Monday, 7 May 2007

Menembus Batas, Mungkinkah? Akal dan Kebebasan Berpikir

MENEMBUS BATAS, MUNGKINKAH?
Analisa terhadap Akal dalam Wacana Kebebasan Berpikir
Hamdan Maghribi

We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve.
-Albert einstein-
Pendahuluan
Wacana kebebasan berpikir seringkali kita jumpai dalam setiap sudut pembahasan pengusung Islam Liberal di Indonesia. Ternyata paham ini bukanlah bahan dagangan baru dalam kancah filsafat dan pemikiran Barat. Pakar sejarah Barat seringkali merujuk motto Revolusi Perancis -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia -yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.
Di sini kita bisa melihat pengaruh sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” -sebuah doktrin yang kemudian diagung-agungkan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche sang “pembunuh Tuhan”.
Sebagai anak kandung Humanisme, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).
Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi.
Secara umum, tujuan mereka adalah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab suci, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-a-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan. Inilah yang kemudian mendapat kecaman keras dari pihak gereja. Kecenderungan-kecenderungan seperti inilah yang kemudian mereka sebut “modernisme”
Di dunia Islam paham liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu”. Mereka yang menjadi “liberal” antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M). (Lihat: Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998).
Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988).
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain.
Dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup beberapa hal yang terangkum dalam wujud pengagungan terhadap akal dan free thinking (kebebasan berpikir) -yang akhirnya berujung pada faham sufistha’iyyah, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik-. Menurut mereka free thinking berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja.
Pertanyaannya sekarang mampukah akal menembus batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh agama (baca: Islam)? Benarkah Bepikir dilarang? Bisakah akal berpikir bebas sebagaimana yang dikumandangkan kaum rasionalis? Dalam artikel singkat berikut penulis akan berusaha memjawab berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan wacana kebebasan berpikir tersebut diatas.

Posisi Akal dalam Islam
Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Allah berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk (Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), syari’at (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), mengambil ‘Ibrah atas umat terdahulu (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Fenomena lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak (dogmatis), tidak memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun, diberikan padanya kebebasan memilih, iman atau kufur (QS: al-Baqarah: 256). Bukti lain fenomena penghormatan terhadap akal, yakni adanya celaan terhadap Muqallidin (orang-orang yang taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya perintah memelihara akal dan larangan untuk merusaknya. Semua itu menunjukkan, betapa Islam begitu menghormati akal dan meletakkannya pada kedudukan dan posisi yang terhormat.
Meskipun demikian, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasus yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang tampaknya bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena’wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh ulama. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta’wil –sekarang lebih populer dengan nama hermeneutika-, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka dan sebagainya.
Memang kemerosotan umat Islam saat ini, mengutip pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan peradaban Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat. Tapi bukan berarti lantas kita dengan seenaknya menafsirkan nash dengan akal kita, dengan alasan kebebasan berpikir demi mengatasi krisis.
Maka tanggungjawab kita sebagai Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kebodohan. Yang menjadi kendala sekarang adalah kekeliruan epistemologi; ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan ini. Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Sangat disayangkan kemudian sebagian intelektual Muslim kita terpengaruh pemikiran Barat dan terperangkap dalam dikotomi; liberal-literal, objektif-subjektif, progresif-konservatif, teokrasi-demokrasi. Meraka lupa bahwa dikotomi tersebut berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernitas dan kemajuan manusia. Lantas dengan mebabi buta menerapkannya dalam Islam tanpa kritik.
Harus kita ketahui bahwa akal dan kebenaran yang diperolehnya tidaklah independent. Kebenaran sains harus tunduk kepada kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Paparan al Kindi dan ibn Rusyd tentang hubungan akal dan wahyu sangatlah patut kita gunakan sebagai contoh.
Kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal menggunakan metode yang benar. Al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal pikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya. Tidak ada dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, Al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkarannya yang sempit.
Kemunduran umat Islam dalam berpikir saat ini tidak ada kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat apapun ajaran yang dijadikan acuan (baca: al-Qur’an) tidak akan berarti kalau yang menjadikannya acuan tidak punya minat untuk mendalaminya dengan adil dan bijak. Harus disadari, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga harus dirubah dan disifati dengan liberal, substantif, inklusif, emansipatoris maupun sejenisnya, bukan pula salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki “ego” (khudi-meminjam istilah Iqbal) yang lemah.
Maka seharusnya yang menjadi perhatian dalam mempelajari pemikiran dan filsafat Barat adalah tujuannya. Tujuan dalam mempelajari pemikiran barat harus diletakkan sebagai perbandingan dan bukan mengekor dan atau selalu mengamini setiap ajarannya karena sebagai seorang Muslim kita telah memiliki worldview dan framework tersendiri dalam berpikir. Kita memang tidak memungkiri ide-ide cemerlang pemikir Barat seperti konsep cogito ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge is powernya Foucault, namun bukan berarti lantas kita mengagung-agungkan dan mensakralkannya tanpa kritik.



Semua ada batasannya
Untuk lebih jelasnya, marilah kita renungi bersama beberapa pertanyaan yang seringkali menggoda alam pikir kita berikut; mengapa kita dilahirkan dalam berbagai keterbatasan? Mengapa indera kita tak mampu mencapai semua hakikat kebenaran? Mengapa kita tak mampu mengindera Tuhan? Kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai keterbatasan?
Untuk membuktikan keterbatasan akal kita mari kita tinjau beberapa analog berikut. Pertama, Mata kita begitu terbatas. Kita tak mampu melihat sesuatu yang terhalangi. Bahkan, mata kita pun terbatas pada sesuatu yang tak terhalangi. Rembulan di malam hari terlihat hanya sebesar bola basket di mata kita. Gugusan bintang hanya terlihat sebesar titik saja di langit yang luas. Begitu terbatasnya mata pada benda yang nyata (fisik) dan tentu saja mata kita lebih terbatas pada benda atau hal yang melampaui nyata (metafisik).
Kedua, Telinga kita pun demikian. Kita tak mampu mendengar bisikan hati teman kita, sekalipun ia ada di samping kita. Telinga kita tak mampu mendengar suara yang halus di sekitar kita. Telinga kita benar-benar terbatas. Telinga hanya bisa mendengar bunyi, sesuai dengan kemampuan pendengarannya yang terbatas.
Ketiga, Hidung kita pun terbatas pula. Kekuatan penciuman kita benar-benar terbatas. Kita hanya bisa mencium bau yang ada di sekitar kita. Tak mampu hidung mencium bau yang jauh dari tempat kita berada. Seluruh organ-organ kita tak mampu melebihi batas-batasnya. Pada intinya, kita benar-benar terbatas. Untuk mencerap alam di sekitar kita saja, kita terbatas dan tentu saja alam “di luar” kita pun terbatas untuk di cerap. Semua indera kita terbatas.
Lalu kenapa kita diciptakan terbatas? Bayangkan jika mata kita tak terbatas. Mampu melihat dibalik dinding kamar mandi tetangga. Mampu melihat apa yang seharusnya tersembunyi. Mampu melihat bakteri yang melayang-layang diudara, kuman yang berkeliaran dalam minuman dan makanan kita. Bayangkanlah jika hidung kita mampu mencium bau yang ada di dalam tubuh kita sendiri.
Bayangkan pula jika telinga kita melebihi batasnya. Bayangkan jika kita mampu mendengar semua kebisingan yang ada. Mampu mendengar suara-suara yang mengerikan. Mampu mendengar suara-suara di dalam tubuh kita. Padahal melihat darah yang mengucur saja tidak jarang dari kita yang ngeri. Mencium bau yang sedikit busuk saja sudah jijik. Mendengar suara bising saja kepala pusing. Bayangkanlah jika diri kita tak terbatas.
Lantas bagaimana halnya dengan akal kita?. Akal kita tak akan mampu menembus batas-batas yang telah ditentukan olehNya. Akal kita tak mampu (dan tak akan pernah mampu) mengetahui diriNya secara nyata, karena Allah terhalang oleh hijab. Kita hanya bisa mengetahui keberadaan Allah, melalui kabar yang diturunkanNya kepada Rasulallah Saw. Akal kita benar-benar terbatas. Jangankan menghadapi diriNya Yang Maha Agung, untuk menghitung jumlah rambut kita saja akal akan mendapat kesulitan. Memikirkan sistem dalam tubuh kita pun, akal harus tunduk pada fakta penciptaan yang nyata. Akal kita tidak dapat memikirkan ada apa sebelum kita. Jika pun kita memikirkannya, kita tak akan mampu memahaminya. Hanya kepercayaan kepada Allah sajalah yang dapat kita lakukan.
Cangkir hanyalah bisa menampung air yang sesuai dengan kadar ruang tampungnya, tidak mungkin kita menuangkan air seember kedalam cangkir tersebut. Bukanlah cangkir itu rusak atau salah, tetapi cangkir itu terbatas dan tak akan mampu melampaui batasnya. Demikian pula halnya akal budi kita. Bukanlah dirinya yang salah atau rusak ketika memikirkan Tuhan, tetapi karena ia terbatas.
Lantas, apakah ini sebuah sikap yang pesimis terhadap kebenaran? Sama sekali tidak! Ini hanya pengakuan dan kesadaran akan keterbatasan diri. Kita mampu mengetahui Allah Swt dengan benar melalui pengabaran diriNya tentang diriNya sendiri melalui Al Quran. Akan tetapi pengetahuan kita tentangNya tentu terbatas pada apa yang ia kabarkan tentang diriNya tersebut.

Penutup
Dengan menyadari keterbatasan dan kelemahan kita, tentu kita akan senantiasa sujud menyerah kepadaNya. Kita patuhi semua kehendak dan takdirNya. Tapi bukan berarti ini menggiring kita pada fatalisme. Sekali lagi ini hanya kesadaran keterbatasan diri. Oleh karena itu kita harus yakin bahwa hukum-hukum Allah memang begitu.
Dengan demikian, kita tak akan lagi perlu menanyakan keadilan Allah. Tentang ‘kenapa benyak orang jahat yang diberi kesenangan, dan banyak orang beriman yang menderita padahal Allah Maha Kuasa’. Allah Swt memiliki banyak rahasia yang tak tergapai oleh kita. Di mana letak sorga dan neraka? Tak perlu lagi dipertanyakan karena akal kita terbatas, sedang letak imajinasi atau khayalan saja, yang senantiasa bersama kita, tak mampu dijelaskan. Di mana terjadinya mimpi saja tak mampu kita terangkan. Padahal mimpi senantiasa menemani kita di saat tidur. Padahal kita tak mampu menjelaskan bentuk nyata alam bawah sadar. Kita terbatas. Oleh karena itu kita harus menyandarkan diri kita pada hal yang melebihi diri dan semua makhluk yang ada. Dia lah Allah Swt.
Keterbatasan sudah merupakan sunatulallah, sesuai dengan keadaan semesta, sesuai dengan takaran keberadaan segala sesuatu di luar diri kita, sesuai dengan fitrah penciptaan. Sementara itu, Allah telah melebihkan sebagian manusia di antara manusia lainnya. Ada para Nabi yang mampu menembus batas-batas manusia biasa. Hal sedemikian itu merupakan bentuk lain kasih sayang Allah Swt atas diri kita. Dengan adanya para Nabi, kita mampu mengetahui apa yang harus kita lakukan di alam dunia. Kita di tuntun untuk menapaki jalan yang benar, yang ia turunkan kepada para Nabi. Akal kita terbatas dan tidak akan mampu untuk mengetahui perintah Allah Swt yang dapat menuntun kita menuju jalan keselamatan. Oleh karena itu Allah menurunkan perintah itu kepada Nabi.
Upaya-upaya untuk menembus batas memang kerap dilakukan oleh manusia. Saat ini, batas sudah tak lagi dihiraukan. Sebagian manusia berlomba-lomba melampaui batas. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa kita tak pernah kemana-mana. Kita tetap dalam keterbatasan kita.
Akhirnya, marilah kita melihat pernyataan Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya The Need for Sacred Knowledge, yang menawarkan sebuah konsep integral antara sains (akal) dan agama, yaitu sains suci (sacred science). Dengan sains suci, Nasr mencoba untuk mengatakan bahwa agama dan sains dapat bersatu. Karena, sains suci, yang merupakan sains tertinggi, mempunyai kaitan erat dengan prinsip-prinsip Ilahiah dan manifestasinya. Ia adalah pengetahuan yang bersemayam dalam manusia, seperti juga pengetahuan yang dimengerti lewat wahyu. Sains suci bukanlah pengetahuan metafisika, akan tetapi merupakan suatu ilmu yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip metafisika kepada makrokosmos dan juga mikrokosmos. Kata kuncinya adalah totalitas dan kesatuan. Menurutnya, sains modern, walaupun berkorepondensi dengan realitas, namun tidak akan melampaui fenomena. Karena, jika hanya pada tingkat fenomena, manusia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekosongan.
Islam memang menyeru umatnya untuk selalu berpikir dan menggunakan akalnya, tapi harus selalu diingat, semuanya itu ada batasnya. Maka diakhir tulisan ini penulis mengajak untuk merenungi ungkapan einstein pada awal tulisan ini. We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve. Allahumma arina al haqqa haqqa warzuqna ittiba’ah. (albi_4eva)


Referensi
Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Knowledge, Suhail Academy, 2000.
Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988.
Hassan as Syafi’i, At-Tayyar al-Masyai fi al Falsafah al Islamiyyah, Cairo, 1998.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Routledge, London, 2003.
Farhad Daftary (ed), Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (terj. Fuad Jabali, Udjang Tholib) Erlangga, Jakarta, 2002.

No comments: