Sunday 30 March 2008

Eropa dan Islamphobia

Oleh: Nur Rohim Yunus

Ketakutan terhadap syariat Islam yang melanda opini masyarakat Indonesia rupanya juga ditopang oleh ketakutan dunia Barat terhadap agama ini, khususnya dataran Eropa. Bila penolakan undang-undang berbau syariat makin marak terjadi di negeri kita, maka Eropa ramai-ramai berusaha mencari inovasi baru untuk menyudutkan agama ini. Hasilnya Islam menjadi fokus perhatian dunia dan menambah kebencian orang awam terhadapnya. Umat Islam Eropa yang tak tahu menahu menjadi korban intimidasi, dianiaya, dihujat, dikucilkan bahkan tak sedikit yang kehilangan haknya sebagai manusia.
Dampak ini juga semakin memperkuat semangat aktifis Islamphobia di Indonesia untuk melumat habis slogan-slogan yang berupaya menerapkan konsep syariat di dalam lini kehidupan masyarakat dan negara. Bedanya, pelaku Islamphobia di Eropa dari golongan kuffar tulen, sedang di Indonesia dari golongan yang masih berbaju muslim.
Awal mula ketakutan ini sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya peristiwa 11 September dan pelarangan jilbab di Perancis. Islam dijadikan sebagai pusat perhatian dari berbagai kalangan, terutama para pemerintah dan media massa dunia. Mereka dengan gencar menuduh Islam sebagai agama kekerasan dan pemicu aksi terorisme 11 September. Namun, tuduhan-tuduhan itu malah membuat banyak kalangan semakin ingin tahu tentang Islam dan mempelajari dengan seksama ajaran ini. Merekapun akhirnya menemukan bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadis dipenuhi dengan ajaran keadilan dan anti kezaliman. Akhirnya, timbul komunitas baru di dataran Eropa, sebuah komunitas muslim minoritas yang berani ditengah kukungan terali ketakutan publik di sekitarnya.
Meningkatnya angka imigran muslim di negara-negara Barat, termasuk Eropa sejak beberapa dekade lalu pada mulanya disambut baik oleh pemerintah negara-negara tersebut, karena mereka merupakan sumber tenaga kerja yang murah. Tetapi secara perlahan-lahan, para imigran muslim tersebut mulai menunjukkan jatidiri dan identitas keislaman mereka, antara lain dengan membangun masjid serta pusat-pusat keislaman, serta secara aktif menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.
Pada saat itulah pemerintah di berbagai negara Eropa pun mulai merasa terancam bahaya. Apalagi, dakwah dan pengenalan Islam di Eropa telah semakin meluas, sehingga semakin banyak masyarakat Eropa yang memeluk agama Islam. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika telah dijadikan sebagai dalih untuk menekan umat Islam di Eropa, baik melalui agen polisi, perekonomian, politik, maupun propaganda.
Jika diperhatikan dengan teliti, tekanan yang dilakukan terhadap umat Islam Eropa, kita akan mendapati bahwa tekanan itu datang dari dua arah, yaitu dari pemerintah dan dari media massa. Di antara kedua poros anti Islam di Eropa ini memang terdapat jalinan yang erat. Setiap kali ada pejabat pemerintah Eropa yang mengeluarkan pernyataan yang menentang Islam dan umat Islam, media massa Eropa akan meliputnya dengan gencar.
Pemerintah di negara-negara Eropa sama sekali tidak mencegah berbagai propaganda anti Islam yang dilancarkan sebagian media massa, dan bahkan memberikan dukungan. Dengan cara ini, pemerintah negara-negara Eropa dan sebagian besar media massa Barat berusaha untuk menghalang-halangi pesan hakiki Islam agar tidak sampai kepada masyarakat dan umat Islam menjadi terkucil.
Perancis bisa disebut sebagai pemegang bendera dalam usaha memerangi umat Islam. Setelah melalui pembahasan panjang, akhirnya pemerintah Perancis sejak tahun lalu telah memutuskan untuk melarang para guru dan pelajar yang berjilbab memasuki sekolah-sekolah di Perancis. Bahkan, pejabat dan media massa negara ini juga mengemukakan usulan agar para imam masjid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Perancis dalam menyampaikan khutbah serta memasukkan topik budaya dan sejarah Perancis di dalam khutbah mereka. Sebuah keinginan yang mustahil diterapkan oleh umat Islam.
Meskipun Perancis selama ini mengklaim diri sebagai tempat lahirnya demokrasi dan kemerdekaan, namun tindakan pemerintah dan media massa negara ini yang menekan dan menghina lima juta umat Islam di Perancis, jelas bertentangan dengan klaim tersebut.
Setelah Perancis memberlakukan larangan berjilbab bagi pelajar dan guru sekolah, Jerman pun tak ketinggalan untuk mengikuti langkah Perancis tersebut. Kini, sebagian negara bagian di Jerman telah memberlakukan larangan bagi kaum muslimah yang berjilbab untuk masuk ke sekolah atau kantor pemerintah.
Di Jerman pun, para pejabat pemerintah, tokoh partai, dan media massa, saling mendukung dalam memberlakukan kondisi dan aturan diskriminatif dan tidak demokratis. Jerman yang menganut paham demokrasi liberal itu, kini malah menghalangi kebebasan warga negaranya dalam berpakaian sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Di Belanda, seorang sutradara Belanda bernama Theo Van Gogh telah memproduksi sebuah film berjudul “Submission”. Di dalam film itu diceritakan tentang perempuan berjilbab yang ditindas oleh keluarganya. Film itu juga menggunakan ayat-ayat al-Quran mengenai perempuan yang diputarbalikkan maknanya. Tak heran bila kaum muslimin Belanda sangat marah dan tersinggung atas film tersebut. Awal bulan November 2004, Van Gogh tewas terbunuh dan kejadian itu memberi kesempatan kepada pemerintah Belanda untuk menangkapi kaum muslimin dan melancarkan propaganda anti Islam yang meluas.
Pemerintah Eropa adakalanya mengambil langkah-langkah yang tidak masuk akal dalam berhadapan dengan Islam. Sebagai contoh, Menteri Pembaharuan Italia beberapa waktu yang lalu menyerukan agar masjid-masjid di negara itu ditutup. Alasan yang dikemukakan oleh menteri Italia itu adalah karena masjid menyebarkan terorisme. Padahal penutupan masjid dan tempat-tempat ibadah agama samawi lainnya jelas bertentangan dengan undang-undang internasional dan prinsip kebebasan beragama.
Ironisnya, meskipun pemerintah Eropa melakukan kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam di benua itu, namun merekapun tak segan-segan melancarkan tuduhan anti HAM kepada negara-negara lain. Padahal, justru kebijakan negara Eropa kepada umat Islam-lah yang sesungguhnya merupakan pelanggaran atas HAM. Namun, aksi-aksi musuh-musuh Islam itu memang tidak akan pernah berhenti dan hal ini telah dicantumkan dalam al-Quran, surat Mumtahanah ayat dua yang artinya sbb. ”Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakitimu dan mereka ingin supaya kamu kembali kafir.”
Perilaku mereka sebenarnya lebih bersumber dari rasa ketakutan yang besar terhadap Islam. Sehingga kebijakan pemerintah eropa dan aktifitas kalangan media cenderung memojokkan Islam. Bahkan mengklaim agama ini sebagai sumber terorisme. Padahal ketakutan yang tak beralasan ini malah membuat Islam lebih berkembang dan tersebar diseantoro dataran eropa. Senjata yang mereka gunakan untuk memerangi dan menindas Islam, malah berbalik dan menusuk tubuh mereka sendiri.
Tak mustahil, kelak disuatu masa dataran Eropa akan menjadi negeri-negeri muslim. Berbondong-bondong masyarakat mengakui Islam sebagai agama pembawa rahmat dan kasih sayang. Mereka kalangan Islamphobia pun sedikit demi sedikit akan punah dan binasa ditelan ketakutan yang mereka buat sendiri. Walau mereka tak akui sekarang, tapi kelak merekalah yang akan berteriak: we confess it...!!!. (Islamabad, 31 Maret 2008. Refleksi tulisan A Confession by Hamdan Maghribi).

No comments: