Monday 15 December 2008

urgensi identitas dalam meretas jalan komunikasi

Pendahuluan

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa komunikasi mempunyai urgensitas yang sangat substansial dalam kehidupan universal. Bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya dunia tanpa adanya elemen komunikasi. Muculnya buruk sangka dan perasaan penuh curiga akan selalu menemani roda peradaban manusia. Komunikasi merupakan elemen penting dalam ruang lingkup bermasyarakat bahkan dalam ruang yang paling sempit sekalipun dalam berkeluarga. Keharmonisan dan kerukunan amat bergantung dengan elemen yang satu ini.

Islam yang berperan sebagai agama penutup dan pelengkap rentetan agama samawi melihat pentingnya kesadaran umat untuk memahami dan melaksanakan komunikasi. banyak ayat al Qur’an dan juga Hadist yang menganjurkan kita untuk selalu menjalankan komunikasi dalam ragam ranah kehidupan. Baik bersosial, bermasyarakat bahkan ibadah vertikal. Islam selalu menganjurkan untuk menggunakannya bukan hanya man to man relation namun juga man to God relation. Yang bermuara pada konsep tauhidi. Islam menolak dengan keras dikotomis ritual dan ibadah.

Namun sayang, keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam tidak berjalan pararel dengan pemahaman dan pelaksanaan umatnya. Sehingga terkesan betapa Islam menjadi ‘negeri dongeng’ yang utopis. Sehingga umat Islam yang membayangkan dan mencita-citakan kehidupan islami rasulullah dan zaman keemasan Islam di Baghdad di anggap apologetik yang ahistoris dan apolitis.

Hal inilah yang kemudian ditakutkan oleh sebagian cendekiawan muslim, bahwasanya akan muncul -dari miskomunikasi (dalam arti yang seluas-luasnya) umat terhadap saudaranya seiman dan juga teks ilahi- faham dan aliran yang ekstrem, jumud, kaku dan rigid. Meskipun dari kuantitas amatlah minim namun kelompok ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang tinggi. Ditambah dengan sikap Barat yang phobia terhadap Islam dan selalu membenturkan Islam dengan peradaban Barat, dan menuding Islam sebagai common enemy yang berbahaya pasca perang dingin.

Artikel ringkas ini tidak bemaksud untuk membahas satu persatu problematika umat secara holistik dan proporsional dikarenakan ruang dan waktu yang sangat terbatas dalam artikel ini. Tulisan ini hanya memfokuskan tentang makna fundamental dari komunikasi dalam Islam sehingga bisa terjalin silaturrahim dalam hubungan antar sesama muslim, antar umat dan hubungan dengan Allah swt.

Relasi antara Identitas dan Komunikasi

Pertama-tama penulis ingin membawa kepada beberapa contoh riil dilapangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hampir bisa dikatakan bahwa tak seorangpun manusia di bumi ini yang terlepas dari arus globalisasi. Sehingga silaturrahmi dunia maya pun sudah tidak bisa dihindarkan. Banyaknya blog dan milist yang bertebaran merupakan bukti bahwa telah muncul arena sosialisasi baru.

Bila kita aktif dalam dunia maya, atau paling tidak bergaul dengannya kita akan mudah menemukan ragam komentar dan diskusi. Bila kita sedikit teliti dalam mengikuti alurnya akan kita temukan begitu banyak ungkapan yang penuh emosi dan caci maki apabila ada pendapat yang dianggap keluar dari rel konvensional. Biasanya komentar yang ‘nggak jelas’ itu muncul dari individu yang menyembunyikan identitasnya atau dibelakang nama samaran. Sehingga dia berani melontarkan kata-kata yang tak bertanggung jawab.

Dari fenomena tersebut terlihat adanya pola yang beraksi dengan konsisten dalam berbagai kasus, semakin kabur identitas yang terlibat dalam komunikasi virtual, semakin besar kemungkinan untuk menimbulkan paraktek komunikasi tak bertanggung jawab. Sebaliknya, apabila identitas pesertanya jelas, kemungkinan komunikasi tak bertanggung jawab itu akan sedikit sekali kemungkinananya. Kalau tidak bisa dibilang hilang sama sekali. Karena dengan identitas yang jelas komunikasi akan terkontrol. Ada semacam tuntutan etika yang mewajibkan kedua pihak untuk saling menjaga etika dalam bersilaturrahim.

Ketika mengendarai kendaraan, banyak dari pengemudi yang dengan seenaknya melontarkan kata-kata tak beradab bila merasa haknya sebagai pengguna jalan telah dilanggar oleh pengemudi lain. Hal inipun besar kemungkinan karena tidak adanya ikatan emosional sebagai individu yang saling kenal. Dan masih contoh lain.

Dari dua contoh diatas, penulis berkesimpulan bahwa salah satu faktor tersebut adalah absennya identitas. kaburnya identitas dalam individu memberikan dorangan untuk melakukan hal-hal yang diluar etika manusiawi. Semakin kabur identitas seseorang akan semakin berani ia dalam bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Apabila kita bawa contoh dan kesimpulan tadi kedalam ranah dan ruang lingkup yang lebih luas, kita akan menemukan relevansinya dalam kehidupan sehari hari kita sebagai makhluk universal. Dan kalau kita mau sedikit berkontemplasi tentang ajaran Islam, kita akan menemukan jawaban dan solusinya.

Konflik intra dan antar umat beragama merupakan contoh riil dalam fenomena kontemporer. Selalu ada rasa was-was dan buruk sangka antar umat, bahkan dalam kesatuan umat itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh hilangnya identitas dan keengganan suatu kelompok untuk memahami identitas yang lain. Dengan berlandaskan pada dalil-dalil agama yang diinterpretasikan dengan kaku, akhirnya segala aktiftas kemanusiaan yang dilakukan dengan umat lain atau kelompok yang berbeda pendapat selalu ditemani dengan perasaan curiga.

Maka konsep silaturrahim yang dibangun atas komunikasi tak bertanggung jawab dan pengkaburan identitas harus kita rubah secara radikal. Karena hal tersebut sama sekali tidak mendapatkan legalitas dalam Islam. Bahkan Islam sangat mengutuk praktek silaturrahim yang ‘menyimpang’ tersebut. Janganlah kita latah ikut-ikutan Barat yang demi menegakkan hegemoninya harus mencari ‘common enemy’ sehingga bisa selalu waspada. Kita mempunyai aturan-aturan kemanusiaan yang demikian sempurnanya yang tercantum dalam lembaran-lembaran al Quran dan Hadits nabi. Namun perlu diingat, lembaran tersebut tidaklah untuk di interpretasikan secara literal saja, harus ada upaya kontekstualisasi dengan syarat berlandas kepada acuan-acuan yang sudah ditetapkan.

Kesimpulan

Dari uraian diatas kita mendapatkan sedikit gambaran tentang arogansi sebuah peradaban yang muncul dari kebencian atas dominasi agama dan muncul dari spekulasi penuh humanisme yang materialistik dan positivistik. Sebagai umat Islam kita tidak boleh latah serta merta dengan melihat progresifitas fisik-material mengikuti apa saja dari pemegang hegemoni tersebut. Sebagaimana yang dilakukan ‘pembaharu awal islam’.

Islam tidaklah mengenal arogansi semacam itu. Islam juga tidak mengajarkan kita slogan-slogan ‘kekerasan’ seperti benturan peradaban (clash of civilization), common enemy dan pandangan dikotomis sebagaimana ideologi mayoritas bangsa Barat. Islam mengajarkan kita ‘dialog’ bukan ‘benturan’, Islam menjadi besar di Barat (Andalus) meskipun secara kuantitas minoritas namun bisa memimpin masyarakat yang multiras dan multikultur. Islam juga mampu berartikulasi dalam dialog antar peradaban dengan adaptasi ‘take and give’ yang berlandaskan pada asas-asas Islam tentunya. Tidak lain hal positif tersebut muncul dari pemahaman dan usaha untuk memahami the others dengan komprehensif sebagaiana yang dianjurkan Islam.

Sudah semestinyalah kita sebagai umat yang besar dengan ajaran universal mampu menghadapi segala tantangan modernitas dan globalisasi. Bukan dengan menghindarinya bukan juga dengan konfrontasi namun dengan dialog yang islami. Namun hal ini bisa terwujud kalau kita mulai dari dini dan dalam hal yang paling sederhana dalam lingkungan kita. Dengan membangun dan menguatkan identitas dan menjalin silaturahim dengan komunikasi. Sehingga kesejahteraan universal bisa terwujud dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam

Albi, Rawal Town 13:00/121208





2 comments:

sonny said...

yea, hamdan menulis lagi..
ayo lebih rajin ya

nb: ntar komen ilmiahnya, hehehe..

sonny said...

anonimitas emang masalah besar dlm dunia web 2.0 dimana social network yg jd kata kuncinya. Dlm Web 1.0 org terbiasa menggunakan identitas anonim atas bbg alasa.

Tp Web 2.0 adalah dunia interaktif antar manusia, bukan lg manusia dg mesin semata. Krn itu anonimitas tdk relevan lg.

Son sendiri agak sulit meninggalkan kebiasaan anonim yg terbawa dr web 1.0 Di situs2 teknologi, ana biasa mgunakn identitas anonim. tp di jaringan sosial spt milis, blog, fs & fb, selayaknya kita menggunakan identitas sbenarnya (dunia realitas)

Tp lg, masalah utamanya bkn anonim atau tidak, tp TANGUNG JAWAB msg2 pengguna web :)