Wednesday 17 December 2008

Pakistan, Negara 'Unik' Penuh Polemik

Pakistan is a disfunctional state, demikian tutur Tariq Ali, penulis yang sosialis dan juga jurnalis kawakan senior Pakistan. Berdirinya Pakistan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mayoritas elite politik India kala itu, bahkan mayoritas menyatakan bahwa Pakistan adalah unexpected state. Berdirinya Pakistan bermula dari kalangan intelektual muslim di India yang kemudian mendirikan partai Liga Muslim yang di nahkodai oleh M. Ali Jinnah. Berakhirnya perang dunia kedua mempunyai ‘berkah’ tersendiri bagi India kala itu. Moment tersebut di gunakan Gandhi untuk meminta kedaulatan penuh dari Inggris dan Ali Jinah tak ketinggalan ’merayu’ agar rakyat muslim bisa lepas menjadi negara Pakistan.

Sejak awal Pakistan berdiri, sudah terjadi kontradiksi struktur pembagian wilayah antara West Pakistan dan East Pakistan yang jaraknya lebih dari 1000 mil, mereka sungguh berbeda latar belakang, entah bahasa, etnis dan suku, hanya faktor agamalah yang menyatukan mereka, meskipun ada banyak jga perbedaan dalam ranah fiqhnya. Bahkan di West Pakistanpun (sekarang Pakistan) permasalahan etnis masih sangat kental, belum ditambah dengan fenomena sektarian yang menyeramkan, semakin klop aroma perpecahan yang ada. Hal ini amat berbeda dengan India, yang meskipun memiliki lebih dari 36 bahasa dan terdiri dari bermacam suku mereka masih dengan bangga mengatakan I’am Hindustani. India lebih kuat semangat nasionalismenya dibanding Pakistan. Hal inilah yang banyak dikritisi oleh pengamat luar maupun lokal yang kemudian menyatakan bahwa Pakistan adalah negara ’kutukan’.

Muncul juga kemudian beberapa pernyataan bahwa berdirinya Pakistan ’mirip’ dengan Israel, karena keduanya berdiri atas landasan religious identity Pakistan dengan identitas Islamnya dan Israel dengan Yahudinya. Yang secara kebetulan, menurut banyak laporan bahwa keseharian para elite politik awal mereka tidak mencerminkan landasan idiologi negara yang di perjuangkannya. Menurut Tariq Ali, banyak laporan yang menyatakan bahwa Ali Jinah adalah seorang atheis, non-believer, ada juga yang menyatakan kalau dia penganut faham syi’ah. Mereka hanya menggunakan kedok agama untuk penguatan kedaulatan untuk menancapkan status quonya. Uniknya lagi, pernyataan bahwa Pakistan ’sama’ dengan Israel keluar dari mulut pemimpinnya Ziaul Haq yang mengatakan ’Pakistan is like Israel and want to be Israel’ entah apa maksud isi kepala sang president waktu itu sehingga terlontar kalimat kontroversial tersebut.

Tentang kemandirian, Pakistan amat jauh dari kesan itu. Dari awal berdirinya sebagai ’hadiah’ dari Inggris, kemudian perjalanan politiknya yang selalu dibayangi oleh hegemoni Amerika. Sejak perang dingin hingga detik ini Pakistan selalu berlindung dibalik wajah garang Amerika. Sejarah tidak pernah berbohong. Ketika amerika yang waktu itu di bawah kendali Carter merupakan donatur utama dalam mencetak para ’teroris’ generasi pertama. Buku-buku panduan jihad radikal dicetak oleh pihak Amerika di Universitas Nebraska dan dibagikan ketiap madrasah di Pakistan. Nampaknya nafsu Amerika ingin membalas dendam -ketika kalah telak di Vietnam dengan membuat kekalahan yang sama pada Soviet dengan Afghanistan- menghalalkan segala macam cara. Sekarang, setelah Soviet runtuh dan Amerika menjadi satu-satunya simbol kekuatan dunia. Maka dengan arogan menuding propaganda terorisme dengan ikon Usamah bin Ladin dan al qaidahnya sebagai target utama. Dan lagi-lagi usaha ini diamini oleh ’anak manis’nya, Pakistan.

Dalam menangani masalah kemiskinan dan kesehatanpun pemerintah pakistan terkesan acuh tak acuh. Terlihat dari besarnya dana yang digelontorkan untuk kepentingan meliter ditambah juga proyek nuklir yang didirikan sejak pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto. Ada penemuan yang mengagetkan dari UNDP berkenaan dengan rakyat di Pakistan. Tercatat dalam 10 tahun terakhir 60% bayi yang lahir di pakistan dinyatakan stunted (kerdil, menyusut tingginya dari tinggi rata-rata) ini menandakan buruknya gizi dan kesehatan mayoritas masyarakatnya.

Dalam hal kesejahteraan dan keadilan, Pakistan yang ’berlandaskan’ Islam justru kalah dengan India dalam land reform, reformasi kepemilikan tanah dari lanlord (tuan tanah). Jadi bisa dibayangkan betapa tingginya ketimpangan yang ada di Pakistan hingga saat ini.

Dulu, para pengamat sempat menaruh harapan kepada Zulfikar Ali bhutto yang melakukan perubahan radikal dengan mendirikan PPP yang mengagendakan modern social democratic state dan mendapat dukungan luar biasa dari rakyat. Namun hal tersebut tinggal slogan tanpa makna setelah akhirnya Bhutto meninggal di tiang gantungan. Anehnya lagi, tak seorang pun dari pendukungnya yang turun kejalan untuk menolak hukuman tersebut, mungkin karena takut atau merasa terlalu mahal untuk mengorbankan keselamatan jiwa hanya untuk seorang Zulfikar, entahlah.

Mengenai perseteruan ’abadi’ dengan India yang saat ini telah memulai ’perang’ pernyataan tentang isu terorisme dan radikalisme terkait berbagai tindak anarkisme di kedua belah pihak. Proyek nuklir dan militerpun dijadikan sebagai ajang ’unjuk kekuatan’ pada tetangga. Sehingga prioritas fundamental dalam penanganan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan terabaikan. Tak satupun rezim penguasa Pakistan bisa menangani masalah pokok ini. Musharraf and the gang juga dinilai sama mandulnya dalam hal tersebut, they are living under the illusion, mereka hidup dalam bayang-bayang ilusi dan ketergantungan terhadap Amerika. Pengangkatan Shaukat Aziz sebagai Perdana Menteri waktu itu disinyalir lebih cenderung karena kedekatannya terhadap Amerika, sehingga dia bisa dijadikan alat untuk merayu Amerika, bukan karena harapan akan kontribusinya terhadap rakyat.

Belum lagi masalah ‘terorisme’ yang sekarang sudah terlanjur menjadi isu global. Anehnya pemerintah selalu menyalahkan madrasah tanpa mengadakan reformasi sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan tingginya angka kemiskinan dan banyaknya populasi -satu keluarga rata-rata memiliki 6 anak-. Ingin menyekolahkan susah mencarikan nafkah juga payah. Akhirnya ketika para mullah datang dan meminta anaknya untuk disekolahkan dan dibawa ke madrassah mereka menyerahkannya. At least to get something, mungkin demikian pikirnya tanpa ada kekhawatiran akan kelangsungan anak tersebut nantinya, mau dicetak jadi ‘mesin’ peledak bom atau ‘alat’ radikalisme yang lain. Dan sekali lagi ini bukan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap mesin penghadang teroris, namun lebih kepada kebutuhan fundamental sebuah masyarakat berperadaban, yaitu ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

President yang terpilih sekarang pun tak jauh dari catatan-catatan kriminal tingkat tinggi, dari tuduhan pembunuhan saudara iparnya hingga isu korupsi yang memberikan dia gelar ‘Mr. Ten Percents’. Melihat pentas politik Pakistan tak ubahnya dengan film yang diangkat dari komik yang penuh ‘lelucon’ yang tak lucu. Bagaimana tidak, lihat saja wasiat Benazir Bhutto yang menyatakan bahwa anaknya Bilawal yang masih belasan tahun umurnya di baiat sebagai ketua partai seumur hidup! Dan roda kepengurusan partai di urus sang suami yang sekarang menjabat sebagai president Pakistan. (what’s on the earth going on here!)

Belum lagi polemik berkepanjangan di NWFP yang sudah amat akut. Yang begitu kuat memegang agama (tradisi?) dengan begitu ekstremnya. Bisa kita cek diberbagai media cetak nasional maupun lokal bagaimana mereka membakar sekolah khusus wanita dan berbagai aksi teror yang lain. Pakistan......memang negara yang ‘unik’ sekaligus penuh polemik. (to be concluded)

Albi, 171208/14:30

*tulisan ini bukanlah analisa pelik terhadap geopolitik Pakistan, namun hanya sekedar refleksi penulis terhadap fenomena yang tercerna dalam memory kecilnya melalui berbagai ‘media’.





Monday 15 December 2008

urgensi identitas dalam meretas jalan komunikasi

Pendahuluan

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa komunikasi mempunyai urgensitas yang sangat substansial dalam kehidupan universal. Bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya dunia tanpa adanya elemen komunikasi. Muculnya buruk sangka dan perasaan penuh curiga akan selalu menemani roda peradaban manusia. Komunikasi merupakan elemen penting dalam ruang lingkup bermasyarakat bahkan dalam ruang yang paling sempit sekalipun dalam berkeluarga. Keharmonisan dan kerukunan amat bergantung dengan elemen yang satu ini.

Islam yang berperan sebagai agama penutup dan pelengkap rentetan agama samawi melihat pentingnya kesadaran umat untuk memahami dan melaksanakan komunikasi. banyak ayat al Qur’an dan juga Hadist yang menganjurkan kita untuk selalu menjalankan komunikasi dalam ragam ranah kehidupan. Baik bersosial, bermasyarakat bahkan ibadah vertikal. Islam selalu menganjurkan untuk menggunakannya bukan hanya man to man relation namun juga man to God relation. Yang bermuara pada konsep tauhidi. Islam menolak dengan keras dikotomis ritual dan ibadah.

Namun sayang, keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam tidak berjalan pararel dengan pemahaman dan pelaksanaan umatnya. Sehingga terkesan betapa Islam menjadi ‘negeri dongeng’ yang utopis. Sehingga umat Islam yang membayangkan dan mencita-citakan kehidupan islami rasulullah dan zaman keemasan Islam di Baghdad di anggap apologetik yang ahistoris dan apolitis.

Hal inilah yang kemudian ditakutkan oleh sebagian cendekiawan muslim, bahwasanya akan muncul -dari miskomunikasi (dalam arti yang seluas-luasnya) umat terhadap saudaranya seiman dan juga teks ilahi- faham dan aliran yang ekstrem, jumud, kaku dan rigid. Meskipun dari kuantitas amatlah minim namun kelompok ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang tinggi. Ditambah dengan sikap Barat yang phobia terhadap Islam dan selalu membenturkan Islam dengan peradaban Barat, dan menuding Islam sebagai common enemy yang berbahaya pasca perang dingin.

Artikel ringkas ini tidak bemaksud untuk membahas satu persatu problematika umat secara holistik dan proporsional dikarenakan ruang dan waktu yang sangat terbatas dalam artikel ini. Tulisan ini hanya memfokuskan tentang makna fundamental dari komunikasi dalam Islam sehingga bisa terjalin silaturrahim dalam hubungan antar sesama muslim, antar umat dan hubungan dengan Allah swt.

Relasi antara Identitas dan Komunikasi

Pertama-tama penulis ingin membawa kepada beberapa contoh riil dilapangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hampir bisa dikatakan bahwa tak seorangpun manusia di bumi ini yang terlepas dari arus globalisasi. Sehingga silaturrahmi dunia maya pun sudah tidak bisa dihindarkan. Banyaknya blog dan milist yang bertebaran merupakan bukti bahwa telah muncul arena sosialisasi baru.

Bila kita aktif dalam dunia maya, atau paling tidak bergaul dengannya kita akan mudah menemukan ragam komentar dan diskusi. Bila kita sedikit teliti dalam mengikuti alurnya akan kita temukan begitu banyak ungkapan yang penuh emosi dan caci maki apabila ada pendapat yang dianggap keluar dari rel konvensional. Biasanya komentar yang ‘nggak jelas’ itu muncul dari individu yang menyembunyikan identitasnya atau dibelakang nama samaran. Sehingga dia berani melontarkan kata-kata yang tak bertanggung jawab.

Dari fenomena tersebut terlihat adanya pola yang beraksi dengan konsisten dalam berbagai kasus, semakin kabur identitas yang terlibat dalam komunikasi virtual, semakin besar kemungkinan untuk menimbulkan paraktek komunikasi tak bertanggung jawab. Sebaliknya, apabila identitas pesertanya jelas, kemungkinan komunikasi tak bertanggung jawab itu akan sedikit sekali kemungkinananya. Kalau tidak bisa dibilang hilang sama sekali. Karena dengan identitas yang jelas komunikasi akan terkontrol. Ada semacam tuntutan etika yang mewajibkan kedua pihak untuk saling menjaga etika dalam bersilaturrahim.

Ketika mengendarai kendaraan, banyak dari pengemudi yang dengan seenaknya melontarkan kata-kata tak beradab bila merasa haknya sebagai pengguna jalan telah dilanggar oleh pengemudi lain. Hal inipun besar kemungkinan karena tidak adanya ikatan emosional sebagai individu yang saling kenal. Dan masih contoh lain.

Dari dua contoh diatas, penulis berkesimpulan bahwa salah satu faktor tersebut adalah absennya identitas. kaburnya identitas dalam individu memberikan dorangan untuk melakukan hal-hal yang diluar etika manusiawi. Semakin kabur identitas seseorang akan semakin berani ia dalam bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Apabila kita bawa contoh dan kesimpulan tadi kedalam ranah dan ruang lingkup yang lebih luas, kita akan menemukan relevansinya dalam kehidupan sehari hari kita sebagai makhluk universal. Dan kalau kita mau sedikit berkontemplasi tentang ajaran Islam, kita akan menemukan jawaban dan solusinya.

Konflik intra dan antar umat beragama merupakan contoh riil dalam fenomena kontemporer. Selalu ada rasa was-was dan buruk sangka antar umat, bahkan dalam kesatuan umat itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh hilangnya identitas dan keengganan suatu kelompok untuk memahami identitas yang lain. Dengan berlandaskan pada dalil-dalil agama yang diinterpretasikan dengan kaku, akhirnya segala aktiftas kemanusiaan yang dilakukan dengan umat lain atau kelompok yang berbeda pendapat selalu ditemani dengan perasaan curiga.

Maka konsep silaturrahim yang dibangun atas komunikasi tak bertanggung jawab dan pengkaburan identitas harus kita rubah secara radikal. Karena hal tersebut sama sekali tidak mendapatkan legalitas dalam Islam. Bahkan Islam sangat mengutuk praktek silaturrahim yang ‘menyimpang’ tersebut. Janganlah kita latah ikut-ikutan Barat yang demi menegakkan hegemoninya harus mencari ‘common enemy’ sehingga bisa selalu waspada. Kita mempunyai aturan-aturan kemanusiaan yang demikian sempurnanya yang tercantum dalam lembaran-lembaran al Quran dan Hadits nabi. Namun perlu diingat, lembaran tersebut tidaklah untuk di interpretasikan secara literal saja, harus ada upaya kontekstualisasi dengan syarat berlandas kepada acuan-acuan yang sudah ditetapkan.

Kesimpulan

Dari uraian diatas kita mendapatkan sedikit gambaran tentang arogansi sebuah peradaban yang muncul dari kebencian atas dominasi agama dan muncul dari spekulasi penuh humanisme yang materialistik dan positivistik. Sebagai umat Islam kita tidak boleh latah serta merta dengan melihat progresifitas fisik-material mengikuti apa saja dari pemegang hegemoni tersebut. Sebagaimana yang dilakukan ‘pembaharu awal islam’.

Islam tidaklah mengenal arogansi semacam itu. Islam juga tidak mengajarkan kita slogan-slogan ‘kekerasan’ seperti benturan peradaban (clash of civilization), common enemy dan pandangan dikotomis sebagaimana ideologi mayoritas bangsa Barat. Islam mengajarkan kita ‘dialog’ bukan ‘benturan’, Islam menjadi besar di Barat (Andalus) meskipun secara kuantitas minoritas namun bisa memimpin masyarakat yang multiras dan multikultur. Islam juga mampu berartikulasi dalam dialog antar peradaban dengan adaptasi ‘take and give’ yang berlandaskan pada asas-asas Islam tentunya. Tidak lain hal positif tersebut muncul dari pemahaman dan usaha untuk memahami the others dengan komprehensif sebagaiana yang dianjurkan Islam.

Sudah semestinyalah kita sebagai umat yang besar dengan ajaran universal mampu menghadapi segala tantangan modernitas dan globalisasi. Bukan dengan menghindarinya bukan juga dengan konfrontasi namun dengan dialog yang islami. Namun hal ini bisa terwujud kalau kita mulai dari dini dan dalam hal yang paling sederhana dalam lingkungan kita. Dengan membangun dan menguatkan identitas dan menjalin silaturahim dengan komunikasi. Sehingga kesejahteraan universal bisa terwujud dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam

Albi, Rawal Town 13:00/121208