Manusia dengan segala kelebihan yang dianugrahkan Tuhan tidak dipungkiri juga memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan yang beragam antara yang satu dan lainnya, sesuai dengan kualitas dan kuantitas masing-masing dalam mengasah dan mengasuh bekal utama akal dan penyeimbang, hati nuraninya. Dengan ragam dan corak kelebihan serta kekurangan tersebut manusia memiliki fitrah untuk saling memberi dan menerima, madaniyyun bi al tab’i demikianlah para ilmuan muslim klasik menyebutnya. Hal ketergantungan tersebut semakin terasa dalam masa dimana para penghuni bumi semakin berjelal dan penuh sesak saat ini.
Berbagai fenomena yang melanda dunia –khususnya dunia ketiga, lebih khusus lagi umat Islam- tak luput dari slogan ketergantungan tadi, hanya saja secara jujur harus diakui porsi take and givenya penuh ketimpangan, betapa negara dunia ketiga begitu tergantung dengan bangsa adikuasa. Hal tersebut akhirnya membuat kaum muslim semakin ber’suka rela’ menghunjamkan cengkeraman sang ‘pemberi’ kedalam tubuhnya. semenjak runtuhnya Khilafah, dari generasi ke generasi umat Islam semakin memperlihatkan mental ketergantungannya. Ditambah lagi dengan lunturnya berbagai figur Islam dalam berbagai ranah sosial, ekonomi, budaya, pemikiran, bahkan agama. Betapa generasi sekarang lancar dan fasih dalam melafadzkan nama semisal Emile Durkheim, Marx, Hegel, Kant, Descartes, Ricouer, Faucoult, Wittgeinsten, Ernest Gelner, Kuhn, Rosseau dan segudang nama lainnya namun merasa heran dan asing mendengar nama para sahabat, Ibnu Khaldun, al Farabi, Ibnu Rushd, al Kindi, Ibn Rabban, Jabir Ibn Hayyan, Imam Syafi’i dan nama-nama tokoh muslim lainnya. Sudah hilangkah identitas kita?
Tak ada salahnya memang memahami dan mempelajari pemikiran para tokoh yang tersebut diatas, bahkan bagi penulis hukumnya adalah wajib, tapi apakah dengan itu kita harus melupakan khazanah klasik dengan kekayaan intelektualnya yang berlimpah? dalam hal ini rasionalisasi turats yang sering dikemukakan Hasan Hanafi patut mendapat perhatian yang proporsional. Agar kita ‘nyambung’ dengan sejarah identitas kita sebagai muslim, karena kita yang sekarang ini tidaklah wujud dengan serta merta dalam ruang hampa, tapi melalui proses sejarah yang panjang.
Moment Maulid Nabi atau Sirah Conference merupakan waktu yang tepat untuk merenungi berbagai dekadensi yang terjadi dalam umat Islam, sekaligus mencari solusinya. Karena salah satu penyebab utama kemunduran adalah hilangnya sosok dan figur Rasulullah yang ‘utuh’ dalam diri umat. ‘Yang utuh’, karena selama ini peringatan tahunan yang semakin marak itu, hanya sebatas kulitnya saja, kurang begitu bisa mengambil esensinya. Sebagian golongan melihat Rasulullah sebagai figur agung yang sangat suci, hingga melupakan unsur kemanusiaannya, golongan yang lain juga secara radikal berteriak dan menuduh golongan pertama telah menuhankan dan mengkultuskan Rasulullah secara berlebih, mereka mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah sosok manusia biasa seperti kita yang tak luput dari dosa dan patut dikiritisi, mereka beralasan, dengan kritik tersebut justru akan menghadirkan sosok rasulullah yang ‘hidup’ dan manusiawi. Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap?
Setiap manusia membutuhkan figur, teladan dan panutan. Hal ini merupakan keniscayaan, sesuai dengan fitrah manusia. Namun cara kita beradaptasi dengan figur tersebut harus proporsional sehingga tidak akan melukai sang figur dan menyakiti diri kita sebagai pendukungnya. Bukti tersebut bisa kita lihat dimana-mana, misalnya, lihat bagaimana rakyat indonesia begitu mengagungkan figur Gusdur sebagai presiden idaman pasca lengsernya suharto. Rakyat Indonesia kemudian tergoda untuk memproyeksikan segala impian dan utopia kepadanya. Akhirnya Gusdur tak ubahnya seperti totem yang akan disembelih sebagai penebus politik akan kondisi riil yang penuh ketimpangan. Justru sekarang sikap rakyat berbalik mengagung-agungkan Suharto dengan segala ketentraman dan kenyamanan hidup kala meraka dibawah kekuasaannya. Hal ini mengingatkan kita pada figur Soekarno, disaat akhir masa jabatannya hampir semua lapisan masyarakat ‘mencemoohnya’ namun kemudian mendewakannya sedemikian rupa.
Islam tidak mengenal mistifikasi figur sebagimana yang tersebut diatas, bahkan figur Rasulullah sekalipun. Sikap Abu Bakar menenangkan para sahabat ketika Rasulullah wafat perlu kita contoh bukannya Umar yang dengan berang ingin menebas pembawa berita kematian Rasulullah. Menjadikan Rasulullah figur dan teladan bukan berarti berkeyakinan bahwa beliau masih hidup dan akan hadir di tengah kita atau dengan bernyanyi dan menari sepanjang malam sebagaimana yang dilakukan sebagian golongan, namun menjadikan beliau figur dan tauladan adalah dengan menghadirkan akhlak, sikap dan perilaku beliau dalam diri kita dan kehidupan sehari-hari kita. Marilah kita jadikan figur Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
It's right, tetapi mengapa harus "sakit hati," persoalan filosofis memang gaj nyambung dengan "theologis." Iya sih, Muhammadun basyarun laa kalbasyar, but itu di dunia kenabian. Foucault, Feyerabend, Russel, dunia filsafat bung. fasih "menyebut" para filsuf bukan berarti gagap terhadap nama2 adam, musa, ibrahim, isa, lebih-lebih Muhammad.
Post a Comment