Saturday 4 August 2007

Melihat kembali Orientalisme

Tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak sumbangan orientalisme kepada dunia Islam, meskipun dampak negatifnya lebih banyak (namun hal tersebut tidak boleh melunturkan nilai objektifitas dalam diri kita)
Hal yang menjadi kelemahan orientalis ialah titik tolak dari iman, mereka berangkat dari ketidak percayaan kepada agama Islam, Islam dilihat sebagai fenomena dan gejala yang diobservasi, ini yang membuat kajian mereka menjadi fenomenologis. Dalam hal ini Nurcholish Madjid memberi contoh sebuah buku yang berjudul hajarism, maksudnya adalah Hajar istri nabi Ibrahim (yang darinya lahir Isma’il yang kemudian keturunannya berdomisili di Arab). Mereka mengartikan bahwa semua mentalitas orang Arab yang kemudian menjadi Islam adalah hajarisme tersebut, yaitu inferiority complex karena Hajar adalah seorang budak Mesir yang dihadiahkan Fir’aun untuk nabi Ibrahim.
Kita juga mengetahui bahwa orientalisme erat hubungannya dengan kolonialisme, contoh yang jelas dinegara kita adalah Snouck Hourgronye. Adalah Edward Said seorang kristen keturunan Palestina yang kemudian berusaha membongkar kedok dan kepalsuan orientalisme dalam bukunya orientalism (Buku ini mendapat respon yang massif, terutama dari kaum orientalis, salah satunya adalah Bernard Lewis). Reaksi itu muncul karena didalamnya menunjukkan bahwa orientalisme itu dimotivasi oleh kolonialisme. (untuk lebih jelasnya baca, Edward Said, Orientalism, 2006)
Dari sinilah orientalisme terikat dengan bias kolonialisme yang akhirnya kehilangan sebagian watak ilmiahnya, dan kemudian menjadi alat penjajah, misal yang dramatis sekali seperti yang dilakukan oleh Snouck Hourgronye di negara kita. Katanya hadits al dunya sijnu al mu’min itu adalah buatan Van Der Plas. Contoh yang lain adalah ungkapan Clifford Geertz dalam bukunya Islam in Java. Dari buku tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa Geertz adalah tokoh orientalis yang bias kolonial, yang sangat negatif dalam memandang Islam dan mencoba untuk memahami Islam. Buku ini kemudian dikritik oleh Hudson, menurut dia “ini adalah keberhasilan antropologis yang cross cultural, namun tidak historis dan tidak didasari oleh pengertian tentang Islam itu sendiri”. Hudson mencontohkan betapa salahnya Geertz yang mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan orang jawa kepada roh halus atau jin itu khusus javanese, padahal jin adalah perkataan dalam al-qur’an (Nurcholish madjid, pengaruh Israiliyat dan orientalisme terhadap Islam)
Bagaimanapun, tren positifnya tentu ada, dan itu menghasilkan kenyataan baru, misalnya sejak awal abad 20an semakin banyak pusat-pusat kajian Islam di Barat yang diserahkan pelaksanaanya kepada Muslim seperti Hasyim Mahdi, Hamid Algar dan juga Seyyed Hussein Nasr, ada juga Isma’il Raji Al-Faruqi yang syahid itu. Terlepas dari intersest ‘terselubung’ Barat dalam pengangkatan tersebut, pengangkatan orang Islam dalam pusat kajian Islam di Barat merupakan langkah positif untuk meletakkan Islam kepada posisi yang sebenarnya di mata Barat. Sekali lagi mari kita melihat orientalisme dengan kacamata ilmiah dan objektif, sehingga terjadi dialog peradaban yang kondusif dan proporsional dengan syarat jangan sampai tamu (Barat) menjadi tuan rumah di rumah kita. (albi)
Allah knows Best.
G8/1 040807 12:15 PM

Shahabah

“Umar bin Khattab dan Islam Liberal”, demikian salah satu judul dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia yang disunting oleh Luthfi Assyaukani, tulisan tersebut mengangkat tindakan Umar yang meniadakan potong tangan atas pencuri onta, karena pencuriannya atas desakan perut dan dalam kondisi panceklik yang parah (Luthfi Assyaukani ed., Wajah Liberal Islam di Indonesia, 2002) dalam judul tersebut banyak menyinggung ijtihad Umar yang terlalu banyak menggunakan ra’yi dan seolah-olah ini merupakan pelegalan atas tafsir metaforis terhadap ayat-ayat al qur’an. Hal ini juga sering dibandingkan dengan sikap para sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud dan Ali. Memang tidak dipungkiri bahwa Umar banyak menggunakan ra’yi dalam penafsiran dan penerapan hukum Islam semasa pemerintahannya. Namun ada satu hal yang tidak banyak mendapat porsi perhatian yang semestinya yaitu kedudukan Umar dan para sahabat waktu itu.
Ketika melakukan ijtihad, fungsi umar adalah sebagai penguasa, sedangkan fungsi para sahabat, misalnya Ibn Mas’ud adalah guru dan Ali adalah qadhi (hakim). Perbedaan fungsi tersebut melahirkan gerak ijtihad yang berbeda. Dalam proses pengambilan hukum, Umar –sebagai penguasa- sering dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang rumit dan mendesak. Situasi perang bergolak ketika menghadapi Romawi dan Persia. Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan adalah potensi intelektual Umar yang unik dan cenderung revolusioner, respon dan tanggapan baliknya cepat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, dan ini sangat diperlukan, karena beliau adalah penguasa waktu itu. Lain halnya dengan Ali, karena beliau adalah hakim, berpikirnya dituntut untuk lebih tenang dalam mengambil keputusan. Hal ini yang sering dilupakan orang. Akibatnya Umar sering menjadi bulan-bulanan dan ‘kambing hitam’ kelompok tertentu. Padahal dalam berbagai kitab sering kita peroleh bahwa Umar merujuk kembali kepada nash, tidak hanya kepada akal sebagaimana yang dikutip oleh kalangan liberal. Karya Ibn Hazm al muhalla contohnya, Ibn Hazm menceritakan dalam kasus mahar dan pembagian tanah Irak bahwa Umar merujuk kembali kepada nash.
Hal lain yang perlu dijadikan perhatian adalah kaidah qaulu shahabi laisa bihujjah (yang dikatakan oleh satu orang sahabat bukanlah hujjah) perkataan sahabat, baik individu maupun kelompok, seperti manhaj madinah, kubu kufah atau metode Imam Malik dan yang lainnya, belum merupakan hujjah yang tarafnya sama dengan al qur’an dan sunnah. Maka tidaklah layak meng’kambing hitamkan’ Umar.
Pengantar diatas menunjukkan adanya dua kubu yang mempertanyakan kedudukan sahabat nabi tertentu, yang membawa dua sikap berbeda dalam menanggapi permasalahan, pendapat pertama sepakat dengan ash shahabah kulluhum ‘udul (sahabat semuanya adil). Mereka tau bahwa siapa yang mencelanya (sahabat) adalah bid’ah, zindiq dan memusuhi Islam (Ibnu Hajar, al Ishabah fi Tamyiz al Shahabah dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, 1990) yang kedua adalah sikap yang diwakili oleh para cendekiawan yang berkeyakinan bahwa determinisme sejarah telah banyak memanipulasi atau mendistorsi data dan fakta sejarah yang sebenarnya. Mereka berkeyakinan bahwa tidak mustahil terjadi upaya tertentu, dari pihak tertentu demi kepentingan tertentu telah ikut mewarnai sejarah dengan warna yang sesuai seleranya sendiri, sehingga tidak mustahil muncul kelompok pemalsu hadits yang akhirnya terekam oleh para muhaddits, mufassir dan muarrikh. Hal ini bisa kita lihat dalam dunia orientalisme, israiliyyat dan sektarianisme yang banyak memasukkan fakta-fakta palsu dalam kemasan Islam. Dan tidak jarang dari masukan tersebut di’yakini’ dan dijadikan acuan para ‘penjaga Islam’. Dalam hal ini fanatisme dan sektarianisme merupakan monster mematikan dalam pencarian kebenaran yang tidak boleh menjadi monopoli salah satu madzhab tertentu. Mereka yang tidak terburu-buru curiga akan mendapatkan kesimpulan bahwa banyak hal yang dipandang baru selama ratusan tahun telah direkam oleh para ulama dalam menelaah Islam.
Al qur’an telah memberi peringatan, agar kita mendahulukan ilmu dan kepastian dari prasangka (QS, 6: 116), nafsu dan bias pribadi maupun golongan (QS, 53: 23), al qur’an juga melarang kita untuk tergesa-gesa dan menerima tradisionalisme serta obsesi masa lampau (QS, 4: 170). Menyinggung sikap serta kedudukan sahabat tertentu merupakan hal yang mendesak, karena perilaku sahabat sering dijadikan legitimasi tanpa analisa terlebih dahulu, tanpa melihat mana yang shalih dan bathil, mana yang shahabi Islami dan mana yang bukan (mengatasnamakan Islam saja) hal ini sangat penting ditengah mewabahnya virus ‘mujtahid amatir’ dan sulitnya membedakan mana yang muqallid dan mana yang mujtahid, karena kekeliruan dalam hal ini akan memporak-porandakan ukhuwwah Islamiyyah, ditambah lagi dengan tumbuhnya keberanian merekonstruksi dan mendistorsi ajaran-ajaran pokok Islam dengan dalih modernisasi dan universalisme Islam.
Menurut saya sudah terjadi kesalah fahaman dalam menilai ungkapan “kesalahan dalam ijtihad” yang tetap mendapatkan pahala (apabila benar mendapat pahala ganda dan apabila salah mendapatkan satu pahala) sehingga marak orang berdalih hal tersebut dalam melegalkan ijtihad tanpa melihat prasyaratnya terlebih dahulu. Memang membicarakan dan mempertanyakan kembali sikap dan eksistensi sahabat yang kurang jelas –pada saat mayoritas orang yang membicarakan Islam masih miskin intelektualisme- merupakan hal yang akan mengundang kontroversi dan polemik. Keterikatan emosi sering didahulukan tinimbang keterikatan intelektualnya. Oleh karena itu pro-kontra sering terjadi, bahkan sampai tataran fisik. Hal ini wajar, karena dimana-mana membicarakan sesuatu yang sudah taken for granted dan menjadi status quo cenderung dituduh macam-macam.
Namun bukan berarti kita harus diam nrimo begitu saja tanpa usaha. Karena ajaran Islam (al qur’an) sudah jelas menganjurkan tiap individu untuk selalu menggunakan kekuatan logika bukannya logika kekuatan. Dalam menguji data dan fakta kita diseru untuk menghindari prasangka dan agar metode analis kritis selalu didahulukan, hanya saja kekuatan logika tersebut harus terkontrol, karena akal tidak bisa menuntun kita, ia hanya bisa melayani.(albi)
Allah knows Best.
G8/1 040807 11:30 AM