Thursday 3 April 2008

CERDAS

Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa manusia mendapat keunggulan 'ekstra' dibanding makhluk ciptaan Tuhan lainnya, dengannya, manusia bisa mengatasi berbagai kelemahan fisiknya dan senantiasa berkreasi untuk menciptakan berbagai kemudahan dalam kesehariannya. Nilai lebih yang menyingkirkan berbagai ciptaan Tuhan, dan menjadikannya khalifah di muka bumi adalah akal. Dengan akal manusia bisa menciptakan perdamaian dan kebahagiaan, namun dengan akal pula muncul berbagai kerusakan dan kesengsaraan. Disini kekhawatiran para malaikat disaat 'protes' atas terpilihnya Adam sebagai 'penguasa' bumi terjadi, maksud penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi disalah gunakan. Darah berceceran dimana-mana, kemiskinan dan berbagai penyakit sosial merajalela, ironisnya lagi gambaran mengerikan tersebut terjadi pada negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Namun di Barat lain lagi ceritanya. Jangankan manusia, binatangpun bisa hidup dengan tenang dan nyaman disana. Melihat fenomena ini kadang terbesit pertanyaan, mengapa orang non muslim (Barat) umumnya berkelakuan baik, profesional, cerdas, berpengetahuan tinggi, menghargai kebersihan, peka terhadap lingkungan dan realitas sosial, dan menjunjung tinggi kemanusiaan? sedangkan kita umat Islam kurang dapat dipercayai, bodoh, tidak peka lingkungan, ceroboh, kotor serta berbagai sifat negatif lainnya? Ambil contoh Pakistan, betapa ragam cemooh dan berbagai konotasi sinis terlontar terhadap masyarakatnya. Disini ada satu hal yang cukup membingungkan, disatu pihak Islam dengan ajarannya yang begitu sempurna, namun dipihak lain kita menyaksikan betapa keterbelakangan, kemiskinan dan segala hal yang negatif semuanya tertuding kepada umat Islam. Bahkan bisa dibilang umat Islam nyaris tidak memberikan kontribusi bagi peradaban dunia modern. Maka tidak heran apabila konon ada salah seorang ulama yang berseloroh di Barat aku melihat Islam tapi tidak seorang muslimpun kudapati disana.
Jawaban dari pertanyaan diatas sangat erat kaitannya dengan kesenjangan antara ajaran dan amalan. Betapapun mutakhir dan sempurnanya suatu ajaran hanyalah akan menjadi slogan 'utopia' belaka apabila tidak diikuti dengan amalan aplikatif penganutnya. Sejarah membuktikan, bagaimana Barat sendiri dulu tenggelam dalam kubangan kegelapan disaat mereka meninggalkan ideologi rasionalnya (baca: filsafat yunani) dan masuk kedalam ruang mistik, khurafat dan dogmatis. Sehingga butuh berabad-abad untuk memulihkannya. Sayang, kita umat Islam, yang dahulu menjadi 'inspirator' kebangkitan dan kemajuan Barat lewat Islam sebagai ajarannya belum bisa mengambil ibrah dari bukti riil sejarah tersebut. Alih-alih mengambil pelajaran darinya, umat Islam kini semakin tenggelam dan terpuruk di berbagai aspek kehidupan.
Roda berputar, demikian kata pepatah bilang, namun roda tidak akan pernah berputar apabila tidak ada kekuatan yang menggerakkannya. Semuanya bisa terealisasi dengan kembali kepada ajaran Islam sebagai penggeraknya. Umat Islam telah begitu jauh meninggalkan Islam. Sudah waktunya kita kembali menyelaraskan normativitas dan realitas, Ajaran dan amalan, namun dengan sikap bijak tentunya, sehingga segala impian dan harapan kita bukan hanya sekedar utopia belaka.
Namun demikian bukan berarti dengan semerta-merta kita harus membuang segala hal yang berbau non-Islam (baca: Barat) ataupun sebaliknya, kita melahap segala sesuatu dari Barat, sebagaimana ragam sikap yang diambil Umat Islam saat ini. Kita harus realistis, toh dulu Rasulullah juga menganjurkan para sahabat untuk membeli pedang dari India, karena memang saat itu memang unggul kualitasnya. Anjuran untuk belajar sampai ke negeri cina juga merupakan contoh bahwasanya kita tidak boleh berhenti sebatas apa yang kita terima dari warisan klasik umat Islam saja. Disini kita dituntut untuk cerdas dalam arti yang seluas-luasnya, tanpa melupakan pijakan fundamental kita sebagai Muslim. Sehingga apa yang kita harapkan menjadi kenyataan.
Albi, H I/141.051107.11:00PM

No comments: