Saturday 5 May 2007

jadi Awam kok Bangga!!!!

Pada hari senin lalu saya menemui salah seorang dosen aqidah filsafat di kampus guna konsultasi tentang penulisan proposal thesis, ditengah diskusi kami tentang judul thesis, beliau menyinggung sikap para akademisi muslim saat ini -khususnya di Indonesia-, menurutnya permasalahan mendasar yang dialami oleh para akademisi muslim adalah miskonsepsi terhadap visi dan misi awal dari ilmu, bidang yang mereka geluti. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut?.
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini. Dan penyebab utama dari kerancuan konsep tersebut adalah pengaruh barat-sekular yang memberikan sekat dan batasan terhadap ilmu dengan dalih spesialisasi ilmu.
Pada tingkat perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep barat-sekular, sehingga lahirlah universitas Umum dan Universitas Islam. Konsep dasar ini jelas sangat rancu, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
Mahasiswa yang belajar ilmu umum, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya. Hal ini diakui oleh Adian Husaini dalam artikelnya di majalah hidayatullah.
Menurut perasaan mereka (mahasiswa fakultas umum, red.), mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, mahasiswa ushuluddin, syari’ah dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa yang belajar ilmu umum, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ilmu-ilmu agama lainnya.
Mereka biasanya sudah “puas” mendengar ceramah keagamaan, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui radio, telivisi maupun majalah dan surat kabar. Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu luang, dengan tenaga dan pikiran sisa. Anehnya lagi, mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak punya tanggung jawab sama sekali.
Biasanya, para mahasiswa atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama, dan merasa tidak bertanggung jawab atas segala problematika agama. “Saya kan bukan mahasiswa ushuluddin”, seloroh mereka. Ironis! Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.
Al ghazali telah menjelaskan konsep ilmu menurut Islam dalam Ihya’ Ulumuddin. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Yang kedua adalah ilmu fardhu kifayah, contohnya adalah ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi. Ilmu jenis ini diperlukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar keren-kerenan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia.
Ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Adian menegaskan dalam tulisannya, jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar? Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia.
Akhirnya, semoga tulisan pendek ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama sebagai mahasiswa muslim yang belajar di Universitas Islam tanpa memandang predikat fakultas ataupun jurusan yang kita tekuni, tulisan ini bukanlah untuk mendeskriditkan ilmu atau fakultas tertentu, tapi tidak lebih hanya sekedar sentilan buat kita atas kekeliruan pemahaman terhadap konsep ilmu dalam Islam, semoga kita bisa membawa amanat Islam sebagai agama yang universal rahmatan lil ‘alamin. Amin. (albi/red.)

No comments: