and friend. On 399 B.CE Socrates died by the government in his seventy years old, this verdict made Plato insufferable of democrat government. No longer after his teacher died, he left Athena and roves wander about ten to twelve years in unknown places. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">On 387 B.CE he went back to Athena and built institution there, an Academy which alive about 900 years. He spent his 40 years in Athena, he taught, wrote the matters of philosophy, and he has a great student 'Aristotle' and Plato was sixty years old, so he was passed away in his seventy years. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%"><b><span lang="EN-GB">Part two: the opus of Plato<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato has written</span> no less than thirty six books, which discussing about Politics, Ethics, Metaphysics and Theology. 'Republic' is one of his books that written about his ideal thought of social forms. He said the best form of government is aristocrat government, and a leader should be select by the collective agreement and the guardian should select his staffs according to their qualities. <o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">Plato was the first philosopher who considered the women right in political aspect and social, he allowed women to have their chances in political roles. He said that children under responsibility of the state, they should learn any kind of sciences and especially his ideal understanding of the metaphysics.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn8" name="_ftnref8"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></a> Due to his opus, the idea of an ideal state has influenced broadly to western countries until today. <o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >Chapter Three: </span></b><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >The Ethics Philosophy of Plato<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The definition of justice as "telling the truth and paying one's debt" is rejected, not only because it may sometimes be right to with hold the truth or not to return what one has borrowed, but because no lists of types of action could supply what Plato is demanding. What he wants to know is what it is about an action or class of actions which leads us to call it just. And he also rejected a definition of justice as "doing good to one's friends and harm to one's enemies". <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Socrates does offer us a formula, that justice is that state of affairs in which everyone has regard to his own concerns, this is in it self the answer that was being sought. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato tried to show what justice is, first in the state and then in the soul. He outlines a state in which all basic needs are met. Three classes of citizen are required: artisans and labourers to produce the material needs of society; soldiers to defend the state and rulers to organize its social life. He believes that which is not certainly true is that one man is better to stick to one job. And the belief which is certainly false is that men are by nature divided up into men best suited for each of these functions. Plato believes on this point were powerfully resistant by his doctrine of the tripartite soul. The argument about the tripartite soul are independent of those for the tripartite state, but it is necessary for the doctrine of the tripartite state that at least something like the doctrine of the tripartite soul should be true. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The Plato points about desire is that a man can not simultaneously desire to do something and desire not to do it, in the same sense in which a man can not at the same time move in given direction and not move in that direction. He wants to illustrate a distinction between the parts which is the reason, a distinction which apply huge pressure upon some subsequent moral philosophy. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The division of the soul is not just between reason and appetite; there is also the spirited part, which is concerned neither with rational standards of behaviour nor with bodily desires, but with standards of honourable behaviour. And with anger and indignation. And justice of the state belongs not to the desires and wisdom of the superior few, nor to that class, nor to particular relationship between classes but to the society's functioning as a whole. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Justice in the soul is likewise a matter of each part of the soul performing its proper and allotted function. An individual is wise in virtue of reason ruling in him and brave in virtue of the spirited part playing its role. An individual is temperate if his inferior bodily appetites are ruled by his reason. And justice belongs to its total ordering. Moreover, the just man will rarely exist except in the just state, where at least some men, the future rulers are systematically educated in justice. But the just state can not possibly exist except where there are just men; Plato brings the ideal of the philosopher king. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The form of the good is not one among the other forms we think: they belong to the dominion of unchanging existence, the form of the good dwells beyond existence. So it is in the intellectual light given out by the form of the good we grasp the other forms, but we cannot contemplate the form of the good it self. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The ruler of the just state, in whom the rule of reason is present are rational in virtue of an education which has enabled them to apprehend the forms. In the just state the philosopher is king, only he can bring into being and maintain in being state in which justice is embodied both in the political arrangements and in the soul. It follows that the class division of the just society can, as Plato has earlier suggested, be maintained by educating some to be rulers, others to be auxiliaries, most to be ruled; the use of eugenic controls and selection methods is to insure that those fit for the education of rulers receive it. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato has three arguments that the just life is happier than the unjust one. The first is that the unjust man sets no curb upon his desires, and so his desires are without limit. But being limitless, his desires can never be satisfied and so he will always be discontented. The second argument is that only the philosopher is in position to contrast the pleasures of reason with those of limitless, appetite and sensuality, for he alone knows both sides. The third depends for part of what it seeks to prove upon the arguments about the forms.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Man can pursue pleasure only if I am pursuing identifiable goals and making choices between alternatives in terms of them. The man who can no longer make choices but passes on heedlessly and inevitably from one action to the next is not a possible normal human type, but rather a compulsive neurotic. <a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn9" name="_ftnref9"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Plato points out that justice is a relation among individuals, depending on social organization; and that in consequence it can be studied better as part of the structure of a community than as a quality of personal conduct.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn10" name="_ftnref10"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></a> He said that there are only three things worth while in this world: justice, beauty and truth; and perhaps none of them can be defined. And he said viewed that justice means the having and doing what is one's own. A just man is a man in just the right place, doing his best, and giving the full equivalent of what he receives. Justice is effective coordination, such as in individual, justice is the harmonious functioning of the elements in a man, every individual is a cosmos or a chaos of desires, emotions and ideas.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftn11" name="_ftnref11"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></a></span> <p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >References</span></b><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span><p></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 27pt; TEXT-INDENT: -27pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">Concise <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:place st="on"><st1:city st="on">Oxford</st1:city></st1:place> English Dictionary, Eleventh Edition<span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 27pt; TEXT-INDENT: -27pt; LINE-HEIGHT: 150%"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 27pt; TEXT-INDENT: -27pt; LINE-HEIGHT: 150%">Durant, Will, <i>The story of philosophy</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Simon</st1:city> <st1:state st="on">&</st1:state> <st1:state st="on">Schuster</st1:state>, <st1:state st="on">New York</st1:state></st1:place>, 1961,</p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%">Hart, Michael H., <i>Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah</i> translated by Mahbub Djunaidi, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.</p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%">Ilyas, Yunahar,<i> Kuliah Akhlaq</i>, LPPI, <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, 2005</p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%">Ismail, Mansyavi Abd Rahman, <i>Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi</i>, Daar al-Tsaqafah al-'Arabiah, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cairo</st1:place></st1:city>, 1999</p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span style="font-family:'Times New Roman';">MacIntyre, Alasdair, <i>A Short History of Ethics</i>, Routledge, <st1:place st="on"><st1:city st="on">London</st1:city></st1:place>, 2000</span> </p><div id="ftn1"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[1]</span></a><span style="font-size:85%;"> Concise <st1:city st="on"><st1:place st="on">Oxford</st1:place></st1:city> English Dictionary, Eleventh Edition. "Ethic".</span></p></div><div id="ftn2"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref2" name="_ftn2"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[2]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ibid, "Ethos".</span></p></div><div id="ftn3"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref3" name="_ftn3"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[3]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ilyas, Yunahar, <i>Kuliah Akhlaq</i>, LPPI, <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, 2005, p: 1 </span></p></div><div id="ftn4"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref4" name="_ftn4"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[4]</span></a><span style="font-size:85%;"> MacIntyre, Alasdair, <i>A Short History of Ethics</i>, Routledge, <st1:place st="on"><st1:city st="on">London</st1:city></st1:place>, 2000, P : 84</span></p></div><div id="ftn5"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref5" name="_ftn5"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[5]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ibid, P: 21</span></p></div><div id="ftn6"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref6" name="_ftn6"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[6]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ilyas, Yunahar. <i>Op. Cit.,</i> p: 2 </span></p><p class="MsoFootnoteText"><o:p><span style="font-size:85%;"></span></o:p></p></div><div id="ftn7"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref7" name="_ftn7"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[7]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ismail, Mansyavi Abd Rahman, <i>Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi</i>, Daar al-Tsaqafah al-'Arabiah, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Cairo</st1:city></st1:place>, 1999, P: 121</span></p></div><div id="ftn8"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref8" name="_ftn8"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[8]</span></a><span style="font-size:85%;"> Hart, Michael H. <i>Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah</i> translated by Mahbub Djunaidi, Dunia Pustaka Jaya, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>, 1982. No: 40<br /></span><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref9" name="_ftn9"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[9]</span></a><span style="font-size:85%;"> MacIntyre, Alasdair,<i> Op. Cit.,</i> P: 33-47</span></p></div><div id="ftn10"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref10" name="_ftn10"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[10]</span></a><span style="font-size:85%;"> Durant, Will, <i>The story of philosophy</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Simon</st1:city> <st1:state st="on">&</st1:state> <st1:state st="on">Schuster</st1:state>, <st1:state st="on">New York</st1:state></st1:place>, 1961, p: 18</span></p></div><div id="ftn11"><p class="MsoFootnoteText"><a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=9139989094529819499#_ftnref11" name="_ftn11"><span class="MsoFootnoteReference" style="font-size:85%;">[11]</span></a><span style="font-size:85%;"> Ibid, p: 33</span></p></div>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-3094177142598624132008-05-26T13:34:00.000-07:002008-08-27T04:54:59.412-07:00why should women be aware of knowledge<p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;color:black;" ><strong>INTRODUCTION<?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></strong></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span style="color:black;">'Women', they already existed from the beginning, there are many stages of women's life since to be a companion of Adam up to number civilizations in ancient period, the coming of Islam and now, what the people called by modern era. So many different how the women survive and develop from time to time in several of fields, especially what I want to point here is in the educational aspect, it contents of any knowledge and sciences. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span style="color:black;">Muslim women in science have become leaders in their fields nowadays, receiving awards, earning patents and making contribution that further man's knowledge of the world. That will be figures of the women Muslims today, how their sisters can achieve that goal, then to push all the Muslims ummah for attain all knowledge as possible. </span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">My topic in this project is 'Why should women be aware of knowledge?', that I divided into some chapters and parts are:</p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Women in history and today's life</span><o:p></o:p></b></p><ol><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The Ancient Women</span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The Women in Period of Islam</span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Women in Today's Life</span></span></div></li></ol><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Women and Education</span><o:p></o:p></b></p><ul><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Education, Philosophy and Science</span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Women and Knowledge</span></span></div></li></ul><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Islamic perspectives of women</span><o:p></o:p></b></p><ul><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The Status of Women </span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The Equality of Men and Women</span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 54pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Woman's Place in Society</span> </span></div></li></ul><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify">My method in this project is collecting all sources of different women story in various periods of life and civilization, describing definition of education and philosophy and the relation between them, defining science and its importance for women and examples of women scientist figures. Finally I explain the ideal perspective of women is in the Islamic views, here I mention the status of women, their equality with men, and their position in society. </p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: right" align="right"><i>By, Alfina Hidayah<o:p></o:p></i></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><strong><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" >CHAPTER ONE: </span><span lang="EN-GB" style="font-family:ArtificeSSK;">WOMEN IN HISTORY AND TODAY'S LIFE<o:p></o:p></span></strong></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p><strong></strong></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">History had told us the life enlargement of human beings from its beginning. And woman is part of this long story and she already exists to company, submission, and helps a man. Indeed woman also give a birth of man's children and makes them grow up. But again, where does the history tell us about woman? How is life keep her alive? Why does world forget them through long history? <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part One: The Ancient Women<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">According to some religions, Hawa or Eden is to be blamed for the first mistake that Adam sent to earth, the Christians and the Jews believed that. Come foreword in the history of ancient <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:country-region st="on">Egypt</st1:country-region>, Babylonians, Persians, <st1:country-region st="on">India</st1:country-region> and <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">China</st1:place></st1:country-region> civilizations; we will find that women in their society were very bad conditions. They treated woman as a slave, woman should finish her life when her husband is died, to be buried or burnt alive together with her husband's corpse. Another phenomenon in history that woman became religious offering and to be sacrificed for realm worshiped or devas.[1] </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">In Ancient Greek and Roman, the existence of woman considered to be the second position of human beings, half man etc. Aristotle view about woman is that "A woman was an un-finished man…"<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn2" name="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference">[2] </span></a>Another story that an ancient Greek man were repressed and inhibited their women in palace and they made low class woman for sale, then anyone can buy and own woman as other property. The husband can do everything to his wife, selling, torturing, expelling or even he can kill her. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">What happened in Ancient Arab before Islam is the same as other places,<b> </b>no<b> </b>respectable level for women. The woman was a slave and chattel, and even they killed their daughters.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn3" name="_ftnref3"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></a> What terrible thing happened to women for thousands years? <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part Two: The Women in Period of Islam<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The places of women rise up when Islam came as the merciful teaching for whole universe, because Islam came as a perfect religion and civilization. There is no marginalization of sex in Islam, whether man and woman both are equal according to their functions. In the time of Rasulullah <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam</i> there was kind of freedom for women, they were allowed to be active out of their homes, learning, teaching, attending Khutbah of Prophet <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam</i><b> </b>in the mosque and also they participate in jihad, giving an oath and Hijrah. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">By this, there are many female figures of Islam, such as the wives ra of Rasulullah<i> Salallahu 'Alaihi Wassalam</i>, His daughters ra, another figures are Al-Syifa (a first female teacher), Rufaida (a founder of hospital and Red Cross), Zubaida (wife of Harun al-Rasyid), Qohromanah (first female judge), Laela Katun (a first woman participated in Crusade war), Ummu Khalil (a female master of Egypt), Qoro Fatima Khanum (a leader of war), etc.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn4" name="_ftnref4"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></a> </span><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><b><span lang="EN-GB">Part Three: Women in Today's Life<o:p></o:p></span></b><p></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="EN-GB">According to modern thinking, giving equal status to women meant bringing them out of their homes and standing them face to face with men in all facets of life without any regard for the practical and moral problems which might arise. The modern man imagines that his feminine counterpart has in actuality been accorded a superior position. But what actually happen is that the status of women is the same as it was in ancient times, there still being mutually exclusive divisions into male and female spheres, with the corresponding attitudes still very much in evidence. Fourteen hundred years ago Islam launches a much needed woman's lib movement, whose purpose to free women from artificial curbs and to give them position which any normal human beings should have in society, without any sacrifice of femininity or traditional values, without creating any problems in society. In contrary with the whole liberation movement of the west has been swamped in a welter of emotion, creating a number of social problems.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn5" name="_ftnref5"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></a> </span><span lang="EN-GB" style="font-family:ArtificeSSK;"><strong></strong></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify" align="left"><span lang="EN-GB" style="font-family:ArtificeSSK;"><strong>CHAPTER TWO:</strong></span><span lang="EN-GB" style="font-family:ArtificeSSK;"><strong>WOMEN AND EDUCATION<o:p></o:p></strong></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify" align="justify"><span lang="EN-GB"><o:p><strong></strong></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part One: Education, Philosophy and Science<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">'Education' has been derived from the Latin words Educare, Educatum or Educere. Means to train, to bring up and to nourish. The former implies that education is something external; to be imposed or put in from outside, the latter indicates growth from within. Aristotle definition as a process necessary for the creation of a sound mind, to train body, mind and soul.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">There are many people have different ideas of education aims, are: the conservative or cultural aim, the progressive aim, education for citizenship, Social efficiency as an aim, vocational aim, knowledge as an aim, personality development as an aim, etc. however formal and informal education are not contradictory but rather they are supplementary to each other. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Philosophy is the pursuit of wisdom, the study of realities and general principles. It is concerned with a search for the eternal truth. It is said that every teacher has a philosophy of education, whether he is aware of it or not. It is relation between philosophy and education by saying "Philosophy and education are like sides of coin, the former is the contemplative side, while the latter is the active side'. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Sir John Adam says: Education is the dynamic side of philosophy. Philosophy and education are interdependent, philosophy depends upon education for the formulation of aims and objectives and education depends upon philosophy for its guidance. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Educational philosophy is a branch of general philosophy, education to a large extent, is dependent upon educational philosophy. Philosophy formulates the aims and objectives of education which in turn, influence the practice, the subjects of study and the methods of teaching. The educational philosophy draws its data from a wide variety of sources it starts from the humble data of common sense and goes into philosophical thinking of great concentration and of high standard. It draws from science, history and traditions.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn6" name="_ftnref6"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></a> </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Whereas science, it means to know, there are three main ideas of science: (1) science is systematized body of knowledge, (2) science is a way of investigating, (3) and science is a way of thinking. Science is a way of thinking, a person with a scientific attitude will have the following characteristics: Open mind ness, objectivity, freedom from superstitions, belief in cause effect relationship, accuracy and truthfulness in reporting observations, methodical way of solving a problem, up to datedness, respect for other people opinion, though may not be agreeable, ability to distinguish between scientific evidence and scientific proof, ability to discern between fact and fiction. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Science has brought about change in our way of thinking, attitudes, out look and our life style. As such the average span of human life has been doubled by bringing about a change in health, medicine, and sanitation. There is revolutionary change in communications transportations, agriculture, engineering, power, etc. the impact of science is evident in agriculture, health, modern civilization, democracy, etc.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Science education is essential as it is of immense value in the student's individual life and his life in society. In the present era of science, people are pursuit of scientific knowledge necessitated by the space age and explosion in knowledge in information technology. Science education has taken an important place because it has influential values in intellectual, vocational, aesthetic, practical, psychological, moral, and cultural and adjustment arena of an individual.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn7" name="_ftnref7"><span class="MsoFootnoteReference">[7]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="EN-GB">Part Two: Women and Knowledge<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">There are some motives which obliged women to seek knowledge, as became Muslim according to the Islamic Shari'ah, Maulana Wahiduddin Khan ever said in his book about some reasons why women should be aware of knowledge, a number of them are: <o:p></o:p></span></p><ol><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB" style="color:black;">Woman is source of goodness: some verses in Qur'an and some traditions which elaborate this point: "live with them on a footing of kindness and equity. If you take a dislike to them, it may well be that you dislike a thing which God has meant for your own abundant good." This verse draws our attention to the fact that nothing is perfect in this world and that apparent imperfection may conceal some virtue. If in certain respects a woman is imperfect, there will be other respects in which she is perfect: it is her plus points, on which attention should be focused. <o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB" style="color:black;">Freedom of expression: there was a common woman has criticized the ruler of an empire of Umar ra, and the latter withdrawing his words. The right of absolute freedom of expression as we find in this incident, is a clear indication that woman has been granted her full rights in Islamic society. <o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB" style="color:black;">Woman as a source of knowledge: in the first era of Islam, academic activity related mostly to work on the <i>Hadist</i> and <i>athar</i>. We will find in this age that a number of the prophet's companions were women, and they contributed in large measure to the narration and preservation of the traditions of the prophet. 'Aishah, herself handed down to posterity a substantial proportion of what comprises the vast whole of Islamic knowledge. <o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB" style="color:black;">In the field of action: at the period of Islam, women worked not only in their homes but outside as well, this was because their men folk were so preoccupied with preaching Islam, and the household responsibility was left to the women then to deal with both internal and external duties. They even tended the animals, did the farming and worked in the orchards, etc.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn8" name="_ftnref8"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></a> </span></span></div></li></ol><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">From these reasons we know that Allah has gave women an extraordinary power to do in every fields of life, we can conclude that there is no an exception to women can not learn knowledge when it is possible. Especially in modern world today, for every one should own knowledge, at least it will be benefit for their selves. Allah </span><i><span lang="EN-GB">Subhanahu Wa Ta'ala</span></i><span lang="EN-GB" style="color:black;"> said: "…Are those who know equal to those who know not? …" (Az-Zumar: 9).<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn9" name="_ftnref9"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">The role of family and society are very essential to encourage women in seeking knowledge, whether parents or husband. But unfortunately what happened today is not exactly the same as Prophet taught in the beginning of Islam, because through history we know there are kind of freedom for women in study and even for jobs, but nowadays there are many men in family are very restricted to their women, and in very bad condition that sometimes men use the words of religion to restrict their women. Then, in the reaction we find a number of problems happened in society; such as the thought of feminism in Muslim women, etc. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">However, formal and informal educations are not contradictory but rather they are supplementary to each other. If it is possible for women to achieve a higher education, so why not? There are a large number of women can not attain their education due to many problems, then if woman has not possess any problems and difficulties so it will be better to complete her education as high as possible because no prohibition in religion for seeking knowledge but orders it.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">The problems and difficulties that sometimes interfere with education are: family problems, financial problems, chance and opportunities, self interest problem, and personal problems such as indolent or laziness etc. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB" style="color:black;">The famous women Muslims </span><span style="color:black;">Scientists today, are: <b>Professor Dr. Bina Shaheen Siddiqui, </b>Dr. Siddiqui has made significant contributions to medicine and agriculture through her study and classification of indigenous plant materials.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span style="color:black;">Sameena Shah</span></b><span style="color:black;"> : Recently at the international Workshop on Machine Learning in <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Canada</st1:country-region></st1:place>, Samira Shah, presented an innovative algorithm in computerized cognitive leaning that she and a team of colleagues developed at IIT Delhi, India.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span style="color:black;">Professor Samira Ibrahim Islam: </span></b><span style="color:black;">Professor Islam was nominated as a distinguished Scientist of the World for the Year 2000 by UNESCO<b>.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn10" name="_ftnref10"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></a></b></span><b><span style="color:black;"><br /></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span style="color:black;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><strong>CHAPTER THREE: </strong></span><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><strong>ISLAMIC PERSPECTIVES OF WOMEN<o:p></o:p></strong></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB"><o:p><strong></strong></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Islam is the religion of the Muslims, a monotheistic faith regarded as revealed through Muhammad <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam </i>as the prophet of Allah.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn11" name="_ftnref11"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></a> Islam has the basic belief that "There is no God but Allah; Muhammad is the messenger of Allah", Allah is the sole and sovereign ruler of the universe, and He sent a number of messengers to the human beings for preaching. The last prophet in Islam was Muhammad <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam </i>who brought the Muslims from the darkness to the lightness by the holy book of al-Qur'an which guides the people to the right path.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn12" name="_ftnref12"><span class="MsoFootnoteReference">[12]</span></a></span> <p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><b><span lang="EN-GB">Part One: The Status of Women<o:p></o:p></span></b><p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The obligation of women in Islam is the same as men's duty it is worshiping Allah <i>Subhanahu Wa Ta'ala</i>, and the human being's worship is the first obligation in Islam, there is no different between male and female in worship of Allah <i>Subhanahu Wa Ta'ala</i><span class="MsoFootnoteReference"> <a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> </span></span><span lang="EN-GB">Islam views of women whether single or married they have their own rights, the right to own and order their properties and earnings without any guardianship over her property and earnings without any guardianship over her. She has the right to buy and sell, give gifts and charity. And may spend her money as she pleases. A marriage dowry is given by the groom to the bride for her own personal use and she keeps her own family name rather than taking her husband's. and Islam encourages the husband to treat his wife well, as the prophet said: "The best among you are those who are best to their wives".<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn14" name="_ftnref14"><span class="MsoFootnoteReference">[14]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The status of women is also discussed in Islam since the arising of this religion by its great prophet Muhammad <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam. </i>Here I will mention how Islam gives the status for women which are differ from other religions such as Judaism and Christianity etc. Some of these importances are:<o:p></o:p></span></p><ol><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Woman is not responsible for the first fault of human beings but Adam who was responsible for that.<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Mother is most respectable than father, as mentioned in al-Qur'an surah al-Luqmaan: 14; (And We have enjoined on man (to be dutiful and good) to his parents. His mother bore him in weakness and hardship upon weakness and hardship, and his weaning is in two years. Give thanks to Me and to your parents. Unto Me is the final destination).<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn15" name="_ftnref15"><span class="MsoFootnoteReference">[15]</span></a> And other proofs had mentioned in many verses of al-Qur'an and the prophetic traditions.<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Welcoming woman since their births, because whether male or female both are grants from Allah <i>Subhanahu Wa Ta'ala</i> and there is no different between them. And Allah <i>Subhanahu Wa Ta'ala</i> has told us through the teaching of Muhammad <i>Salallahu 'Alaihi Wassalam. </i><o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The woman has rights in education and teaching. <o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 0cm; TEXT-INDENT: 0cm; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">The woman is master of responsible perfectly<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Management of the Muslim's house<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Woman is mother of <i>kholiqoh</i><o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 18pt; TEXT-INDENT: -18pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span dir="ltr"><span lang="EN-GB">Woman right in agreement of <i>Nikaah (Akdun Nikah</i>), etc.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn16" name="_ftnref16"><span class="MsoFootnoteReference">[16]</span></a></span></span> <p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><b><span lang="EN-GB">Part two: the Equality of Men and Women<o:p></o:p></span></b></div></li></ol><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Equality is term which is hard to define, according to the Concise Oxford English Dictionary the meaning of equality is: "The state of being equal". There is a sense in which all human beings are equal to each other, but actually we find that there is no two human beings are really equal in all aspects. There are some differences of tastes, temperaments, faculties, power and outlook, all of which can not be applied to differences of environment or background.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn17" name="_ftnref17"><span class="MsoFootnoteReference">[17]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">The women of <st1:place st="on">Arabia</st1:place> have a very poor condition and low positions in society before Islam appear there. The women treated as slaves and chattel that whenever a man died, the chattel can be inherited to his son like movable property. Allah said in Holy al-Qur'an: "They are apparel for you and you are apparel for them". That men and women protect each other from sin and dishonour or it may mean that women lends dignity and adds beauty to their man. "They have rights similar to those against them in a just manner". <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">Female children should be treated exactly in the same manner as male issues, according to report of Ibn Abbas, the Prophet's cousin, he is said to have declared: "If a daughter is born to a man and he brings her up affectionaly, shows her no disrespect and treats her in the same manner as he treats his sons, the Lord will reward him with paradise". <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">In Modern period, Dr Alexi's Carrel he is a French noble prize winner, says in his book <i>Man the Unknown</i>: "the differences existing between man and women are of a mere fundamental nature".<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn18" name="_ftnref18"><span class="MsoFootnoteReference">[18]</span></a></span><span lang="EN-GB"> The Quranic verse: "And do not covet that by which Allah has made some of you excel others, men should have the benefit of what they earn and women shall have the benefit of what they earn."<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn19" name="_ftnref19"><span class="MsoFootnoteReference">[19]</span></a></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><b><span lang="EN-GB">Part Three: Woman's Place in Society<o:p></o:p></span></b><p></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 36pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB">In Eighteenth Century there was a great social and intellectual unrest in <st1:place st="on">Europe</st1:place>. Powerful voices were raised on behalf of the rights of the female sex which had long suffered from innumerable legal and social disabilities. Freedom and equality of the sexes became accepted principles with the new social reformers. And <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">France</st1:country-region></st1:place>, where first made an organized drive to popularise the ideal of sex equality.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn20" name="_ftnref20"><span class="MsoFootnoteReference">[20]</span></a> </span><span lang="EN-GB">But the Shariah binds sons to take care of their parents, grand parents, and other near relations.<a title="" href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1275247519378501030&postID=309417714259862413#_ftn21" name="_ftnref21"><span class="MsoFootnoteReference">[21]</span></a> Even Islam taught every husband to treat kindly their wives, Islam also has respectable place of women in society, that’s why there is no restriction for them in seeking knowledge. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><strong>CONCLUSION<o:p></o:p></strong></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%;font-family:ArtificeSSK;" ><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center" align="justify"><span style="LINE-HEIGHT: 150%">Seeking knowledge is one of the most rewarding ways to connect to Al-Alim (The All Knowing) besides prayer. The believing faithful hold a deep love for Allah in their hearts. Perhaps it is this deep love that inspires believing men and women to strain and reach with their minds, through scientific learning in order to bring themselves closer to the One to whom they are so thankful. </span><span style="LINE-HEIGHT: 150%"><br />A woman is a part of human beings that obliged to seek knowledge as possible. Because there is no prohibition in Islam that women can not learn knowledge, through formal or informal education is not the matter, the question is why women should not learn? While the Quran and Hadist requested to seek knowledge, so why not???<o:p></o:p></span></p><ol><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Hidayah, Alfina, <i>Tentang Wanita</i> <i>(in Dedikasi Bulletin)</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Islamabad</st1:city></st1:place>, April Edition, 2008, p: 22</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Gaarder, Jostein, <i>Sophie's World</i>, <st1:city st="on">Berkley</st1:city> Books, <st1:place st="on"><st1:state st="on">New York</st1:state></st1:place>. 1996, P: 116</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><i><span style="font-size:85%;">Ibid</span></i></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Ibid, pg: 23</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Khan. Maulana Wahiduddin, <i>Woman between Islam and Western Society</i>, Maktaba al-Risala, <st1:state st="on"><st1:place st="on">New York</st1:place></st1:state>, 1997, P: 48</span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 9pt; TEXT-INDENT: -9pt; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><span lang="EN-GB">Khalid, Tanvir, <i>Education an Introduction to Educational Philosophy and History</i>, National Book Foundation, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Islamabad</st1:city></st1:place>, 2000, p: 3-20</span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"> </span><o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 27pt; TEXT-INDENT: -27pt; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><span lang="EN-GB" style="LINE-HEIGHT: 150%">Joshi, S.R., <i>Teaching of Science</i>, Kul Bushan Nangia, <st1:place st="on"><st1:city st="on">New Delhi</st1:city></st1:place>, 2005, p: 1-9</span> <span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Khan. Maulana Wahiduddin, <i>Op. Cit.,.</i> P: 141-155</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Q.S <i>Az-Zumar</i>: 9. Interpretation of the Meanings of the Noble Qur'an in the English Language interpreted by Muhammad Taqi-ud-Din Al Hilali and Muhammad Muhsin Khan, Darussalam, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Riyadh</st1:city></st1:place>, 2001, p: 910</span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;color:black;"><a href="http://www.missionislam.com/science/mwscience.htm">http://www.missionislam.com/science/mwscience.htm</a></span><b><span style="font-family:Arial;color:black;"><o:p></o:p></span></b></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">See: 'Islam' (in Concise <st1:place st="on"><st1:city st="on">Oxford</st1:city></st1:place> English Dictionary), Eleventh Edition.</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">See: Hopfe, Lewis M., <i>Religions of the World</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Macmillan</st1:city>, <st1:state st="on">New York</st1:state></st1:place>, 1987, p: 388</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, <i>Al-Mar'ah Baina Tughyani al-Nidzam al-Gharbi wa Latho'ifi al-Tasyri'i al-Rabbani</i>, Daar al Fikri al-Mu'asir, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Beirut</st1:place></st1:city>, 1996, p: 1-2 </span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">See: <i>What is the status of women</i> <i>(in a Brief Illustrated Guide to Understanding Islam, I.A Ibrahim)</i>, Darussalam, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Houston</st1:place></st1:city>, 1997, pg: 63</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Q.S. <i>Luqman</i>: 14, Interpretation of the Meanings of the Noble Qur'an in the English Language interpreted by Muhammad Taqi-ud-Din Al Hilali and Muhammad Muhsin Khan. Darussalam, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Riyadh</st1:place></st1:city>, 2001, p: 815-816 </span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 9pt; TEXT-INDENT: -9pt"><span lang="EN-GB"><span style="font-size:85%;">Al-Wahab, Ahmad Abd, <i>Ta'addud Nisaa' al-Anbiya' wa Makanaatu al-Mar'ah fi al-Yahudiyah wa al Masihiyah wa al-Islam</i>, Maktabatu Auhabah, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cairo</st1:place></st1:city>, 1989, p: 258-290<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span lang="EN-GB"><span style="font-size:85%;">Siddiqi, Mohammad Mazheruddin, <i>Women in Islam</i>, Institute of Islamic Culture, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Lahore</st1:place></st1:city>, 1996, <o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span lang="EN-GB"><span style="font-size:85%;">p: 15<o:p></o:p></span></span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Ibid, pg: 16-24</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Ibid, pg: 34</span></div></li><li><div class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:85%;">Ibid, pg: 2-3</span></div></li><li><div class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 27pt; TEXT-INDENT: -27pt; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="EN-GB"><span style="font-size:85%;">Ahmad, Anis. <i>Women and Social Justice an Islamic Paradigm</i>, <st1:placetype st="on">Institute</st1:placetype> of <st1:placename st="on">Policy</st1:placename> Studies and the Islamic Foundation, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Islamabad</st1:place></st1:city>, 1996, p: 17<o:p></o:p></span></span></div></li></ol><p class="MsoFootnoteText"><span lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p>Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-35204396389915703622008-04-24T21:21:00.000-07:002008-04-24T21:22:03.308-07:00PERADABAN BARAT DAN TIMURAlfina Hidayah<br /><br />Peradaban seringkali dimaksudkan sebagai nilai-nilai, kepercayaan, materi atau substansi-substansi, keilmuan, adat-istiadat yang terdapat pada sekelompok masyarakat. Semenjak awal manusia diciptakan yaitu nabi Adam as dan istrinya Hawa, maka dari keturunannya-lah peradaban manusia bermula dan terus berkembang, termasuk didalamnya para nabi dan rasul pada zaman, kondisi serta tempat yang berbeda-beda.<br />Beribu tahun lamanya peradaban manusia terus berjalan, hingga munculnya peradaban Mesir kuno yang dikenal sebagai peradaban tertua di dunia Timur, yaitu berkisar sekitar 4000 tahun sebelum Masehi. Pada masyarakat ini telah ditemukan banyak kemajuan berbagai bidang, diantaranya yang berkaitan dengan keilmuan, sosial, dll. Salah satu contoh tersebut adalah ilmu matematika, untuk pertama kalinya telah ditemukan di negeri ini, kemudian muncul pula ilmu handasah dan Astronomi. Hal tersebut mempunyai pengaruh yang tidak ‘remeh’ atas kemajuan India dan Iraq dalam ilmu berhitung, Yunani dalam ilmu handasah, dan Arab dalam ilmu aljabar. Fenomena ini terjadi karena peradaban India, Iraq, Yunani dan Arab mulai berkembang dan maju setelah peradaban Mesir kuno hadir ribuan tahun sebelumnya.<br />Kemudian Babilonia dan Syuria muncul dengan perkembangan ilmunya yang sedikit banyak merupakan persilangan budaya dengan Mesir kuno, disamping juga karena mereka rata-rata bermata pencaharian sama sebagai pedagang, sehingga berbagai ilmu telah berkembang di tanah Babilonia dan Syuria. Seperti ilmu berhitung, Astronomi, ramalan (prakiraan) cuaca dan kalender tahunan. Kemajuan yang ada pada masa itu akhirnya terus tumbuh dan meluas hingga Persia, India dan Cina. Dalam masyarakat India sendiri telah berkembang ilmu matematika dengan bermacam-macam bagiannya. Ilmu logika untuk pertama kalinya didirikan dengan berbagai pokok pembahasan sebelum munculnya ilmu logika yang disusun oleh Aristoteles. Banyak ditemukan pemikiran filsafat yang lebih kompleks dan jauh lebih maju dari peradaban-peradaban sebelumnya. Para ulama India dikenal sebagai gurunya Pythagoras (ahli matematika) dari Yunani, namun sayang hal itu banyak di ingkari oleh para penerusnya, dengan mengatakan bahwa Pythagoras-lah pendiri dan pionir Ilmu matematika. Begitu juga para ulama India terdahulu, mereka adalah ‘guru’ bangsa Arab dalam ilmu berhitung, handasah, dan Astronomi.<br />Setelah sekian lama peradaban manusia mengukir kejayaannya di Timur, muncul Barat beberapa ribu tahun kemudian. Peradaban baru itu diawali dengan munculnya kajian filsafat pada abad ke-6 SM. Adalah Thales yang diakui oleh Aristoteles sebagai filosof pertama Yunani. Filsafat kian pesat berkembang di negeri ini (Yunani) melalui kiprah filosof kenamaan Socrates, Plato dan Aristoteles yang bermuara di sebuah sudut kota bernama "Athena".<br />Barat telah merubah dunia dengan wujud peradaban baru yang bermula dari Yunani, mereka mengumandangkan slogan ‘Barat adalah pelopor ilmu pengetahuan dan kebudayaan’. Padahal sejarah telah mencatat sekian banyak peradaban-peradaban maju dan berkembang di belahan Timur bila hanya dibandingkan dengan kota Athena yang besarnya sama sekali tak sebanding dengan Mesir kuno, Babilonia, Syuria, Persia, India dan Cina. Disini bangsa Eropa berpandangan bahwa peradaban yang ada di Timur itu hanyalah sebuah kemiripan saja dan terikat (berkaitan) dengan agama atau akidah-akidah masyarakat mereka, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai awal berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia. Namun ungkapan tersebut telah dibantah oleh bangsa Timur, dengan mengatakan bahwa sejarah itu berjalan dari masa lalu (lampau) ke masa yang baru (depan). Fenomena yang ada di timur merupakan perjalanan masa yang mendahului barat, maka segala pengaruh-pun akan datang dari yang lama kepada yang baru, bukan sebaliknya. Sedangkan Thales (6 SM) yang diakui Aristoteles sebagai filosof pertama, bagaimana-pun ia telah berguru ke timur (India), karena pada masa tersebut India dan bangsa-bangsa lain yang ada di Timur sudah banyak berkembang. Dengan demikian barat sendiri telah mengingkari kebenaran sejarah.<br />Peradaban Yunani (barat) yang kini banyak digaungkan sebagai kiblat dunia modern, tentu tidak bermula hanya dari satu unsur tapi disana ada sebuah proses adaptasi dengan lainnya , begitu juga dengan Islam. Islam telah beradaptasi dengan berbagai peradaban sebelumnya tapi disana ada proses filterisasi yang baik, dengan berpedoman kepada worldview Islam. Dengan singkat kita dapat menyimpulkan bahwa selama berjalannya sejarah peradaban manusia tidak kita temukan adanya peradaban yang sejati, yang ada yaitu peradaban dan kebudayaan yang saling berinteraksi dan beradaptasi, yang kemudian diperlukan dalam prosesnya adalah filter atau penyaring. Seperti yang dikemukakan oleh Claude Bernard, seorang tokoh logika modern: "Suatu paham itu tidak ada yang baru, yang ada adalah saling mengadopsi, mereformasi dan menambahi." Jadi tidak ada teori atau isme-isme yang tetap dan benar, karena yang haq dan abadi hanyalah Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya. Wallahu A'lam Bisshowab. (Anna,26/3/08).<br /> <br />Referensi:<br />Dr. Mansyawi Abd Rahman, Fi tarikh al fikr al falsafi, Dar Al saqafah Al ‘arabiyah, Cairo, 1999<br />Jostein Gaarder, Sophie's World, New York, 1994<br />Dr. Abdul Hamid Madkur, Dirasat fi ‘Ilmi al Akhlaq, Maktabah al Syabab, 1990<br /><br />*Disampaikan penulis pada acara "Berbagi Ilmu", yang diselenggarakan oleh bagian Keputrian IKPM, kamis 13 Maret 2008.Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-2548657274093970902008-04-24T21:20:00.000-07:002008-04-24T21:21:08.964-07:00TENTANG WANITAAlfina HM<br />Sejarah sudah banyak mencatat perkembangan kehidupan manusia, bahkan dari awal mula mereka diciptakan. Baik di kaji dari sudut pandang ilmiah ataupun agama. Tak lepas dari itu semua, kiprah wanita-pun mulai dipertanyakan dalam sepanjang legenda manusia itu sendiri, karena besar dan pesatnya kemajuan berbagai bidang yang sudah ditempuh hingga saat ini, jelas bukan hanya kaum adam saja yang telah hidup ribuan tahun. Disana ada wanita yang selalu exist, yang menemani, mengabdi, membantu, bahkan yang melahirkan dan membesarkan anak-cucu mereka. Tapi lagi-lagi kemana sejarah telah bercerita tentangnya, bagaimanakah kehidupan membawa dan memperlakukan, kenapa dunia sekian lama mengabaikannya, ataukah sebenarnya wanita yang melupakan dirinya …?!<br />Fenomena pahit seringkali dirasakan wanita hampir pada setiap periode peradaban manusia. Dari kisah nabi Adam as dan Hawa sebagai manusia pertama, yang oleh sebagian agama berpendapat bahwa Hawa-lah penyebab Adam melakukan dosa hingga diturunkan Tuhan ke dunia. Kemudian munculnya peradaban Mesir kuno, Babilonia, Persia, India, Cina, dengan memperlakukan wanita tak lebih dari seorang budak, hidupnya pun harus rela berakhir dengan kematian suami, dibakar ataupun dikubur hidup-hidup bersama mayat suami, menjadi korban sesembahan kepada alam atau dewa-dewa. Dan bahkan di Barat sendiri yang dipelopori oleh Yunani kuno dan Romawi sebagai peradaban tertua di Barat, keberadaan wanita masih berlabelkan sama, yaitu manusia nomer dua, setengah manusia, atau dengan meminjam istilah Aristoteles, seorang filosof abad ke-4 SM: "A woman was an un-finished man…", mereka menyekap wanita-wanita terhormatnya dalam istana, memperjual-belikan para wanita dari rakyat biasa, memperlakukan istri-istri mereka semaunya, menjual, mengusir, menganiaya atau bahkan membunuhnya. Kemudian dalam masyarakat Arab jahiliyah sendiri, berapa banyak bayi-bayi perempuan yang telah "dipaksa mati" oleh keluarganya ?! dan lain sebagainya.<br />Ribuan tahun dunia telah “dihujani” air mata dan rintihan kepedihan wanita, ribuan tahun pula mereka memohon kehidupan terhormat untuk kaumnya, hingga datanglah risalah Rasulullah Saw rahmatan untuk semesta alam. Islam hadir sebagai agama dan peradaban yang sempurna. Ajarannya telah mengangkat martabat wanita dari kehinaan dan memberikan hak yang sama kepada para umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak memarginalkan salah satu dari keduanya, sesuai dengan fungsi masing-masing. Bahkan pada masa Rasulullah Saw, wanita dapat beraktivitas diluar rumah seperti halnya laki-laki, berjihad, berjamaah di masjid, menghadiri khutbah Rasulullah Saw, mengikuti pertemuan sahabat Nabi, serta masih banyak lagi kebebasan-kebebasan lainnya. Akhirnya tangis para ibunda terdahulu-pun terhapus dengan kejayaan Islam sebagai tuntunan yang mengajarkan norma-norma kehidupan terhormat dan terpuji. Dengan demikian, munculah tokoh-tokoh wanita yang berkiprah dalam bidangnya, diantaranya: Khodijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah SAW), Fatimah Binti Muhammad Saw, Aisyah binti Abi Bakar (istri Rasulullah Saw), Asy-Syifa (guru wanita pertama Islam), Rufaidah (Pendiri rumah sakit dan Palang Merah pertama), Zubaidah (Istri Harun Ar-Rasyid), Qohromanah (Hakim wanita pertama), Laila Katun (pahlawan wanita pada perang salib), Ummu Kholil (Penguasa Mesir), Qoro Fatimah Khanum (Pemimpin perang), dan lain-lain. Ternyata wanita tak selamanya akan terpuruk dan terbelakang seperti zaman-zaman sebelumnya, kini Islam telah menjawabnya. Lain dulu, kemarin, dan lain sekarang. Kemajuan wanita dan kebebasan berkiprah tak semulus sebagaimana pada zaman Rasulullah Saw, di satu sisi terdapat kelompok yang justru mengadopsi persepsi-persepsi keagamaan yang cenderung memojokkan perempuan, sehingga tak heran kalau kita menemukan di era yang serba modern sekarang ini, masih ada perlakuan dan sikap-sikap seorang muslim sebagaimana masa jahiliyah pra Islam dahulu. Dimana seorang ayah ataupun suami yang mengekang wanitanya dirumah dengan tugas-tugas domestik, tanpa memberikan kesempatan untuk beraktifitas, apalagi mengembangkan potensi mereka. Sehingga kaum lelaki bisa semaunya sendiri menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan mereka, memposisikan wanita di urutan kedua, dan bisa berbuat semena-mena terhadap para wanitanya. Disisi lain, terdapat juga kelompok aktifis feminisme yang menghalalkan segala hal untuk menuntut kesetaraan gender atau persamaan hak yang berdasar keinginan dan kesenangan mereka sendiri, tanpa memandang kemaslahatan bersama (membabi-buta). Sebagai reaksi dari dua fenomena di atas, maka munculah para pembela kaum hawa yang ikut memperjuangkan kredibilitas dan hak-hak wanita, mereka kembali memberikan porsi dan posisi yang seimbang untuk wanita, kesempatan berkiprah dan lain sebagainya, pintu untuk membangun peradaban baru kembali digaungkan, gerbang sukses dalam segala bidang telah dibentangkan. Namun justru ketika dunia memperhatikan mereka, menuruti tuntutan-tuntutannya, malah banyak dari mereka berbalik mengabaikan itu semua.Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-19555580961032101042008-04-12T04:41:00.000-07:002008-04-12T04:43:30.549-07:00Islam Agama Sekuler?Membaca berbagai kemelut dan perang ideologi kontemporer merupakan suatu kerja akademis yang rumit, berbagai distorsi tentang fakta sejarah dan manupulasi ideologi turut campur dalam arena pertempuran tersebut. Dalam nuansa post-modernisme dan atmosfir globalisasi yang menghembuskan berbagai macam polusi ‘konspirasi’ dengan ragam bentuknya, kita sebagai muslim harus bisa secara teliti dan seksama dalam mengambil kesimpulan dan bersikap, agar hembusan sejuk ajaran Islam bisa menghilangkan hiruk pikuk dan sesak nafas akibat polusi yang telah meracuni atmosfir opini publik.<br />Salah satu isu terpenting dalam kehidupan bersosial dan bernegara masyarakat posmo adalah ide sekularisme yang ingin memisahkan urusan duniawi(negara) dan akhirat(agama). Hal ini semakin terasa dengan munculnya afirmasi secara massif dari pemikir Islam sendiri semisal Ali Abdurrazik yang mengatakan bahwasanya Islam hanyalah agama ritual yang tidak memiliki sistem politik untuk mengurus negara, sistem politik tidak lebih hanya rekayasa para ulama klasik zaman pertengahan, dia menambahkan bahwa posisi Rasulullah pada saat itu sebagai pemimpin dan pendiri negara Islam hanyalah suatu kebetulan (Ali Abdurraziq: al Islam wa Ushul al Hukm) hal ini dikuatkan pegikutnya al Asymawi, -tokoh pengusung sekularisme pujaan kaum liberal indonesia- yang menyatakan bahwa “Allah menginginkan agama sebagai agama namun manusia (Muslim) menginginkanya menjadi politik”. Disini kaum liberal menerima ungkapan asymawi bak dogma suci tanpa ada kritik sedikitpun, mereka tidak melihat bahwa definisi agama Asymawi rancu dan sudah torkontaminasi orldview Barat. baginya agama yang universal tidak punya hak untuk mengatur politik yang bersifat temporal dan partikular. Dalam worldview Islam, justru wujud Islam yang universal tersebut adalah untuk mengatur dan memberi petujuk kepada perkara-perkara temporal dan partikular. Sehingga hubungan antara Tuhan dan manusia tidak ‘terputus’ sebagaimana yang difahami Barat.<br />Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dimulai dengan ungkapan sekularisasi Nurkholis Madjid. Baginya Islam tak ubahnya agama-agama lain didunia. Berlandaskan hal ini agama harus dipisahkan dari negara, baginya negara dan politik merupakan bagian keduniaan yang merupakan porsi nalar murni manusia. Sedangkan agama berasal dari dimensi metafisik yang gaib dan personal.<br />Para pengusung ide sekularisme -dengan bahasa masing-masing- tidak (sengaja tidak?) melihat adanya konsep-konsep agama (baca: Islam) tentang kedaulatan syari’ah, syura, keadilan, kebebasan berpendapat dan tanggung jawab pemimpin yang pernah disebut dalam al Qur’an. Mereka juga mengabaikan ratusan hadits yang menjelaskan banyak hal berkaitan dengan politik. Pemisahan politik dari Islam pada akhirya hanya menjadikan Islam sebagai agama kerohanian yang konsekwensinya akan membentuk umat yang submissif dan tak punya visi perubahan. Lalu apa bedanya Islam dengan agama lain? hal ini bisa menyimpulkan tesis bahwa Islam sebagai agama penutup dan rahmatan lil ‘alamin aka sia-sia belaka.<br />Kecenderungan memisahkan urusan duniawi dan ukhrawi tidak lepas dari pengaruh paham dikotomis yang merupakan anak kandung dualisme yang telah mewabah di Barat. Islam tidak mengenal konsep ini. Islam tidak terbatas pada amalan ritual belaka. Islam tidak membenarkan orang yang shalat tapi tidak peka sosial (zakat, shadaqah dll) dalam Islam aktiftas duniawi sangatlah berpengaruh pada ukhrawi. Islam tidak hanya mengenal ibadah vertikal, tapi juga menjunjung tinggi amalan horizontal, keduanya harus seimbang dan adil. Jadi sangat naif apabila urusan dunia yang sangat erat hubungannya dengan akhirat dalam Islam dipisahkan begitu saja.<br />Kembali kepada faham sekularisme yang menurut tokoh liberal punya sadaran dogmatis dalam Islam. Yusuf Qaradhawi dan al Attas telah membahas konsep sekularisasi dan sekularisme. Mereka menemukan bahwasanya konsep ini murni Barat dan tidak punya akar sama sekali dalam Islam. Sekularisme dibangun atas pondasi epistemologi Barat modern yang alergi terhadap agama (baca: gereja). Sedangkan Islam menjunjung tinggi hubungan dan kaitan agama dan kehidupan masyarakat.<br />Dilihat dari segi bahasa, konsep ini sudah tidak punya landasan dalam Islam, Sekularime yang sering diterjemahkan menjadi ‘ilmaniyyah atau ‘almaniyyah dalam bahasa arab tidaklah sepadan, epistemologi keduanya -baik ‘ilmaniyyah yang berakar dari ‘ilm dan ‘almaniyyah yang berakar dati ‘alam (universe)- dalam Islam sama sekali berlawanan dengan epistemologi sekularime tersebut.<br />Menurut alAttas dan Qaradhawi’ konsep tersebut muncul sejak aristoteles mengenalkan padangan bahwa Tuhan sama sekali tidak tahu menahu soal partikular. Tuhan hanya mencipta kemudian istirahat dan tak acuh lagi terhadap semesta. hal ini yang kemudian oleh teolog kristen bernama Harvey Cox dicarikan padanannya dalam bible ‘berikanlah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar dan apa yang menjadi milik Tuhan utuk Tuhan!. Kita tidak menemukan persetujuan Islam dalam hal ini.<br />Memang Islam memberikan kelonggaran untuk memikirkan kaedah tersendiri untuk bentuk pemerintahan dan berpolitik sesuai dengan tuntutan zaman. Kelenturan ini menunjukkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Dan juga sesuai dengan objek syari’ah yaitu kemashlahatan dan kepentingan manusia. Namun harus selalu diingat bahwasanya kesimpulan apapun haruslah berlandaskan pada otoritas hukum tertinggi dalam Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah yang bernilai absolut. Sehingga chaos (huru hara) akibat landasan relatif (nalar rasio) dalam paham sekularisme bisa dihindari.<br />Hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui!<br />HI-141 120408-16:10Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-31505489943011328832008-04-05T04:13:00.000-07:002008-04-05T04:17:32.088-07:00DEKONSTRUKSI USHUL FIQH DAN 'PEMBAHARUAN' ISLAMBerbagai kemajuan yang dihasilkan peradaban Barat sejak era kebangkitannya sangatlah luar biasa, naif kiranya apabila ada ungkapan yang meragukan atau bahkan menolaknya. Ragam kemajuan tersebut tidak terlepas dari ‘kesadaran’ Barat akan worldview mereka, modal ‘kesadaran’ tersebut mereka mengadopsi peradaban Islam yang telah lama muncul sebelumnya, mereka mengambil banyak hal dari Islam, tapi tidak lupa akan epistemologi yang mereka anut berlandaskan worldview khas Barat. Hal tersebutlah yang akhirnya melahirkan berbagai macam ilmu dan metodologi. Tak heran, dengan membanjirnya serbuan ilmu-ilmu Barat tersebut berbondong pemikir Muslim yang kemudian menyerukan pebaharuan Islam. Mereka melihat bahwa Barat menjadi peradaban yang begitu sophisticated ketika agamanya mereka tafsirkan dengan berbagai ilmu dan metode tersebut, tanpa melihat perbedaan objeknya. Kisten yang menjadi objek Barat bukanlah Islam yang hendak mereka “perbaharui” tersebut. Harusnya kesadaran akan worldview, epistemologi dan ideologi masing-masing harus dikedepankan sebagai acuan, bukan hanya sekedar copy paste yang diharapkan manjur untuk sebuah perubahan instan. Memang kita tidak boleh terburu-buru menolak segala upaya pembaharuan namun juga tidak serta merta latah meninggalkan dan menghujat khazanah keilmuan klasik kita.<br />Salah satu khazanah Islam yang sering menjadi ajang operasi bedah ilmiah para penyeru pembaharuan Islam adalah fiqh dan ushul fiqh. Bermula dari awal abad 20 -semenjak rruntuhnya khilafah hingga sekarang-, fiqh dan Ushul fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu yang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas, bahkan secara radikal dikatakan bahwa ialah faktor kemunduran Islam. Mereka menuduh fiqh telah besikap diskriminatif terhadap non muslim dan bias gender. Fiqh selalu meletakkan wanita dibawah dominasi pria, fiqh sama sekali tidak ramah terhadap wanita, mereka menambahkan, hal ini akibat tafsir klasik yang sarat dengan muatan diskriminasi dan bias gender. Denga beragam tuduhan tersebut mereka mengajukan dekonstruksi atau reformasi fiqh Islam.<br />Berbicara fiqh tidak terlepas dari ushul fiqh sebagai landasan teoritisnya, maka dekonstruksi ushul fiqh menjadi sebuah keniscayaan apabila ingin melepaskan fiqh dari tuduhan pejoratif diatas. hal tersebut diungkapkan oleh Hasan Turabi, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Sharur, Arkoun, Rahman, Abu Zaid dan berderet nama para pengusung liberal lainnya. meski dengan metode dan pendekatan beragam, mereka sepakat untuk mendekonstruksi ushul fiqh demi tercapainya pembaharuan Islam. Mereka secara ekspilisit maupun implist menerapkan ilmu-ilmu sosial Barat untuk merekostruksi epistemologi Islam dalam Usul fiqh. Haruslah diingat bahwa pembaharuan epistemologi dengan menggunakan prinsip epistemologi asing lebih cenderung merusak daripada membangun, hal ini terbukti dengan kegamangan metode dan keabsurdan teori yang diajukan oleh tokoh pembaharuan tersebut. Karena ada banyak elemen yang tidak bisa dengan serta merta diakomodir, definisi ihya, tajdid, ishlah, fundamentalisme sudah mempunyai mekanisme khas yang all in one dalam wadah epistemology islam.<br />Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui karena zaman dan problematikanya selalu berubah dan berkembang. Tapi harus disadari pula bahwa ada elemen-elemen yang tetap dan tidak bisa dirubah dalam fiqh. Ruang ijtihad masih terbuka lebar sebenarnya, banyak problematika kontemporer yang merindukan ijtihad komprehensif dari para ulama. Namun sayang hal ini disalah fahami dengan giatnya aktifitas ‘ijtihad’ dalam isu-isu klasik semisal hudud, poligami, qisas, warisan yang sebenarnya tidak memberikan dampak besar terhadap umat. Contoh riil menyatakan sudah puluhan tahun umat Islam membelakangi hukum Islam yang sering digemborkan aktivis ‘pembaharu’ diatas, sudah lama hukum hudud tidak diterapkan tanpa ada interpratasi dan metode apalah yang sejenis, tapi toh, umat Islam masih saja bekutat dalam kerterbelakangannya. Harusnya para ‘pembaharu’ tersebut sadar, bukan hal-hal klasik yang harus menjadi konsentrasi ijtihad mereka, karena ada banyak problematika sosial kemasyarakat yang lebih penting menunggu ijtihad mereka lebih dari sekedar pembahasan seputar poligami dan kawan kawannya.<br />Seperti fiqh, ushul fiqh pun juga telah mengalami perubahan semenjak menjadi landasan teoritis yang sistematis di tangan Imam Syafi’i, Baqillani mengintegrasikan kalam dalam ushul fiqh sedangkan Ghazali -penulis Tahafut al Falasifat- memasukkah mantiq sebagai bagian penting dalam ushul fiqh. Pembaharuan ini juga telah dilakukan oleh Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqat. Jadi pendapat yang mengatakan ushul fiqh telah baku dan mandek merupakan kesalahan besar. Hanya saja perubahan yang ada masih berpijak pada landasan epistemologi Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber otoritatif. Bertolak belakang dengan pembaharuan yang diawarkan pemikir liberal, mereka meletakkan ushul fiqh sebagai bahan justifikasi realitas. Mereka menundukkan nash dibawah perubahan zaman dan waktu. Mereka memutarbalikkan epistemologi Islam dengan meletakkan realitas sosial sebagai standar, bukanya nash. Mereka memaksa nash untuk tundak kepada realita, apabila ada nash yang bertentangan maka tanpa segan mereka membedahnya dengan pisau bedah interpretasi hermeneutis agar sesuai dengan zamannya. Mereka mengkritik ulama klasik karena bergantung pada teks Qur’an dan Sunnah, tanpa sadar sebenarnya mereka melakukan hal yang sama, yaitu menjadikan teks sosial sebagai landasannya. Landasan ushul fiqh yang kuat terhadap al Qur’an merupakan keniscayaan untuk menjaga objektifitas hukum. Hukum yang tidak punya rujukan hanya akan menimbulkan kekacauan.<br />Fiqh dan ushul fiqh memerlukan pembaharuan dalam beberapa sisi, namun pembaharuan tersebut haruslah sejalan dengan prinsip epistemology Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang sejarah. Upaya dekonstruksi yang ditawarkan kalangan liberal bagaimanapun rasionalnya haruslah sejalan dengan landasan epistemologi tersebut. Karena yang ada bukannya solusi yang kongkrit dan komprehensif, tapi lebih cenderung merupakan letupan kritik atas pemikiran ulama klasik.<br />Suatu keharusan untuk bersikap kritis, namun demikian jangan mudah terburu-buru untuk meninggalkan khazanah klasik dan berlari ke pangkuan ilmu sosial barat lantaran tawaran-tawaran menggiurkan. Karena khazanah tersebut bukan datang oleh mantra ‘sim salabim’ sang pesulap. Namun ia hadir dari worldview dan epistemologi Islam yang kokoh. Wallahu a’lam<br />Albi HI141/050408/16:05Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-7032232317877813532008-04-03T10:39:00.000-07:002008-04-03T10:42:23.359-07:00CERDASSudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa manusia mendapat keunggulan 'ekstra' dibanding makhluk ciptaan Tuhan lainnya, dengannya, manusia bisa mengatasi berbagai kelemahan fisiknya dan senantiasa berkreasi untuk menciptakan berbagai kemudahan dalam kesehariannya. Nilai lebih yang menyingkirkan berbagai ciptaan Tuhan, dan menjadikannya khalifah di muka bumi adalah akal. Dengan akal manusia bisa menciptakan perdamaian dan kebahagiaan, namun dengan akal pula muncul berbagai kerusakan dan kesengsaraan. Disini kekhawatiran para malaikat disaat 'protes' atas terpilihnya Adam sebagai 'penguasa' bumi terjadi, maksud penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi disalah gunakan. Darah berceceran dimana-mana, kemiskinan dan berbagai penyakit sosial merajalela, ironisnya lagi gambaran mengerikan tersebut terjadi pada negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.<br />Namun di Barat lain lagi ceritanya. Jangankan manusia, binatangpun bisa hidup dengan tenang dan nyaman disana. Melihat fenomena ini kadang terbesit pertanyaan, mengapa orang non muslim (Barat) umumnya berkelakuan baik, profesional, cerdas, berpengetahuan tinggi, menghargai kebersihan, peka terhadap lingkungan dan realitas sosial, dan menjunjung tinggi kemanusiaan? sedangkan kita umat Islam kurang dapat dipercayai, bodoh, tidak peka lingkungan, ceroboh, kotor serta berbagai sifat negatif lainnya? Ambil contoh Pakistan, betapa ragam cemooh dan berbagai konotasi sinis terlontar terhadap masyarakatnya. Disini ada satu hal yang cukup membingungkan, disatu pihak Islam dengan ajarannya yang begitu sempurna, namun dipihak lain kita menyaksikan betapa keterbelakangan, kemiskinan dan segala hal yang negatif semuanya tertuding kepada umat Islam. Bahkan bisa dibilang umat Islam nyaris tidak memberikan kontribusi bagi peradaban dunia modern. Maka tidak heran apabila konon ada salah seorang ulama yang berseloroh di Barat aku melihat Islam tapi tidak seorang muslimpun kudapati disana.<br /> Jawaban dari pertanyaan diatas sangat erat kaitannya dengan kesenjangan antara ajaran dan amalan. Betapapun mutakhir dan sempurnanya suatu ajaran hanyalah akan menjadi slogan 'utopia' belaka apabila tidak diikuti dengan amalan aplikatif penganutnya. Sejarah membuktikan, bagaimana Barat sendiri dulu tenggelam dalam kubangan kegelapan disaat mereka meninggalkan ideologi rasionalnya (baca: filsafat yunani) dan masuk kedalam ruang mistik, khurafat dan dogmatis. Sehingga butuh berabad-abad untuk memulihkannya. Sayang, kita umat Islam, yang dahulu menjadi 'inspirator' kebangkitan dan kemajuan Barat lewat Islam sebagai ajarannya belum bisa mengambil ibrah dari bukti riil sejarah tersebut. Alih-alih mengambil pelajaran darinya, umat Islam kini semakin tenggelam dan terpuruk di berbagai aspek kehidupan.<br /> Roda berputar, demikian kata pepatah bilang, namun roda tidak akan pernah berputar apabila tidak ada kekuatan yang menggerakkannya. Semuanya bisa terealisasi dengan kembali kepada ajaran Islam sebagai penggeraknya. Umat Islam telah begitu jauh meninggalkan Islam. Sudah waktunya kita kembali menyelaraskan normativitas dan realitas, Ajaran dan amalan, namun dengan sikap bijak tentunya, sehingga segala impian dan harapan kita bukan hanya sekedar utopia belaka.<br /> Namun demikian bukan berarti dengan semerta-merta kita harus membuang segala hal yang berbau non-Islam (baca: Barat) ataupun sebaliknya, kita melahap segala sesuatu dari Barat, sebagaimana ragam sikap yang diambil Umat Islam saat ini. Kita harus realistis, toh dulu Rasulullah juga menganjurkan para sahabat untuk membeli pedang dari India, karena memang saat itu memang unggul kualitasnya. Anjuran untuk belajar sampai ke negeri cina juga merupakan contoh bahwasanya kita tidak boleh berhenti sebatas apa yang kita terima dari warisan klasik umat Islam saja. Disini kita dituntut untuk cerdas dalam arti yang seluas-luasnya, tanpa melupakan pijakan fundamental kita sebagai Muslim. Sehingga apa yang kita harapkan menjadi kenyataan.<br />Albi, H I/141.051107.11:00PMHamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-39709596193160747832008-03-30T05:45:00.000-07:002008-03-30T05:48:26.003-07:00Eropa dan IslamphobiaOleh: Nur Rohim Yunus<br /><br />Ketakutan terhadap syariat Islam yang melanda opini masyarakat Indonesia rupanya juga ditopang oleh ketakutan dunia Barat terhadap agama ini, khususnya dataran Eropa. Bila penolakan undang-undang berbau syariat makin marak terjadi di negeri kita, maka Eropa ramai-ramai berusaha mencari inovasi baru untuk menyudutkan agama ini. Hasilnya Islam menjadi fokus perhatian dunia dan menambah kebencian orang awam terhadapnya. Umat Islam Eropa yang tak tahu menahu menjadi korban intimidasi, dianiaya, dihujat, dikucilkan bahkan tak sedikit yang kehilangan haknya sebagai manusia.<br />Dampak ini juga semakin memperkuat semangat aktifis Islamphobia di Indonesia untuk melumat habis slogan-slogan yang berupaya menerapkan konsep syariat di dalam lini kehidupan masyarakat dan negara. Bedanya, pelaku Islamphobia di Eropa dari golongan kuffar tulen, sedang di Indonesia dari golongan yang masih berbaju muslim. <br />Awal mula ketakutan ini sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya peristiwa 11 September dan pelarangan jilbab di Perancis. Islam dijadikan sebagai pusat perhatian dari berbagai kalangan, terutama para pemerintah dan media massa dunia. Mereka dengan gencar menuduh Islam sebagai agama kekerasan dan pemicu aksi terorisme 11 September. Namun, tuduhan-tuduhan itu malah membuat banyak kalangan semakin ingin tahu tentang Islam dan mempelajari dengan seksama ajaran ini. Merekapun akhirnya menemukan bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadis dipenuhi dengan ajaran keadilan dan anti kezaliman. Akhirnya, timbul komunitas baru di dataran Eropa, sebuah komunitas muslim minoritas yang berani ditengah kukungan terali ketakutan publik di sekitarnya.<br />Meningkatnya angka imigran muslim di negara-negara Barat, termasuk Eropa sejak beberapa dekade lalu pada mulanya disambut baik oleh pemerintah negara-negara tersebut, karena mereka merupakan sumber tenaga kerja yang murah. Tetapi secara perlahan-lahan, para imigran muslim tersebut mulai menunjukkan jatidiri dan identitas keislaman mereka, antara lain dengan membangun masjid serta pusat-pusat keislaman, serta secara aktif menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.<br />Pada saat itulah pemerintah di berbagai negara Eropa pun mulai merasa terancam bahaya. Apalagi, dakwah dan pengenalan Islam di Eropa telah semakin meluas, sehingga semakin banyak masyarakat Eropa yang memeluk agama Islam. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika telah dijadikan sebagai dalih untuk menekan umat Islam di Eropa, baik melalui agen polisi, perekonomian, politik, maupun propaganda.<br />Jika diperhatikan dengan teliti, tekanan yang dilakukan terhadap umat Islam Eropa, kita akan mendapati bahwa tekanan itu datang dari dua arah, yaitu dari pemerintah dan dari media massa. Di antara kedua poros anti Islam di Eropa ini memang terdapat jalinan yang erat. Setiap kali ada pejabat pemerintah Eropa yang mengeluarkan pernyataan yang menentang Islam dan umat Islam, media massa Eropa akan meliputnya dengan gencar.<br />Pemerintah di negara-negara Eropa sama sekali tidak mencegah berbagai propaganda anti Islam yang dilancarkan sebagian media massa, dan bahkan memberikan dukungan. Dengan cara ini, pemerintah negara-negara Eropa dan sebagian besar media massa Barat berusaha untuk menghalang-halangi pesan hakiki Islam agar tidak sampai kepada masyarakat dan umat Islam menjadi terkucil.<br />Perancis bisa disebut sebagai pemegang bendera dalam usaha memerangi umat Islam. Setelah melalui pembahasan panjang, akhirnya pemerintah Perancis sejak tahun lalu telah memutuskan untuk melarang para guru dan pelajar yang berjilbab memasuki sekolah-sekolah di Perancis. Bahkan, pejabat dan media massa negara ini juga mengemukakan usulan agar para imam masjid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Perancis dalam menyampaikan khutbah serta memasukkan topik budaya dan sejarah Perancis di dalam khutbah mereka. Sebuah keinginan yang mustahil diterapkan oleh umat Islam.<br />Meskipun Perancis selama ini mengklaim diri sebagai tempat lahirnya demokrasi dan kemerdekaan, namun tindakan pemerintah dan media massa negara ini yang menekan dan menghina lima juta umat Islam di Perancis, jelas bertentangan dengan klaim tersebut.<br />Setelah Perancis memberlakukan larangan berjilbab bagi pelajar dan guru sekolah, Jerman pun tak ketinggalan untuk mengikuti langkah Perancis tersebut. Kini, sebagian negara bagian di Jerman telah memberlakukan larangan bagi kaum muslimah yang berjilbab untuk masuk ke sekolah atau kantor pemerintah.<br />Di Jerman pun, para pejabat pemerintah, tokoh partai, dan media massa, saling mendukung dalam memberlakukan kondisi dan aturan diskriminatif dan tidak demokratis. Jerman yang menganut paham demokrasi liberal itu, kini malah menghalangi kebebasan warga negaranya dalam berpakaian sesuai dengan keyakinannya masing-masing.<br />Di Belanda, seorang sutradara Belanda bernama Theo Van Gogh telah memproduksi sebuah film berjudul “Submission”. Di dalam film itu diceritakan tentang perempuan berjilbab yang ditindas oleh keluarganya. Film itu juga menggunakan ayat-ayat al-Quran mengenai perempuan yang diputarbalikkan maknanya. Tak heran bila kaum muslimin Belanda sangat marah dan tersinggung atas film tersebut. Awal bulan November 2004, Van Gogh tewas terbunuh dan kejadian itu memberi kesempatan kepada pemerintah Belanda untuk menangkapi kaum muslimin dan melancarkan propaganda anti Islam yang meluas.<br />Pemerintah Eropa adakalanya mengambil langkah-langkah yang tidak masuk akal dalam berhadapan dengan Islam. Sebagai contoh, Menteri Pembaharuan Italia beberapa waktu yang lalu menyerukan agar masjid-masjid di negara itu ditutup. Alasan yang dikemukakan oleh menteri Italia itu adalah karena masjid menyebarkan terorisme. Padahal penutupan masjid dan tempat-tempat ibadah agama samawi lainnya jelas bertentangan dengan undang-undang internasional dan prinsip kebebasan beragama.<br />Ironisnya, meskipun pemerintah Eropa melakukan kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam di benua itu, namun merekapun tak segan-segan melancarkan tuduhan anti HAM kepada negara-negara lain. Padahal, justru kebijakan negara Eropa kepada umat Islam-lah yang sesungguhnya merupakan pelanggaran atas HAM. Namun, aksi-aksi musuh-musuh Islam itu memang tidak akan pernah berhenti dan hal ini telah dicantumkan dalam al-Quran, surat Mumtahanah ayat dua yang artinya sbb. ”Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakitimu dan mereka ingin supaya kamu kembali kafir.”<br />Perilaku mereka sebenarnya lebih bersumber dari rasa ketakutan yang besar terhadap Islam. Sehingga kebijakan pemerintah eropa dan aktifitas kalangan media cenderung memojokkan Islam. Bahkan mengklaim agama ini sebagai sumber terorisme. Padahal ketakutan yang tak beralasan ini malah membuat Islam lebih berkembang dan tersebar diseantoro dataran eropa. Senjata yang mereka gunakan untuk memerangi dan menindas Islam, malah berbalik dan menusuk tubuh mereka sendiri.<br />Tak mustahil, kelak disuatu masa dataran Eropa akan menjadi negeri-negeri muslim. Berbondong-bondong masyarakat mengakui Islam sebagai agama pembawa rahmat dan kasih sayang. Mereka kalangan Islamphobia pun sedikit demi sedikit akan punah dan binasa ditelan ketakutan yang mereka buat sendiri. Walau mereka tak akui sekarang, tapi kelak merekalah yang akan berteriak: we confess it...!!!. (Islamabad, 31 Maret 2008. Refleksi tulisan A Confession by Hamdan Maghribi).Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-34269414245138820382008-03-29T07:08:00.000-07:002008-03-29T07:09:15.947-07:00A CONFESSION“Kita hidup dibawah naungan teror”, demikian kata Barat menuding rangkaian teror yang ditebar kaum ‘fundamentalis’ melalui gelombang teror dari runtuhnya menara kembar WTC di New York, bom bunuh diri di Bali, hingga peledakan kereta api di madrid. Untuk memahami kemerosotan hubungan tiga arah Yahudi, Islam dan Kristen yang semakin menunjukkan kemerosotannya dengan munculnya berbagai sikap intoleran dan curiga, kita harus menelusuri kembali dan menguji asal usul sejarah dan perkembangan tiga agama besar di dunia ini dan bagaimana proses perubahan hubungan antara ketiganya. Para Islamolog menemukan bahwa dalam Islam terdapat trdisi toleransi yang termanifestasi secara de jure dan de facto terhadap keyakinan atau agama yang lain. Dalam kitab suci Al qur’an, umat Kristiani dan Yahudi di sebut sebagai ahli kitab diperlakukan dengan penuh hormat dalam nuansa toleransi sepanjang sejarah kekuasaaan Islam. ahli kitab dengan segala keyakinan dan keimananya sama seperti Islam, muncul dari sumber wahyu spiritual. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Lebih lanjut lagi, sejarah mencatat kontribusi Islam dalam perkembangan peradaban Barat sangatlah kuat.<br />Bermula dari penghancuran dramatis kota Jerussalem oleh tentara Romawi pada 70M, hampir seluruh keturunan Yahudi dengan berberat hati kabur menyelamatkan diri ke berbagai daerah di Eropa hingga Jordan selama masa pegasingan. Ajaran merekapun mulai menyebar disamping kristen koptik yang pada waktu itu sedang dilanda perang teologi tentang kemanusiaan Jesus. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Pasca pengasingan tersebut, tepatnya tahun 570 M Rasulullah lahir, beliau sepenuhnya yakin akan kebenaran ‘utusan Allah’ yang disandangnya sebagai penerus ajaran-ajaran terdahulu. Beliau datang untuk merekonstruksi pondasi keyakinan agama yang telah mengalami berbagai distorsi dan manilpulasi. Berbeda dengan Kristen yang selalu penuh hasrat menekan agama lain, Islam dari awal datangnya bersama Rasulullah senantiasa menekankan betapa pentingnya toleransi antar agama, yang kemudian berdampak dengan kedamaian harmonis antara tiga agama samawi tersebut dibawah naungan hukum Islam. Yahudi sebagai cotoh, disaat penganutnya menghadapi dua dilema antara mati atau hidup sebagai warga kelas rendah di Eropa, menikmati kekayaan budaya dan keyakinan mereka dengan leluasa, demikian juga Kristen dipersilahkan untuk menjalankan ritual agama sebebas bebasnya dibawah naungan Islam. Berbagai aliran spiritual dalam Yahudi dan Kristen termasuk paham Kaballah disinyalir muncul dengan penuh gairah dalam atmosfir kerukunan beragama dimasa Islam berkuasa.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Pengaruh Islam Spanyol terhadap perkembangan Barat modern tidak bisa dipungkiri. Berbagai institusi mutakhir kala itu di Andalusia merupakan ide awal dari munculnya universitas sekelas Oxford dan Cambridge di Inggris.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Di saat para bangsawan Eropa masih berkutat dalam monarki absolut, Islam telah menjadi rumah singgah yang nyaman bagi para filosof, ilmuwan, penyair, matematikawan dan astronom.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Islam dispanyol juga memberikan warisan arsisektur dan peninggalan karya seni yang berlimpah. Literur-literatur mengenai filsafat, logika, matematika, arsitek dan seni tersebut diterjemahkan dari bahasa Arab bukan bahasa Yunani atau Suryani. Pola pikir yang modern dari ilmuan muslim kemudian merayap menyelusuri pemikiran para ilmuwan teolog Kristen di Barat dalam menentukan modelnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> bersamaan dengan filsafat dan matematika Islam juga membawa ilmu kedokteran dan arsitek yang merupakan buah dari perpaduan spiritual-intelektual Islam dimana wahyu menjadi panutan.<br />Ssegala hal tersebut diatas tiba-tiba menjadi kontras apabila subjeknya diganti dengan Kristen. Hal ini tampak dengan jelas bagaimana brutalnya inkuisisi dan gaya opressif gereja yang mengaku sebagai ‘jelmaan tuhan’ pasca disalibnya jesus, hal serupa juga tercatat jelas dalam lembaran sejarah dimasa perang salib. Disaat para ksatria Kristiani secara keji menyembelih ‘infidel’ setelah mereka menguasai jerusalem, Islam justru memberikan ruang penuh aroma ‘enlightment’ dan buaian intelektual yang menaungi para ‘infidel’ tersebut. Spanyol bukan hanya satu-satunya jembatan tradisi antara Kristen dan Islam. penaklukan Islam atas sicilia dan berbagai tempat lainnya merupakan lahan subur dalam proses perkawinan budaya tersebut.<br />Dalam kehidupan yang serba rumit sekarang ini, dimana agama dan tradisi islam diserbu beragam tuduhan pejoratif dari berbagai penjuru, harusnya Barat sadar, mengingat dan mengakui bagaimana mereka dimasa tirani intoleran Kristen (baca: gereja), begitu berhutang pada wawasan spiritual dan tradisi islam berupa toleransi agama, penghormatan luar biasa terhdap segala bentuk kegiatan ilmiah, konsep persaudaraan yang masih sangat relevan hingga saat ini. Barat telah mendapat pelajaran berharga oleh Islam di Spanyol, disaat Eropa dalam kegelapan dibawah opresi gereja dan intoleransi beragama, kejumudan pikiran dan penganiayaan intelektual. Confess it!<br />Albi HI-141 290308<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Goodwin, Geoffery, Islamic Spain, hal. 8-9<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Armstrong, Karen, History of Jerussalem, hal. 153<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Armstrong, Karen, Muhammad, hal 22-23<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Ahmed, Akbar S, Discovering Islam, hal. 4<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Goodwin, Geoffery, Islamic Spain, hal. 5<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Wallace Murphy, What Islam Did for Us, hal. 3Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-47362733211284725962008-03-27T01:21:00.000-07:002008-03-27T01:22:21.113-07:00FIGURManusia dengan segala kelebihan yang dianugrahkan Tuhan tidak dipungkiri juga memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan yang beragam antara yang satu dan lainnya, sesuai dengan kualitas dan kuantitas masing-masing dalam mengasah dan mengasuh bekal utama akal dan penyeimbang, hati nuraninya. Dengan ragam dan corak kelebihan serta kekurangan tersebut manusia memiliki fitrah untuk saling memberi dan menerima, madaniyyun bi al tab’i demikianlah para ilmuan muslim klasik menyebutnya. Hal ketergantungan tersebut semakin terasa dalam masa dimana para penghuni bumi semakin berjelal dan penuh sesak saat ini.<br />Berbagai fenomena yang melanda dunia –khususnya dunia ketiga, lebih khusus lagi umat Islam- tak luput dari slogan ketergantungan tadi, hanya saja secara jujur harus diakui porsi take and givenya penuh ketimpangan, betapa negara dunia ketiga begitu tergantung dengan bangsa adikuasa. Hal tersebut akhirnya membuat kaum muslim semakin ber’suka rela’ menghunjamkan cengkeraman sang ‘pemberi’ kedalam tubuhnya. semenjak runtuhnya Khilafah, dari generasi ke generasi umat Islam semakin memperlihatkan mental ketergantungannya. Ditambah lagi dengan lunturnya berbagai figur Islam dalam berbagai ranah sosial, ekonomi, budaya, pemikiran, bahkan agama. Betapa generasi sekarang lancar dan fasih dalam melafadzkan nama semisal Emile Durkheim, Marx, Hegel, Kant, Descartes, Ricouer, Faucoult, Wittgeinsten, Ernest Gelner, Kuhn, Rosseau dan segudang nama lainnya namun merasa heran dan asing mendengar nama para sahabat, Ibnu Khaldun, al Farabi, Ibnu Rushd, al Kindi, Ibn Rabban, Jabir Ibn Hayyan, Imam Syafi’i dan nama-nama tokoh muslim lainnya. Sudah hilangkah identitas kita?<br />Tak ada salahnya memang memahami dan mempelajari pemikiran para tokoh yang tersebut diatas, bahkan bagi penulis hukumnya adalah wajib, tapi apakah dengan itu kita harus melupakan khazanah klasik dengan kekayaan intelektualnya yang berlimpah? dalam hal ini rasionalisasi turats yang sering dikemukakan Hasan Hanafi patut mendapat perhatian yang proporsional. Agar kita ‘nyambung’ dengan sejarah identitas kita sebagai muslim, karena kita yang sekarang ini tidaklah wujud dengan serta merta dalam ruang hampa, tapi melalui proses sejarah yang panjang.<br />Moment Maulid Nabi atau Sirah Conference merupakan waktu yang tepat untuk merenungi berbagai dekadensi yang terjadi dalam umat Islam, sekaligus mencari solusinya. Karena salah satu penyebab utama kemunduran adalah hilangnya sosok dan figur Rasulullah yang ‘utuh’ dalam diri umat. ‘Yang utuh’, karena selama ini peringatan tahunan yang semakin marak itu, hanya sebatas kulitnya saja, kurang begitu bisa mengambil esensinya. Sebagian golongan melihat Rasulullah sebagai figur agung yang sangat suci, hingga melupakan unsur kemanusiaannya, golongan yang lain juga secara radikal berteriak dan menuduh golongan pertama telah menuhankan dan mengkultuskan Rasulullah secara berlebih, mereka mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah sosok manusia biasa seperti kita yang tak luput dari dosa dan patut dikiritisi, mereka beralasan, dengan kritik tersebut justru akan menghadirkan sosok rasulullah yang ‘hidup’ dan manusiawi. Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap?<br />Setiap manusia membutuhkan figur, teladan dan panutan. Hal ini merupakan keniscayaan, sesuai dengan fitrah manusia. Namun cara kita beradaptasi dengan figur tersebut harus proporsional sehingga tidak akan melukai sang figur dan menyakiti diri kita sebagai pendukungnya. Bukti tersebut bisa kita lihat dimana-mana, misalnya, lihat bagaimana rakyat indonesia begitu mengagungkan figur Gusdur sebagai presiden idaman pasca lengsernya suharto. Rakyat Indonesia kemudian tergoda untuk memproyeksikan segala impian dan utopia kepadanya. Akhirnya Gusdur tak ubahnya seperti totem yang akan disembelih sebagai penebus politik akan kondisi riil yang penuh ketimpangan. Justru sekarang sikap rakyat berbalik mengagung-agungkan Suharto dengan segala ketentraman dan kenyamanan hidup kala meraka dibawah kekuasaannya. Hal ini mengingatkan kita pada figur Soekarno, disaat akhir masa jabatannya hampir semua lapisan masyarakat ‘mencemoohnya’ namun kemudian mendewakannya sedemikian rupa.<br />Islam tidak mengenal mistifikasi figur sebagimana yang tersebut diatas, bahkan figur Rasulullah sekalipun. Sikap Abu Bakar menenangkan para sahabat ketika Rasulullah wafat perlu kita contoh bukannya Umar yang dengan berang ingin menebas pembawa berita kematian Rasulullah. Menjadikan Rasulullah figur dan teladan bukan berarti berkeyakinan bahwa beliau masih hidup dan akan hadir di tengah kita atau dengan bernyanyi dan menari sepanjang malam sebagaimana yang dilakukan sebagian golongan, namun menjadikan beliau figur dan tauladan adalah dengan menghadirkan akhlak, sikap dan perilaku beliau dalam diri kita dan kehidupan sehari-hari kita. Marilah kita jadikan figur Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Wallahu a’lamHamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-37186498630249880702008-03-04T03:15:00.000-08:002008-03-04T03:20:52.314-08:00MENYANDINGKAN ULAMA DAN UMARAMENYANDINGKAN ULAMA DAN UMARA<br />Hamdan Maghribi<br />Mendudukkan agama(ulama) dan pemerintah(umara) dalam sebuah bingkai tatanan dan sebuah sistem yang terpadu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam diskursus perpolitikan, dua buah entitas tersebut selalu berada dalam ketegangan yang berujung pada perdebatan yang rumit sepanjang sejarah manusia. Bermacam wacana tentang kedaulatan muncul dari arena perdebatan kedua elemen penting dalam bermasyarakat tersebut.<br />Ada paham teokrasi, yang menyatakan kedaulatan penuh ditangan Tuhan. Faham ini menginginkan agar Tuhan(yang termanifestasi dalam bentuk golongan “elit agama” ) yang menyelesaikan berbagai macam realitas, termasuk negara. Pengelolaan sebuah negara harus murni bersumber dari teks-teks suci tanpa ada andil nalar manusiawi. Faham ini bersumber dari faham teosentrisme yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu. Muncul kemudian faham demokrasi yang menuding faham teokrasi telah menuhankan golongan elit agama, mereka buta dan acuh terhadap berbagai realita bahwa manusialah yang lebih berhak mengatur dirinya sendiri, toh Tuhan juga menganjurkan penggunaan nalar untuk mengejawantahkan berbagai tema langit yang sulit untuk dicerna termasuk dalam hal bernegara. Faham ini melihat bahwa manusialah yang harus menjadi pusat. Bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat merupakan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam teori ini agama dipandang sebagai urasan pribadi yang tidak boleh diseret kedalam ranah publik. Bahkan negara harus bisa “menjinakkan” agama agar tidak mengintervensi wilayah publik.<br />Melihat kedua faham diatas yang saling menafikan satu dan lainnya, Abu al A’la al Maududi datang dengan membawa faham yang ingin menyandingkan kedua faham diatas, teori yang kemudian dikenal dengan teo demokrasi ini secara sederhana adalah faham kedaulatan yang berada ditangan Tuhan dan manusia sekaligus. Meskipun sebuah negara yang dalam pengelolaannya berada dalam hak penuh rakyat (manusia) namun ia tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang telah ditetapkan oleh tuhan dan apabila ada petentangan yang terjadi antara keduanya maka pendapat Tuhan harus dikedepankan dengan keyakinan bahwa ada hikmah diluar nalar manusia yang tidak bisa terjangkau. Hal ini menunjukkan bahwa teori yang dibawa Maududi belum bisa menjadi penengah antar kedua faham sebelumnya, karena teo-demokrasi lebih cenderung kepada teokrasi.<br />Meski ketiga teori diatas tampak sederhana, namun dalam tataran praktis terdapat beragam kerumitan yang tidak mudah terselesaikan. Karena kecenderungan masing-masing paham untuk menginterfensi satu sama lain. Maka disini dibutuhkan sebuah kerangka berfikir yang utuh dan bijak agar keduanya bisa tertampung secara proporsional, agar umat manusia bisa keluar dari segala macam masalah dan musibah. Menghapus unsur manusiawi dalam bernegara merupakan sebuah kenaifan dan sikap pesimis berlebih, karena hal tersebut sama saja dengan menegasikan eksistensi manusia sebagai objek dalam bernegara. Demikian pula sebaliknya, amat sombong bila manusia dengan berbagai kelemahan dan keterbatasannya ingin menyelesaikan segala realitas kehidupan dengan daya nalarnya tanpa memberikan porsi bagi sang pencinta nalar tersebut. Lantas bagaimana kita (umat Islam) menyikapi hal tersebut? Haruskah kita libatkan agama dalam ranah politik dan meniggalkan negara untuk meneguhkan agama? Ataukah ada cara untuk memadukan keduanya? Kalau ada apakah batasan-batasannya? <br /> Dewasa ini banyak umat Islam yang berfikir bahwa jika aspek politik bisa direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. pendapat ini bisa dibilang sebagian benar tapi kurang sempurna. memang kekuasaan politik adalah bagian penting dari permasalahan umat. karena daulah merupakan pendukung perkembangan agama. Ini tidak hanya dibuktikan oleh Islam, namun juga agama-agama lain. Sebagai contoh mari kita lihat agama Kristen yang berkembang dengan demikian pesatnya di Eropa tak bisa dipungkiri merupakan jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan dekrit 'edict of milan' dan Kaisar Theodosius yang kemudian menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi. Demikian pula halnya dengan agama Budha yang tidak terlepas dari campur tangan Raja Ashoka. demikian pula dalam agama-agama lain, sulit untuk memisahnya dengan kekuasaan, sama halnya dengan ideologi, ideologi juga tak lepas dari campur tangan penguasa (contoh: marxisme, kapitalisme, sosialisme dsb), Eksistensi dan perkembanganya sangat ditopang oleh kekuasaan. Komunisme kehilangan pamor setelah Sovyet runtuh. kapitalisme juga 'sepertinya' akan sulit meneguhkan eksistensinya jikalau suatu saat Amerika ambruk mengikuti jejak Sovyet.<br /> Tapi, perlu kita catat disini, bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Sejarah mencatat banyak pemikiran, keyakinan, attitude dari masyarakat yang tidak sejalan dengan penguasa. Peran ulama disamping umara (kekuasaan) juga memegang peranan yang tak kalah pentingnya, keduanya harus diselaras-harmonikan. Para aktivis politik harus mempunyai pemahaman yan benar tentang agama (Islam). Jika tidak mereka nantinya akan menjadi perusak Islam yang signifikan. Jadi -menurut saya- tidaklah benar apabila dalam perjuangan Islam kita mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Kesemuanya harus pada posisi masing-masing secara proporsional. Itulah namanya adil. Contoh riil adalah teladan baginda rasul SAW yang memulai dakwah dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentan konsep-konsep dasar dalam Islam. Afkar(pondasi pemikiran) mafahim(pemahaman) maqayis (standar-standar nilai) dan 'ketundukan' yang Islami ditanamkan secara kokoh kepada para sahabat waktu itu. Akhirnya mereka bisa tampil sebagai sosok ulama-cendekiawan yang handal dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dibuka lembaran sejarah bagaimana hebatnya argumentasi Ja'far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan raja najasyi dan kafir quraisy di Mekah. Ja'far yang terjepit dan terdesak oleh serangan kafir minta perlindungan raja najasyi yang kristen, beliau mampu menguraikan argumen yang canggih seputar masalah Kristen dan Isa yang menjadi titik sentral kontroversi dalam Islam dan Kristen.<br /> Jadi kesimpulan yang bisa diambil, dalam menghadapi problematika saat ini kita harus bijak, dan bisa mensinergikan berbagai aspek; keilmuan, kejiwaan, kebendaan dan lainnya. Jadi kekuasaan bukanlah satu-satunya sarana (tapi bukan berarti harus menafikan secara mutlak atau mengurangi esensinya yang signifikan), harus ada sinergi antara 'ulama-umara' sehingga kaum muslim bisa kembali mengukir kejayaannya. (albi)<br />wallahu a'lam.Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1275247519378501030.post-19183191526723670072008-02-08T03:30:00.000-08:002008-02-08T03:32:02.856-08:00Islam, Renaissance dan Ilmu PengetahuanIslam, Renaissance dan Ilmu Pengetahuan<br />Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya tidak akan terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka amatlah penting bila kita melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena para ilmuwan Barat melihat bahwasanya segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan Agama –di Barat maupun Timur- dengan argumen bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis sedangkan ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan tersebut –menurut ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat dimana lahir filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600 tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus, Demokritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Selanjutnya ditangan para filosof Yunani ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan disini, pada waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan, sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sekali.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai ajaran absolut dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung pada akal yang kebenarannya relatif dan dinamis, terdapat pertentangan keras. Lembaran-lembaran sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval terjadi pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Disini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama (baca:Islam) terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan tekhnologi? Jawaban pertanyaan ini terletak pada hakikat keedudukan akal dalam agama yang bersangkutan. Agama yang menjunjung tinggi akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala perubahan dan modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya akan mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.<br /><br />Islam, akal dan sains<br />Dalam lembaran sejarah peradaban Islam kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad ke delapan sampai abad ketiga belas Masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan akal memiliki posisi penting dalam Islam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Akal merupakan suatu daya yang hanya dimiliki manusia, oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Islam sebagai agama pamungkas datang berbicara kepada akal dan bukan lagi pada perasaannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Dalam banyak aspek keagamaan sendiri akal sangat berperan. Dalam ayat al-qur’an yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya 500 ayat yang membicarakan ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu ada sekitar 150an ayat yang menerangkan tentang fenomena nature (alam). Mayoritas ayat-ayat tersebut turun dalam bentuk prinsip dan garis besar yang belum terperinci.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Disini, dalam memahami perincian tersebut peran akal sangat besar. Pemakaian akal, yang mempunyai kedudukan tinggi dalam al qur’an dan hadits itulah yang kemudian disebut ijtihad. Oleh karena itu ijtihad (menurut mayoritas ulama) merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam setelah al-qur’an dan sunnah.<br />Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah), keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Maka antara keduanya tidak akan pernah ada pertentangan. Ayat kawniyyah dalam al-qur’an yag mengajarkan manusia agar memperhatikan fenomena alam, mendorong para ulama klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar.<br />Berkembanglah dalam Islam pada masa antara abad kedelapan dan ketiga belas Masehi ilmu-ilmu pengetahuan duniawi. Perkembangan ini dimulai dengan penerjemahan berbagai buku Yunani kedalam bahasa arab yang terkonsentrasikan di Bayt al Hikmah Baghdad. Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi dan filsafat serta logika. Diantara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles dan lain-lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam.<br />Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut kedalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan disamping ulama yang ahli agama. Untuk pengembangannya didirikan universitas-universitas yang terkemuka, diantaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, Al-Azhar di Kairo dan Universitas An-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar Al-Thabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar ar Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan Al-Hawi diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al Qanun fi at-Thibbnya Ibn Sina dan Al-Kulliyyat fi at-Thibbnya Ibn Rusyd juga diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.<br />Disamping itu juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir al-Battani). Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti kalender hasil karyanya lebih tepat di banding kalender Gregorius.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa al Khawarizmi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> sangat Masyhur. Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin al-Haytsam dengan magnum opusnya al-Manazib yang didalamnya ia menentang Teori Euclid. ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada al-Mas’udi pengarang buku Muruj al-dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> Disamping al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan hingga geologi, bahkan, menurut Hitti, al-Jahiz dalam buku Kitab al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh ulama Islam terdahulu. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa ilmu pengetahuan yang menghasilkan teori-teori ilmiah yang diajukan oleh ilmuwan islam itu tidak mendapat tantangan dari para ulama. Ilmu dan agama berdampingan dengan begitu harmonis dan damai selama lima abad. Yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam bukanlah pertentangan ilmu dan agama, melainkan pertentangan antar madzhab. Mihnah (inkuisisi) pernah dilaksanakan kaum mu’tazilah terhadap golongan yang tidak sependapat dengannya mengenai penciptaan al-qur’an.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> Rakyat dipaksa untuk menganut faham mu’tazilah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Demikian juga pengkafiran yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap para filosof muslim bukanlah pada persoalan ilmiah akan tetapi keyakinan mereka tentang kekekalan alam dan tidak adanya kebangkitan jasmani.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br /><br />Islam dan Kebangkitan Barat<br />Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, Eropa beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Bersamaan dengan itu di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama samasekali tidak bertentangan dnegan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa Averroisme dalam sejarah pemikirannya (meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd; Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat, di Eropa averroisme membawa kepada double truth (kebenarab ganda); kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).<br />Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh averroisme (ar rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin. Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br />Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa.<br />Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. dipulai ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a><br /> Pengaruh pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a> Disamping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca: Kristen).<br /><br />Penutup<br /> Dari uraian ringkas diatas, sangatlah jelas kiranya bahwa kedudukan akal tinggi sekali dalam al-quran, pun para ulama setuju dengan kegiatan keilmuan dan penelitian, pertentangan yang ada bukanlah pertentangan antara agama vis a vis akal, melainkan pertentangan keyakinan antar madzhab, namun demikian bukan berarti akal adalah segala-galanya, karena akal bukanlah yang mengatur kita ia hanya melayani, ajaran Islamlah yang harus menjadi guidance dalam upaya balancing antara agama dan akal. Tulisan ini bukan bermaksud untuk berapologi ria, melainkan peringatan kepada kita agar melihat dan meneladani sikap para ulama Islam klasik, untuk diambil sebagai uswatun hasanah. Umat Islam di era globalisasi dan teknologi ini, menurut Syamsudin Arif, dalam melihat sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti Barat dan anti ilmu pengetahuan dengan dalil bid’ah, ada yang menelan begitu saja tanpa sikap kritis-objektif, dan ada juga yang menerima dengan waspada, dalam artian tidak menelan mentah begitu saja tanpa telaah ulang dan proses pematangan (baca:Islamisasi).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Sikap yang pertama dan kedua kurang tepat untuk diterapakaan karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal. Sikap yang bijak dan dewasa adalah bersikap adil, selalu menghargai namun mampu untuk meletakkannya pada porsi yang tepat. Disini umat Islam dituntut untuk jeli dalam memilah dan memilihnya. Umat Islam akan bisa meraih kembali kejayaan jika mau belajar dari sejarah, entah itu dari warisan klasik ulama Islam terdahulu ataupun pemikiran Barat modern sehingga tidak lagi terjerumus berkali-kali kedalam “lubang kegelapan” yang sama.(albi)<br />Allah knows best<br />G8/1 190707, 09:10AM<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Lihat, Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Routledge, 2004. Brooke N. Moore and Kenneth Bruder, Philosophy: the Power of Idea, McGraw-Hill, 2001.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1998, hal. 297.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Ibid, hal 297<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Lihat Hamdan Maghribi, Menembus Batas; Mungkinkah?<br />http://albi4ever.blogspot.com/2007/05/menembus-batas-mungkinkah-akal-dan.html<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Muhammad Abduh, Risalah al Tawhid, Darul Manar, Kairo, 1366 H. hal 91.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Ibid., hal 166-170<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al Fiqh, Mathba’ah al Nashr, Kairo, hal 35-36<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Lihat Hassan As-Syafi’i, At-Tayyar al-Masyai fi al Falsafah al Islamiyyah, Cairo, 1998.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Philip K. Hitti, History of the Arab, Mac. Millan, London, 1964, hal. 530.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Menurut Hitti kalender yang dibuat Umar Khayyam lebih tepat dibanding kalender yang disusun oleh Gregorius. Gregorius membuat perbedaan satu hari dalam 330 tahun sedangkan Umar Khayyam dalam 5000 tahun. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, hal. 337.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, New York, 1968, hal. 137.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Lihat hamdan maghribi, Islam dan Matematika, dalam Bulletin al Ibrah thn: 1 no: 1.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Dari kunjungannya itu ia memberi penjelasan tentang daerah kekuasaan Sriwijaya dan hasil buminya.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Ibn Batutah pernah melawat ke Timur, dan diantara daerah yang dikunjunginya adalah Sumatra, lihat Ross Dunn, The Travel of Ibn Batutah, University of California Press, 1992<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Philip K. Hitti, op. cit, hal 382.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Lihat M. Khudori Sholeh, M. Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, 2004<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI press, 1987.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Lihat Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, Darul Ma’arif, Kairo, 1966. Ibn Rusyd, Tahafut Al-Tahafut, Darul Ma’arif, kairo, 1964<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, 1998, hal.301-303<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Di Sisilia terdapat pula kegiatan penerjemahan buku kedalam bahasa Latin yang kemudian dibawa ke Eropa bagian selatan, yang merupakan salah satu faktorlahirnya Renaissance di Italia<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Lihat Harun Nasution, Islam Rasional.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1275247519378501030#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Syamsuddin Arif, Umat Islam dan Sains, <a href="http://www.insistnet.com/">www.insistnet.com/</a>5 april 2007Hamdan Maghribihttp://www.blogger.com/profile/16173381388094465237noreply@blogger.com0