Friday 19 September 2008

global pop culture

'GLOBAL POP CULTURE'
(Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial Budaya?)
Alfina Hidayah

Pendahuluan

Adalah periode bersejarah bagi perubahan dunia yang sangat cepat dan dramatis semenjak dekade terakhir pada abad ke-20 hingga saat ini, dan proses globalisasi merupakan bagian yang berperan penting dari perubahan tersebut.(1) Globalisasi juga telah memberi warna dan erat hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial; seperti masyarakat, golongan dan budaya.(2) Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang. Fenomena tersebut tidak hanya berkutat dalam urusan politik, ekonomi, agama atau teknologi namun juga mencakup ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas, yaitu sosial dan budaya. Semua komponen tersebut merupakan objek globalisasi yang saling berhubungan satu dengan lainnya, sehingga munculah negara-negara yang berideologi, berbudaya, beretika dan bermoral tunggal yang terangkum dalam sebuah masyarakat global.

Globalisasi dan Perubahan Sosial Budaya

Dengan tumbangnya Uni Soviet dan Komunisme oleh ‘kekuatan baru’ Kapitalisme, maka Uni Soviet terbagi menjadi beberapa bagian negara-negara baru. Sedangkan negara-negara lain dibelahan timur baru saja berangsur bangkit dari jerat kolonialisme, sehingga mereka masih mengejar keterbelakangan dalam membangun sistem sosial, perekonomian dan politiknya. Dari sinilah globalisasi mulai di perkenalkan. Ia juga berperan penting dalam mengusung paham Kapitalisme ke negara-negara berkembang yang masih mencari jati dirinya. Fenomena tersebut merupakan indikasi atas upaya Barat dalam mengokohkan tancapan hegemoninya terhadap bangsa timur. Adapun maksud sesungguhnya adalah supremasi Amerika atas dunia. Hal serupa juga diungkapkan oleh Roger Gharoudy, orientalis Prancis yang kemudian memeluk Islam dan dikenal sebagai filosof muslim Perancis.(3)
Dilihat dari sudut pandang etimologi, 'globalisasi' merupakan sebuah sistem organisasi atau bisnis yang beroperasi dalam skala global,(4) istilah tersebut telah diperkenalkan untuk pertama kalinya pada era 60an yang sebagian besar digunakan dalam konteks Ekonomi. Pada bidang Ekonomi dan Manajemen Sastra, adalah Levitt (1983) yang mengenalkan istilah globalisasi yang tertuang dalam bukunya, Globalization of Markets. Di bidang Sosiologi, ada Roland Robertson yang mengenalkan istilah ini pada tahun 80-an, dan pada studi Media & Budaya, Marshall McLuhan telah memakai istilah 'global village' dalam bukunya Understanding Media di tahun 60an. Kemudian beranjak ke tahun 1990an dimana penggunaan istilah tersebut sangat pesat dan telah menjelma menjadi kosakata harian, tidak hanya diucapkan oleh para akademis dan pebisnis, namun juga telah menyapa media serta sudut kehidupan masyarakat luas.(5)
Secara terminologi 'globalisasi' merupakan proses interaksi yang intensif antara individu dan proses integrasi pasar global, yang hasilnya bukanlah suatu kebetulan tapi telah dikemudikan oleh perubahan-perubahan Politik, Ekonomi dan Teknologi tertentu yang menghapus adanya batas-batas antar negara. Menurut Sakiko Fukuda-Parr dalam artikelnya yang berjudul New Threats to human security in the era of globalization, proses globalisasi tidaklah baru, tapi telah muncul sejak tahun 1990an sebagai hasil dari eksistensi tiga kekuatan baru yang menjadi motif dan stimulusnya, yaitu; Liberalisasi Ekonomi, Liberalisasi Politik, Teknologi Informasi dan Komunikasi. (6)
Definisi lain yang ditulis oleh Dr. Khalid Abdul Halim As-Suyuti dalam artikelnya 'Al-Hiwaar Baina al Diyanaat al-Tsalas fi 'Asri al- 'Aulamah', bahwa globalisasi merupakan kebebasan dalam menuangkan komoditas, kapitalisme dan berfikir liberal dalam segala aspek kehidupan universal tanpa adanya batas dan ikatan. akan tetapi banyaknya kontroversi didalamnya telah memperkuat bahwa globalisasi tidak lebih dari suatu bentuk 'hegemoni',(7) di mana sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus -yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia dikuasai-. Dengan kata lain, dapat disimpulkan -dari beberapa definisi diatas- bahwa 'globalisasi' adalah sebuah proses tatanan masyarakat universal yang tidak mengenal batas wilayah, dimana suatu tatanan tertentu muncul kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara lain 'yang disadari atau tidak' telah menjadi panutan dan kiblat bagi bangsa-bangsa di penjuru dunia.
Banyaknya definisi 'globalisasi' menandakan kesimpang-siuran pengertian dan proses yang rumit, sehingga belum ada barometer yang baku dalam memaknai istilah tersebut. Disamping banyaknya isme-isme yang memiliki kesamaan maksud dengan globalisasi, seperti Westernisasi, Modernisasi, Liberalisasi, Internasionalisasi dll. Akan tetapi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa paham-paham tersebut merupakan bagian dari proses globalisasi, karena semua paham diatas saling berkaitan satu dengan lainnya.
Kehadiran globalisasi telah membawa beberapa pengaruh, baik positif maupun negatif dalam setiap aspek kehidupan manusia. Seperti Politik, Ekonomi, Ideologi dan sosial budaya. Adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi pada Politik dan Ekonomi berimbas pula terhadap sosial budaya negara-negara pengusung globalisasi.(8) Proses tersebut biasa dikenal dengan 'global pop culture' yaitu budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau ruang lingkup global.
'Budaya' dalam bahasa Inggris disebut Culture, yang artinya adalah: "Setiap seni dan manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif. Termasuk didalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari sekelompok masyarakat tertentu".(9) Sedikit berbeda dengan definisi yang ditulis oleh T.S.Eliot di pendahuluan bukunya 'Notes towards the Definition of Culture', mengenai keterkaitan budaya dan agama, ia mengatakan bahwa Budaya akan muncul sebagai produk dari Agama atau Agama adalah produk dari suatu budaya. Menurutnya, syarat-syarat munculnya Budaya adalah sebagai berikut: yang pertama yaitu 'organik' (tidak direncanakan tetapi tumbuh secara berkesinambungan) dan kemudian melahirkan sebuah tatanan yang dikenal dengan 'Strata Sosial'. Yang kedua yaitu sangat penting bagi suatu budaya untuk dapat diselidiki atau dipelajari, memiliki letak geografis tertentu dan memungkinkan terbagi kedalam budaya-budaya lokal. masalah yang akan muncul kemudian adalah problem 'Regionalisme'. Yang ketiga yaitu keseimbangan kesatuan dan perbedaan dalam Agama, yang mana hal tersebut merupakan universalitas doktrin dengan ritual dan kebaktian keagamaan tertentu.(10)
Sedangkan Budaya dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah, bentuk plural dari kata Buddhi (budi atau akal) yang maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayan merupakan sarana hasil karya, rasa dan cipta suatu masyarakat. Dapat kita simpulkan bahwa budaya itu bersifat abstrak, karena ia adalah sistem pengetahuan yang didalamnya terdapat ide dan gagasan-gagasan pikiran manusia. Akan tetapi bentuk perwujudannya adalah berupa ‘benda-benda’ yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang berbentuk materi dan nyata.(11)
Perihal perubahan dan perkembangan sosial budaya, hal itu sangat mungkin terjadi apabila kebudayaan dalam masyarakat tertentu melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Seperti halnya yang terjadi pada sejarah peradaban manusia semenjak peradaban Mesir kuno yang diakui sebagai peradaban tertua di muka bumi ini. Bahwa ia mempunyai pengaruh kuat terhadap peradaban-peradaban belahan lain di dunia seperti Babilonia, Persia, India, Cina dan Yunani (Barat). Pengaruh itu terjadi karena adanya gesekan-gesekan peradaban dan budaya antara masyarakat yang berbeda sehingga secara berangsur-angsur akan menghasilkan perubahan dan perkembangan pada komunitas tersebut(12) Sedangkan perubahan sosial merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam masyarakat yang terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat manusia itu sendiri yang ingin selalu berubah. Menurut Hirschman, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan itu sendiri.(13)
Ilmuwan modern juga berbeda pendapat tentang isu-isu perubahan sosial. ada kelompok yang mengacu kepada informasi perubahan sosial dengan memadukan aspek penting terhadap kehidupan sosial. Bahwa setiap masyarakat dan budaya akan melakukan perubahan secara terus menerus, cepat atau lambat. Kelompok ini dipimpin oleh Welbert Mure, yang mengatakan persamaan fenomena perubahan, universalitas dan komunisme. Kelompok lainnya adalah kelompok yang menitik-beratkan pada interpretasi perubahan sosial, dimana muncul ilmuwan-ilmuwan sosial yang ‘diskriminatif’ dalam melihat perubahan sosial dan perubahan peradaban atau kebudayaan, mereka mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan hal yang utama karena ia merupakan perubahan yang membangun masyarakat bersosial.(14) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial adalah: tekanan kerja dalam masyarakat, efektifitas komunikasi dan perubahan lingkungan (alam). Begitu juga perubahan budaya dapat timbul dengan adanya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru dan interaksi dengan kebudayaan lain.(15) Namun faktor-faktor tersebut tampak sedikit 'memaksa' dan sempit, dikarenakan banyaknya faktor lain yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan budaya, seperti ideologi, kepentingan Agama, individu, politik dll.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya

Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas, tepatnya pada negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya proses tersebut. Diantaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat, sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas, ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia.(16)
Bentuk yang ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasipun bermacam-macam, mulai dari Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (ekspor-impor, penyebaran produk-produk global, dll), hiburan (film, musik), seks bebas, nilai-nilai, gaya hidup dst.(17) Sebagai contoh yang diungkapkan George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society, bahwa McDonald atau jenis fast-food lainnya yang di usung oleh Amerika telah menjadi fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel, aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&Bs dll yang menyebar luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara.(18) Bagaimanapun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi serta budaya warisan nenek moyang mereka. Akhirnya globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran satelit internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal.(19)
Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan konflik sosial di masyarakat non-Barat, yang mana mereka memiliki warisan budaya dan kehidupan relijius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung globalisasi dan kapitalisme.(20) Karena globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku berupa tatanan etika dan selebihnya, yang mana perubahan tersebut acapkali membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada wilayah perkotaan (urbanized area) dimana proses modifikasi baru saja ditembus, seperti yang banyak terjadi di negara-negara ketiga.(21)
Adapun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin dan ilmu pengetahuan dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju. Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat -khususnya anak muda-, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian, potongan dan warna rambut, pilihan hiburan dst. Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidak pedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya.(22)
Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat, seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap, berperilaku hingga keberagamaan suatu masyarakat.(23) Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa, maka kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang disebarluaskan oleh globalisasi tersebut.

Penutup

Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru, ia muncul bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri, baik dalam politik, ekonomi dll. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi budaya, yaitu: (i) secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama masalah tranportasi, komunikasi dan arus informasi. (ii) Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol dan fakta. Meninggalkan dogma-dogma kuno seperti mitos dll, yang digantikan dengan sebuah doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan metode analisis-kritis. Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya.(24) Hal ini dikarenakan adanya bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap syle bentuk budaya tertentu, yang mana cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi budaya yang sangat besar dalam skala dunia.(25)
Oleh sebab itu, Budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting yang dimiliki oleh suatu bangsa, jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang; norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi. Karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya, mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata mereka, dll. (26)
Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara ‘jajahannya’, bedanya kalau zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power. Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap tegukan, tapi apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan, pasien pun akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh opium tersebut. Tapi perlu di ingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun, tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus berobat.
Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang 'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul timbal-balik yang fair dan equitable. Karena globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa kita, sehingga kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budaya-budaya seberang, tapi juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain. Wallahu wa rasuluhu a’lam

End Note:
1. Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization dalam Human Inscecurity in a Global World, Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker (editor), Harvard University Press, Cambridge, 2005, hal: 1
2. Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization: An Introduction dalam Islam Encountering Globalization, Ali Mohammadi (editor), Routledge Curzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002. hal: 1
3. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al-'Aulamah dalam Annual Journal of International Islamic University, Islamabad-Pakistan, 2002. Vol: 10, hal: 230
4. Concise Oxford English Dictionary, Edisi 11.
5. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 1
6. Fukuda, Sakiko-Parr, Op. Cit., hal: 1-4
7. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Op. Cit., hal: 230
8. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 2
9. Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11
10. Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture, Faber and Faber, London, 1962. Hal: 15
11. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
12. Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999. hal:87-106
13. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
14. Al-za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah, Daar al-Syuruq, Jeddah. Hal: 32
15. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
16. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx
17. Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, dalam Majalah Islamia, Edisi IV, 2005. hal:13-14
18. Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993. Hal: 1-2
19. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 15
20. Ibid, hal: 13
21. Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism dalam Globalization, Democratization and Multilateralism, Stephen Gill (editor), United Nations University Press, Japan, 1997. Hal: 4
22. http://www.wikimu.com/n ews/Opini.aspx
23. Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996, hal: 251-255
24. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx
25. Gill, Stephen, Op. Cit., Hal: 5
26. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 16-17


Referensi:
Al-Za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah. Daar al-Syuruq, Jedah, tanpa tahun
Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam (Majalah Islamia). Edisi IV,
2005
As-Suyuti, Khalid Abdul Halim. Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al
'Aulamah (dalam Annual Journal of International Islamic University), Islamabad-Pakistan,
2002. Vol: 10
Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11
Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture. Faber and Faber, London, 1962
Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization (in Human Inscecurity dalam a Global World edited by Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker). Harvard University Press, Cambridge, 2005
Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization An Introduction (dalam Islam Encountering Globalization edited by Ali Mohammadi). RoutledgeCurzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002
Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism (dalam Globalization, Democratization and Multilateralism edited by Stephen Gill). United Nations University Press, Japan, 1997
Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999
Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996
http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx




Thursday 11 September 2008

Ramadhan

Ramadhan, demikianlah orang menyebutnya, rangkaian hari dalam sebulan yang penuh dengan untaian rahmat Ilahi, lantunan ayat-ayat suci, dzikir, sedekah, zakat, dan banyak lagi kebaikan dan berkah didalamnya. Seandainya dalam setiap tahunnya selalu dilalui dengan indahnya ramadhan. Atau mungkinkah kita sebagai umat Islam telah salah dalam memahaminya? Seakan ramadhan hanyalah satu-satunya waktu dalam ajang kontes pertandingan amal dimana seluruh umat berlomba menjadi juara, namun di bulan yang lainnya tidak ada bekas sama sekali dalam kehidupan serta perilakunya.

Ramadhan adalah bulan pelatihan diri, bukan hanya pelatihan dimensi spiritual saja, namun ia merupakan olah fikir, olah jiwa dan olah raga. Bilamana manusia tanpa siyam/puasa, tanpa latihan menahan diri, sebagaimana bilamana ia tanpa rukun/tiang Islam yang lain, apalagi tanpa ajaran Islam sedikitpun.

Banyak yang takut dan phobia terhadap Islam karena ada yang memakai Islam untuk alat kepentingan dirinya, keluarganya atau kelompoknya; sebab dalam sejarah agama manapun hal tersebut sering terjadi; agama untuk kepentingan dirinya, keluarganya, kroni-kroninya, kelompoknya, golongannya dsb.

Hal ini harus diluruskan, dikembalikan lagi bahwa Islam adalah penghormatan dan penghargaan, islam adalah identitas, pelatihan, pendidikan dan pelatihan untuk selalu berlomba-lomba fastibiqul khairat dunia akhirat.

Diatas status dan fungsi itu semua Ramadhan merupakan ibadah, ubudiah, pengabdian; bakti, persembahan; penyembahan, penghambaan.

Puasa merupakan ujian menuju perolehan maslahat manusia sendiri. Sayang kita kurang atau bahkan tidak sadar,seakan itu untuk Allah swt. saja, berdasar sabda Rasul dalam hadits:

....fa'innahuu lii, wa ana ajzii bihii,dst.; artinya puasa adalah untuk KU. Kita harus menyadari bahwa puasa kita, ramadhan kita banyak mengandung nilai plus bagi diri kita. Ia merupakan Santapan otak, bimbingan jiwa dan tuntunan budi menuju kualitas insan yang berTAQWA. Dalam Islam, tidak ada kegiatan ibadah yang sepi dan kosong dari kandungan unsur kejiwaan dan nilai – nilai kemanusiaan. Penataan aneka ragam bangsa juga ditanamkan dalam sendi-sendi IBADAH KITA. termasuk juga ibadah Ramadhan. Sehinga dengan berpuasa kita bisa menjernihkan hati, mencerahkan fikiran dan menggelorakan amal shaleh.

Maka salah apabila kita menilai puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya sebagai dimensi individual-spiritual, hubungan vertikal tanpa unsur horizontal. Islam mencakup semua. Vertikal dan horizontal, spiritual dan intelektual. Maka dari itu naif apabila ada segolongan orang dengan melihat pengalaman pahit umat beragama lain menyatakan bahwa Islam adalah agama pribadi, agama antar individu dan tuhannya. Karena banyak sekali unsur pembelajaran sosial dibalik ritual ibadah tersebut. Dalam hal ibadah shalat misalnya, imam sholat/masjid, siap dengan cadangan yang tak kurang kualitasnya. Apa dasar filisofis, rahasia, hikmah "WHY, mengapa?" nya. Adzan, waktu dan "the man" nya, juga lafadh-lafadhnya.

Kesehatan, kekuatan dan kesabaran sebagai tiang - tiang persyaratan setiap ibadahnya. Subuh, dhuhur, ashar, maghrib, isya' dengan kedisiplinan disiplin dan rahasia - rahasianya, spesifikasinya. Di tambah dengan sarana dan prasarana kualitas keikhlasan, kekhusyukan yang harus diupayakan dengan perwujudan maksimal. Why? Disinilah salah satu tanda universalitas Islam. Yang merangkul segala aspek kehidupan. Islam bukan hanya olah rohani, namun upaya dalam melatih kesadaran manusia untuk sholeh secara individu, sholeh secara sosial dan menjunjung tinggi profesionalisme dengan catatan berlandaskan pada ajaran qur’an dan sunnah rasulNya. Sehingga kebahagiaan dunia akhirat bisa tergapai. Ramadhan, merupakan salah satu rangkaian ibadah untuk menuju tujuan tersebut.

Disinilah diperlukan kesadaran individu dalam berIslam. Pidato, ceramah, diskusi, dialog, seminar, dan sebagainya tidak cukup, belum menjamin keberhasilan penyadaran. Kesadaran diharapkan datang bila dikerjakan dengan faham yang benar. Maka, kegiatan-kegiatan Ramadhan, sayang bila kurang diintensifkan; dilengahkan! Merugilah kita bila dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya justru menurun kwalitas dan kwantitasnya, rugi dan merugikan! Kehilangan sesuatu yang mahal tidak pantas kalau tidak menimbulkan penyesalan.

Untuk mewujudkannya, memang perlu usaha membina, menciptakan kemauan, kesempatan dan miliu penunjang. Tidak berdosa, insya Allah, bila dilakukan dengan sedikit pemaksaan. Harus diingat bahwa syetan juga mengintensifkan pemaksaan agar tidak taat. Kita berusaha,berupaya, IBLIS menggoda kita; tidak berusaha, tidak berupaya IBLIS juga menggoda. "berpuasa, menahan diri, membentengi nafsu ditengah-tengah arena pesta pora kema'siatan: makan, minum, gerakan/tontonan/pertunjukan syahwat keduniaan, merupakan ajang pelatihan diri, pembelajaran dan penyadaran diri. Dengan puasa ramadhan umat kita akan berhasil memenanginya! Hingga IBLISpun gigit jari!

Ramadan merupakan ujian sikap nyata,dalam amal perbuatan, bukan ujian lisan bukan ujian tulis juga bukan sekedar ujian fisik kekuatan. Spesifikasi Ramadhan sebagai bulan obral rahmat kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNYA, investasi ritual, dan sosial. Haruslah kita manfaatkan dengan sesempurna mungkin sebagai Benteng proteksi total dari segala macam dan bentuk bisikan rayuan kesesatan.

Kegiatan ramadhan adalah ibadah, keilmuan, kesadaran, kepedulian dan kemasyarakatan, mewaspadai penjajah akbar, paling berat "PEMUASAN NAFSU DIRI", sebab kalau dibebaskan, tidak disegerakan, sampai melestarikan Ibahiyyah, Permisivveness sungguh akan merusak kesehatan jiwa raga kita nantinya. Siyam Romadlan Kita bukan berupa menghadiahi sesaji makan minum, jasa kepada ALLAH tapi dengan bakti pengabdian total dan pengorbanan maksimal, kapital aset-aset tabungan dihari penghitungan,"yaumul hisaab" menuju falaah, kemenangan, sa'aadah, kebahagiaan. Untuk di dunia, Untuk diri kita, dan untuk akhirat kita.

Kalau ada orang kafir mengatakan " It's good for you but not good for me" maka demikianlah ma'na ibadah dalam Islam. ALLAH punya kriteria, dan raport tersendiri.





“The Raison d’etre” Keselarasan Antar Agama di Pakistan

Islam telah banyak melahirkan revolusi peradaban dan dinamika budaya, yang semua itu tak lepas dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Dalam setiap kehidupan telah diatur di dalamnya, tak terkecuali urusan Politik, Ekonomi, dll. karena Islam merupakan suatu budaya, agama dan negara. Begitu pula Islam telah banyak berpengaruh dalam meningkatnya sumber daya manusia secara keseluruhan. Pantas kalau hal tersebut menjadi landasan berdirinya sebuah negara Islam.

Pakistan merupakan salah satu negara dari sebagian kecil negara di dunia yang berdiri berasaskan agama. Dengan ditetapkannya Islam sebagai ideologi mereka, sebagian besar sistem dan aturan agama diberlakukan lebih dominan dalam berbagai permasalahan sosial. Maka, salah satu syarat yang diberlakukan untuk menjadi Presiden Republik Islam Pakistan-pun harus seorang muslim yang mampu menjalankan semua aturan-aturan Islam sebagai muslim yang baik dan juga berstatus penduduk asli Pakistan. Dengan demikian, Islam merupakan agama dengan tuntunan yang harus dijalankan bagi seluruh penganutnya, dan menjadi tata aturan dalam pemerintahan Pakistan itu sendiri.

Pakistan berdiri karena keinginan penduduk muslim di anak benua (sub-kontinen) untuk membangun tempat tinggal dan kehidupannya sesuai dengan ajaran dan tradisi Islam, bahwasanya mereka ingin mendemonstrasikan kepada dunia bahwa Islam mampu memberikan obat mujarab untuk setiap penyakit yang mana telah menyerang kehidupan manusia hingga saat ini. Maka Pakistan didirikan dengan alasan Ideologi dan kemanusiaan. Karena konflik yang terjadi antara muslim dan Hindu bukanlah urusan politik semata, tapi merupakan masalah ideologi. Ini merupakan suatu perjuangan yang patut dikagumi bagi sekalian muslim demi tegaknya negara Islam Pakistan.

Namun lain halnya kenyataan yang sekarang ini hadir di tengah-tengah kita, sebuah fenomena sosial yang sedikit banyak menyita perhatian berbagai kalangan hingga masyarakat luas. Bukanlah hal yang aneh memang, bila suatu negara yang dibangun berdasarkan agama, kemudian tumbuh berkembang lalu melupakan bahkan meninggalkan landasan atau pondasi kenapa semula ia dijadikan. Berbagai budaya dan tradisi baru mulai bermunculan di hampir seluruh Negara Islam, tak terkecuali seperti yang kita perhatikan belakangan ini di Negeri Ali Jinnah, Pakistan. Sebuah masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan tatanan dan banyak aturan-aturan islami. Bahkan seperti yang telah disebutkan di atas, Pakistan merupakan Negara yang berdaulat Islam. Sejarah nyata telah seringkali kita dengarkan bagaimana perjuangan para pendiri beserta laskarnya untuk membebaskan umat Islam di Sub-Continent pada masa itu, agar bisa menjalankan syariat Islam dengan baik dalam sebuah naungan Negara Islam. Hingga tercapailah harapan mereka dengan berdirinya Negara Islam Pakistan, yang tentunya tak lepas dari masalah-masalah yang mulai bermunculan kemudian. Seperti urusan sekte, perbedaan agama, dll.

Kiprah para muslim yang berjuang di berbagai bidang dan sektor-sektor penting Negara, dari sebelum berdirinya Pakistan hingga saat ini sudah sangat besar menambah kredibilitas dan kekuatan Islam untuk membangun Pakistan, baik Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya, dll. Walaupun tidak secara gamblang diterangkan, namun akan terlihat jelas disini bagi sebagian massa yang menjunjung tinggi arti sebuah Nasionalisme Bangsa, bahwa penduduk muslim adalah penduduk sah Pakistan dengan adanya mayoritas dan minoritas kelompok dalam negeri. Dengan kata lain berarti penduduk non-muslim sebagai agama minoritasnya.

Sebagian orang akan berpendapat bahwa sebuah negarapun bisa maju bila mungkin tidak melahirkan beragam sekte khusus, atau menggolongkan penduduk ke dalam kelompok-kelompok tertentu, sehingga tidak menjadikan adanya kelompok minoritas dalam suatu negara. Seperti halnya fenomena agama minoritas di berbagai bahkan hampir di semua negara, termasuk Pakistan. Sebuah permisalan Zia ul Haq yang dikenal sebagai Presiden diktator militer Pakistan, saat beliau mencabut hak suara penduduk minoritas (non-muslim) dalam pemilihan. Dengan sistem hak suara yang terpisah antara muslim dan non-muslim maka akan menggeserkan peralihan suara pula. Kemudian Zia ul Haq juga membagi seluruh penduduk negeri ke dalam lima kelompok agama/kepercayaan dan tidak diperbolehkan bagi agama minoritas untuk memberikan suaranya atas orang muslim. Begitu pula tidak diperkenankan untuk memilih non-muslim (agama minoritas). Walhasil penduduk muslim akan lebih mengabaikan agama minoritas dan akan menjadikan mereka sebagai warga negara kelas dua atau tiga, layaknya “orang asing” di Tanah Air mereka sendiri, sebuah kampung halaman dimana nenek moyangnya telah tinggal sejak bertahun-tahun bahkan ribuan tahun lalu.

Sejak saat itulah maka dibentuk “The Raison d’etre”. Yang maksudnya tidak lain adalah suatu keadaan dengan adanya perbedaan atau perbandingan manusia ke dalam kelompok-kelompok. Karena tidak adanya alternatif lain yang dapat mereka ambil, dan hanya ada satu garis besar yang menyatakan bahwa masyarakat mayoritas dan tempat untuk masyarakat yang beragama minoritas. Pada konstitusi tahun 1973 dengan suara bulat, maka telah disetujui oleh seluruhnya usul perubahan dalam satu sekte disebutkan Ahmadiyah seperti halnya non-muslim yang dengan demikian menjadi agama minoritas. Ini juga termasuk di dalamnya penduduk Hindu, Kristen, dll.

Hal demikian merupakan konteks ideologi sebagai negara Islam, bahwa sistem pemilihan yang terpisah memberikan peranannya untuk suatu perusakan atau pembinasaan dalam pemerintahan ketika diktator militer memperkenalkan sebuah sistem tersebut yang mana bertujuan untuk membagi suatu Negara ke dalam jangkauan yang lebih luas lagi. Dengan kata lain, menjadikan masyarakat Kristen dan Hindu hanya bisa memberikan suaranya kepada agama mereka sendiri pada masa itu, yang kemudian lahirlah pusat pembangunan sumber daya manusia atau yang mereka sebut sebagai “Human Development Centre”. Tentu saja itu akan menimbulkan tekanan pada keharmonisan antar masing-masing kepercayaan yang ingin mempromosikan sebuah kesepakatan dan kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut. Salah satu alasan kenapa timbul banyak kerusakan dimana-mana adalah masih adanya pemisahan atau penggolongan masyarakat. Maka kita akan melihat sebuah fenomena dalam konteks nyata negara Pakistan, yaitu Negara yang berideologikan Islam kokoh dan kuat, yang kemudian akan nampak selanjutnya kibaran bendera agama minoritas yang mana mereka layaknya sekelompok orang asing dari segala segi dan dalam setiap level.

Membangun sosial Islam yang ideal haruslah memperhatikan kepada perkembangan pola kehidupan dan isu-isu sosial yang erat sekali kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam kasta, kepercayaan, warna, daerah, status ekonomi, dll., dengan tetap menjunjung tinggi norma-norma dan nilai akhlak.

Keselarasan antar kepercayaan yang sama sekali berbeda bukanlah kemewahan atau kesenangan, tapi justru merupakan sebuah keharusan yang mutlak. Ia mengalir dari ideologi negara dimana para muslim bersama-sama mengangkat dan memperbaiki aturan-aturan yang ada. Reformasi dan reformulasi atas ideologi ini mampu menghendaki keberanian yang besar dan kerja keras. Namun itu merupakan agenda pokok kekuatan liberal dalam negara. Tapi dalam kurun waktu terakhir ini, hal itu hanyalah mimpi semata. Realita yang menuntut adanya keselarasan antar agama, dimana muslim dan non-muslim berkolaborasi bersama untuk memajukan bangsa, bahu-membahu setiap hari dan bekerja biasa seperti penduduk lainnya dalam satu negara yang sama.

Tentunya sebagai muslim kita dapat mengerti apa saja yang diberlakukan dalam syariat Islam. Sunah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menghormati sesama, tidak merendahkan yang satu dari yang lainnya. Karena sebagai muslim kita harus percaya, bahwa agama dan Tuhan kita adalah yang benar. Namun kita tidak melupakan agama atau kepercayaan yang dianut oleh umat lainnya, tetap bertoleransi sesuai dengan batasan yang telah diatur dalam Islam. Begitupun juga telah dikatakan dalam pidatonya Muhammad Ali Jinnah, pada majelis konstitusi 11 Agustus, beliau mengatakan kepada seluruh masyarakat Pakistan pada masa itu: “ kalian bebas...kalian bebas untuk pergi ke kuil-kuil, kalian bebas untuk pergi ke masjid, atau tempat peribadatan lainnya di Pakistan. Kalian diperkenankan untuk beragama, berkasta, atau berkeyakinan apapun. Bahwasanya itu tidaklah menjadi urusan Negara, …dll…dll…dll…Pakistan Zindabad!.”

Sumber Bacaan:

1. Rauf, Abdul. Islamic Culture in Pakistan. Ferozsons, Lahore, 1994.

2. Sattar, Abdul. Pakistan’s Foreign Policy 1547-2005. Kagzy, Karachi, 2007.

3. Sidhwa, Bapsi. Ice-Candi-Man. Penguin book, India, 1988.