Saturday 5 May 2007

sakral I

Dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi single face. Agama tidak lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Selain ciri yang memang mengansumsikan bahwa ketuhanan adalah persoalan terpokok dari agama, agama ternyata juga terkait dengan persoalan historis-kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka. Dari banyak studi historis-empiris terhadap fenomena agama, bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai interest yang melekat dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.
Percampuran antara agama dan kepentingan sosial kemasyarakatan tidak mudah lagi disaring dan dijernihkan duduk pemasalahnnya. Keduanya telah saling berkait sedemikian rupa, sehingga sulit dibedakan mana wilayah agama dan mana wilayah interest historis-kultural yang melekat didalamnya. Berbeda dengan keilmuan non-agama, para ilmuwan akan dengan mudah memilah mana wilayah pure sciense dan mana pula wilayah applied science. Para penganut agama -awam maupun cendekiawannya-, sungguh merasa kesulitan untuk memilah secara tegas dan membedakan wilayah antara keduanya.
Dalam wilayah diskursus keagamaan, semua permasalahan yang diperdebatkan seolah-olah masuk dalam kategori ilmu terapan eksklusif ta’abbudi. Sulit sekali mencari dimana letak ilmu dasar yang bersifat inklusif ta’aqquli, atau memang mungkin tidak ada ilmu dasar dalam agama, yang diharapkan darinya dapat menjadi tali penghubung antar pengikut agama yang satu dan yang lainnya?
Menurut hemat saya, akan bijak apabila pengalaman keagamaan diibaratkan berada pada isi ilmu terapan. Maka secara sadar ataupun tidak sesungguhnya umat beragama juga mempunyai ilmu dasar. Mencari rumusan yang tepat dan mempertimbangkan kembali khazanah ilmu-ilmu dasar dalam ilmu-ilmu agama diharapkan oleh banyak kalangan dapat disumbangkan untuk memecahkan permasalahan keagamaan dewasa ini.
Unsur sakralitas atau taqdis al afkar ad diniyah (meminjam istilah arkoun) yang termuat dalam agama menambah rumitnya persoalan. Dalam hal ini, semua wilayah perbincangan dan persoalan keagamaan yang sebenarnya profan (mu’amalah maan nas; dzanniyyu ad dalalah) terikut-ikut disakralkan. Jargon SARA di Negara kita merupakan contoh riil bagaimana cara berpikir masyarkat kita terhadap agama. Konsekwensi logisnya, tindakan pensakralan terhadap suatu doktrin agama akan membentuk sikap dan perilaku eksklusif dan tertutup, melarang diskusi dan pertanyaan keagamaan, apalagi mengkritik dan menelaah ulang secara tajam-kritis-akademis.
Dalam diskursus filsafat ilmu kontemporer, para filosof dan ilmuwan secara transparan dan tanpa beban psikologis dapat menjelaskan kekurangan dan kelemahan konsepsi yang melekat dalam pandangan rasionalisme, empirisisme, logical-positivisme dan lainnya. Sesungguhnya meskipun demikian, ilmu pengetahuan sarat dengan beban muatan historis-kultural-sosiologis bahkan juga “politis”. Ilmu agama dan teologi old fashion agaknya sulit meniru jejak filsafat keilmuan.
Dengan demikian pengalaman keagamaan dalam wilayah applied science agak sulit bersentuhan dan berdialog dengan filsafat agama, lantaran klaim “otoritas kitab suci”, atau barangkali lebih tepat disebut “klaim otoritas kelembagaan para ulama dan pemuka agama”.
Dalam kondisi masyarakat yang homogen secara keagamaan, seperti Pakistan misalnya, anggapan atau klaim tersebut tidaklah begitu menjadi soal (meskipun persoalan internal dalam masing-masing kelompok sesungguhnya tetap saja ada). Tetapi dalam masyarakat kita yang bersifat heterogen, plural dan majemuk, menomorsatukan sakralitas dan normativitas dengan menepis sisi historisitas akan sangat menggelisahkan, arkoun mengumpamakan situasi yang demikian dengan sabbu az zait ‘ala an nar (menyemprotkan minyak pada kobaran api).
Dari uraian singkat diatas, dapat digarisbawahi bahwa dalam wilayah sosial-keagamaan umat manusia ada wilayah yang disebut sakral dan profan, normativitas dan historisitas. Dalam praktek, antar keduanya saling bercampur aduk (overlapped). persoalannya sekarang adalah pendekatan manakah yang sesuai dengan permasalahan keagamaan di Negara kita yang multi-religius dan multi-kultural ini? Kita masih menanti jawaban dan tindakan kongkrit para cendekiawan muslim kita. Namun akan muncul lagi pertanyaan yang lebih fundamental. Mampukah ulama dan cendekiawan kita mengatasi permasalahan yang sudah terlanjur kompleks tersebut? Menurut anda? (albi)
to be concluded.

No comments: