Thursday 19 June 2008

KEBANGKITAN NASIONAL (SEABAD KONTROVERSI SEJARAH DI INDONESIA)



Sejarah merupakah sebuah fenomena peradaban manusia yang unik, dengan adanya sejarah kita bisa menguak tabir masa lalu, namun sejarah juga bisa melahirkan kontroversi dan perdebatan panjang.

Pada dasarnya, sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar terjadi, bersifat mutlak. Namun, kemudian ia akan menjadi relatif bila dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang. Singkatnya, kejadian itu sendiri bersifat absolut, tapi setelah ditangkap dan sampai pada manusia kejadian itu kemudian menjadi relatif. Dengan demikian, kebenaran sejarah merupakan kebenaran relatif. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam perdebatan dan kontroversi. Sejarah konvensional yang menjadi pegangan umum harus rela untuk direkonstruksi begitu ditemukan bukti baru. Maka tidak heran hingga detik ini telah muncul banyak versi sejarah. Sejarah bukanlah fenomena yang hanya mengakui hitam-putih, panjang-pendek, banyak warna dan ukuran yang menghiasinya. Namun, selama tidak mengandung bias dan tidak untuk kepentingan kekuasaan, versi-versi sejarah tetap memberikan nilai yang berarti.

Namun pada galibnya, Sejarah dijadikan doktrinasi dalam legitimasi politik pemerintah, yang mengakitbatkan penyelewengan fakta. Sejarah menjadi milik penguasa, dinasti atau orde yang berkuasa.

Hal inipun terjadi di negara kita. Telah terjadi pembengkokan sejarah dan pengaburan fakta. Setelah reformasi bergulir, puluhan buku yang mempertanyakan dengan berani dan terbuka merupakan bukti riil. Sejarah yang sudah ada dianggap tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta dan bukti sejarah. Sumbernya dipalsukan dan interpretasinyapun bias. Sejak saat itu pula sejarah harus diluruskan, sebab pemalsuan sumber sejarah merupakan pembengkokan atau rekayasa sejarah.

Selama ini publik bingung dengan banyaknya peristiwa masa lalu yang kabur atau dikaburkan sebab ditampilkan sesuai kehendak politik. Kini semenjak lengsernya rezim orde baru, sejarah Indonesia tidak lagi menjadi dominasi pemahaman rezim, namun menjadi kontroversi sengit dikalangan para sejarawan dan peneliti.

Menurut Asvi Warman Adam (2007), kontroversi sejarah di Indonesia dikarenakan fakta dan interpretasi yang dilakukan pemerintah berkuasa tidak tepat, tidak lengkap dan tidak jelas. Akibatnya, begitu rezim otoriter itu tumbang, sejarah yang direkonstruksinya pun tumbang. Maka, terjadilah polemik dan kontroversi sejarah di tengah masyarakat.

Masih menurut Asvi, peristiwa masa lalu yang masuk dalam kategori pertama, misalnya, Peristiwa 30 September 1965. Peristiwa tersebut masuk dalam kategori pertama karena Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatu dengan Gerakan 30 September, G 30S/PKI, seakan partai tersebut adalah dalang tunggal di balik percobaan kudeta 1965, padahal ada versi lain tentang keterlibatan militer, Soekarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Bahkan, belakang ada yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak". Karena itu Asvi menyatakan bahwa penggunakan istilah Gerakan 30 September lebih obyektif daripada yang lain (Gestok, Gestapu, G 30 S/PKI).(Koran Tempo, 1/04/2007).

Yang masuk kategori kedua, misalnya, tentang Budi Oetomo yang kelahirannya, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan. Sedangkan Sarekat Islam yang berdiri pada 1905 lebih nasionalis walau namanya sendiri berunsur agama. Asvi berpendapat bahwa peringatan tersebut dapat dilakukan, namun dengan mengenang dan mempersandingkan kedua organisasi perintis tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah kisah hidup para pahlawan yang selama ini dikesankan sebagai manusia tanpa cacat, atau pahlawan yang sengaja tidak dikenang, dibuang dari gelanggang sejarah.

Sedangkan kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia, misalnya naskah asli Supersemar. Sampai saat ini naskah asli surat itu tidak jelas keberadaannya, oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah Supersemar itu benar ada atau tidak.

Maka dari itu, peristiwa yang masih samar tersebut perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif guna menempatkan sejarah pada posisi sebenarnya. Masa lampau memang sudah berlalu, namun ia tak mati, rohnya tetap hidup dan berhubungan dengan masa sekarang dan masa depan. Karena itu, sepakat dengan Hasan Hanafi (2000), bahwa rekonstruksi masa lampau akan tetap diperlukan guna memetakan masa depan. Sejarah mengandung kebijakan (wisdom) dan kebajikan (virtue) untuk dijadikan pedoman, penilaian, agar manusia bertindak lebih baik dalam memetakan masa depan.

Dalam artikel singkat dan sederhana ini penulis tidak akan mengkaji berbagai peristiwa di atas, namun akan berkonsentrasi pada pembahasan kontroversi momen kebangkitan nasional yang masih menjadi bahan perdebatan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas hingga kini. Tepatkah 20 mei menjadi patokan dasar harkitnas? Kira-kira demikianlah pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini.

KONTROVERSI DAN PERDEBATAN TIADA HENTI

Sebuah kebangkitan bermula disertai dengan parameter dan fakta sejarah yang digunakan. Menurut Syafi’i Ma’arif (Republika, 06/04/2008) Kebangkitan nasional harus diartikan sebagai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa, bukan kebangkitan suku-suku bangsa. kelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalah sebuah terobosan kultural-intelektual yang sangat penting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlah mayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain, yaitu suku Jawa, yang sekarang meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jasa tokoh-tokoh seperti Dr Wahidin Soedirohoesodo dan Dr Soetomo dengan gagasan pencerahannya bagi suku Jawa (saat itu disebut bangsa Jawa), tentu punya makna tersendiri.

Ketetapan politik untuk sebuah peristiwa penting tanpa dasar sejarah yang solid, posisinya tentu tidak lebih dari mitologi, rapuh sekali. Dalam Anggaran Dasar BU, ditetapkan di Yogyakarta 9 Oktober 1908, pasal dua berbunyi: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Tetapi, juga harus dikatakan bahwa sebelum tahun 1920-an, selain Sarekat Islam (SI) dan BU memang tidak ada organisasi manapun di nusantara yang sudah menggagas tentang kemungkinan munculnya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia yang tegas dengan watak nasionalnya. Apalagi pada abad ke-19, sosok bangsa Indonesia dalam mimpi pun tidak terbayang oleh masyarakat kala itu. Maka, akan sangat bijak jika pemerintah dan masyarakat kita sekarang mau mengkaji ulang keputusan politik tahun 1948 (awal peringatan harkitnas) yang menetapkan kelahiran BU, 20 Mei 1908, sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Mengenai kontroversi ini sejarawan Rushdy Hussein menegaskan, munculnya momen kebangkitan nasional pada tahun 1948 atas usul Ki Hajar Dewantoro dipicu dari keadaan politik Indonesia yang belum stabil sebagai negara yang baru lahir. Pertikaian antar partai politik kala itu semakin menambah suramnya masa depan bangsa. Maka pemerintah memutuskan untuk menjadikan 20 mei sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan harapan pertikaian antar partai kala itu bisa teredam dengan momen tersebut. Kepanitiaanpun dibentuk dengan keanggotaan yang multi partai.[1] Namun ada hal yang dilupakan dalam peristiwa tersebut, tambah Hussein. Presiden Soekarno pada tahun 1948 dalam pidatonya satu machtspolitiek (Politik Kekuasaan) sudah mengimbau agar tanggal tersebut kelak ditinjau kembali.[2] Jadi, 20 Mei belum tentu tepat sebagai lambang kebangkitan nasional. Dan rupa-rupanya kita lupa, sampai hari ini tetap saja secara tradisional menggunakan lahirnya BU sebagai tonggak kebangkitan nasional tanpa mengetahui sejarah kelahirannya.

Fakta sejarah juga membuktikan bahwa BU tidak bertahan lama, karena bubar pada tahun 1935. Disamping keanggotaannya yang feodalistik dan a-nasionalis sehingga kuantitas anggotanya kalah jauh dibandingkan dengan SI, BU juga kalah bersaing dengan SI yang berani merambah ranah politik dan dengan lantang menentang kolonialisme. Hal ini yang menurut sebagian sejarawan menjadikan pamor BU tergeser kebelakang yang akhirnya bubar pada tahun 1935, sepuluh tahun sebelum para founding fathers mendeklarasikan kedaulatan Indonesia. Tak heran apabila hal ini memicu perdebatan panjang para praktisi sejarah tentang penetapan BU sebagai landasan awal kebangkitan nasional. Dan menuntut peninjauan ulang tentang hari kebangkitan nasional.

Selain lahirnya BU yang menjadi patokan konvensional kebangkitan nasional, lahirnya SI pada tahun 1905 -tiga tahun lebih awal dari BU- juga merupakan awal dari jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tidak hanya mengedepankan otot dan kekuatan dalam melawan kolonialisme, meskipun SI menjadikan sentimen keagaamaan sebagai landasan pergerakannya. Sehingga tidak sedikit dari sejarawan yang berpendapat bahwa 16 oktober –tanggal lahirnya SI- lebih layak menjadi patokan kebangkita nasional.

Ada juga yang menjadikan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 [3] sebagai tonggak awal kebangkitan nasional, salah satunya adalah Syafi’i Ma’arif, dia menegaskan bahwa, memang BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun yang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam.

Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa bernama Indonesia.

PENUTUP

Sebelum abad ke 20 perjuangan rakyat indonesia masih bersifat kedaerahan, bersifat kekuatan fisik tanpa memperhitungkan kekuatan otak. Jadi hanya otot yang dipertaruhkan. Tapi 1905 dan 1908 senang atau tidak senang pergerakan pada waktu itu sudah menggambarkan bahwa otak gerakan etis itu memunculkan satu peristiwa besar, yaitu pendidikan bagi semua orang di Hindia. Tanpa pandang bulu. Dan pendidikan itulah sebetulnya yang menyadarkan orang akan arti sebuah nasionalisme dan kemerdekaan.

Beragam kontroversi tentang manakah yang layak menjadi landasan kebangkitan nasional semakin marak dan terang-terangan, khususnya setelah bergulir era reformasi. Lahirnya BU, SI/SDI atau bahkan Kongres Pemudakah yang harus menjadi tonggak awal kebangkitan? Menurut hemat penulis, perdebatan semacam ini tidak perlu diperpajang, dalam artian, sepanjang fakta dan sumber otentik sejarah telah dituturkan dengan jujur kepada masyarakat. Biarlah masyarakat nantinya yang menilai. Toh, setiap pergerakan yang ada kala itu, SI maupun BU, sama-sama telah memberikan kontribusi signifkan berupa pencerahan akan arti kemerdekaan dan nasionalisme yang lebih elegan, sehingga muncul berbagai organisasi dan partai politik yang beragam hingga kemerdekaan diraih oleh bangsa kita pada tahun 1945.

Terlepas dari kontroversi diatas, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa bangit secara faktual bukan sekedar seremonial. Lima permasalahan besar bangsa ini, yang pernah diutarakan Presiden SBY,[4] krisis ekonomi, ancaman disintegrasi, praktek KKN, terorisme dan intervensi pihak asing perlu dijadikan musuh bersama (common enemy) yang menjadi tanggung jawab bersama, disini -sepakat dengan muladi- rejuvenasi (peremajaan) optimisme bangsa merupakan harga mutlak. Jangan kita berhenti pada perdebatan tiada henti yang semakin menggoyahkan persatuan, tapi mari menuju aspek riil yang membutuhkan uluran tangan bersama. Bersama indonesia bisa!

Allah Knows Best

Albi,190608,14:05

[1] pelaksanaan harkitnas pertama kali diketuai oleh Ki Hajar dewantoro dengan wakil sugito dari PKI, anggotanya pun terdiri dari PNI, Masyumi dan partai lainnya kala itu.

[2] Dalam pidatonya tersebut Bung Karno menggaris bawahi, “andaikata bisa diselenggarakan peringatan kebangkitan nasional ini pada tahun-tahun mendatang, cobalah dievaluasi setiap 10 tahun”. Maksudnya tentu, apakah benar mengambil angka 20 Mei itu, artinya lahirnya Boedi Oetomo itu tepat. Itu yang dia mau bicarakan.

[3] Istilah Kongres Pemuda merupakan istilah yang pertama kali digunakan dalam pertemuan pemuda yang menelurkan trilogi pernyataan semangat nasionalisme yang sekarang lebih di kenal dengan Sumpah Pemuda. Istilah Sumpah pemuda baru digunakan pada tahun 1958 oleh Bung karno. Lihat, Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2007.

[4] Transkip kuliah umum tertanggal 4 September 2007, di Universitas Airlangga-Surabaya. Lihat:www.sekretariatnegara.com. Jumat, 25 April 2008. dikutip dari: Muladi Mughni, Rejuvenasi Aura Optimisme; sebuah Modal bagi kebangkitan Nasional, Naskah LKTI dalam rangka Harkitnas di KBRI Islamabad, 20 mei 2008.

No comments: