Thursday 10 July 2008

Khayalan

Prediksi para pemikir, antropolog dan sosiolog sekelas Comte, Freud, Weber, Durkheim, Marx, Darwin yang menyatakan bahwa agama akan ditinggalkan para pengikutnya ternyata tidak terbukti kebenarannya, justru diawal abad 20 geliat keagamaan semakin terasa dengan munculnya berbagai jurnal studi agama, berdirinya rumah ibadah dan makin kuatnya ketergantungan manusia pada simbol keagamaan. Hal ini semakin menggilas prediksi ‘dunia sekular’ sebagai cadangan tunggal yang diramalkan para pemikir Barat awal abad 19. Pandangan tersebut bermula dari berbagai macam penemuan ilmiah yang selalu mematahkan dokrin-doktrin agama (baca: kristen). Semakin mereka menemukan penemuan baru, semakin berkurang otentitas dogma gereja dan kitab sucinya. Maka terjadilah bentrok antar teolog dan saintis kala itu, yang tak lepas dari kekerasan fisik yang berdarah-darah. Galileo Galilei dan Bruno merupakan bukti ril dari kebiadaban tirani para ‘wakil tuhan’ masa itu. Hal inilah yang membangkitkan semangat anti gereja dikalangan masyarakat, khususnya para saintis. Anggapan bahwa agama dan Tuhan hanyalah khayalan semakin kuat menggema dalam berbagai ruang ilmiah. Inilah cikal bakal sebuah aliran yang kemudian menamakan diri mereka sebagai ateis.

Namun semangat anti-Tuhan dan agama para saintis-ateis seakan tenggelam dengan gairah keagamaan yang muncul. Nama-nama agamawan kembali muncul menggantikan tokoh idola sekular abad 19 dan awal 20. sebut saja nama Khomaeni, Desmond Tutu, Paus Yohanes Paulus, Bunda Theresa, Dalai Lama dan masih banyak kaum agamawan yang muncul menggeser ide-ide sekularistik ateis.

Kebangkitan agama sudah hampir lima dekade, dan para ateis juga sudah tenggelam dalam keputus asaan. Tapi diawali dengan runtuhnya WTC di AS oleh ‘wakil Tuhan’, bom di Spanyol, Bali, peledakan di Inggris, bom bunuh diri di Pakistan yang juga merupakan tanggung jawab yang di klaim oleh ‘orang-orang yang beriman’, polemik berkepanjangan umat kristiani di Irlandia seakan memberikan amunisi baru yang dahsyat buat para atheis untuk menghantam Tuhan dan agama. Seakan mereka berteriak “inilah ajaran agama! Inilah anjuran Tuhan! Menghancurkan setiap inchi garis kemanusiaan!” mereka bersorak gembira, sekularisme bangkit lagi! Atheisme belum mati! Bukan darwin yang mengancam eksistensi kemanusiaan dan peradaban, tapi agamalah yang merusaknya. Darwin tak pernah menyuruh untuk membunuh, agamalah yang dengan lantang meneriakkan aroma kematian dengan bumbu kekejaman. Agama bangkit bukan untuk perdamaian, tapi pertikaian dan kematian.

Inilah fenomena kontemporer, bahwa faham sekular-ateis semakin menemukan jalan mulusnya menuju singgasana globalisasi. Muculnya para ateis semisal Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens dan Daniel C. Dennett dalam berbagai acara talk show di berbagai media, menunjukkan geliat baru neo-darwinisme ini. Belum lagi buku-buku mereka menghiasi rak-rak best seller diberbagai toko buku di dunia, sebut saja The End of Faithnya Harris (2005) God Delusionnya Dawkins (2006) Breaking the Spell karya Dennet (2006) dan karya Hitchens The God is Not Great (2007) kesemuanya langsung ludes dipasaran. Banyak dari para pembacanya yang dengan yakin akhirnya menyatakan bahwa mereka adalah ateis pengikut dawkins dan kawan-kawan.

Dawkins dalam bukunya God Delusion, menolak keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari bukti-bukti ilmiah yang ditemukannya. Dawkins adalah seorang ahli biologi evolusioner dan pengikut setia Darwinisme. Baginya sangat jelas bahwa bukti-bukti ilmiah menunjukkan ketiadaan Tuhan. Yang dia maksud dengan “Tuhan” bukanlah Tuhan seperti yang digambarkan religious saintists semisal Einstein dan pengikut Deisme lainnya (Tuhan ada namun tidak melakukan apa-apa, Dia hanya mencipta lalu meningalkannya), tapi Tuhan personal yang disembah sebagian besar pengikut agama, khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bukunya tersebut ia juga memberikan 6 argumen kenapa kita harus yakin dengan ketiadaan Tuhan. (Dawkins, 2006, hal: 111-159)

Dawkins yang juga diamini pengikut setianya meneror agama dan Tuhan dengan bertubi-tubi. Mereka hendak mengusir Tuhan dan agama jauh dari lingkungan kemanusiaan dan peradaban. Agama selalu dengan seenaknya mendaku penemuan-penemuan ilmiah sebagai ilmu Ilahi yang sudah termaktub dalam kitab suci, tanpa mau mencari kebenarannya. Klaim atas validitas eternal kitab suci ini menambah geram kaum ateis. Ditambah dengan the worship of gaps (penyembahan celah; ejekan Dawkins terhadap kaum kreasionis yang selalu memasukkan unsur Tuhan dalam celah yang belum bisa di temukan oleh nalar ilmiah (Dawkins, 2006, hal: 125-134)) yang diusung oleh kaum agamawan. Hal tersebut bukan menguatkan argumen wujud Tuhan, justru nantinya akan semakin menguatkan argumen kaum ateis. Karena semakin celah-celah tersebut tertutup dengan penemuan ilmiah yang rasionil akan semakin sempit pula ruang lingkup tuhan didalamnya, bahkan akan hilang sama sekali.

Gambaran fenomena diatas merupakan pertarungan pemikiran kontemporer yang terjadi antara kaum ateis penolak Tuhan dan agamawan. Memang mayoritas agama dan dogma kitab suci yang mereka tentang adalah ajaran kristen dimana mereka berinteraksi langsung dengannya sejak kecil, sedangkan Islam dan agama Timur lainnya mereka pelajari dengan kacamata antropologis-sosioligis. Namun justru hal ini yang amat berbahaya. Karena dalam memahami Islam dengan metode demikian bisa membawa kesalah fahaman yang fatal. Hal ini akan semakin parah, karena arus globalisasi yang kuat merupakan sebuah keniscayaan yang kita akui bersama merupakan penyalur berbagai macam aliran pemikiran dan kebudayaan terhadap dunia global yang nantinya akan merasuk secara perlahan dalam pemikiran umat Islam tanpa sadar.

Argumen-argumen Dawkins dalam The God Delusion telah menohok ulu hati agamawan Barat maupun Timur. Sebagai umat Islam, kita harus menerima kenyataan bahwa banyak dari ulama kita yang hanya wait and see terhadap penelitian ilmiah dan kemudian mencari ayat al-Qur’an dan kemudian mencocokkan dengannya. Kemudian sibuk menulis buku dan artikel menunjukkan bukti ayat-ayat al Qur’an yang sesuai dengan penemuan tersebut.

Sungguh ironis apabila umat Islam dangan kesempurnaan ajarannya yang merupakan nilai final dari semua agama sebelumnya tidak melaksanakan ajarannya. Puluhan ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir, menelaah alam, makhluk dan lainnya hanya sekedar buah bibir bacaan umatnya tanpa ada bentuk implimentasi praktis. Kita tidak sadar bahwa penemuan ilmiah yang ada nilainya relatif, sebagai konsekwensinya apabila dikemudian hari ada penemuan yang mematahkan argumen awal dengan bukti ilmiah yang memadai, maka argumen awal akan gugur. Apabila kita hanya sekedar mencari titik temu antara penemuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an, itu sama saja menghukumi relativisme al Qur’an. Sudah saatnya umat Islam sadar dan bangkit dari tidur panjangnya. Segala kesempurnaan ajaran agama harus digunakan dengan maksimal. Bukannya berhenti pada ayat-ayat teertentu dan kemudian menafsirkannya secara kaku dan rigid yang akhirnya melahirkan berbagai kekerasan dan kekejaman atas nama agama.

Disini saya kira pentingnya rekonstruksi ide Islamisasi Ilmu yang pernah digulirkan oleh Al Attas dan Faruqi. Sehingga pemahaman umat akan berbagai ilmu dan pengetahuan selalu berlandaskan framework Islam. Sehingga tidak mudah terombang ambing oleh samudara logika relativisme ilmiah. Dan kejayaan sains Islam bisa terwujud tanpa harus meyakini bahwa Tuhan hanya sekedar khayalan manusia yang pesimis dan fatalis.

Allah Knows Best

Albi 100708, 16:30

3 comments:

sonny said...

yang menguat agama apa spritualisasi dan paham perenial semacam NewAge?
bagaimana bila dibandingkan dg menguatnya sekularisme

Himawan Pridityo said...

Masih terpukau dengan revivalisasi Islam rupanya saudara Hamdan. Sebenarnya, tantangan umat beragama yg sesungguhnya bukan datang dari kelompok ateis dan ilmuwan sekuler, mereka hanya selintingan kecil yang lewat menyuarakan hati mereka yg gundah. Lagi pula, kecenderungan menyembah Tuhan dalam diri manusia bersifat genetis. Tantangan sebenarnya justru ada dalam diri penganut agama itu sendiri. Baik secara moril maupun intelektuil. Moril, karena mereka belum dapat memberi tauladan yang pantas dan intelektuil karena belum punya grand design yg pas untuk masa kini. Rata-rata agama saat ini kan berumur lebih dari satu millenium. Satu yg pasti bagi umat Islam adalah menjadikan diri mereka sebagai teladan umat manusia.

P.S. Longtime not see you fellow

Anonymous said...

Hubungan agama dengan ilmu


Sebelum kita berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialist.
Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang lahir melalui saintisme yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai : ‘segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa didefinisikan sebagai wilayah ilmu).ini adalah cara pandang terhadap ‘ilmu’ yang kita kenal sebagai konsep ‘saintisme’,faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan yang mendeskripsikan ‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia artinya dalam persoalan ilmu manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
Dan bila kita merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme (barat) dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’ versi barat sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit,analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hard ware.
Berangkat dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
Ini bertentangan dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan konsep ilmu tidak dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti secara empirik,sebab ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat empirik tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk memahami realitas yang bersifat a