Saturday 5 April 2008

DEKONSTRUKSI USHUL FIQH DAN 'PEMBAHARUAN' ISLAM

Berbagai kemajuan yang dihasilkan peradaban Barat sejak era kebangkitannya sangatlah luar biasa, naif kiranya apabila ada ungkapan yang meragukan atau bahkan menolaknya. Ragam kemajuan tersebut tidak terlepas dari ‘kesadaran’ Barat akan worldview mereka, modal ‘kesadaran’ tersebut mereka mengadopsi peradaban Islam yang telah lama muncul sebelumnya, mereka mengambil banyak hal dari Islam, tapi tidak lupa akan epistemologi yang mereka anut berlandaskan worldview khas Barat. Hal tersebutlah yang akhirnya melahirkan berbagai macam ilmu dan metodologi. Tak heran, dengan membanjirnya serbuan ilmu-ilmu Barat tersebut berbondong pemikir Muslim yang kemudian menyerukan pebaharuan Islam. Mereka melihat bahwa Barat menjadi peradaban yang begitu sophisticated ketika agamanya mereka tafsirkan dengan berbagai ilmu dan metode tersebut, tanpa melihat perbedaan objeknya. Kisten yang menjadi objek Barat bukanlah Islam yang hendak mereka “perbaharui” tersebut. Harusnya kesadaran akan worldview, epistemologi dan ideologi masing-masing harus dikedepankan sebagai acuan, bukan hanya sekedar copy paste yang diharapkan manjur untuk sebuah perubahan instan. Memang kita tidak boleh terburu-buru menolak segala upaya pembaharuan namun juga tidak serta merta latah meninggalkan dan menghujat khazanah keilmuan klasik kita.
Salah satu khazanah Islam yang sering menjadi ajang operasi bedah ilmiah para penyeru pembaharuan Islam adalah fiqh dan ushul fiqh. Bermula dari awal abad 20 -semenjak rruntuhnya khilafah hingga sekarang-, fiqh dan Ushul fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu yang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas, bahkan secara radikal dikatakan bahwa ialah faktor kemunduran Islam. Mereka menuduh fiqh telah besikap diskriminatif terhadap non muslim dan bias gender. Fiqh selalu meletakkan wanita dibawah dominasi pria, fiqh sama sekali tidak ramah terhadap wanita, mereka menambahkan, hal ini akibat tafsir klasik yang sarat dengan muatan diskriminasi dan bias gender. Denga beragam tuduhan tersebut mereka mengajukan dekonstruksi atau reformasi fiqh Islam.
Berbicara fiqh tidak terlepas dari ushul fiqh sebagai landasan teoritisnya, maka dekonstruksi ushul fiqh menjadi sebuah keniscayaan apabila ingin melepaskan fiqh dari tuduhan pejoratif diatas. hal tersebut diungkapkan oleh Hasan Turabi, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Sharur, Arkoun, Rahman, Abu Zaid dan berderet nama para pengusung liberal lainnya. meski dengan metode dan pendekatan beragam, mereka sepakat untuk mendekonstruksi ushul fiqh demi tercapainya pembaharuan Islam. Mereka secara ekspilisit maupun implist menerapkan ilmu-ilmu sosial Barat untuk merekostruksi epistemologi Islam dalam Usul fiqh. Haruslah diingat bahwa pembaharuan epistemologi dengan menggunakan prinsip epistemologi asing lebih cenderung merusak daripada membangun, hal ini terbukti dengan kegamangan metode dan keabsurdan teori yang diajukan oleh tokoh pembaharuan tersebut. Karena ada banyak elemen yang tidak bisa dengan serta merta diakomodir, definisi ihya, tajdid, ishlah, fundamentalisme sudah mempunyai mekanisme khas yang all in one dalam wadah epistemology islam.
Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui karena zaman dan problematikanya selalu berubah dan berkembang. Tapi harus disadari pula bahwa ada elemen-elemen yang tetap dan tidak bisa dirubah dalam fiqh. Ruang ijtihad masih terbuka lebar sebenarnya, banyak problematika kontemporer yang merindukan ijtihad komprehensif dari para ulama. Namun sayang hal ini disalah fahami dengan giatnya aktifitas ‘ijtihad’ dalam isu-isu klasik semisal hudud, poligami, qisas, warisan yang sebenarnya tidak memberikan dampak besar terhadap umat. Contoh riil menyatakan sudah puluhan tahun umat Islam membelakangi hukum Islam yang sering digemborkan aktivis ‘pembaharu’ diatas, sudah lama hukum hudud tidak diterapkan tanpa ada interpratasi dan metode apalah yang sejenis, tapi toh, umat Islam masih saja bekutat dalam kerterbelakangannya. Harusnya para ‘pembaharu’ tersebut sadar, bukan hal-hal klasik yang harus menjadi konsentrasi ijtihad mereka, karena ada banyak problematika sosial kemasyarakat yang lebih penting menunggu ijtihad mereka lebih dari sekedar pembahasan seputar poligami dan kawan kawannya.
Seperti fiqh, ushul fiqh pun juga telah mengalami perubahan semenjak menjadi landasan teoritis yang sistematis di tangan Imam Syafi’i, Baqillani mengintegrasikan kalam dalam ushul fiqh sedangkan Ghazali -penulis Tahafut al Falasifat- memasukkah mantiq sebagai bagian penting dalam ushul fiqh. Pembaharuan ini juga telah dilakukan oleh Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqat. Jadi pendapat yang mengatakan ushul fiqh telah baku dan mandek merupakan kesalahan besar. Hanya saja perubahan yang ada masih berpijak pada landasan epistemologi Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber otoritatif. Bertolak belakang dengan pembaharuan yang diawarkan pemikir liberal, mereka meletakkan ushul fiqh sebagai bahan justifikasi realitas. Mereka menundukkan nash dibawah perubahan zaman dan waktu. Mereka memutarbalikkan epistemologi Islam dengan meletakkan realitas sosial sebagai standar, bukanya nash. Mereka memaksa nash untuk tundak kepada realita, apabila ada nash yang bertentangan maka tanpa segan mereka membedahnya dengan pisau bedah interpretasi hermeneutis agar sesuai dengan zamannya. Mereka mengkritik ulama klasik karena bergantung pada teks Qur’an dan Sunnah, tanpa sadar sebenarnya mereka melakukan hal yang sama, yaitu menjadikan teks sosial sebagai landasannya. Landasan ushul fiqh yang kuat terhadap al Qur’an merupakan keniscayaan untuk menjaga objektifitas hukum. Hukum yang tidak punya rujukan hanya akan menimbulkan kekacauan.
Fiqh dan ushul fiqh memerlukan pembaharuan dalam beberapa sisi, namun pembaharuan tersebut haruslah sejalan dengan prinsip epistemology Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang sejarah. Upaya dekonstruksi yang ditawarkan kalangan liberal bagaimanapun rasionalnya haruslah sejalan dengan landasan epistemologi tersebut. Karena yang ada bukannya solusi yang kongkrit dan komprehensif, tapi lebih cenderung merupakan letupan kritik atas pemikiran ulama klasik.
Suatu keharusan untuk bersikap kritis, namun demikian jangan mudah terburu-buru untuk meninggalkan khazanah klasik dan berlari ke pangkuan ilmu sosial barat lantaran tawaran-tawaran menggiurkan. Karena khazanah tersebut bukan datang oleh mantra ‘sim salabim’ sang pesulap. Namun ia hadir dari worldview dan epistemologi Islam yang kokoh. Wallahu a’lam
Albi HI141/050408/16:05

No comments: