Thursday, 11 September 2008

“The Raison d’etre” Keselarasan Antar Agama di Pakistan

Islam telah banyak melahirkan revolusi peradaban dan dinamika budaya, yang semua itu tak lepas dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Dalam setiap kehidupan telah diatur di dalamnya, tak terkecuali urusan Politik, Ekonomi, dll. karena Islam merupakan suatu budaya, agama dan negara. Begitu pula Islam telah banyak berpengaruh dalam meningkatnya sumber daya manusia secara keseluruhan. Pantas kalau hal tersebut menjadi landasan berdirinya sebuah negara Islam.

Pakistan merupakan salah satu negara dari sebagian kecil negara di dunia yang berdiri berasaskan agama. Dengan ditetapkannya Islam sebagai ideologi mereka, sebagian besar sistem dan aturan agama diberlakukan lebih dominan dalam berbagai permasalahan sosial. Maka, salah satu syarat yang diberlakukan untuk menjadi Presiden Republik Islam Pakistan-pun harus seorang muslim yang mampu menjalankan semua aturan-aturan Islam sebagai muslim yang baik dan juga berstatus penduduk asli Pakistan. Dengan demikian, Islam merupakan agama dengan tuntunan yang harus dijalankan bagi seluruh penganutnya, dan menjadi tata aturan dalam pemerintahan Pakistan itu sendiri.

Pakistan berdiri karena keinginan penduduk muslim di anak benua (sub-kontinen) untuk membangun tempat tinggal dan kehidupannya sesuai dengan ajaran dan tradisi Islam, bahwasanya mereka ingin mendemonstrasikan kepada dunia bahwa Islam mampu memberikan obat mujarab untuk setiap penyakit yang mana telah menyerang kehidupan manusia hingga saat ini. Maka Pakistan didirikan dengan alasan Ideologi dan kemanusiaan. Karena konflik yang terjadi antara muslim dan Hindu bukanlah urusan politik semata, tapi merupakan masalah ideologi. Ini merupakan suatu perjuangan yang patut dikagumi bagi sekalian muslim demi tegaknya negara Islam Pakistan.

Namun lain halnya kenyataan yang sekarang ini hadir di tengah-tengah kita, sebuah fenomena sosial yang sedikit banyak menyita perhatian berbagai kalangan hingga masyarakat luas. Bukanlah hal yang aneh memang, bila suatu negara yang dibangun berdasarkan agama, kemudian tumbuh berkembang lalu melupakan bahkan meninggalkan landasan atau pondasi kenapa semula ia dijadikan. Berbagai budaya dan tradisi baru mulai bermunculan di hampir seluruh Negara Islam, tak terkecuali seperti yang kita perhatikan belakangan ini di Negeri Ali Jinnah, Pakistan. Sebuah masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan tatanan dan banyak aturan-aturan islami. Bahkan seperti yang telah disebutkan di atas, Pakistan merupakan Negara yang berdaulat Islam. Sejarah nyata telah seringkali kita dengarkan bagaimana perjuangan para pendiri beserta laskarnya untuk membebaskan umat Islam di Sub-Continent pada masa itu, agar bisa menjalankan syariat Islam dengan baik dalam sebuah naungan Negara Islam. Hingga tercapailah harapan mereka dengan berdirinya Negara Islam Pakistan, yang tentunya tak lepas dari masalah-masalah yang mulai bermunculan kemudian. Seperti urusan sekte, perbedaan agama, dll.

Kiprah para muslim yang berjuang di berbagai bidang dan sektor-sektor penting Negara, dari sebelum berdirinya Pakistan hingga saat ini sudah sangat besar menambah kredibilitas dan kekuatan Islam untuk membangun Pakistan, baik Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya, dll. Walaupun tidak secara gamblang diterangkan, namun akan terlihat jelas disini bagi sebagian massa yang menjunjung tinggi arti sebuah Nasionalisme Bangsa, bahwa penduduk muslim adalah penduduk sah Pakistan dengan adanya mayoritas dan minoritas kelompok dalam negeri. Dengan kata lain berarti penduduk non-muslim sebagai agama minoritasnya.

Sebagian orang akan berpendapat bahwa sebuah negarapun bisa maju bila mungkin tidak melahirkan beragam sekte khusus, atau menggolongkan penduduk ke dalam kelompok-kelompok tertentu, sehingga tidak menjadikan adanya kelompok minoritas dalam suatu negara. Seperti halnya fenomena agama minoritas di berbagai bahkan hampir di semua negara, termasuk Pakistan. Sebuah permisalan Zia ul Haq yang dikenal sebagai Presiden diktator militer Pakistan, saat beliau mencabut hak suara penduduk minoritas (non-muslim) dalam pemilihan. Dengan sistem hak suara yang terpisah antara muslim dan non-muslim maka akan menggeserkan peralihan suara pula. Kemudian Zia ul Haq juga membagi seluruh penduduk negeri ke dalam lima kelompok agama/kepercayaan dan tidak diperbolehkan bagi agama minoritas untuk memberikan suaranya atas orang muslim. Begitu pula tidak diperkenankan untuk memilih non-muslim (agama minoritas). Walhasil penduduk muslim akan lebih mengabaikan agama minoritas dan akan menjadikan mereka sebagai warga negara kelas dua atau tiga, layaknya “orang asing” di Tanah Air mereka sendiri, sebuah kampung halaman dimana nenek moyangnya telah tinggal sejak bertahun-tahun bahkan ribuan tahun lalu.

Sejak saat itulah maka dibentuk “The Raison d’etre”. Yang maksudnya tidak lain adalah suatu keadaan dengan adanya perbedaan atau perbandingan manusia ke dalam kelompok-kelompok. Karena tidak adanya alternatif lain yang dapat mereka ambil, dan hanya ada satu garis besar yang menyatakan bahwa masyarakat mayoritas dan tempat untuk masyarakat yang beragama minoritas. Pada konstitusi tahun 1973 dengan suara bulat, maka telah disetujui oleh seluruhnya usul perubahan dalam satu sekte disebutkan Ahmadiyah seperti halnya non-muslim yang dengan demikian menjadi agama minoritas. Ini juga termasuk di dalamnya penduduk Hindu, Kristen, dll.

Hal demikian merupakan konteks ideologi sebagai negara Islam, bahwa sistem pemilihan yang terpisah memberikan peranannya untuk suatu perusakan atau pembinasaan dalam pemerintahan ketika diktator militer memperkenalkan sebuah sistem tersebut yang mana bertujuan untuk membagi suatu Negara ke dalam jangkauan yang lebih luas lagi. Dengan kata lain, menjadikan masyarakat Kristen dan Hindu hanya bisa memberikan suaranya kepada agama mereka sendiri pada masa itu, yang kemudian lahirlah pusat pembangunan sumber daya manusia atau yang mereka sebut sebagai “Human Development Centre”. Tentu saja itu akan menimbulkan tekanan pada keharmonisan antar masing-masing kepercayaan yang ingin mempromosikan sebuah kesepakatan dan kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut. Salah satu alasan kenapa timbul banyak kerusakan dimana-mana adalah masih adanya pemisahan atau penggolongan masyarakat. Maka kita akan melihat sebuah fenomena dalam konteks nyata negara Pakistan, yaitu Negara yang berideologikan Islam kokoh dan kuat, yang kemudian akan nampak selanjutnya kibaran bendera agama minoritas yang mana mereka layaknya sekelompok orang asing dari segala segi dan dalam setiap level.

Membangun sosial Islam yang ideal haruslah memperhatikan kepada perkembangan pola kehidupan dan isu-isu sosial yang erat sekali kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam kasta, kepercayaan, warna, daerah, status ekonomi, dll., dengan tetap menjunjung tinggi norma-norma dan nilai akhlak.

Keselarasan antar kepercayaan yang sama sekali berbeda bukanlah kemewahan atau kesenangan, tapi justru merupakan sebuah keharusan yang mutlak. Ia mengalir dari ideologi negara dimana para muslim bersama-sama mengangkat dan memperbaiki aturan-aturan yang ada. Reformasi dan reformulasi atas ideologi ini mampu menghendaki keberanian yang besar dan kerja keras. Namun itu merupakan agenda pokok kekuatan liberal dalam negara. Tapi dalam kurun waktu terakhir ini, hal itu hanyalah mimpi semata. Realita yang menuntut adanya keselarasan antar agama, dimana muslim dan non-muslim berkolaborasi bersama untuk memajukan bangsa, bahu-membahu setiap hari dan bekerja biasa seperti penduduk lainnya dalam satu negara yang sama.

Tentunya sebagai muslim kita dapat mengerti apa saja yang diberlakukan dalam syariat Islam. Sunah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menghormati sesama, tidak merendahkan yang satu dari yang lainnya. Karena sebagai muslim kita harus percaya, bahwa agama dan Tuhan kita adalah yang benar. Namun kita tidak melupakan agama atau kepercayaan yang dianut oleh umat lainnya, tetap bertoleransi sesuai dengan batasan yang telah diatur dalam Islam. Begitupun juga telah dikatakan dalam pidatonya Muhammad Ali Jinnah, pada majelis konstitusi 11 Agustus, beliau mengatakan kepada seluruh masyarakat Pakistan pada masa itu: “ kalian bebas...kalian bebas untuk pergi ke kuil-kuil, kalian bebas untuk pergi ke masjid, atau tempat peribadatan lainnya di Pakistan. Kalian diperkenankan untuk beragama, berkasta, atau berkeyakinan apapun. Bahwasanya itu tidaklah menjadi urusan Negara, …dll…dll…dll…Pakistan Zindabad!.”

Sumber Bacaan:

1. Rauf, Abdul. Islamic Culture in Pakistan. Ferozsons, Lahore, 1994.

2. Sattar, Abdul. Pakistan’s Foreign Policy 1547-2005. Kagzy, Karachi, 2007.

3. Sidhwa, Bapsi. Ice-Candi-Man. Penguin book, India, 1988.

1 comment:

sonny said...

aku kurang mengerti dg Pakistan, kenapa selalu penuh konflik.

Padahal ia memiliki semua yg dibutuhkan u/ maju: bahasa Inggris, Arab, buku-buku, sejarah yg kaya, kaum cendekiawan yg terkenal seantero dunia.

Aku harap blog mu banyak membahas isu-isu Pakistan.

Apa yg salah dari ide Iqbal ttg sebuah Pakistan yg merdeka?

BTW, comment moderation-nya disabled dong. ruwet nih :)