Thursday, 20 September 2007

ORIENTALIS, FILSAFAT DAN ISLAM

Dalam kajian studi orientalis tentang filsafat Islam ada kesan kuat yang sudah berkembangan dan mengakar sejak awal kajian mereka bahwa “filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam. Ia tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka menambahkan, peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja, tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan dari filsafat Yunani. Bahkan lebih dari itu menurut mayoritas orientalis justru filsafat Islam menjadi polusi dan limbah yang mengotori atmosfir keilmuan dan peradaban Yunani dalam hembusan angin sejarah manusia.
Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam (Majid Fakhry: 2002) menyebutkan setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban Yunani. Gairah intelektual muslim tersebut oleh sebagian besar orientalis dilihat sebagai upaya-semu dalam mengIslamkan khazanah intelektual Yunani. Padahal kegairahan tersebut berangkat dari ajaran fundamental Islam sendiri yang bukan hanya memerintahkan para pemeluknya untuk menelaah dan mengkaji tapi juga mengkritisinya dalam upaya mencari hikmah, hadis yang menyeru untuk “menuntut ilmu sampai ke negeri Cina” dan “memungut hikmah dari sumber manapun ia berasal” merupakan contoh kecil dari perhatian Islam mengenai hal ini. Kegagalan para peneliti Barat dalam memahami motif intelektual muslim yang dimulai sejak abad ke-9 inilah yang akhirnya membawa kegagalan yang lebih besar dalam memahami proyek Islam secara utuh yang mengakibatkan klaim sepihak bahwasanya Islam adalah agama hegemonik vis a vis peradaban dunia.
Yang kedua, minimnya penguasaan para sarjana Barat terhadap literatur kebudayaan Islam secara umum dan pengembangannya di daratan Persia pasca Ibn Rusyd secara khusus. Melepaskan sejarah filsafat Islam dari konteks perkembangannya pasca ibnu Rusyd, khususnya di Persia akan semakin mengukuhkan klaim dan asumsi duplikasi filsafat Yunani dalam filsafat Islam. Perpaduan dan penggabungan dua buah peradaban bukanlah duplikasi dan upaya-semu dalam peningkatan peradaban manusia. Murtadha Muthahhari membuktikannya dalam buku Islam dan Iran; Suatu Kontribusi Timbal balik secara ekstensif menerangkan hubungan saling memperkaya antara peradaban Persia dan Islam, hal ini menunjukkan bahwasanya Islam merupakan agama yang memiliki daya tampung luar biasa terhadap segenap aktifitas yang menyempurnakan potensi manusia.
Adalah louis Massignon, Reynold Nicholson, Annemarie Schimmel, William Chittick dan Sachiko Murata yang telah memulai berbagai kajian ilmiah dalam studi Islam -khususnya mistisisme- meskipun masih belum mencapai tataran ilmiah-objektif, namun telah membangunkan kesadaran Barat akan kekayaan khazanah Islam di belahan Timur. Kejutan ini berlanjut dengan berbagai penelitian filsafat Timur oleh Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu dan para orientalis kontemporer lainnya. Namun demikian masih begitu banyak objek yang luput dari kajian orientalis dalam melihat sejarah Islam, terutama tradisi intelektual-filosofis Islam di belahan Timur. Disamping itu masih banyak kajian orientalis yang menonjolkan tokoh-tokoh dan pokok pemikiran mereka dalam kaitannya dengan tradisi filsafat Yunani dan Neoplatonis, dan bukan sebagai suatu sistem yang utuh dan otentik. Penonjolan hal inilah yang akhirnya memudarkan ciri khas Islam sebagai sejarah filsafat yang holistik dimata sarjana Barat.
Bukti otentisitas keislaman filsafat Islam -yang terlepas dari atribut duplikasi sebagaimana klaim mayoritas sarjana Barat- bisa dirangkum dalam dua segi:
Pertama, dari segi sumber, kita menemukan semangat para filosof untuk perenungan filosofisnya dalam konteks sumber-sumber pengetahuan Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu Islam yang lain, filsafat Islam pada hakikatnya bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah. Dengan landasan inilah S.H. Nasr menyatakan bahwa filsafat Islam disebut Islam bukan hanya karena pemekaran filsafat didunia Islam dan ditangan para sarjana muslim, melainkan karena seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber utama, yaitu Wahyu Islam....(S.H. Nasr dan Oliever Leaman: 1996).
Semua filosof mulai dari al-Kindi, al-farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Mulla Sadra, Ibn Bajjah, Suhrawardi, al Razi hingga filosof kontemporer semisal Khomeini dan Muthahhari telah hidup dan menghirup udara realitas Al qur’an dan Sunnah. Mereka berpegang teguh kepada sumber wahyu Islam. sebagai contoh, konon Ibn Sina ketika mendapat permasalahan yang rumit, dengan segera ia akan ke masjid dan melakukan shalat meminta petunjuk Allah. Al-qur’an dan Sunnah telah mengubah filsafat menjadi filsafat profetik. Realitas yang terkandung dalam Al-qur’an merupakan landasan awal mereka dalam berfilsafat. Sehingga al-aql al nadzary-nya para filosof Islam tidak bisa semerta-merta bisa disamakan dengan nous-nya Aristoteles, -meskipun terminologi arestotelian masih tetap digunakan- karena pola berfilsafat mereka telah mengacu kepada sumber wahyu Ilahi.
Kedua, dalam kata hikmah (para filosof muslim cenderung menggunakan istilah hikmah sebagai pengganti filsafat) kita bisa menemukan ciri khas filsafat Islam yang lain, yaitu sinergi antara perenungan filosofis, penyucian jiwa, dan ritual keagamaan. Kata hikmah disebut lebih dari duapuluh kali dalam Al-qur’an. Dengan memakai istilah hikmah sebagai pengganti al-falsafah, para filosof sebenarnya ingin menegaskan posisi filsafat Islam. Hikmah merupakan perpaduan tritunggal akal-ruh-raga untuk mencapai kesempurnaan intelektual-spiritual-ritual manusia. Itulah makna hikmah dalam filsafat Islam yang belum tercakup dalam filsafat Yunani kuno.
Catatan singkat tentang genealogi filsafat Islam yang unik dan khas diatas tidak ditujukan untuk membangkitkan sikap sentimen dikalangan Islam terhadap Barat dan orientalisnya, namun diharapkan untuk meningkatkan kesadaran dialog antar-peradaban yang sehat, sejajar dan adil. Dialog bukanlah ajang dimana yang satu merasa superior terhadap yang lainnya, dialog merupakan upaya saling memahami secara ilmiah-objektif, adil dan proporsional terhadap peradaban lain, sehingga kebenaran yang menjadi tujuan bersama bisa tercapai. (albi)
Allah knows Best.
H I/141 010907, 06:00 PM

No comments: