Alfina Hidayah
Peradaban seringkali dimaksudkan sebagai nilai-nilai, kepercayaan, materi atau substansi-substansi, keilmuan, adat-istiadat yang terdapat pada sekelompok masyarakat. Semenjak awal manusia diciptakan yaitu nabi Adam as dan istrinya Hawa, maka dari keturunannya-lah peradaban manusia bermula dan terus berkembang, termasuk didalamnya para nabi dan rasul pada zaman, kondisi serta tempat yang berbeda-beda.
Beribu tahun lamanya peradaban manusia terus berjalan, hingga munculnya peradaban Mesir kuno yang dikenal sebagai peradaban tertua di dunia Timur, yaitu berkisar sekitar 4000 tahun sebelum Masehi. Pada masyarakat ini telah ditemukan banyak kemajuan berbagai bidang, diantaranya yang berkaitan dengan keilmuan, sosial, dll. Salah satu contoh tersebut adalah ilmu matematika, untuk pertama kalinya telah ditemukan di negeri ini, kemudian muncul pula ilmu handasah dan Astronomi. Hal tersebut mempunyai pengaruh yang tidak ‘remeh’ atas kemajuan India dan Iraq dalam ilmu berhitung, Yunani dalam ilmu handasah, dan Arab dalam ilmu aljabar. Fenomena ini terjadi karena peradaban India, Iraq, Yunani dan Arab mulai berkembang dan maju setelah peradaban Mesir kuno hadir ribuan tahun sebelumnya.
Kemudian Babilonia dan Syuria muncul dengan perkembangan ilmunya yang sedikit banyak merupakan persilangan budaya dengan Mesir kuno, disamping juga karena mereka rata-rata bermata pencaharian sama sebagai pedagang, sehingga berbagai ilmu telah berkembang di tanah Babilonia dan Syuria. Seperti ilmu berhitung, Astronomi, ramalan (prakiraan) cuaca dan kalender tahunan. Kemajuan yang ada pada masa itu akhirnya terus tumbuh dan meluas hingga Persia, India dan Cina. Dalam masyarakat India sendiri telah berkembang ilmu matematika dengan bermacam-macam bagiannya. Ilmu logika untuk pertama kalinya didirikan dengan berbagai pokok pembahasan sebelum munculnya ilmu logika yang disusun oleh Aristoteles. Banyak ditemukan pemikiran filsafat yang lebih kompleks dan jauh lebih maju dari peradaban-peradaban sebelumnya. Para ulama India dikenal sebagai gurunya Pythagoras (ahli matematika) dari Yunani, namun sayang hal itu banyak di ingkari oleh para penerusnya, dengan mengatakan bahwa Pythagoras-lah pendiri dan pionir Ilmu matematika. Begitu juga para ulama India terdahulu, mereka adalah ‘guru’ bangsa Arab dalam ilmu berhitung, handasah, dan Astronomi.
Setelah sekian lama peradaban manusia mengukir kejayaannya di Timur, muncul Barat beberapa ribu tahun kemudian. Peradaban baru itu diawali dengan munculnya kajian filsafat pada abad ke-6 SM. Adalah Thales yang diakui oleh Aristoteles sebagai filosof pertama Yunani. Filsafat kian pesat berkembang di negeri ini (Yunani) melalui kiprah filosof kenamaan Socrates, Plato dan Aristoteles yang bermuara di sebuah sudut kota bernama "Athena".
Barat telah merubah dunia dengan wujud peradaban baru yang bermula dari Yunani, mereka mengumandangkan slogan ‘Barat adalah pelopor ilmu pengetahuan dan kebudayaan’. Padahal sejarah telah mencatat sekian banyak peradaban-peradaban maju dan berkembang di belahan Timur bila hanya dibandingkan dengan kota Athena yang besarnya sama sekali tak sebanding dengan Mesir kuno, Babilonia, Syuria, Persia, India dan Cina. Disini bangsa Eropa berpandangan bahwa peradaban yang ada di Timur itu hanyalah sebuah kemiripan saja dan terikat (berkaitan) dengan agama atau akidah-akidah masyarakat mereka, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai awal berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia. Namun ungkapan tersebut telah dibantah oleh bangsa Timur, dengan mengatakan bahwa sejarah itu berjalan dari masa lalu (lampau) ke masa yang baru (depan). Fenomena yang ada di timur merupakan perjalanan masa yang mendahului barat, maka segala pengaruh-pun akan datang dari yang lama kepada yang baru, bukan sebaliknya. Sedangkan Thales (6 SM) yang diakui Aristoteles sebagai filosof pertama, bagaimana-pun ia telah berguru ke timur (India), karena pada masa tersebut India dan bangsa-bangsa lain yang ada di Timur sudah banyak berkembang. Dengan demikian barat sendiri telah mengingkari kebenaran sejarah.
Peradaban Yunani (barat) yang kini banyak digaungkan sebagai kiblat dunia modern, tentu tidak bermula hanya dari satu unsur tapi disana ada sebuah proses adaptasi dengan lainnya , begitu juga dengan Islam. Islam telah beradaptasi dengan berbagai peradaban sebelumnya tapi disana ada proses filterisasi yang baik, dengan berpedoman kepada worldview Islam. Dengan singkat kita dapat menyimpulkan bahwa selama berjalannya sejarah peradaban manusia tidak kita temukan adanya peradaban yang sejati, yang ada yaitu peradaban dan kebudayaan yang saling berinteraksi dan beradaptasi, yang kemudian diperlukan dalam prosesnya adalah filter atau penyaring. Seperti yang dikemukakan oleh Claude Bernard, seorang tokoh logika modern: "Suatu paham itu tidak ada yang baru, yang ada adalah saling mengadopsi, mereformasi dan menambahi." Jadi tidak ada teori atau isme-isme yang tetap dan benar, karena yang haq dan abadi hanyalah Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya. Wallahu A'lam Bisshowab. (Anna,26/3/08).
Referensi:
Dr. Mansyawi Abd Rahman, Fi tarikh al fikr al falsafi, Dar Al saqafah Al ‘arabiyah, Cairo, 1999
Jostein Gaarder, Sophie's World, New York, 1994
Dr. Abdul Hamid Madkur, Dirasat fi ‘Ilmi al Akhlaq, Maktabah al Syabab, 1990
*Disampaikan penulis pada acara "Berbagi Ilmu", yang diselenggarakan oleh bagian Keputrian IKPM, kamis 13 Maret 2008.
Thursday, 24 April 2008
TENTANG WANITA
Alfina HM
Sejarah sudah banyak mencatat perkembangan kehidupan manusia, bahkan dari awal mula mereka diciptakan. Baik di kaji dari sudut pandang ilmiah ataupun agama. Tak lepas dari itu semua, kiprah wanita-pun mulai dipertanyakan dalam sepanjang legenda manusia itu sendiri, karena besar dan pesatnya kemajuan berbagai bidang yang sudah ditempuh hingga saat ini, jelas bukan hanya kaum adam saja yang telah hidup ribuan tahun. Disana ada wanita yang selalu exist, yang menemani, mengabdi, membantu, bahkan yang melahirkan dan membesarkan anak-cucu mereka. Tapi lagi-lagi kemana sejarah telah bercerita tentangnya, bagaimanakah kehidupan membawa dan memperlakukan, kenapa dunia sekian lama mengabaikannya, ataukah sebenarnya wanita yang melupakan dirinya …?!
Fenomena pahit seringkali dirasakan wanita hampir pada setiap periode peradaban manusia. Dari kisah nabi Adam as dan Hawa sebagai manusia pertama, yang oleh sebagian agama berpendapat bahwa Hawa-lah penyebab Adam melakukan dosa hingga diturunkan Tuhan ke dunia. Kemudian munculnya peradaban Mesir kuno, Babilonia, Persia, India, Cina, dengan memperlakukan wanita tak lebih dari seorang budak, hidupnya pun harus rela berakhir dengan kematian suami, dibakar ataupun dikubur hidup-hidup bersama mayat suami, menjadi korban sesembahan kepada alam atau dewa-dewa. Dan bahkan di Barat sendiri yang dipelopori oleh Yunani kuno dan Romawi sebagai peradaban tertua di Barat, keberadaan wanita masih berlabelkan sama, yaitu manusia nomer dua, setengah manusia, atau dengan meminjam istilah Aristoteles, seorang filosof abad ke-4 SM: "A woman was an un-finished man…", mereka menyekap wanita-wanita terhormatnya dalam istana, memperjual-belikan para wanita dari rakyat biasa, memperlakukan istri-istri mereka semaunya, menjual, mengusir, menganiaya atau bahkan membunuhnya. Kemudian dalam masyarakat Arab jahiliyah sendiri, berapa banyak bayi-bayi perempuan yang telah "dipaksa mati" oleh keluarganya ?! dan lain sebagainya.
Ribuan tahun dunia telah “dihujani” air mata dan rintihan kepedihan wanita, ribuan tahun pula mereka memohon kehidupan terhormat untuk kaumnya, hingga datanglah risalah Rasulullah Saw rahmatan untuk semesta alam. Islam hadir sebagai agama dan peradaban yang sempurna. Ajarannya telah mengangkat martabat wanita dari kehinaan dan memberikan hak yang sama kepada para umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak memarginalkan salah satu dari keduanya, sesuai dengan fungsi masing-masing. Bahkan pada masa Rasulullah Saw, wanita dapat beraktivitas diluar rumah seperti halnya laki-laki, berjihad, berjamaah di masjid, menghadiri khutbah Rasulullah Saw, mengikuti pertemuan sahabat Nabi, serta masih banyak lagi kebebasan-kebebasan lainnya. Akhirnya tangis para ibunda terdahulu-pun terhapus dengan kejayaan Islam sebagai tuntunan yang mengajarkan norma-norma kehidupan terhormat dan terpuji. Dengan demikian, munculah tokoh-tokoh wanita yang berkiprah dalam bidangnya, diantaranya: Khodijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah SAW), Fatimah Binti Muhammad Saw, Aisyah binti Abi Bakar (istri Rasulullah Saw), Asy-Syifa (guru wanita pertama Islam), Rufaidah (Pendiri rumah sakit dan Palang Merah pertama), Zubaidah (Istri Harun Ar-Rasyid), Qohromanah (Hakim wanita pertama), Laila Katun (pahlawan wanita pada perang salib), Ummu Kholil (Penguasa Mesir), Qoro Fatimah Khanum (Pemimpin perang), dan lain-lain. Ternyata wanita tak selamanya akan terpuruk dan terbelakang seperti zaman-zaman sebelumnya, kini Islam telah menjawabnya. Lain dulu, kemarin, dan lain sekarang. Kemajuan wanita dan kebebasan berkiprah tak semulus sebagaimana pada zaman Rasulullah Saw, di satu sisi terdapat kelompok yang justru mengadopsi persepsi-persepsi keagamaan yang cenderung memojokkan perempuan, sehingga tak heran kalau kita menemukan di era yang serba modern sekarang ini, masih ada perlakuan dan sikap-sikap seorang muslim sebagaimana masa jahiliyah pra Islam dahulu. Dimana seorang ayah ataupun suami yang mengekang wanitanya dirumah dengan tugas-tugas domestik, tanpa memberikan kesempatan untuk beraktifitas, apalagi mengembangkan potensi mereka. Sehingga kaum lelaki bisa semaunya sendiri menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan mereka, memposisikan wanita di urutan kedua, dan bisa berbuat semena-mena terhadap para wanitanya. Disisi lain, terdapat juga kelompok aktifis feminisme yang menghalalkan segala hal untuk menuntut kesetaraan gender atau persamaan hak yang berdasar keinginan dan kesenangan mereka sendiri, tanpa memandang kemaslahatan bersama (membabi-buta). Sebagai reaksi dari dua fenomena di atas, maka munculah para pembela kaum hawa yang ikut memperjuangkan kredibilitas dan hak-hak wanita, mereka kembali memberikan porsi dan posisi yang seimbang untuk wanita, kesempatan berkiprah dan lain sebagainya, pintu untuk membangun peradaban baru kembali digaungkan, gerbang sukses dalam segala bidang telah dibentangkan. Namun justru ketika dunia memperhatikan mereka, menuruti tuntutan-tuntutannya, malah banyak dari mereka berbalik mengabaikan itu semua.
Sejarah sudah banyak mencatat perkembangan kehidupan manusia, bahkan dari awal mula mereka diciptakan. Baik di kaji dari sudut pandang ilmiah ataupun agama. Tak lepas dari itu semua, kiprah wanita-pun mulai dipertanyakan dalam sepanjang legenda manusia itu sendiri, karena besar dan pesatnya kemajuan berbagai bidang yang sudah ditempuh hingga saat ini, jelas bukan hanya kaum adam saja yang telah hidup ribuan tahun. Disana ada wanita yang selalu exist, yang menemani, mengabdi, membantu, bahkan yang melahirkan dan membesarkan anak-cucu mereka. Tapi lagi-lagi kemana sejarah telah bercerita tentangnya, bagaimanakah kehidupan membawa dan memperlakukan, kenapa dunia sekian lama mengabaikannya, ataukah sebenarnya wanita yang melupakan dirinya …?!
Fenomena pahit seringkali dirasakan wanita hampir pada setiap periode peradaban manusia. Dari kisah nabi Adam as dan Hawa sebagai manusia pertama, yang oleh sebagian agama berpendapat bahwa Hawa-lah penyebab Adam melakukan dosa hingga diturunkan Tuhan ke dunia. Kemudian munculnya peradaban Mesir kuno, Babilonia, Persia, India, Cina, dengan memperlakukan wanita tak lebih dari seorang budak, hidupnya pun harus rela berakhir dengan kematian suami, dibakar ataupun dikubur hidup-hidup bersama mayat suami, menjadi korban sesembahan kepada alam atau dewa-dewa. Dan bahkan di Barat sendiri yang dipelopori oleh Yunani kuno dan Romawi sebagai peradaban tertua di Barat, keberadaan wanita masih berlabelkan sama, yaitu manusia nomer dua, setengah manusia, atau dengan meminjam istilah Aristoteles, seorang filosof abad ke-4 SM: "A woman was an un-finished man…", mereka menyekap wanita-wanita terhormatnya dalam istana, memperjual-belikan para wanita dari rakyat biasa, memperlakukan istri-istri mereka semaunya, menjual, mengusir, menganiaya atau bahkan membunuhnya. Kemudian dalam masyarakat Arab jahiliyah sendiri, berapa banyak bayi-bayi perempuan yang telah "dipaksa mati" oleh keluarganya ?! dan lain sebagainya.
Ribuan tahun dunia telah “dihujani” air mata dan rintihan kepedihan wanita, ribuan tahun pula mereka memohon kehidupan terhormat untuk kaumnya, hingga datanglah risalah Rasulullah Saw rahmatan untuk semesta alam. Islam hadir sebagai agama dan peradaban yang sempurna. Ajarannya telah mengangkat martabat wanita dari kehinaan dan memberikan hak yang sama kepada para umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak memarginalkan salah satu dari keduanya, sesuai dengan fungsi masing-masing. Bahkan pada masa Rasulullah Saw, wanita dapat beraktivitas diluar rumah seperti halnya laki-laki, berjihad, berjamaah di masjid, menghadiri khutbah Rasulullah Saw, mengikuti pertemuan sahabat Nabi, serta masih banyak lagi kebebasan-kebebasan lainnya. Akhirnya tangis para ibunda terdahulu-pun terhapus dengan kejayaan Islam sebagai tuntunan yang mengajarkan norma-norma kehidupan terhormat dan terpuji. Dengan demikian, munculah tokoh-tokoh wanita yang berkiprah dalam bidangnya, diantaranya: Khodijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah SAW), Fatimah Binti Muhammad Saw, Aisyah binti Abi Bakar (istri Rasulullah Saw), Asy-Syifa (guru wanita pertama Islam), Rufaidah (Pendiri rumah sakit dan Palang Merah pertama), Zubaidah (Istri Harun Ar-Rasyid), Qohromanah (Hakim wanita pertama), Laila Katun (pahlawan wanita pada perang salib), Ummu Kholil (Penguasa Mesir), Qoro Fatimah Khanum (Pemimpin perang), dan lain-lain. Ternyata wanita tak selamanya akan terpuruk dan terbelakang seperti zaman-zaman sebelumnya, kini Islam telah menjawabnya. Lain dulu, kemarin, dan lain sekarang. Kemajuan wanita dan kebebasan berkiprah tak semulus sebagaimana pada zaman Rasulullah Saw, di satu sisi terdapat kelompok yang justru mengadopsi persepsi-persepsi keagamaan yang cenderung memojokkan perempuan, sehingga tak heran kalau kita menemukan di era yang serba modern sekarang ini, masih ada perlakuan dan sikap-sikap seorang muslim sebagaimana masa jahiliyah pra Islam dahulu. Dimana seorang ayah ataupun suami yang mengekang wanitanya dirumah dengan tugas-tugas domestik, tanpa memberikan kesempatan untuk beraktifitas, apalagi mengembangkan potensi mereka. Sehingga kaum lelaki bisa semaunya sendiri menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan mereka, memposisikan wanita di urutan kedua, dan bisa berbuat semena-mena terhadap para wanitanya. Disisi lain, terdapat juga kelompok aktifis feminisme yang menghalalkan segala hal untuk menuntut kesetaraan gender atau persamaan hak yang berdasar keinginan dan kesenangan mereka sendiri, tanpa memandang kemaslahatan bersama (membabi-buta). Sebagai reaksi dari dua fenomena di atas, maka munculah para pembela kaum hawa yang ikut memperjuangkan kredibilitas dan hak-hak wanita, mereka kembali memberikan porsi dan posisi yang seimbang untuk wanita, kesempatan berkiprah dan lain sebagainya, pintu untuk membangun peradaban baru kembali digaungkan, gerbang sukses dalam segala bidang telah dibentangkan. Namun justru ketika dunia memperhatikan mereka, menuruti tuntutan-tuntutannya, malah banyak dari mereka berbalik mengabaikan itu semua.
Saturday, 12 April 2008
Islam Agama Sekuler?
Membaca berbagai kemelut dan perang ideologi kontemporer merupakan suatu kerja akademis yang rumit, berbagai distorsi tentang fakta sejarah dan manupulasi ideologi turut campur dalam arena pertempuran tersebut. Dalam nuansa post-modernisme dan atmosfir globalisasi yang menghembuskan berbagai macam polusi ‘konspirasi’ dengan ragam bentuknya, kita sebagai muslim harus bisa secara teliti dan seksama dalam mengambil kesimpulan dan bersikap, agar hembusan sejuk ajaran Islam bisa menghilangkan hiruk pikuk dan sesak nafas akibat polusi yang telah meracuni atmosfir opini publik.
Salah satu isu terpenting dalam kehidupan bersosial dan bernegara masyarakat posmo adalah ide sekularisme yang ingin memisahkan urusan duniawi(negara) dan akhirat(agama). Hal ini semakin terasa dengan munculnya afirmasi secara massif dari pemikir Islam sendiri semisal Ali Abdurrazik yang mengatakan bahwasanya Islam hanyalah agama ritual yang tidak memiliki sistem politik untuk mengurus negara, sistem politik tidak lebih hanya rekayasa para ulama klasik zaman pertengahan, dia menambahkan bahwa posisi Rasulullah pada saat itu sebagai pemimpin dan pendiri negara Islam hanyalah suatu kebetulan (Ali Abdurraziq: al Islam wa Ushul al Hukm) hal ini dikuatkan pegikutnya al Asymawi, -tokoh pengusung sekularisme pujaan kaum liberal indonesia- yang menyatakan bahwa “Allah menginginkan agama sebagai agama namun manusia (Muslim) menginginkanya menjadi politik”. Disini kaum liberal menerima ungkapan asymawi bak dogma suci tanpa ada kritik sedikitpun, mereka tidak melihat bahwa definisi agama Asymawi rancu dan sudah torkontaminasi orldview Barat. baginya agama yang universal tidak punya hak untuk mengatur politik yang bersifat temporal dan partikular. Dalam worldview Islam, justru wujud Islam yang universal tersebut adalah untuk mengatur dan memberi petujuk kepada perkara-perkara temporal dan partikular. Sehingga hubungan antara Tuhan dan manusia tidak ‘terputus’ sebagaimana yang difahami Barat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dimulai dengan ungkapan sekularisasi Nurkholis Madjid. Baginya Islam tak ubahnya agama-agama lain didunia. Berlandaskan hal ini agama harus dipisahkan dari negara, baginya negara dan politik merupakan bagian keduniaan yang merupakan porsi nalar murni manusia. Sedangkan agama berasal dari dimensi metafisik yang gaib dan personal.
Para pengusung ide sekularisme -dengan bahasa masing-masing- tidak (sengaja tidak?) melihat adanya konsep-konsep agama (baca: Islam) tentang kedaulatan syari’ah, syura, keadilan, kebebasan berpendapat dan tanggung jawab pemimpin yang pernah disebut dalam al Qur’an. Mereka juga mengabaikan ratusan hadits yang menjelaskan banyak hal berkaitan dengan politik. Pemisahan politik dari Islam pada akhirya hanya menjadikan Islam sebagai agama kerohanian yang konsekwensinya akan membentuk umat yang submissif dan tak punya visi perubahan. Lalu apa bedanya Islam dengan agama lain? hal ini bisa menyimpulkan tesis bahwa Islam sebagai agama penutup dan rahmatan lil ‘alamin aka sia-sia belaka.
Kecenderungan memisahkan urusan duniawi dan ukhrawi tidak lepas dari pengaruh paham dikotomis yang merupakan anak kandung dualisme yang telah mewabah di Barat. Islam tidak mengenal konsep ini. Islam tidak terbatas pada amalan ritual belaka. Islam tidak membenarkan orang yang shalat tapi tidak peka sosial (zakat, shadaqah dll) dalam Islam aktiftas duniawi sangatlah berpengaruh pada ukhrawi. Islam tidak hanya mengenal ibadah vertikal, tapi juga menjunjung tinggi amalan horizontal, keduanya harus seimbang dan adil. Jadi sangat naif apabila urusan dunia yang sangat erat hubungannya dengan akhirat dalam Islam dipisahkan begitu saja.
Kembali kepada faham sekularisme yang menurut tokoh liberal punya sadaran dogmatis dalam Islam. Yusuf Qaradhawi dan al Attas telah membahas konsep sekularisasi dan sekularisme. Mereka menemukan bahwasanya konsep ini murni Barat dan tidak punya akar sama sekali dalam Islam. Sekularisme dibangun atas pondasi epistemologi Barat modern yang alergi terhadap agama (baca: gereja). Sedangkan Islam menjunjung tinggi hubungan dan kaitan agama dan kehidupan masyarakat.
Dilihat dari segi bahasa, konsep ini sudah tidak punya landasan dalam Islam, Sekularime yang sering diterjemahkan menjadi ‘ilmaniyyah atau ‘almaniyyah dalam bahasa arab tidaklah sepadan, epistemologi keduanya -baik ‘ilmaniyyah yang berakar dari ‘ilm dan ‘almaniyyah yang berakar dati ‘alam (universe)- dalam Islam sama sekali berlawanan dengan epistemologi sekularime tersebut.
Menurut alAttas dan Qaradhawi’ konsep tersebut muncul sejak aristoteles mengenalkan padangan bahwa Tuhan sama sekali tidak tahu menahu soal partikular. Tuhan hanya mencipta kemudian istirahat dan tak acuh lagi terhadap semesta. hal ini yang kemudian oleh teolog kristen bernama Harvey Cox dicarikan padanannya dalam bible ‘berikanlah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar dan apa yang menjadi milik Tuhan utuk Tuhan!. Kita tidak menemukan persetujuan Islam dalam hal ini.
Memang Islam memberikan kelonggaran untuk memikirkan kaedah tersendiri untuk bentuk pemerintahan dan berpolitik sesuai dengan tuntutan zaman. Kelenturan ini menunjukkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Dan juga sesuai dengan objek syari’ah yaitu kemashlahatan dan kepentingan manusia. Namun harus selalu diingat bahwasanya kesimpulan apapun haruslah berlandaskan pada otoritas hukum tertinggi dalam Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah yang bernilai absolut. Sehingga chaos (huru hara) akibat landasan relatif (nalar rasio) dalam paham sekularisme bisa dihindari.
Hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui!
HI-141 120408-16:10
Salah satu isu terpenting dalam kehidupan bersosial dan bernegara masyarakat posmo adalah ide sekularisme yang ingin memisahkan urusan duniawi(negara) dan akhirat(agama). Hal ini semakin terasa dengan munculnya afirmasi secara massif dari pemikir Islam sendiri semisal Ali Abdurrazik yang mengatakan bahwasanya Islam hanyalah agama ritual yang tidak memiliki sistem politik untuk mengurus negara, sistem politik tidak lebih hanya rekayasa para ulama klasik zaman pertengahan, dia menambahkan bahwa posisi Rasulullah pada saat itu sebagai pemimpin dan pendiri negara Islam hanyalah suatu kebetulan (Ali Abdurraziq: al Islam wa Ushul al Hukm) hal ini dikuatkan pegikutnya al Asymawi, -tokoh pengusung sekularisme pujaan kaum liberal indonesia- yang menyatakan bahwa “Allah menginginkan agama sebagai agama namun manusia (Muslim) menginginkanya menjadi politik”. Disini kaum liberal menerima ungkapan asymawi bak dogma suci tanpa ada kritik sedikitpun, mereka tidak melihat bahwa definisi agama Asymawi rancu dan sudah torkontaminasi orldview Barat. baginya agama yang universal tidak punya hak untuk mengatur politik yang bersifat temporal dan partikular. Dalam worldview Islam, justru wujud Islam yang universal tersebut adalah untuk mengatur dan memberi petujuk kepada perkara-perkara temporal dan partikular. Sehingga hubungan antara Tuhan dan manusia tidak ‘terputus’ sebagaimana yang difahami Barat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dimulai dengan ungkapan sekularisasi Nurkholis Madjid. Baginya Islam tak ubahnya agama-agama lain didunia. Berlandaskan hal ini agama harus dipisahkan dari negara, baginya negara dan politik merupakan bagian keduniaan yang merupakan porsi nalar murni manusia. Sedangkan agama berasal dari dimensi metafisik yang gaib dan personal.
Para pengusung ide sekularisme -dengan bahasa masing-masing- tidak (sengaja tidak?) melihat adanya konsep-konsep agama (baca: Islam) tentang kedaulatan syari’ah, syura, keadilan, kebebasan berpendapat dan tanggung jawab pemimpin yang pernah disebut dalam al Qur’an. Mereka juga mengabaikan ratusan hadits yang menjelaskan banyak hal berkaitan dengan politik. Pemisahan politik dari Islam pada akhirya hanya menjadikan Islam sebagai agama kerohanian yang konsekwensinya akan membentuk umat yang submissif dan tak punya visi perubahan. Lalu apa bedanya Islam dengan agama lain? hal ini bisa menyimpulkan tesis bahwa Islam sebagai agama penutup dan rahmatan lil ‘alamin aka sia-sia belaka.
Kecenderungan memisahkan urusan duniawi dan ukhrawi tidak lepas dari pengaruh paham dikotomis yang merupakan anak kandung dualisme yang telah mewabah di Barat. Islam tidak mengenal konsep ini. Islam tidak terbatas pada amalan ritual belaka. Islam tidak membenarkan orang yang shalat tapi tidak peka sosial (zakat, shadaqah dll) dalam Islam aktiftas duniawi sangatlah berpengaruh pada ukhrawi. Islam tidak hanya mengenal ibadah vertikal, tapi juga menjunjung tinggi amalan horizontal, keduanya harus seimbang dan adil. Jadi sangat naif apabila urusan dunia yang sangat erat hubungannya dengan akhirat dalam Islam dipisahkan begitu saja.
Kembali kepada faham sekularisme yang menurut tokoh liberal punya sadaran dogmatis dalam Islam. Yusuf Qaradhawi dan al Attas telah membahas konsep sekularisasi dan sekularisme. Mereka menemukan bahwasanya konsep ini murni Barat dan tidak punya akar sama sekali dalam Islam. Sekularisme dibangun atas pondasi epistemologi Barat modern yang alergi terhadap agama (baca: gereja). Sedangkan Islam menjunjung tinggi hubungan dan kaitan agama dan kehidupan masyarakat.
Dilihat dari segi bahasa, konsep ini sudah tidak punya landasan dalam Islam, Sekularime yang sering diterjemahkan menjadi ‘ilmaniyyah atau ‘almaniyyah dalam bahasa arab tidaklah sepadan, epistemologi keduanya -baik ‘ilmaniyyah yang berakar dari ‘ilm dan ‘almaniyyah yang berakar dati ‘alam (universe)- dalam Islam sama sekali berlawanan dengan epistemologi sekularime tersebut.
Menurut alAttas dan Qaradhawi’ konsep tersebut muncul sejak aristoteles mengenalkan padangan bahwa Tuhan sama sekali tidak tahu menahu soal partikular. Tuhan hanya mencipta kemudian istirahat dan tak acuh lagi terhadap semesta. hal ini yang kemudian oleh teolog kristen bernama Harvey Cox dicarikan padanannya dalam bible ‘berikanlah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar dan apa yang menjadi milik Tuhan utuk Tuhan!. Kita tidak menemukan persetujuan Islam dalam hal ini.
Memang Islam memberikan kelonggaran untuk memikirkan kaedah tersendiri untuk bentuk pemerintahan dan berpolitik sesuai dengan tuntutan zaman. Kelenturan ini menunjukkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Dan juga sesuai dengan objek syari’ah yaitu kemashlahatan dan kepentingan manusia. Namun harus selalu diingat bahwasanya kesimpulan apapun haruslah berlandaskan pada otoritas hukum tertinggi dalam Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah yang bernilai absolut. Sehingga chaos (huru hara) akibat landasan relatif (nalar rasio) dalam paham sekularisme bisa dihindari.
Hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui!
HI-141 120408-16:10
Saturday, 5 April 2008
DEKONSTRUKSI USHUL FIQH DAN 'PEMBAHARUAN' ISLAM
Berbagai kemajuan yang dihasilkan peradaban Barat sejak era kebangkitannya sangatlah luar biasa, naif kiranya apabila ada ungkapan yang meragukan atau bahkan menolaknya. Ragam kemajuan tersebut tidak terlepas dari ‘kesadaran’ Barat akan worldview mereka, modal ‘kesadaran’ tersebut mereka mengadopsi peradaban Islam yang telah lama muncul sebelumnya, mereka mengambil banyak hal dari Islam, tapi tidak lupa akan epistemologi yang mereka anut berlandaskan worldview khas Barat. Hal tersebutlah yang akhirnya melahirkan berbagai macam ilmu dan metodologi. Tak heran, dengan membanjirnya serbuan ilmu-ilmu Barat tersebut berbondong pemikir Muslim yang kemudian menyerukan pebaharuan Islam. Mereka melihat bahwa Barat menjadi peradaban yang begitu sophisticated ketika agamanya mereka tafsirkan dengan berbagai ilmu dan metode tersebut, tanpa melihat perbedaan objeknya. Kisten yang menjadi objek Barat bukanlah Islam yang hendak mereka “perbaharui” tersebut. Harusnya kesadaran akan worldview, epistemologi dan ideologi masing-masing harus dikedepankan sebagai acuan, bukan hanya sekedar copy paste yang diharapkan manjur untuk sebuah perubahan instan. Memang kita tidak boleh terburu-buru menolak segala upaya pembaharuan namun juga tidak serta merta latah meninggalkan dan menghujat khazanah keilmuan klasik kita.
Salah satu khazanah Islam yang sering menjadi ajang operasi bedah ilmiah para penyeru pembaharuan Islam adalah fiqh dan ushul fiqh. Bermula dari awal abad 20 -semenjak rruntuhnya khilafah hingga sekarang-, fiqh dan Ushul fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu yang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas, bahkan secara radikal dikatakan bahwa ialah faktor kemunduran Islam. Mereka menuduh fiqh telah besikap diskriminatif terhadap non muslim dan bias gender. Fiqh selalu meletakkan wanita dibawah dominasi pria, fiqh sama sekali tidak ramah terhadap wanita, mereka menambahkan, hal ini akibat tafsir klasik yang sarat dengan muatan diskriminasi dan bias gender. Denga beragam tuduhan tersebut mereka mengajukan dekonstruksi atau reformasi fiqh Islam.
Berbicara fiqh tidak terlepas dari ushul fiqh sebagai landasan teoritisnya, maka dekonstruksi ushul fiqh menjadi sebuah keniscayaan apabila ingin melepaskan fiqh dari tuduhan pejoratif diatas. hal tersebut diungkapkan oleh Hasan Turabi, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Sharur, Arkoun, Rahman, Abu Zaid dan berderet nama para pengusung liberal lainnya. meski dengan metode dan pendekatan beragam, mereka sepakat untuk mendekonstruksi ushul fiqh demi tercapainya pembaharuan Islam. Mereka secara ekspilisit maupun implist menerapkan ilmu-ilmu sosial Barat untuk merekostruksi epistemologi Islam dalam Usul fiqh. Haruslah diingat bahwa pembaharuan epistemologi dengan menggunakan prinsip epistemologi asing lebih cenderung merusak daripada membangun, hal ini terbukti dengan kegamangan metode dan keabsurdan teori yang diajukan oleh tokoh pembaharuan tersebut. Karena ada banyak elemen yang tidak bisa dengan serta merta diakomodir, definisi ihya, tajdid, ishlah, fundamentalisme sudah mempunyai mekanisme khas yang all in one dalam wadah epistemology islam.
Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui karena zaman dan problematikanya selalu berubah dan berkembang. Tapi harus disadari pula bahwa ada elemen-elemen yang tetap dan tidak bisa dirubah dalam fiqh. Ruang ijtihad masih terbuka lebar sebenarnya, banyak problematika kontemporer yang merindukan ijtihad komprehensif dari para ulama. Namun sayang hal ini disalah fahami dengan giatnya aktifitas ‘ijtihad’ dalam isu-isu klasik semisal hudud, poligami, qisas, warisan yang sebenarnya tidak memberikan dampak besar terhadap umat. Contoh riil menyatakan sudah puluhan tahun umat Islam membelakangi hukum Islam yang sering digemborkan aktivis ‘pembaharu’ diatas, sudah lama hukum hudud tidak diterapkan tanpa ada interpratasi dan metode apalah yang sejenis, tapi toh, umat Islam masih saja bekutat dalam kerterbelakangannya. Harusnya para ‘pembaharu’ tersebut sadar, bukan hal-hal klasik yang harus menjadi konsentrasi ijtihad mereka, karena ada banyak problematika sosial kemasyarakat yang lebih penting menunggu ijtihad mereka lebih dari sekedar pembahasan seputar poligami dan kawan kawannya.
Seperti fiqh, ushul fiqh pun juga telah mengalami perubahan semenjak menjadi landasan teoritis yang sistematis di tangan Imam Syafi’i, Baqillani mengintegrasikan kalam dalam ushul fiqh sedangkan Ghazali -penulis Tahafut al Falasifat- memasukkah mantiq sebagai bagian penting dalam ushul fiqh. Pembaharuan ini juga telah dilakukan oleh Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqat. Jadi pendapat yang mengatakan ushul fiqh telah baku dan mandek merupakan kesalahan besar. Hanya saja perubahan yang ada masih berpijak pada landasan epistemologi Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber otoritatif. Bertolak belakang dengan pembaharuan yang diawarkan pemikir liberal, mereka meletakkan ushul fiqh sebagai bahan justifikasi realitas. Mereka menundukkan nash dibawah perubahan zaman dan waktu. Mereka memutarbalikkan epistemologi Islam dengan meletakkan realitas sosial sebagai standar, bukanya nash. Mereka memaksa nash untuk tundak kepada realita, apabila ada nash yang bertentangan maka tanpa segan mereka membedahnya dengan pisau bedah interpretasi hermeneutis agar sesuai dengan zamannya. Mereka mengkritik ulama klasik karena bergantung pada teks Qur’an dan Sunnah, tanpa sadar sebenarnya mereka melakukan hal yang sama, yaitu menjadikan teks sosial sebagai landasannya. Landasan ushul fiqh yang kuat terhadap al Qur’an merupakan keniscayaan untuk menjaga objektifitas hukum. Hukum yang tidak punya rujukan hanya akan menimbulkan kekacauan.
Fiqh dan ushul fiqh memerlukan pembaharuan dalam beberapa sisi, namun pembaharuan tersebut haruslah sejalan dengan prinsip epistemology Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang sejarah. Upaya dekonstruksi yang ditawarkan kalangan liberal bagaimanapun rasionalnya haruslah sejalan dengan landasan epistemologi tersebut. Karena yang ada bukannya solusi yang kongkrit dan komprehensif, tapi lebih cenderung merupakan letupan kritik atas pemikiran ulama klasik.
Suatu keharusan untuk bersikap kritis, namun demikian jangan mudah terburu-buru untuk meninggalkan khazanah klasik dan berlari ke pangkuan ilmu sosial barat lantaran tawaran-tawaran menggiurkan. Karena khazanah tersebut bukan datang oleh mantra ‘sim salabim’ sang pesulap. Namun ia hadir dari worldview dan epistemologi Islam yang kokoh. Wallahu a’lam
Albi HI141/050408/16:05
Salah satu khazanah Islam yang sering menjadi ajang operasi bedah ilmiah para penyeru pembaharuan Islam adalah fiqh dan ushul fiqh. Bermula dari awal abad 20 -semenjak rruntuhnya khilafah hingga sekarang-, fiqh dan Ushul fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu yang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas, bahkan secara radikal dikatakan bahwa ialah faktor kemunduran Islam. Mereka menuduh fiqh telah besikap diskriminatif terhadap non muslim dan bias gender. Fiqh selalu meletakkan wanita dibawah dominasi pria, fiqh sama sekali tidak ramah terhadap wanita, mereka menambahkan, hal ini akibat tafsir klasik yang sarat dengan muatan diskriminasi dan bias gender. Denga beragam tuduhan tersebut mereka mengajukan dekonstruksi atau reformasi fiqh Islam.
Berbicara fiqh tidak terlepas dari ushul fiqh sebagai landasan teoritisnya, maka dekonstruksi ushul fiqh menjadi sebuah keniscayaan apabila ingin melepaskan fiqh dari tuduhan pejoratif diatas. hal tersebut diungkapkan oleh Hasan Turabi, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Sharur, Arkoun, Rahman, Abu Zaid dan berderet nama para pengusung liberal lainnya. meski dengan metode dan pendekatan beragam, mereka sepakat untuk mendekonstruksi ushul fiqh demi tercapainya pembaharuan Islam. Mereka secara ekspilisit maupun implist menerapkan ilmu-ilmu sosial Barat untuk merekostruksi epistemologi Islam dalam Usul fiqh. Haruslah diingat bahwa pembaharuan epistemologi dengan menggunakan prinsip epistemologi asing lebih cenderung merusak daripada membangun, hal ini terbukti dengan kegamangan metode dan keabsurdan teori yang diajukan oleh tokoh pembaharuan tersebut. Karena ada banyak elemen yang tidak bisa dengan serta merta diakomodir, definisi ihya, tajdid, ishlah, fundamentalisme sudah mempunyai mekanisme khas yang all in one dalam wadah epistemology islam.
Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui karena zaman dan problematikanya selalu berubah dan berkembang. Tapi harus disadari pula bahwa ada elemen-elemen yang tetap dan tidak bisa dirubah dalam fiqh. Ruang ijtihad masih terbuka lebar sebenarnya, banyak problematika kontemporer yang merindukan ijtihad komprehensif dari para ulama. Namun sayang hal ini disalah fahami dengan giatnya aktifitas ‘ijtihad’ dalam isu-isu klasik semisal hudud, poligami, qisas, warisan yang sebenarnya tidak memberikan dampak besar terhadap umat. Contoh riil menyatakan sudah puluhan tahun umat Islam membelakangi hukum Islam yang sering digemborkan aktivis ‘pembaharu’ diatas, sudah lama hukum hudud tidak diterapkan tanpa ada interpratasi dan metode apalah yang sejenis, tapi toh, umat Islam masih saja bekutat dalam kerterbelakangannya. Harusnya para ‘pembaharu’ tersebut sadar, bukan hal-hal klasik yang harus menjadi konsentrasi ijtihad mereka, karena ada banyak problematika sosial kemasyarakat yang lebih penting menunggu ijtihad mereka lebih dari sekedar pembahasan seputar poligami dan kawan kawannya.
Seperti fiqh, ushul fiqh pun juga telah mengalami perubahan semenjak menjadi landasan teoritis yang sistematis di tangan Imam Syafi’i, Baqillani mengintegrasikan kalam dalam ushul fiqh sedangkan Ghazali -penulis Tahafut al Falasifat- memasukkah mantiq sebagai bagian penting dalam ushul fiqh. Pembaharuan ini juga telah dilakukan oleh Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqat. Jadi pendapat yang mengatakan ushul fiqh telah baku dan mandek merupakan kesalahan besar. Hanya saja perubahan yang ada masih berpijak pada landasan epistemologi Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber otoritatif. Bertolak belakang dengan pembaharuan yang diawarkan pemikir liberal, mereka meletakkan ushul fiqh sebagai bahan justifikasi realitas. Mereka menundukkan nash dibawah perubahan zaman dan waktu. Mereka memutarbalikkan epistemologi Islam dengan meletakkan realitas sosial sebagai standar, bukanya nash. Mereka memaksa nash untuk tundak kepada realita, apabila ada nash yang bertentangan maka tanpa segan mereka membedahnya dengan pisau bedah interpretasi hermeneutis agar sesuai dengan zamannya. Mereka mengkritik ulama klasik karena bergantung pada teks Qur’an dan Sunnah, tanpa sadar sebenarnya mereka melakukan hal yang sama, yaitu menjadikan teks sosial sebagai landasannya. Landasan ushul fiqh yang kuat terhadap al Qur’an merupakan keniscayaan untuk menjaga objektifitas hukum. Hukum yang tidak punya rujukan hanya akan menimbulkan kekacauan.
Fiqh dan ushul fiqh memerlukan pembaharuan dalam beberapa sisi, namun pembaharuan tersebut haruslah sejalan dengan prinsip epistemology Islam yang sudah menjadi kesepakatan umat sepanjang sejarah. Upaya dekonstruksi yang ditawarkan kalangan liberal bagaimanapun rasionalnya haruslah sejalan dengan landasan epistemologi tersebut. Karena yang ada bukannya solusi yang kongkrit dan komprehensif, tapi lebih cenderung merupakan letupan kritik atas pemikiran ulama klasik.
Suatu keharusan untuk bersikap kritis, namun demikian jangan mudah terburu-buru untuk meninggalkan khazanah klasik dan berlari ke pangkuan ilmu sosial barat lantaran tawaran-tawaran menggiurkan. Karena khazanah tersebut bukan datang oleh mantra ‘sim salabim’ sang pesulap. Namun ia hadir dari worldview dan epistemologi Islam yang kokoh. Wallahu a’lam
Albi HI141/050408/16:05
Thursday, 3 April 2008
CERDAS
Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa manusia mendapat keunggulan 'ekstra' dibanding makhluk ciptaan Tuhan lainnya, dengannya, manusia bisa mengatasi berbagai kelemahan fisiknya dan senantiasa berkreasi untuk menciptakan berbagai kemudahan dalam kesehariannya. Nilai lebih yang menyingkirkan berbagai ciptaan Tuhan, dan menjadikannya khalifah di muka bumi adalah akal. Dengan akal manusia bisa menciptakan perdamaian dan kebahagiaan, namun dengan akal pula muncul berbagai kerusakan dan kesengsaraan. Disini kekhawatiran para malaikat disaat 'protes' atas terpilihnya Adam sebagai 'penguasa' bumi terjadi, maksud penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi disalah gunakan. Darah berceceran dimana-mana, kemiskinan dan berbagai penyakit sosial merajalela, ironisnya lagi gambaran mengerikan tersebut terjadi pada negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Namun di Barat lain lagi ceritanya. Jangankan manusia, binatangpun bisa hidup dengan tenang dan nyaman disana. Melihat fenomena ini kadang terbesit pertanyaan, mengapa orang non muslim (Barat) umumnya berkelakuan baik, profesional, cerdas, berpengetahuan tinggi, menghargai kebersihan, peka terhadap lingkungan dan realitas sosial, dan menjunjung tinggi kemanusiaan? sedangkan kita umat Islam kurang dapat dipercayai, bodoh, tidak peka lingkungan, ceroboh, kotor serta berbagai sifat negatif lainnya? Ambil contoh Pakistan, betapa ragam cemooh dan berbagai konotasi sinis terlontar terhadap masyarakatnya. Disini ada satu hal yang cukup membingungkan, disatu pihak Islam dengan ajarannya yang begitu sempurna, namun dipihak lain kita menyaksikan betapa keterbelakangan, kemiskinan dan segala hal yang negatif semuanya tertuding kepada umat Islam. Bahkan bisa dibilang umat Islam nyaris tidak memberikan kontribusi bagi peradaban dunia modern. Maka tidak heran apabila konon ada salah seorang ulama yang berseloroh di Barat aku melihat Islam tapi tidak seorang muslimpun kudapati disana.
Jawaban dari pertanyaan diatas sangat erat kaitannya dengan kesenjangan antara ajaran dan amalan. Betapapun mutakhir dan sempurnanya suatu ajaran hanyalah akan menjadi slogan 'utopia' belaka apabila tidak diikuti dengan amalan aplikatif penganutnya. Sejarah membuktikan, bagaimana Barat sendiri dulu tenggelam dalam kubangan kegelapan disaat mereka meninggalkan ideologi rasionalnya (baca: filsafat yunani) dan masuk kedalam ruang mistik, khurafat dan dogmatis. Sehingga butuh berabad-abad untuk memulihkannya. Sayang, kita umat Islam, yang dahulu menjadi 'inspirator' kebangkitan dan kemajuan Barat lewat Islam sebagai ajarannya belum bisa mengambil ibrah dari bukti riil sejarah tersebut. Alih-alih mengambil pelajaran darinya, umat Islam kini semakin tenggelam dan terpuruk di berbagai aspek kehidupan.
Roda berputar, demikian kata pepatah bilang, namun roda tidak akan pernah berputar apabila tidak ada kekuatan yang menggerakkannya. Semuanya bisa terealisasi dengan kembali kepada ajaran Islam sebagai penggeraknya. Umat Islam telah begitu jauh meninggalkan Islam. Sudah waktunya kita kembali menyelaraskan normativitas dan realitas, Ajaran dan amalan, namun dengan sikap bijak tentunya, sehingga segala impian dan harapan kita bukan hanya sekedar utopia belaka.
Namun demikian bukan berarti dengan semerta-merta kita harus membuang segala hal yang berbau non-Islam (baca: Barat) ataupun sebaliknya, kita melahap segala sesuatu dari Barat, sebagaimana ragam sikap yang diambil Umat Islam saat ini. Kita harus realistis, toh dulu Rasulullah juga menganjurkan para sahabat untuk membeli pedang dari India, karena memang saat itu memang unggul kualitasnya. Anjuran untuk belajar sampai ke negeri cina juga merupakan contoh bahwasanya kita tidak boleh berhenti sebatas apa yang kita terima dari warisan klasik umat Islam saja. Disini kita dituntut untuk cerdas dalam arti yang seluas-luasnya, tanpa melupakan pijakan fundamental kita sebagai Muslim. Sehingga apa yang kita harapkan menjadi kenyataan.
Albi, H I/141.051107.11:00PM
Namun di Barat lain lagi ceritanya. Jangankan manusia, binatangpun bisa hidup dengan tenang dan nyaman disana. Melihat fenomena ini kadang terbesit pertanyaan, mengapa orang non muslim (Barat) umumnya berkelakuan baik, profesional, cerdas, berpengetahuan tinggi, menghargai kebersihan, peka terhadap lingkungan dan realitas sosial, dan menjunjung tinggi kemanusiaan? sedangkan kita umat Islam kurang dapat dipercayai, bodoh, tidak peka lingkungan, ceroboh, kotor serta berbagai sifat negatif lainnya? Ambil contoh Pakistan, betapa ragam cemooh dan berbagai konotasi sinis terlontar terhadap masyarakatnya. Disini ada satu hal yang cukup membingungkan, disatu pihak Islam dengan ajarannya yang begitu sempurna, namun dipihak lain kita menyaksikan betapa keterbelakangan, kemiskinan dan segala hal yang negatif semuanya tertuding kepada umat Islam. Bahkan bisa dibilang umat Islam nyaris tidak memberikan kontribusi bagi peradaban dunia modern. Maka tidak heran apabila konon ada salah seorang ulama yang berseloroh di Barat aku melihat Islam tapi tidak seorang muslimpun kudapati disana.
Jawaban dari pertanyaan diatas sangat erat kaitannya dengan kesenjangan antara ajaran dan amalan. Betapapun mutakhir dan sempurnanya suatu ajaran hanyalah akan menjadi slogan 'utopia' belaka apabila tidak diikuti dengan amalan aplikatif penganutnya. Sejarah membuktikan, bagaimana Barat sendiri dulu tenggelam dalam kubangan kegelapan disaat mereka meninggalkan ideologi rasionalnya (baca: filsafat yunani) dan masuk kedalam ruang mistik, khurafat dan dogmatis. Sehingga butuh berabad-abad untuk memulihkannya. Sayang, kita umat Islam, yang dahulu menjadi 'inspirator' kebangkitan dan kemajuan Barat lewat Islam sebagai ajarannya belum bisa mengambil ibrah dari bukti riil sejarah tersebut. Alih-alih mengambil pelajaran darinya, umat Islam kini semakin tenggelam dan terpuruk di berbagai aspek kehidupan.
Roda berputar, demikian kata pepatah bilang, namun roda tidak akan pernah berputar apabila tidak ada kekuatan yang menggerakkannya. Semuanya bisa terealisasi dengan kembali kepada ajaran Islam sebagai penggeraknya. Umat Islam telah begitu jauh meninggalkan Islam. Sudah waktunya kita kembali menyelaraskan normativitas dan realitas, Ajaran dan amalan, namun dengan sikap bijak tentunya, sehingga segala impian dan harapan kita bukan hanya sekedar utopia belaka.
Namun demikian bukan berarti dengan semerta-merta kita harus membuang segala hal yang berbau non-Islam (baca: Barat) ataupun sebaliknya, kita melahap segala sesuatu dari Barat, sebagaimana ragam sikap yang diambil Umat Islam saat ini. Kita harus realistis, toh dulu Rasulullah juga menganjurkan para sahabat untuk membeli pedang dari India, karena memang saat itu memang unggul kualitasnya. Anjuran untuk belajar sampai ke negeri cina juga merupakan contoh bahwasanya kita tidak boleh berhenti sebatas apa yang kita terima dari warisan klasik umat Islam saja. Disini kita dituntut untuk cerdas dalam arti yang seluas-luasnya, tanpa melupakan pijakan fundamental kita sebagai Muslim. Sehingga apa yang kita harapkan menjadi kenyataan.
Albi, H I/141.051107.11:00PM
Subscribe to:
Posts (Atom)