Pakistan is a disfunctional state, demikian tutur Tariq Ali, penulis yang sosialis dan juga jurnalis kawakan senior Pakistan. Berdirinya Pakistan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mayoritas elite politik India kala itu, bahkan mayoritas menyatakan bahwa Pakistan adalah unexpected state. Berdirinya Pakistan bermula dari kalangan intelektual muslim di India yang kemudian mendirikan partai Liga Muslim yang di nahkodai oleh M. Ali Jinnah. Berakhirnya perang dunia kedua mempunyai ‘berkah’ tersendiri bagi India kala itu. Moment tersebut di gunakan Gandhi untuk meminta kedaulatan penuh dari Inggris dan Ali Jinah tak ketinggalan ’merayu’ agar rakyat muslim bisa lepas menjadi negara Pakistan.
Sejak awal Pakistan berdiri, sudah terjadi kontradiksi struktur pembagian wilayah antara West Pakistan dan East Pakistan yang jaraknya lebih dari 1000 mil, mereka sungguh berbeda latar belakang, entah bahasa, etnis dan suku, hanya faktor agamalah yang menyatukan mereka, meskipun ada banyak jga perbedaan dalam ranah fiqhnya. Bahkan di West Pakistanpun (sekarang Pakistan) permasalahan etnis masih sangat kental, belum ditambah dengan fenomena sektarian yang menyeramkan, semakin klop aroma perpecahan yang ada. Hal ini amat berbeda dengan India, yang meskipun memiliki lebih dari 36 bahasa dan terdiri dari bermacam suku mereka masih dengan bangga mengatakan I’am Hindustani. India lebih kuat semangat nasionalismenya dibanding Pakistan. Hal inilah yang banyak dikritisi oleh pengamat luar maupun lokal yang kemudian menyatakan bahwa Pakistan adalah negara ’kutukan’.
Muncul juga kemudian beberapa pernyataan bahwa berdirinya Pakistan ’mirip’ dengan Israel, karena keduanya berdiri atas landasan religious identity Pakistan dengan identitas Islamnya dan Israel dengan Yahudinya. Yang secara kebetulan, menurut banyak laporan bahwa keseharian para elite politik awal mereka tidak mencerminkan landasan idiologi negara yang di perjuangkannya. Menurut Tariq Ali, banyak laporan yang menyatakan bahwa Ali Jinah adalah seorang atheis, non-believer, ada juga yang menyatakan kalau dia penganut faham syi’ah. Mereka hanya menggunakan kedok agama untuk penguatan kedaulatan untuk menancapkan status quonya. Uniknya lagi, pernyataan bahwa Pakistan ’sama’ dengan Israel keluar dari mulut pemimpinnya Ziaul Haq yang mengatakan ’Pakistan is like Israel and want to be Israel’ entah apa maksud isi kepala sang president waktu itu sehingga terlontar kalimat kontroversial tersebut.
Tentang kemandirian, Pakistan amat jauh dari kesan itu. Dari awal berdirinya sebagai ’hadiah’ dari Inggris, kemudian perjalanan politiknya yang selalu dibayangi oleh hegemoni Amerika. Sejak perang dingin hingga detik ini Pakistan selalu berlindung dibalik wajah garang Amerika. Sejarah tidak pernah berbohong. Ketika amerika yang waktu itu di bawah kendali Carter merupakan donatur utama dalam mencetak para ’teroris’ generasi pertama. Buku-buku panduan jihad radikal dicetak oleh pihak Amerika di Universitas Nebraska dan dibagikan ketiap madrasah di Pakistan. Nampaknya nafsu Amerika ingin membalas dendam -ketika kalah telak di Vietnam dengan membuat kekalahan yang sama pada Soviet dengan Afghanistan- menghalalkan segala macam cara. Sekarang, setelah Soviet runtuh dan Amerika menjadi satu-satunya simbol kekuatan dunia. Maka dengan arogan menuding propaganda terorisme dengan ikon Usamah bin Ladin dan al qaidahnya sebagai target utama. Dan lagi-lagi usaha ini diamini oleh ’anak manis’nya, Pakistan.
Dalam menangani masalah kemiskinan dan kesehatanpun pemerintah pakistan terkesan acuh tak acuh. Terlihat dari besarnya dana yang digelontorkan untuk kepentingan meliter ditambah juga proyek nuklir yang didirikan sejak pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto. Ada penemuan yang mengagetkan dari UNDP berkenaan dengan rakyat di Pakistan. Tercatat dalam 10 tahun terakhir 60% bayi yang lahir di pakistan dinyatakan stunted (kerdil, menyusut tingginya dari tinggi rata-rata) ini menandakan buruknya gizi dan kesehatan mayoritas masyarakatnya.
Dalam hal kesejahteraan dan keadilan, Pakistan yang ’berlandaskan’ Islam justru kalah dengan India dalam land reform, reformasi kepemilikan tanah dari lanlord (tuan tanah). Jadi bisa dibayangkan betapa tingginya ketimpangan yang ada di Pakistan hingga saat ini.
Dulu, para pengamat sempat menaruh harapan kepada Zulfikar Ali bhutto yang melakukan perubahan radikal dengan mendirikan PPP yang mengagendakan modern social democratic state dan mendapat dukungan luar biasa dari rakyat. Namun hal tersebut tinggal slogan tanpa makna setelah akhirnya Bhutto meninggal di tiang gantungan. Anehnya lagi, tak seorang pun dari pendukungnya yang turun kejalan untuk menolak hukuman tersebut, mungkin karena takut atau merasa terlalu mahal untuk mengorbankan keselamatan jiwa hanya untuk seorang Zulfikar, entahlah.
Mengenai perseteruan ’abadi’ dengan India yang saat ini telah memulai ’perang’ pernyataan tentang isu terorisme dan radikalisme terkait berbagai tindak anarkisme di kedua belah pihak. Proyek nuklir dan militerpun dijadikan sebagai ajang ’unjuk kekuatan’ pada tetangga. Sehingga prioritas fundamental dalam penanganan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan terabaikan. Tak satupun rezim penguasa Pakistan bisa menangani masalah pokok ini. Musharraf and the gang juga dinilai sama mandulnya dalam hal tersebut, they are living under the illusion, mereka hidup dalam bayang-bayang ilusi dan ketergantungan terhadap Amerika. Pengangkatan Shaukat Aziz sebagai Perdana Menteri waktu itu disinyalir lebih cenderung karena kedekatannya terhadap Amerika, sehingga dia bisa dijadikan alat untuk merayu Amerika, bukan karena harapan akan kontribusinya terhadap rakyat.
Belum lagi masalah ‘terorisme’ yang sekarang sudah terlanjur menjadi isu global. Anehnya pemerintah selalu menyalahkan madrasah tanpa mengadakan reformasi sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan tingginya angka kemiskinan dan banyaknya populasi -satu keluarga rata-rata memiliki 6 anak-. Ingin menyekolahkan susah mencarikan nafkah juga payah. Akhirnya ketika para mullah datang dan meminta anaknya untuk disekolahkan dan dibawa ke madrassah mereka menyerahkannya. At least to get something, mungkin demikian pikirnya tanpa ada kekhawatiran akan kelangsungan anak tersebut nantinya, mau dicetak jadi ‘mesin’ peledak bom atau ‘alat’ radikalisme yang lain. Dan sekali lagi ini bukan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap mesin penghadang teroris, namun lebih kepada kebutuhan fundamental sebuah masyarakat berperadaban, yaitu ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
President yang terpilih sekarang pun tak jauh dari catatan-catatan kriminal tingkat tinggi, dari tuduhan pembunuhan saudara iparnya hingga isu korupsi yang memberikan dia gelar ‘Mr. Ten Percents’. Melihat pentas politik Pakistan tak ubahnya dengan film yang diangkat dari komik yang penuh ‘lelucon’ yang tak lucu. Bagaimana tidak, lihat saja wasiat Benazir Bhutto yang menyatakan bahwa anaknya Bilawal yang masih belasan tahun umurnya di baiat sebagai ketua partai seumur hidup! Dan roda kepengurusan partai di urus sang suami yang sekarang menjabat sebagai president Pakistan. (what’s on the earth going on here!)
Belum lagi polemik berkepanjangan di NWFP yang sudah amat akut. Yang begitu kuat memegang agama (tradisi?) dengan begitu ekstremnya. Bisa kita cek diberbagai media cetak nasional maupun lokal bagaimana mereka membakar sekolah khusus wanita dan berbagai aksi teror yang lain. Pakistan......memang negara yang ‘unik’ sekaligus penuh polemik. (to be concluded)
Albi, 171208/14:30
*tulisan ini bukanlah analisa pelik terhadap geopolitik Pakistan, namun hanya sekedar refleksi penulis terhadap fenomena yang tercerna dalam memory kecilnya melalui berbagai ‘media’.