Saturday 12 April 2008

Islam Agama Sekuler?

Membaca berbagai kemelut dan perang ideologi kontemporer merupakan suatu kerja akademis yang rumit, berbagai distorsi tentang fakta sejarah dan manupulasi ideologi turut campur dalam arena pertempuran tersebut. Dalam nuansa post-modernisme dan atmosfir globalisasi yang menghembuskan berbagai macam polusi ‘konspirasi’ dengan ragam bentuknya, kita sebagai muslim harus bisa secara teliti dan seksama dalam mengambil kesimpulan dan bersikap, agar hembusan sejuk ajaran Islam bisa menghilangkan hiruk pikuk dan sesak nafas akibat polusi yang telah meracuni atmosfir opini publik.
Salah satu isu terpenting dalam kehidupan bersosial dan bernegara masyarakat posmo adalah ide sekularisme yang ingin memisahkan urusan duniawi(negara) dan akhirat(agama). Hal ini semakin terasa dengan munculnya afirmasi secara massif dari pemikir Islam sendiri semisal Ali Abdurrazik yang mengatakan bahwasanya Islam hanyalah agama ritual yang tidak memiliki sistem politik untuk mengurus negara, sistem politik tidak lebih hanya rekayasa para ulama klasik zaman pertengahan, dia menambahkan bahwa posisi Rasulullah pada saat itu sebagai pemimpin dan pendiri negara Islam hanyalah suatu kebetulan (Ali Abdurraziq: al Islam wa Ushul al Hukm) hal ini dikuatkan pegikutnya al Asymawi, -tokoh pengusung sekularisme pujaan kaum liberal indonesia- yang menyatakan bahwa “Allah menginginkan agama sebagai agama namun manusia (Muslim) menginginkanya menjadi politik”. Disini kaum liberal menerima ungkapan asymawi bak dogma suci tanpa ada kritik sedikitpun, mereka tidak melihat bahwa definisi agama Asymawi rancu dan sudah torkontaminasi orldview Barat. baginya agama yang universal tidak punya hak untuk mengatur politik yang bersifat temporal dan partikular. Dalam worldview Islam, justru wujud Islam yang universal tersebut adalah untuk mengatur dan memberi petujuk kepada perkara-perkara temporal dan partikular. Sehingga hubungan antara Tuhan dan manusia tidak ‘terputus’ sebagaimana yang difahami Barat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dimulai dengan ungkapan sekularisasi Nurkholis Madjid. Baginya Islam tak ubahnya agama-agama lain didunia. Berlandaskan hal ini agama harus dipisahkan dari negara, baginya negara dan politik merupakan bagian keduniaan yang merupakan porsi nalar murni manusia. Sedangkan agama berasal dari dimensi metafisik yang gaib dan personal.
Para pengusung ide sekularisme -dengan bahasa masing-masing- tidak (sengaja tidak?) melihat adanya konsep-konsep agama (baca: Islam) tentang kedaulatan syari’ah, syura, keadilan, kebebasan berpendapat dan tanggung jawab pemimpin yang pernah disebut dalam al Qur’an. Mereka juga mengabaikan ratusan hadits yang menjelaskan banyak hal berkaitan dengan politik. Pemisahan politik dari Islam pada akhirya hanya menjadikan Islam sebagai agama kerohanian yang konsekwensinya akan membentuk umat yang submissif dan tak punya visi perubahan. Lalu apa bedanya Islam dengan agama lain? hal ini bisa menyimpulkan tesis bahwa Islam sebagai agama penutup dan rahmatan lil ‘alamin aka sia-sia belaka.
Kecenderungan memisahkan urusan duniawi dan ukhrawi tidak lepas dari pengaruh paham dikotomis yang merupakan anak kandung dualisme yang telah mewabah di Barat. Islam tidak mengenal konsep ini. Islam tidak terbatas pada amalan ritual belaka. Islam tidak membenarkan orang yang shalat tapi tidak peka sosial (zakat, shadaqah dll) dalam Islam aktiftas duniawi sangatlah berpengaruh pada ukhrawi. Islam tidak hanya mengenal ibadah vertikal, tapi juga menjunjung tinggi amalan horizontal, keduanya harus seimbang dan adil. Jadi sangat naif apabila urusan dunia yang sangat erat hubungannya dengan akhirat dalam Islam dipisahkan begitu saja.
Kembali kepada faham sekularisme yang menurut tokoh liberal punya sadaran dogmatis dalam Islam. Yusuf Qaradhawi dan al Attas telah membahas konsep sekularisasi dan sekularisme. Mereka menemukan bahwasanya konsep ini murni Barat dan tidak punya akar sama sekali dalam Islam. Sekularisme dibangun atas pondasi epistemologi Barat modern yang alergi terhadap agama (baca: gereja). Sedangkan Islam menjunjung tinggi hubungan dan kaitan agama dan kehidupan masyarakat.
Dilihat dari segi bahasa, konsep ini sudah tidak punya landasan dalam Islam, Sekularime yang sering diterjemahkan menjadi ‘ilmaniyyah atau ‘almaniyyah dalam bahasa arab tidaklah sepadan, epistemologi keduanya -baik ‘ilmaniyyah yang berakar dari ‘ilm dan ‘almaniyyah yang berakar dati ‘alam (universe)- dalam Islam sama sekali berlawanan dengan epistemologi sekularime tersebut.
Menurut alAttas dan Qaradhawi’ konsep tersebut muncul sejak aristoteles mengenalkan padangan bahwa Tuhan sama sekali tidak tahu menahu soal partikular. Tuhan hanya mencipta kemudian istirahat dan tak acuh lagi terhadap semesta. hal ini yang kemudian oleh teolog kristen bernama Harvey Cox dicarikan padanannya dalam bible ‘berikanlah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar dan apa yang menjadi milik Tuhan utuk Tuhan!. Kita tidak menemukan persetujuan Islam dalam hal ini.
Memang Islam memberikan kelonggaran untuk memikirkan kaedah tersendiri untuk bentuk pemerintahan dan berpolitik sesuai dengan tuntutan zaman. Kelenturan ini menunjukkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Dan juga sesuai dengan objek syari’ah yaitu kemashlahatan dan kepentingan manusia. Namun harus selalu diingat bahwasanya kesimpulan apapun haruslah berlandaskan pada otoritas hukum tertinggi dalam Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah yang bernilai absolut. Sehingga chaos (huru hara) akibat landasan relatif (nalar rasio) dalam paham sekularisme bisa dihindari.
Hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui!
HI-141 120408-16:10

No comments: