Saturday, 6 October 2007

BUKAN SEKEDAR "BACAAN" BIASA

BUKAN SEKEDAR "BACAAN" BIASA

Tanpa bermaksud untuk berapologi ria dengan kejayaan masa lalu umat Islam, mari sejenak kita menoleh kepada lembaran-lembaran sejarah silam dimana disitu tertoreh peradaban Islam yang gemilang. Bukan hanya karena luasnya wilayah pemerintahan namun juga diiringi dengan sumbangan berharga kepada peradaban manusia yang menurut Seyyed Hossein Nasr mencakup segala bidang ilmu pengetahuan. Sungguh diluar jangkauan nalar logis manusia, sebuah peradaban yang gemilang bisa muncul dari tengah gurun pasir yang gersang yang penduduknya dikenal dengan kebengisannya. Peradaban tersebut tidak hanya mengangkat bangsa Arab namun juga menjadi sumber inspirasi perkembangan dunia kontemporer.

Kenyataan tersebut membuat geram para musuh Islam, sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk memutar balikkan fakta dari yang paling santun hingga yang brutal dan kasar. Maka tidak heran apabila kajian orientalis pada awal mulanya bertaburan dengan nada sinis dan garang dalam menggambarkan Islam. Namun bagaimanapun juga kebenaran mustahil untuk ditutupi sehingga perlahan namun pasti ada pergeseran opini mengenai Islam. Sehingga tak jarang para orientalis tersebut pada akhirnya dengan bangga menyatakan keislamannya. Munculnya berbagai karangan dan penelitian yang objektif terhadap Islam merupakan bukti signifikan atas pergeseran tersebut. Dipenghujung abad dua puluh kajian-kajian Islam yang objektif bermunculan bahkan menyerahkan kelanjutannya kepada para cendekiawan muslim.

Memang Allah telah berjanji akan keunggulan kebenaran atas kebatilan, namun bukan berarti kita serta merta lupa diri. Masih banyak yang harus kita perbuat untuk mewujudkan janji tersebut. Kenyataan bahwa umat Islam merupakan umat yang paling terbelakang saat ini harus diakui. Kita mampu bangkit bila kita menyadari keunggulan ajaran-ajaran Islam.

Luka yang ditimbulkan sistem kapitalisme yang dahulu dipuja-puja terbukti tidak bisa menjadi solusi krisis kemanusiaan, sosialisme dan komunisme yang digaungkan sebagai alternatif pengganti, tak jauh lebih baik bahkan punya dampak yang lebih buruk, nah sekarang mampukah kini kita menawarkan Islam sebagai solusi final? sebelum menjawabnya muncul pertanyaan, bagaimana bisa kita mengajukan Islam sebagai alternatif sedangkan kita umatnya tidak yakin dengan Islam? Sejarah membuktikan bagaimana Islam sebagai ajaran baru waktu itu yang selalu dicemooh dan dimusuhi oleh para bangsawan arab, pemeluknya disiksa bahkan dibunuh namun kemudian berubah menjadi alternatif dan solusi dari segala keruwetan dan dekadensi moral arab jahilyah masa itu bahkan setelah Islam menyebar keberbagai wilayah semakin jelas wujud kontribusi Islam sebagai solusi krisis peradaban waktu itu.

Sudah saatnya kita menyodorkan Islam sebagai alternatif, namun hal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa usaha yang proporsional dalam menggali 'nilai lebih' ajarannya, mengangkatnya dalam realitas dan menawarkannya kepada umat manusia. Nilai-nilai tersebut akan kita dapatkan dengan membaca dan mempelajari Al-qur'an. Seorang orientalis James A Minchener perah menulis "the qur'an is probably the most often read book in the world" kegairahan membaca Al-qur'an bagi umat Islam sangatlah baik. Banyaknya sistem pembelajaran membaca Al-qur'an, perlombaan membaca Al-qur'an dan kompetisi tahfidz qur'an semakin membenarkan tesis Michener tadi. Namun ada satu hal penting yang perlu diingat, fungsi Alqur'an bukan hanya sekedar 'bacaan' (meski tidak dipungkiri membacanya merupakan ibadah). Al quran sendiri telah menjelaskan secara gamblang bahwa ia juga berfungsi sebagai al-furqan (pembeda yang baik dan buruk) al dzikr (peringatan) al huda (petunjuk) dan lainnya. Untuk mencapai fungsi tersebut tidak cukup sekedar bacaan yang indah dan mendayu-dayu tetapi juga membutuhkan kemampuan untuk memahami isinya, menangkap isyarat, tafsir dan makna metaforisnya. Disini kekuatan logika dan berbagai disiplin ilmu dibutuhkan guna mengangkat nilai lebih yang terkandung dalam Al-qur'an. Bukankah pernemuan-penemuan menakjubkan para ulama klasik kita bermula dari perenungan kitab suci dengan akal?

Inilah tugas terpenting. Bisa saja kita meneriakkan kebangkitan Islam tapi bila tanpa disertai kesiapan diri dalam menawarkan ajaran Islam yang kita petik dari Al qur'an sebagai solusi, usaha kita akan sia-sia.

Kemudian tradisi klasik umat Islam dalam mencari ilmu harus kembali dihidupkan. Ilmu harus dihargai lebih dari apapun. Ulama harus diletakkan pada posisinya. Pemimpin haruslah dipilih atas dasar ilmunya bukan harta atu pangkatnya karena apabila kepemimpinan diserahkan kepada sosok yang jahil dan munafiq maka kemurnian Islam akan ternoda.

Bulan ramadahan ini merupakan momen yang baik untuk berintrospeksi, dimana lantunan ayat-ayat suci berkumandang disetiap ruang, akan tetapi apa yang bisa kita petik dari bacaan itu? Bisa saja seminggu kita khatam berkali-kali dan mendapat pahala yang berlipat darinya. Tapi akan jauh lebih baik jika kita mampu menangkap maknanya sehingga kita bisa merenungi isi dan kegunaannya.

Konon Rasulullah SAW sering meminta Abdullah ibn Mas'ud untuk membaca Al qur'an dihadapan beliau. Tapi sebelum selesai bacaan tiap ayatnya air mata sudah mengalir dari mata beliau. Karena beliau mampu menangkap makna dan kandungan dari ayat-ayat yang dibaca tersebut. Beliau bersyukur dan bangga karena dirinya dan umatnya dikaruniai Allah SWT kitab yang sarat dengan ajaran dan pengetahuan untuk menuju kebahagiaan yang abadi dunia akhirat.

Segala bentuk ilmu merupakan ilmu Allah dan ilmu bukanlah sekedar ilmu agama, karena Al qur'an pun mengakuinya, ia tidak hanya berisi ajaran-ajaran bagaimana menghadapi hidup diakhirat, namun juga berbagai ajaran dan tuntunan untuk hidup di dunia. Tak salah kalau kita merenungi tulisan H.R. Gibb dalam whiter Islam yang berbunyi " Islam is indeed much more than a system theology but it is complete civilization"

Sekali lagi marilah kita membaca Al-qur'an yang bukan sekedar membaca, tapi membaca dan juga mengambil nilainya dan kemudian mengamalkannya. Untuk mewujudkan hal tersebut memang berat, namun dengan usaha yang maksimal dan kemudian menyerahkannya kepada Allah, niscaya kebangkitan Islam akan bisa terwujud. Allahummaftah qulubana!

Albi H I/141 061007 02:35PM

TOLERANSI DAN KESATUAN UMAT

Allah SWT berfirman dalam Al-qur'an

Bersikaplah tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembutlah terhadap sesama muslim

Setelah melihat makna dari ayat al qur'an diatas, terbersit sebuah pertanyaan, mengapa kadang-kadang toleransi dan persatuan umat seagama terasa lebih sulit daripada antar umat beragama? Fenomena sektarianisme di Pakistan, pertikaian antar ormas di Indonesia, perdebatan yang tak jarang berujung pada takfir antar madzhab pemikiran merupakan bukti nyata akan fenomena sulitnya menanamkan sikap toleran antar umat Islam.

Mungkin yang mendasari hal ini adalah, antar umat beragama memiliki batasan-batasan yang jelas dikarenakan adanya perbedaan prinsipil antara satu agama dengan yang lainnya, sehingga memudahkan bagi masing-masing untuk menumbuh kembangkan sikap toleran dan berusaha untuk tidak melibatkan diri dalam urusan agama yang lain karena perbedaan yang jelas dan prinsipil tadi.

Sedangkan dengan umat seagama, dimana masing-masing memiliki keterikatan dalam satu ruang agama -yang seharusnya bisa dijadikan landasan tercapainya persatuan yang kokoh dan kuat- namun kadang karena pemahaman yang kurang atau berlebihan terhadap agama, acapkali menimbulkan sikap intoleran dalam hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu prinsipil untuk disamakan secara paksa. Hal ini terjadi akibat pemahaman tentang persatuan ummat yang harus dicapai dengan penyatuan segala hal tanpa melihat mana yang ushul dan mana yang furu'. Ironisnya lagi ikatan kesatuan agama ini kadang-kadang dijadikan alasan untuk mencampuri urusan orang lain atas dalil 'ukhuwwah Islamiyyah', meskipun dalam hal-hal yang sebenarnya tidak prinsipil sehingga melibatkan diri dalamnya. Sehingga tanpa disadari sikap tersebut (pemaksaan 'keseragaman' terhadap hal-hal furu'iyyah dengan dalil persatuan ummat) jutru akan mengorbankan hal-hal yang lebih prinsipil dan ushuly yang dapat mengakibatkan perpecahan ummat.

Akhir-akhir ini tak jarang kita disuguhi berbagai slogan toleransi beragama yang memang diperlukan demi perdamaian umat manusia. Bahkan ada yang terlalu jauh, banyak dari mereka yang kemudian meneriakkan pluralisme agama. Menurut hemat saya, tak ada salahnya jika sekali-kali mari kita merenung dan bertanya pada diri kita masing-masing 'sampai sejauh manakah sikap toleran kita terhadap sesama muslim?' jangan hanya mengumandangkan toleransi antar agama namun dirinya sendiri intoleran terhadap sesamanya yang muslim. Timbulnya berbagai macam istilah Barat yang kemudian diamini sebagaian tokoh muslim seperti Islam Fundamentalis, sekuler, ekstrimis, modernis, liberal, literal, emansipatoris, humanis dan Islams (baca: Islam-islam) yang lainnya merupakan suatu indikator tentang kurangnya kesadaran umat Islam terhadap sikap toleran yang sangat ditekankan oleh ajaran Islam. Sungguh ironis apabila diluar kita meneriakkan bermacam slogan toleransi antar agama, namun didalam kita enggan untuk bersikap toleran.

Mari sekali lagi kita renungkan sikap baginda Rasulullah SAW yang dilukiskan dalam ayat alqur'an pada pembuka tulisan ini 'asyiddau 'alal kuffari ruhamaau bainahum'. Demikianlah sikap lemah lembut beliau kepada sesama muslim. Namun, berbagai bukti nyata didunia muslim sekarang menampakkan sebaliknya.

Tantangan terbesar kita sekarang adalah dimanakah letak kekuatan umat Islam yang dahulu bisa menyatukan berbagai etnis dan budaya serta beragam corak pemahaman terhadap ajaran Islam? Bagaimana Rasulullah dan para shahabat bisa tetap bersatu meskipun kadang berbeda? Menurut saya, salah satu faktor utamanya adalah toleransi. Persatuan umat tidak akan bisa tercipta dengan memaksakan 'keseragaman' dalam segala bidang ajaran Islam. Justru dengan berbagai corak dan warnanya tersebut Islam bisa menjadi agama yang universal rahmatan lil'alamin dan dengan demikian persatuan umat akan mudah terwujud.(albi)

Allah knows best.

H I/141 061007 12:35PM