Saturday 5 May 2007

sakral II

Sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain, filsafat sebagai salah satu bentuk approach (metodologi pendekatan keilmuan, red) menurut Bertrand Russel seringkali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, materialisme, positivisme dan seterusnya yang berkembang sepanjang sejarah pemikiran filsafat (history of Philosophy). Yang membedakan wilayah pertama dari yang kedua adalah bahwa wilayah pertama bersifat keilmuan, open ended dan dinamis, sedang yang kedua terkesan ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif sedang yang kedua eksklusif, seolah-olah tersekat-sekat oleh perbedaan tradisi, kultur, latar belakang pegumulan sosial dan bahasa.
Maka akan wajar jika orang bertanya: lantas model manakah –yang pertama atau yang kedua- yang relevan digunakan untuk memahami dan mengkaji permasalahan ketumpangtindihan antara dimensi normativitas dan historisitas keberagamaan umat manusia dan fenomena overlapped antara wilayah sakralitas dan profanitas? Tentunya hanya model pendekatan filsafat model pertamalah yang tepat dan cocok untuk diapresiasi dan diangkat kembali kepermukaan pada era multikultural dan multirelijius dan bukannya filsafat sebagai faham dan ideologi atau aliran tertentu yang bersifat tertutup, eksklusif, final dan statis.
Filsafat sebagai pendekatan keilmuan setidaknya ditandai antara lain dengan tiga ciri.
Pertama, kajian, telaah dan penelitian filsafat selalu terarah kepada pencarian ide-ide dasar atau gagasan yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas) terhadap objek persoalan yang dikaji. Ide atau pemikiran fundamental biasanya diterjemahkan dengan istilah teknis kefilsafatan sebagai al falsafah al-ula, substansi, hakekat atau esensi. Pemikiran ini bersifat umum, mendasar dan abstrak. Sebagai contoh: konsepsi atau pemikiran fundamental tentang Islam atau Kristen adalah lebih fundamental, general atau lebih abstrak daripada mu’tazilah (untuk Islam) atau anglikan (untuk Kristen). Tetapi istilah Islam, Kristen, Budha dan Hindu masih kalah sifat kefundamentalannya dibandingkan dengan keagamaan (religiositas) pada umumnya. Oleh karenanya, secara akademik-keilmuan pertanyaan tentang hakekat dan strukrur fundamental keagaamaan manusia yang sesungguhnya jauh lebih menarik perhatian pendekatan filsafat daripada pertanyaan apakah itu agama Islam, Kristen Budha ataupun Hindu dan begitu seterusnya.
Kedua, pengenalan, pendalaman persoalan dan isu-isu fundamental dapat membentuk cara berfikir yang bersifat kritis (critical thought) pencarian esensi dan substansi, melatih orang dan juga kelompok untuk tidak mudah terjebak dan terbelenggu oleh kepentingan historis-kultural yang cuma temporal-sesaat. Pendekatan filsafat pada umumnya selalu mengutamakan sikap mental yang neutral secara intelektual, dalam arti mampu mengambil jarak dan tidak cepat-cepat memihak pada kepentingan tertentu.
Ketiga, kajian dan pendekatan filsafat yang bersikap demikian diharapkan akan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda, serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.
Ketiga prinsip tersebut diatas selalu mewarnai diskursus filsafat sebagai metodologi keilmuan yang khas. Corak pendekaan seperti itulah yang membedakannya dari corak pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, historis dan seterusnya.
Dengan sikap dan pandangan seperti itu, pendekatan keilmuan filsafat selalu memberi angin segar –setidaknya secara teoritis- untuk membuka berbagai kemungkinan-kemungkinan serta pilihan-pilihan baru yang kadang sulit mucul dari disiplin-disiplin keilmuan praktis dan kondisi sosial-politik yang sudah mapan dan memihak. Tidak salah apabila pendekatan filsafat kadang disifati sebagai pendekatan yang rasional, kritis, reflektif dan argumentatif lantaran caranya dalam menyelesaikan permasalahan dan konflik selalu bebeda dengan yang dilakukan oleh para pendukung kelompok kepentingan sosio-kultural yang ada dan mapan pada umumnya.
Sayang sekali, jenis pendekatan fundamental philosophy (al falsafah al-ula) seperti yang dikemukakan al Farabi dan at Thusi masih kalah populer dengan semangat penyebaran kalam atau teologi Islam pada umumnya. Pada umumnya pendekatan kalam dalam Islam adalah sama dengan pendekatan teologis dalam dunia Kristen, hanya muatannya saja yang berbeda. Menurut saya, besar kemungkinan karena pendekatan filsafat berbeda dengan kalam -filsafat sejak awal mula berangkat memang sudah tidak akan berpihak pada kelompok tertentu, menjadikannya tidak populer-. Bagaimana tidak, bukankah tujuan ilmu kalam yang terpokok adalah menolak orang-orang yang berbeda pandangan dari kita Sangatlah berseberangan dengan pandangan fundamental philosophy?.
Menurut penelitian Muhammad ‘Abid al Jabiry, hampir 400 tahun, literatur kalam menentang dan menyerang filsafat yang secara kebetulan sebagian penulis filsafat saat itu memang lebih bersifat “spekulatif”.
Agenda penelitian untuk membangun kerangka metodologi fundamental philosophy (al falsafah al ula) yang dikaitkan langsung dalam bidang studi agama-agama dan studi keIslaman yang bertujuan memberi masukan untuk pemecahan persoalan pluralitas keagamaan adalah ibarat mencari jarum yang jatuh dalam kegelapan malam. Barang siapa yang tidak merasa menjatuhkannya akan bersikap apatis, tetapi bagi yang merasa menjatuhkannya ia akan merasa sungguh bersalah (sense of guilty), karena ia yakin bahwasanya jarum tersebut pasti ada disekitar tempat ia berada, hanya saja dia perlu lentera untuk menerangi tempat sekitar jatuhnya jarum tersebut. Lentera tersebut adalah merupakan bertemunya tiga elemen keilmuaan bidang agama, yaitu pertemuan diaolgis yang kritis antar ilmu-ilmu yang mendasar pada teks keagamaan (naql; bayani; subjective) dan ilmu yang berdasarkan pada kecermatan akal dalam memahami realitas sosiologis-antropoligis perkembangan kehidupan beragama (aql; burhani; objective) serta ilmu-ilmu yang lebih menyentuh kedalaman hati nurani manusia (qalb; ‘irfani; intuitif) adalah salah satu cara dari kesekian banyak cara yang patut dipertimbangkan dalam upaya rekonstruksi tersebut. wallahu a’lam. (albi)
concluded

No comments: