Al-Qur'an dan Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu ZaydOleh: hendri sholahuddin1. MukaddimahPembahasan dalam makalah ini dimulai dengan penjelasan kata-kata kunci dalam judul, yang meliputi al-Qur'an, hermeneutika dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang topik bahasan. Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dan terkumpul dalam lembaran Mushaf dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir[1]Sedangkan hermeneutika adalah metode atau teori yang memfokuskan dirinya pada masalah interpretasi, khususnya digunakan dalam studi Bibel atau teks sastera. Lebih lanjut dalam ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa ia adalah kajian tentang prinsip-prinsip umum terhadap penafsiran Bible. Bagi Yahudi maupun Kristen di sepanjang sejarah mereka, tujuan utama hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) melalui berbagai tehnik. Seringkali tehnik yang digunakan adalah dengan menyandarkan pada kondisi sejarah tertentu (certain historical conditions), situasi-situasi polemik atau apologetik yang diperkirakan dapat menemukan kebenaran atau nilai.Status kesucian Bibel menurut Yahudi dan Kristen diyakini bahwa ia adalah manifestasi wahyu Tuhan. Maka sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran Bibel harus bersifat harfiyah (literal), sebab firman Tuhan adalah jelas dan sempurna (explicit and complete). Sebagian lainnya berpendapat bahwa kata-kata dalam Bibel harus selalu memiliki makna spiritual yang mendalam. Sebab pesan dan kebenaran Tuhan dengan sendirinya membuktikan kebesaran. Namun ada yang menggabungkan pendapat keduanya, yaitu sebagian isi Bibel harus didekati secara harfiyah dan sebagian lainnya secara kiasan (figuratively).[2]Sedangkan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir modernis asal Mesir. Namanya sangat dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam setelah menggulirkan gagasan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan tidak lebih dari sekedar fenomena sejarah. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia[3] dan pemikirannya banyak diajarkan oleh para dosen, akademisi di beberapa perguruan tinggi dan disuarakan oleh banyak tokoh liberal. Pujaan dan penghargaan terhadapnya bertaburan di berbagai buku, jurnal, ruang-ruang perkuliahan, seminar dan situs-situs internet. Bahkan oleh media barat dia dipandang sebagai ‘hero’ bagi tumbuhnya kebebasan berfikir, sementara di negara asalnya dia difatwa kafir oleh mahkamah yang didukung lebih dari 2000 ulama.[4]Sebagai contoh, dalam encyclopedia Wikipedia, Abu Zayd dikisahkan sebagai seorang pemikir al-Qur’an (Qur’anic thinker) dan teolog liberal terkemuka asal Mesir. Dia menderita penganiayaan relijius yang serius, dikarenakan pandangannya tentang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastera mistik. Pada tahun 1995, dia dipromosikan untuk menduduki jabatan profesor, tetapi kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Encyclopedia Wikipedia mengulas bahwa pengadilan tersebut dikuasai oleh para cendekiawan Islam fundamentalis, sehingga dia diputuskan sebagai seorang murtad oleh pengadilan Mesir dan harus menceraikan istrinya. Dalam encyclopedia ini, Abu Zayd dikisahkan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (a violation of human rights), korban pelanggaran kebebasan berekspresi (a violation of freedom of expression), korban pelanggaran kebebasan berkarya ilmiah (a violation of scientific freedom), korban pelanggaran privasi kehidupan keluarga (a violation of family private life) dan sebagainya.[5]Setelah mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak,[6] pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.[7] Di negeri Belanda, Abu Zayd dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Quran, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.Saat ini dia menduduki “kursi Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden (termasuk beberapa di antaranya adalah para mahasiswa dari Indonesia), dan aktif terlibat dalam proyek riset tentang hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai kritik kultural, bekerja pada tim “Islam dan Modernitas” di Institute of Advanced Studies of Berlin (Wissenschaftskolleg zu Berlin). Pada tahun 2005, dia menerima “the Ibn Rushd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengkampanyekan ‘kebebasan berfikir’ di Mesir.[8]Kajian tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipandang penting, mengingat pengaruhnya yang luas di Indonesia. Sayangnya, belum banyak cendekiawan muslim Indonesia yang secara serius mengkritisi pemikirannya secara ilmiah dalam bentuk makalah atau buku.[9] Gambaran tentang besarnya pengaruh Abu Zayd di Indonesia, terutama di perguruan tinggi Islam, dapat kita simak dari laporan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada 15/11/06 tentang ‘Faham-faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogya, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan:“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah[10]Selanjutnya, makalah ini secara ringkas dan sederhana akan difokuskan pada teori hermeneutika al-Qur'an versi Abu Zayd disertai dengan contoh-contoh 'penemuannya', pengaruhnya di Indonesia dan disertai dengan beberapa ulasan.2. Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori InterpretasiMenurut Abu Zayd, pembacaan teks-teks keagamaan (al-Qur'an dan Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan interpretasi yang bersifat ilmiah-objektif (‘ilmi-mawdhu‘i),[11] bahkan terpasung dengan pewarnaan unsur-unsur mistik (usthurah), khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama. Penyimpulan Abu Zayd ini didasarkan pada pengamatannya terhadap fenomena dan gerakan perkembangan keagamaan (zhahirah wa harakah al-madd al-dini).[12] Oleh karena itu, dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik terhadap teks-teks keagamaan, Abu Zayd menawarkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah (wa‘y ‘ilmy) dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan. Hal ini dilakukan untuk membersihkan teks keagamaan dari unsur-unsur yang berbau mistik, khurafat dan bercorak interpretasi literal yang dihegemoni oleh aspek ideologis. Dengan dua pendekatan ini, Abu Zayd berusaha mewujudkan sebuah proyek penyelidikan (al-masyru‘ al-istiksyafi).[13]Keterpasungan interpretasi yang dimaksudkan Abu Zayd adalah interpretasi yang tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks, sehingga makna yang dihasilkannya tidak melalui mekanisme sebuah penafsiran. Baginya, corak interpretasi ini lebih menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik. Kalangan pemasung interpretasi ini senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi (al-Islam huwa l-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif-orisinil (mukawwin jawhari ashil) dalam pembentukan umat.[14] Slogan seperti ini dipandang Abu Zayd sebagai ‘problem’ pembacaan teks-teks keagamaan yang paling tidak ilmiah dan objektif hingga saat ini.[15]Tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menyayangkan peran para ulama abad ke-4 dan ke-5 H yang telah membuat kriteria maqbul-mazhmum (diterima-tercela) di bidang penafsiran. Menurutnya, kriteria tersebut hanyalah akal-akalan ulama Ahlussunnah kemudian Abu Zayd membenturkannya dengan beberapa tokoh Mu’tazilah.[16]Interpretasi rasional yang dimaksud Abu Zayd adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwiriyyun) –– atau biasa disebut sebagai golongan sekuler. Sebab pada intinya sekularisme, -bagi Abu Zayd-, tidak lain hanyalah ajaran tentang “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama” (al-ta’wil al-haqiqi wa l-fahm al-‘ilmi li l-din). Dengan demikian Abu Zayd menolak tegas tuduhan para fundamentalis Islam yang memandang golongan sekuler sebagai atheis (mulhid) yang memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan.[17]Interpertasi teks-teks keagamaan, menurutnya adalah bagian dari pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu, Abu Zayd melakukan pemisahan antara ‘agama’ dan ‘pemikiran keagamaan’. Agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah segala usaha ijtihad pemikiran manusiawi untuk memahami teks-teks agama, menginterpretasikannya dan menemukan maknanya yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan menurut ruang lingkungannya. (al-din huwa majmu‘atu l-nushush al-muqaddasah al-tsabitah tarikhiyyan. fi hini anna l-fikra dini huwa ijtihadat al-bashariyyah li fahmi tilka l-nushush wa ta’wiluha wa istikhraj dalalatih)[18]Interpretasi rasional terhadap teks-teks agama, bagi Abu Zayd dapat direalisasikan dengan ‘supremasi data empiris’, yaitu dengan cara “menumbuhkan kesadaran historis-ilmiah terhadap teks-teks keagamaan”. Pengertian kata “kesadaran” (wa‘y) di sini adalah segala aktivitas yang terus berkembang dan tidak mengenal bentuk kemapanan (formalisasi).[19] Sedangkan maksud ‘menumbuhkan kesadaran historis-ilmiah terhadap teks agama' (al-Qur'an) yaitu dilakukan dengan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik versi Abu Zayd tidak menempatkan peranan Pencipta Teks (Allah SWT) dalam menafsirkan teks, tapi peranan tersebut secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (manusia), -dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Dia juga menolak pendekatan asbab al-nuzul maupun naskh wa mansukh, karena diwarnai dengan unsur ideologi dan sekte tertentu.[20]Corak penafsiran teks Abu Zayd lebih ditekankan pada superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama.[21] Dengan demikian, interpretasi dan makna teks tidak pernah berpenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas. Dengan menggunakan prinsip ini, maka makna teks al-Qur’an pun tidak pernah sampai pada makna final. Sebab menurut Abu Zayd yang bersifat final dan tetap hanyalah Allah. Inilah sejatinya paham realisme (al-waqi‘iyyah) yang memandang bahwa realitas lahiriyah (material) dapat menggambarkan wujud yang hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal.[22]Dengan menyelami realitas di sekitar teks, maka Abu Zayd mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Inilah hakekat 'proyek penyelidikan ilmiah' versi Abu Zayd. Sebab teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandar pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai sistem pemaknaannya yang sentral.[23]Ini berarti sebagai teks linguistik, al-Qur’an sebagai teks agama berdiri tegak di atas kerangka kebudayaan yang terbatas (Arab), sehingga harus dipahami dengan piranti bahasa Arab yang digunakan oleh kebudayaan tersebut pada saat itu. Melalui pendekatan seperti ini, Abu Zayd menyakini bahwa pemaknaan teks yang dihasilkannya adalah ilmiah dan dapat menggambarkan unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhinya.Maka dari uraian tentang teori penafsiran Abu Zayd di atas, perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya dia mendasarkan pembacaan teks pada interpretasi realisme dan kesadaran ilmiah yang disebutnya sebagai “proyek penyelidikan”. Proyek ini sejatinya bertujuan:Untuk memberikan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan yang terbebas dari belenggu mitos dan khurafat, serta penafsiran literal yang sarat dengan aspek ideologis. Pengertian mitos dan khurafat di sini meliputi segala yang tidak dapat dijangkau oleh indera, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan di luar nalar akal. Maka tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menolak pengertian kata Jin, Syetan dan Sihir yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai wujud yang independen dalam alam ini. Sebagai gantinya dia memberikan penafsiran metaforis (majaz) terhadap ketiga kata tersebut.membebaskan dari unsur penafsiran ideologis.3. Pandangan Abu Zayd terhadap al-Qur'anDalam pandangan Abu Zayd, al-Quran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah.[24] Maka sebagai ‘suatu’ yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas, al-Qur’an juga bersifat temporal-historis dan harus dipahami dengan pendekatan historis. Abu Zayd juga memandang al-Quran sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa Arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya. Dengan demikian pemaknaannya selalu tunduk pada latar belakang zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya.[25] Di samping itu, dia juga menganggap al-Quran bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif. Dengan begitu, dia memisahkan al-Quran secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah al-Quran yang mentah di alam metafisika (Lawh Mahfuzh), yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu al-Quran tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, al-Quran telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi".[26]Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia.[27]Dikarenakan al-Qur’an sudah tidak lagi mutlak dan telah berubah menjadi makna yang relatif, maka bagi kalangan liberal Islam, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi teks keagamaan. Moch. Nur Ichwan, salah satu murid Abu Zayd, menguatkan bahwa dalam konteks Islam, hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini, hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas.[28]Abu Zayd juga memandang al-Qur'an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi ketuhanan (mutlak), Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”.[29] Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teks-teks agama (al-Qur'an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir.[30]Ringkasnya, pandangan Abu Zayd tentang al-Quran, kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat dirangkum secara runtut sebagai berikut:Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbeda total antara satu dengan lainnya sebagai pintu masuk.Meragukan satu persatu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistensi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci (dalam hal ini adalah al-Qur’an), hanyalah yang berada di Lawhul Mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Sehingga pada akhirnya, hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan al-Quran.Setelah meragukan eksistensi al-Quran (atau keberadaan agama itu sendiri) sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan perannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teks-teks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hekekatnya adalah teks atau agama sejarah, yang muncul pada suatu bangsa, pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relatif dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap.Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan sama-sama ditolak, direduksi dan didekonstruksi (dirombak). Penolakan Abu Zayd terhadap pemikiran keagamaan ini tentunya berdasarkan adanya warna suatu dogma dan ideologi terhadap pemikiran keagamaan. Indikasi dogma dan ideologi yang mewarnai pemikiran keagamaan adalah selalu menjadikan Allah sebagai hakim dalam memahami teks dan menelantarkan posisi manusia sebagai makhluk yang historis dalam membaca teks menurut ruang dan waktu ia berada. Maka Abu Zayd pun terjebak dengan ideologi lainnya, yaitu mengutamakan manusia sebagai pembaca teks dan menelantarkan Allah SWT sebagai Sang Pemilik dalam memaknai sebuah teks.Terakhir, seruan meninggalkan agama (kitab suci): “Telah tiba saatnya menganalisa dan melangkah ke era pembebasan –tidak hanya sekedar dari kekuasaan teks-teks agama— tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir bandang.4. Di antara Hasil 'Ijtihad' Abu Zayd4.a. HomoseksualBerangkat dari dikhotomi antara Yang Mutlak dan yang nisbi, dalam bukunya "Voice of an Excile", Abu Zayd secara tegas menghalalkan prilaku homoseksual sebagai fenomena yang alami dan menganjurkan revolusi total terhadap pemahaman al-Quran, karena pemahaman klasik memandang homoseksual sebagai penyimpangan kodrat manusia.[31]Bagi Abu Zayd homoseksual bukanlah suatu penyakit, dan secara biologis kasus homoseksual adalah berbeda dari sisi genetik. Dengan merujuk pendapat Dr. Rudolph Steinberger, pakar psikologis yang merupakan teman karibnya di Belanda, bahwa telah terjadi ketimpangan pada masyarakat dalam memandang homoseksual, yaitu ketika mereka tidak dapat mengenali dan menerima adanya perbedaan dalam diri setiap individu. Menanggapi penjelasan Steinberger, Abu Zayd berkata: “Saya menjadi sadar bahwa homoseksual adalah fenomena yang alami”.[32] Dengan pemahamannya ini, kemudian Abu Zayd mempertanyakan ajaran Islam:“Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution – a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives”.[33](Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini] kecuali kita melakukan revolusi yang nyata – suatu perubahan cara kita berfikir tentang al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita)Abu Zayd mengomentari budaya bangsanya yang tidak bersikap toleran dengan “apa yang disebut dalam Islam sebagai perilaku seksual menyimpang (aberrant sexual behavior). Dia menyayangkan kenapa bangsanya menganggap homoseksual sebagai dosa, kriminal, melawan kodrat alam dan kehendak Tuhan. “Haruskah saya, -sebagai seorang muslim, berdiri di belakang kultur saya dan turut mengutuk masyarakat di luar ortodoks (yaitu yang menganggap homoseksual adalah perilaku alami)?Berdasarkan atas luasnya pergaulan Abu Zayd dan pengamatannya terhadap kaum homoseksual selama di USA, dia mengambil kesimpulan yang cenderung memuji mereka. Bahkan dalam pandangannya, kaum homoseksual kebanyakannya adalah masyarakat yang kreatif, sebagiannya bekerja sebagai artis dan musikus.[34] Dalam mengekspresikan kekagumannya kepada kaum homoseksual ini, Abu Zayd menulis:“I liked many of them and even grew to admire some of them. I never was able to write about this experience in Egypt…”.[35](Saya sangat menyukai kebanyakan dari mereka, dan bahkan mulai mengagumi sebagian mereka. Saya tidak pernah bisa untuk menulis tentang pengalaman seperti ini di Mesir…)4.b. Faham FeminismeSeperti umumnya tokoh-tokoh liberal lainnya yang menyuarakan kesamaan gender (gender equality), baik dalam hak waris bagi perempuan, mengharamkan poligami, menolak pembatasan pakaian (jilbab) dan isu-isu feminisme lainnya, Abu Zayd pun tidak ketinggalan mengambil peran dalam memperkuat faham ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisasi agama.Dalam mensikapi poligami, Abu Zayd berpendapat bahwa sebenarnya solusi yang ditetapkan oleh al-Qur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanen dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke-7. Di mana pada saat itu poligami telah dipraktekkan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa poligami adalah hukum al-Qur’an.[36]Akan tetapi di zaman sekarang ini, Abu Zayd berpendapat bahwa poligami tidak lagi dibolehkan, bahkan dilarang. Sebab pada saat ini, poligami adalah penistaan bagi wanita, sebagaimana juga terhadap anak-anak yang lahir di tengah-tengah keluarga mereka. (polygamy is insulting to women as well as to the children born into the family).[37]Sedangkan mengenai kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab, Abu Zayd secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya. Lebih lanjut dia mengatakan:"Sesungguhnya pengekangan wanita dalam busana jilbab adalah simbol penjelmaan pemasungan pada akal dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri yang sewaktu-waktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir".[38]Adapun tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. (QS. Al-Nisa’: 11)Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayayni mitslu hazhi l-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Qur’an –secara perlahan dan pasti- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan.[39]Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M, seperti halnya saat dia menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat hudud ini, dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam al-Qur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab dalam hal ini, al-Qur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam,qisas, dll) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zayd, penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar al-Qur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime).[40]Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zayd ini tidak sesuai dengan teori proyek penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan pendapatnya, -khususnya- tentang jilbab, poligami, pembagian waris dan penerapan jenis hukuman yang tertera dalam al-Qura’an (hudud) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan sebuah pendekatan yang memegang prinsip-prinsip objektif-ilmiah dan demitologisasi (penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zayd tidak menemukan bukti tertulis dari al-Qur’an maupun Hadits, maka sebagai gantinya dia menyebutkan “yang tidak terkatakan” (al-maskut ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context).Tentunya teori “al-maskut ‘anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Padahal dia sendiri mengingkari al-Qur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh mahfuzh, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi dia juga cenderung berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zayd berdalih dengan historical context untuk memperkuat teori “al-maskut ‘anhu”-nya ini. Sebab alasan ini hanyalah bertujuan untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya. Ideologi Abu Zayd yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam al-Qur’an. Dan sebagai konsekwensinya adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam al-Qur’an tidak bersifat final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu dan tempat. Karena itu, semua jenis hukum yang termaktub dalam al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi waktu itu (specific punishment for particular time).Di sisi lain teori “al-maskut ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadriji) versi al-Thahir al-Haddad,[41] pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar’ah fi Khithabi l-Azmah” (Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-Thahir dan menguatkannya.[42]4.c. Jin dan SihirAbu Zayd melakukan perombakan (dekonstruksi) makna terhadap hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an yang dianggapnya sebagai mitos. Seperti sosok jin, syetan, hasad dan sihir. Baginya, keempat ungkapan ini adalah sebuah fenomena yang melekat pada pemikiran dan hadir dalam kesadaran manusia pada masyarakat Arab dalam periode tertentu. Yaitu pada masa-masa pra-Islam dan di awal pertumbuhan agama ini. Sehingga unsur-unsur kepercayaan (mitos) jahiliyyah masih mewarnai ajaran agama Islam. Mengenai hal ini Abu Zayd menyatakan:"Sihir, hasad, jin dan syetan-syetan adalah kata-kata yang terdapat dalam kerangka pemikiran yang terikat dengan periode tertentu (abad 7M) dari perkembangan kesadaran manusia, kemudian teks (al-Qur’an) merombak (makna) syetan sebagai kekuatan penghalang, lalu menjadikan sihir sebagai salah satu alat untuk memperdaya manusia".[43]Kemudian setelah menyebutkan ayat di atas, dia berkesimpulan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang sihir pada hakekatnya muncul dalam bingkai cerita sejarah, yang artinya bahwa teks al-Qur’an mendudukkan sihir sebagai bukti sejarah. Dengan kata lain, pengertian keempat konsep di atas (jin, syetan, sihir dan hasad), dalam pandangan Abu Zayd dipahami dari sudut pandang historis dalam konteks kondisi masyarakat Arab pada saat turunnya wahyu. Dalam hal ini dia menyatakan sebagai berikut:"Dan setiap yang memiliki pengertian bahwa semua isyarat al-Qur’an yang mengarah pada sihir, sesungguhnya muncul dalam konteks cerita sejarah, yang berarti bahwa teks [al-Qur’an] yang berbicara tentang hal tersebut [sihir] dipandang sebagai bukti sejarah"Pernyataan di atas menjelaskan bahwa Abu Zayd menolak keberadaan sihir sebagai sesuatu yang nyata dan dengan demikian dia juga mengingkari hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah disihir oleh salah seorang Yahudi. Padahal kisah tersebut adalah nyata berdasarkan bunyi hadits berikut:Dari Yazid ibn Arqam, dia berkata bahwa Nabi SAW telah disihir oleh seorang laki-laki Yahudi, maka beliaupun mengeluh sakit karena sihir itu dalam beberapa hari. Kemudian datanglah Jibril AS kepada beliau, dan berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki Yahudi telah menyihirmu dengan mengikatkan beberapa tali buhul untukmu di suatu sumur”. Lalu mengirim (beberapa sahabat) dan merekapun mengeluarkan (buhul-buhul) tersebut, lalu mereka datang membawa buhul tersebut, dan bangkitlah Rasulullah SAW, seakan-akan sakitnya yang diakibatkan sihir tali buhul itu langsung sembuh. Beliau tidak pernah menceritakan hal itu sebagai akibat ulah orang Yahudi itu dan tidak terlihat di wajah beliau sedikitpun hingga wafatnya. (Sunan al-Nasa’i, Kitab Tahrim al-Dam, 4.012; dan Musnad Ahmad, Musnad al-Kufiyyun, 18.467).[44]Sedangkan pemaknaan jin dan syetan sebagai makna metaforis (majaz), yang ditafsirkan dengan kekuatan penghalang dan mengingkari eksistensinya sebagai salah satu makhluk Allah, adalah kebiasaan kalangan modernis yang senantiasa mengartikan segala yang gaib dengan penafsiran materialistis (materialistic interpretation). Konsep gaib, seperti yang tertera dalam QS. Al-Baqarah: 3 yang menjelaskan di antara ciri-ciri orang beriman adalah beriman pada yang gaib, biasanya dimaknai secara materialistik dalam pengertian yang eksperimental yang suatu saat akan dapat dijelaskan oleh penemuan-penemuan ilmiah yang mutakhir. Sehingga konsep gaib menurut mereka bukan bersifat mutlak, tapi lebih bermakna gaib yang relatif (a relative unseen), seperti yang diyakini oleh Syahrur.[45]Pengertian konsep gaib secara materialistik, sangat kontradiktif dan bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179)“Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan)”. (QS. Al-Naml: 17)“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat: 56)Perkataan “Jin” pada ayat-ayat tersebut dan yang semisal dengannya, tidak mungkin dapat diartikan dengan makna kekuatan penghalang atau kekuatan jahat. Sebab kata-kata “jin” senantiasa bergandengan dengan kata “manusia” dan makhluk Allah lainnya. Maka mengacu ayat-ayat di atas, baik secara teks maupun konteks makna jin adalah salah satu jenis makhluk Allah.5. Ulasan Kritis terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu ZaydKlaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara al-Qur'an dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh orang-orang semisal Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius.Pertama: kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia.Kedua: mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu.Ketiga: menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya.Keempat: menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kwalitas yang sama nisbinya. Kelima: membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu..." (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa?Keenam: berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan.Ketujuh: membubarkan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma'ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma'ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat (samar).Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi. Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam penafsiran ulama. Namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas al-Quran dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah, hukum syariat dan sebagainya. Misalnya dalam bidang akidah, tidak ada ulama yang menafsirkan makna ayat “Qul huwallahu ahad”, dengan membenarkan teologi Trinitas. Bahkan mereka sepakat menafsirkan kata kafara dalam QS.5:73 (Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga), dengan makna murtad, dan tidak ada yang memaknai kufur nikmat.Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syariat pun, para mufassirin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya puasa Ramadan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir, juga tidak dijumpai satu penafsiran pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (hudud) dan waris telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya bersifat cabang (furu'iyyah), teknis fiqh dan bukan pada hal-hal yang bersifat fundamental.Sedangkan asumsi historisitas al-Qur’an, baik dengan menyebutnya sekedar teks linguistik, produk budaya maupun teks manusia, tidaklah mempunyai dasar yang kuat. Sebab ‘kesadaran ilmiah’ (al-wa‘yu l-‘ilmi) yang diproyeksikan Abu Zayd sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian keagamaan, tidak lain adalah karbon kopi dari metode ‘kesadaran historis’ (historical consciousness) versi Wilhem Dilthey[46], dan tentunya bila diterapkan pada wacana keagamaan akan meragukan nilai-nilai agama, mengaburkan batasan yang jelas antara makna qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan), antara tsawabit (hal-hal yang bersifat tetap) dan mutaghayyirat (hal-hal yang berubah), antara yang ijma’ (disepakati) dan ikhtilaf (berbeda), antara yang mutawatir dan ahad dan sebagainya, serta mengedepankan realitas untuk berkuasa atas pemaknaan teks.Pendekatan hermeneutika yang dipropogandakan kalangan modernis semisal Abu Zayd untuk menggeser peranan tafsir dan ta'wil dalam studi al-Qur'an, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang bertentangan. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir - ta'wil di sisi lain. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Hermeneutika yang telah lama digunakan dalam tradisi Yunani, Yahudi dan Kristen sebenarnya adalah jawaban atas keaslian sandaran keagamaan yang terus menjadi perdebatan. Keyakinan, tradisi dan ritual keagamaan bangsa Yunani dibangun di atas mitos, sajak (poetry) dan spekulasi para filsufnya, dan tidak pernah didasarkan atas wahyu atau kenabian. Sedangkan Yahudi dan Kristen (Perjanjian Lama dan Baru) telah lama terlibat aktif dalam pengembangan dan pengeditan terhadap teks sucinya. Sehingga tidak bisa lagi ditemukan keaslian otographi para pengarang Bibel secara meyakinkan. Akibatnya, kritik Bibel sebagai disiplin ilmu telah dikembangkan untuk mengkaji beberapa permasalahan teks, komposisi dan sejarah yang berkaitan dengan Perjanjian Baru dan Lama dalam rangka mendapatkan penafsiran yang lebih makna. Pada dasarnya, metode penafsiran Yahudi-Kristen meliputi dua prosedur yang saling berkaitan; a) melampaui makna harfiah (literal meaning) teks dan menggabungkan penafsiran Bibel dalam kerangka teologi yang lebih besar (larger theological framework). b) membentuk setelan aturan yang mengkondisikan dan mencakup barisan penafsiran dalam komunitas, kemudian berusaha melindungi identitas dan pertalian keagamaan mereka.[47]Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas al-Qur’an dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang?Konsep al-Qur’an yang diuraikan Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian al-Qur’an yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan al-Qur’an dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian al-Qur’an adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap al-Qur’an yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa al-Qur’an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history).[48]Memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut; Pertama: hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua: penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga: memisahkan makna antara yang "normatif" dan yang "historis" di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler.[49]Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna al-Qur’an menurut zaman tertentu dalam sejarah.[50]Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (iman-kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks -dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya- sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya).[51]Sedangkan tujuan teori tafsir abu zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan.6. KhatimahPendekatan hermeneutika yang membawa ruh relativisme kebenaran dan saat ini dicoba untuk diterapkan menafsirkan teks-teks keagamaan (baik al-Qur'an maupun Hadits), tidak dapat disebut sebagai bagian dari ijtihad atau pembaharuan dalam koridor khazanah keilmuan Islam. Paham relativisme berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat yang mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini. Paham yang berujung pada penolakan terhadap segala pemikiran yang telah mapan ini adalah bagian dari paham post-modernisme yang selalu ingin melakukan perombakan (deconstruction). Sebab dalam relativisme, hal-hal yang paling mendasar dalam agama, -seperti kedudukan wahyu al-Qur'an, kekuatan Mushaf Utsmani, aturan hukum waris, pernikahan, larangan homoseksual dsb-, tidak luput dari dekonstruksi. Semua hukum dan ajaran agama bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melatarbelakangi si penafsir dan teks, seperti yang menjadi sasaran pendekatan konteks historis (historical context).Paham relativisme tidak mengenal kaedah: "la ijtihada fi l-qath'iyyat" (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), walaupun dalam masalah ibadah dan akidah. Relativisme tafsir al-Qur'an tidak bisa disandingkan dengan karya-karya tafsir ulama mu'tabar. Sebab semua tafsir tersebut tetap merujuk pada induk yang sama, yang disepakati, yang satu, yang mapan, dan yang disetujui oleh seluruh umat Islam di manapun dan kapanpun. Sedangkan dalam relativisme, tidak ada kaedah yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri. Maka definisi Islam yang telah mapan (established) misalnya, tetap akan dirombak, sehingga orang non-Muslim pun dapat dikatakan sebagai Muslim, dan agama selain Islam pun, juga dapat ditafsirkan sebagai Islam. Hal ini seperti pendapat Dr. Ugi Suharto dalam mendudukkan Islam liberal yang tidak bisa kategorikan dalam pemikiran maupun madzhab dalam Islam. Sebab pemikiran Islam liberal berupaya membebaskan dan 'meliberalkan' umat Islam dari Islam yang satu, yang disepakati, dan Islam yang sudah mapan.Al-Qur'an sebagai kitab suci mempunyai aturan dan kaedah tersendiri dari sisi penafsirannya. Karakter bahasa Arab yang unik, gramatika dan struktur kalimatnya, sastera pra-Islam, kedudukan hadits dan kaedah penafsiran ayat dengan ayat dsb senantiasa menjaga al-Qur'an untuk tidak ditafsiri secara liar. Wallah a'lam bi al-shawab.[1] al-'Allamah 'Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Ed. Muhammad al-Iskandarani, (Dar al-Kutub al-'Arabi, Beirut: 2004), hal. 405[2] 1994-2001 Encyclopedia Britannica 2001, Deluxe edition CD-ROM[3] Sekedar menyebutkan contoh; Abu Zayd, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi`i: Moderatisme - Eklektisime - Arabisme, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, LKIS; Nasr Hamid Abu Zayd, 2003, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutik al-Qur’an, diterjemahkan oleh Dede Iswadi, Jajang A. Rohmana, Ali Mursyid, cetakan I, RQiS (Risearch for Quranic Studies), [huruf i pada kata “risearch” adalah seperti yang tertera dari penerbit buku], Bandung, 207 halaman; Nashr Hamid Abu Zayd: Penggagas kajian tekstualitas al-Qur’an, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, diterbitkan oleh MIZAN, dll.[4] DR. Syamsuddin Arief, (Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman), Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Republika, Kamis, 30 September 2004[5]http://66.102.7.104/search?q=cache:HccWv31mcMJ:en.wikipedia.org/wiki/Nasr_Abu_Zayd+nasr+hamid+abu +zayd&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=1, 25 August 2006[6] Setelah menerima keputusan bersalah dari mahkamah, --menurut encyclopedia Wikipedia--, Komando Jihad Jama’ah Islamiyyah (The Jihad armed Islamist group, --kelompok radikal Islam yang membunuh presiden Anwar Sadat pada tahun 1981)—berpendapat bahwa Abu Zayd harus dibunuh karena telah mencampakkan akidahnya, murtad. Abu Zayd dilindungi polisi, namun ditolaknya. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1995, bersama istrinya terbang ke Madrid, lalu memutuskan untuk pergi ke Belanda. Di negeri ini dia diundang untuk mengajar sebagai Profesor tamu di Universitas Leiden.[7] ISIM, www.qantara.de/webcom/show_article, February 2006[8] http://66.102.7.104/search?q=cache:HccWv31-mcMJ:en.wikipedia.org/wiki/Nasr_Abu_Zayd +nasr+ hamid+abu+zayd &hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=1, 25 August 2006[9] Penulis telah menyelesaikan satu buku tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dan pengaruhnya di Indonesia. In Sya'allah akan diterbitkan oleh Gema Insani Press dalam waktu dekat.[10] Catatan Akhir Pekan ke-170; Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com, Adian Husaini, “Hasil Penelitian Departemen Agama tentang Faham Liberal Keagamaan”[11] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khithab al-Dini, (Sina li l-Nashr, Kairo:1992), cetakan pertama, hal. 6. Selanjutnya disingkat Naqdu l-Khithab.[12] Dalam pengamatannya, terdapat tiga aliran utama yang mempunyai karakteristik dan pendekatan tersendiri. Pendekatan ketiga aliran tersebut meliputi, pertama: institusi keagamaan resmi negara (ittijah al-mu’assasah al-rasmiyyah li l-dawlah) yang diwakili oleh al-Azhar, kedua: pendekatan Islam Kiri (al-yasar al-Islami) yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi, khususnya yang tertuang dalam karya besarnya “Mina l-‘Aqidah ila l-Tsawrah” dan ketiga: pendekatan golongan pencerah (al-tanwiriyyun), atau yang kerap dijuluki sebagai golongan sekuler (al-‘ilmaniyyun). Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada fasal muqaddimah dalam Naqdu l-Khithab, cetakan pertama terbitan Suna li l-Nashr.[13] Ibid, hal.8[14] Ibid, hal.8[15] Ibid, hal. 6-7[16] al-Khithab, hal. 181. Mu'tazilah adalah aliran rasionalis yang dikenal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu'tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah bersepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin. Perdebatan ini dipicu dengan pendapat aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah bayna manzilatayn). Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasihkan diri (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu'tazilah. Dari berbagai sumber, di antaranya: ‘Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayna l-Firaq, (Dar al-Turats, Kairo:t.th), hal. 40-41; al-Syahrastani, al-Milal wa l-Nihal, vol. I, (Dar al-Fikri, Beirut:t.th), hal. 52; al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi l-Siyasah wa l-‘Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Fikri al-‘Arabi, t.p), hal. 124; Abu Lababah Husayn, Mawqif al-Mu’tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Mawathin Inhirafihim ‘anha, (Dar al-Liwa’, al-Tab’ah al-Daniyah, Riyadh: 1987), hal. 9[17] Naqd al-Khithab, hal. 9[18] ibid, hal. 185. Dikhotomi antara agama dan keagamaan seperti ini juga persis bertaburan (untuk tidak mengatakan diadopsi) dalam beberapa karya cendekiawan Indonesia, seperti Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2004 (232 halaman), hal. 12. Dalam catatan kaki, penulis mengutip dari Komaruddin Hidayat, Agama untuk Kemanusiaan”, dalam Andito (ed), Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 41-42. Dikhotomi antara agama dan keberagamaan dengan makna semisal juga terlihat dalam karya DR. Lukman S. Thahir, MA, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, Qirtas kelompok penerbit Qalam, Yogyakarta (262 halaman), hal. 68-69[19] al-Khithab, hal. 16[20] Naqd al-Khithab, hal. 189-190[21] ibid, hal.99[22] Munir Ba‘albaki, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar al-‘Ilm li l-Malayin, Beirut:1995), hal. 762[23] Naqd al-Khithab, hal. 193[24] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi zaman al-Takfir, dhiddu l-jahl wa l-zayf wa l-kharafah, (Maktabah Madbuli, Kairo: 2003) cetakan II, hal. 210; dan al-Khithab wa l-Ta’wil, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan pertama, hal. 205.[25] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nashsh wa l-Sulthah wa l-Haqiqah: Iradatu l-Ma‘rifah wa Iradatu l-Haymanah, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan keempat, hal. 92[26] Teks aslinya berbunyi: “Inna l-qur’an –mihwaru hadithina hatta l-ana- nashshun diniyyun tsabitun min haytsu manthuqihi, lakinnahu min haytsu yata‘arradhu lahu l-‘aqlu l-inssniy wa yushbihu “mafhuman” yafqadu shifata l-thabat, innahu yataharraku wa yata‘addadu dilalatuhu. Inna l-tsabat min sifati l-muthlaq wa l-muqaddas, amma l-insaniy fa huwa nisbiy mutaghayyirun. Wa l-qur’an nashshun muqaddasun min nahiyati manthuqihi, lakinnahu yushbihu mafhuman bi l-nisbiy wa l-mutaghayyir, ay min jihati l-insani wa yatahawwalu ila nashshin insaniyyin “yata’ansanu”. Wa mina l-dharuri huna an nu’akkida anna halata l-nashshi l-khami l-muqaddasi halatun mitafiziqiyyatun la nadri ‘anha syay’an illa ma dzakarahu l-nashshu ‘anha wa nafqahuhu bi l-dharurah min zawiyati l-insani l-mutaghayyiri wa l-nisbiy. Al-nash mundzu lahzhati nuzulihi l-ula – ay ma’a qira’ati l-nabiy lahu lahzhata l-wahyi- tathawwala min kawnihi (nashshan ilahiyyan) wa shara fahman (nashshan insaniyyan). Li annahu tathawwala mina l-tanzili ila l-ta’wil”. Lihat: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab, (Sina li l-Nasyr, Kairo: 1992) cetakan pertama, hal. 93[27] ibid, hal. 93-94[28] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, cetakan I, (Teraju, kelompok Mizan, Jakarta:2003), hal. 59-60[29] Nasr Hamid Abu Zayd & Esther R. Nelson, Voice of an Exile Reflections on Islam, (Connecticut/London, Praeger: 2004), hal. 174-175[30] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, (Maktabah Madbuli, Kairo:2003), cetakan III, hal. 146[31] Voice, hal. 89[32] Teks aslinya: I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon[33]Voice, hal. 89[34] ibid, hal. 87-88[35] ibid, hal. 88[36] ibid, hal. 173. Dalam buku ini Abu Zayd menyatakan: “The solution established by the Qur’an is not the same thing as establishing plygamy. It is using polygamy as a solution to real problem in the seventh century, the problem of orphans. Polygamy was widely practiced already. So we cannot say that polygamy is Qur’anic law”.[37] Ibid, hal. 174[38] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Mar’ah fi Khithab al-Azmah, (Dar al-Nusus, Kairo:t.th), hal. 103. Selanjutnya disingkat al-Mar’ah[39] Voice, hal. 178[40] ibid, hal. 166[41] lihat al- Thahir al-Haddad, Imra’atuna fi l-Syari’ah wa l-Mujtama’, (al-Dar al-Tunisiyyah li l-nasyr: 1992), khususnya bab Imra’atunØ© fi l-Sharت’ah (wanita kita dalam syari’ah).[42] al-Mar’ah, hal. 52-58[43] Naqd, hal. 206[44] Mawsu’ah al-Hadits al-Syarif (al-Kutub al-Tis’ah), al-Ishdar al-Tsani, 2000, Global Islamic Software Company[45] Jilani Ben Touhami Meftah, The Arab Modernists and the Qur’anic Text, (University Malaya Press, Kuala Lumpur: 2005), hal. 121. Selanjutnya disingkat The Arab Modernists[46] Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (Routledge, London and New York: 1980), hal. 268[47] Ahmad Bazli Bin Shafie, A Modernist Approach to the Qur'an: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman, A Thesis submitted in partial fulfilment of the requirement for the degree of doctor of philosophy in Islamic thought, (International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC], International Islamic University Malaysia [IIUM], Kuala Lumpur: 2004), belum dipublikasikan, hal. 237. Selanjutnya disebut A Modernist Approach to the Qur'an[48] The Arab Modernists and the Qur’anic Text, hal. 51[49] A Modernist Approach to the Qur'an , hal. 238[50] Voice, hal. 175. Tentang hal ini, Abu Zayd berkata: “When we take the historical aspect of that communication as divine, we lock God’s Word in time and space. We limit the meaning of the Qur’an to a specific time in history.[51] DR. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, Min ‘Ulum al-Qur’an: Maqalatani fi l-Ta’wil, Ma‘alim fi l-Manhaj… wa rushd li l-Inhiraf, (Dar al-Bashair, Kairo: 2003), hal. 74
Tuesday, 8 May 2007
Rememebering Al Hallaj
Remembering al-Hallaj
By Dr Muzaffar Iqbal
On the evening of March 26, 922, a large crowd gathered on the banks of the Tigris, just in front of Bab Khurasan; they had come to witness the public hanging of an extraordinary man who had lived in Baghdad for almost seventeen years now. His death sentence, passed by the public prosecutor in the presence of many prominent members of the judiciary, listed a number of charges against the man who was, at that time, being kept in the police station across the river. Whatever the nature of charges against him, the condemned man was not interested in defending himself. In a public outburst of unusual nature, he had, in fact, declared his killing lawful, that it was almost a religious duty for his brethren in faith. This bold and daring invitation to kill him was, however, not merely for a simple death, but for a violent one: "Kill me, O my dear friends, for me living is death, and death life. Kill me, and burn me, and spread my crumbling bones…"
Ironically, the reasons for which he was being hanged by a thoroughly corrupt government had nothing to do with his own call; he was being killed for political reasons. During the last few years, his fervent sermons had stirred up a revolution in Baghdad that sought to purify the decaying and corrupt milieu of the Abbasid Empire. In fact, Caliph al-Muqtadir had been deposed by an unprecedented coup in December 908, but the next day the new Caliph was removed by the powerful generals. Thus the young al-Muqtadir regained caliphate though the real control of power remained in the hands of his mother and more so in the hands of military generals who then thrived on corruption and power politics of the worst kind.
For al-Hallaj, the reasons for his hanging had no importance. He had reached a state in his mystical journey where reasons had no meaning; only his unflinching love for God mattered. Thus when he was hanged that night before an enormous crowd that had gathered to witness hanging, he was smiling, eagerly awaiting the meeting with his Lord. Among those who had gathered around the place of hanging were many celebrated Sufis of Baghdad, including his friend Shibli, who threw a red rose toward al-Hallaj in a highly symbolic act that has drawn attention of countless scholars over the centuries.
Over the last 1085 years, Mansur al-Hallaj has become one of the most celebrated legends of Islamic mysticism and poetry. Generations of Sufis, poets, and scholars have written about him, and he continues to draw attention both in the East and the West. He has left behind a Divan, a short treatise of eleven chapters, Kitab al-Tawasin, which contains one of the best eulogies of the Prophet (PBUH) ever composed in any language, and some three hundred and fifty isolated sayings. It is, however, not the corpus of his works that has made this extraordinary man a living legend, it is the scant record of his mystical journey and his public testimony to it that has made him what he is.
He was not a recluse, but a man of action who has left a deep mark on Islamic thought. In addition to the function he serves for those on the mystical journey, he is also a heroic figure for those who wish to bring about a change in the public domain. He has provided guidance and inspiration to such varied men and women as Iqbal, Goethe, Dante, and Louis Massignon. Massignon, in fact, spent his entire life collecting, annotating, and editing his works.
To al-Hallaj is attributed the metaphor of the moth and the flame. The moth flutters around the flame, for it has received news of its light. But once there, it is not content with mere news: it wants to taste Reality. Thus revolving in ever smaller circles, it finally throws itself into the flame, thereby becoming one with it; consumed by it, it regains another life. This powerful metaphor has appeared time and again in poetry of various languages.
Perhaps no one stood by the banks of Tigris on March 26, 2007 to remember al-Hallaj, but millions of men and women around the world quietly celebrated the memory of this mystic of Islam, who had traveled far and wide during his life, leaving behind memoirs of his transit in places as far apart as Makkah and Ughir. Among all the mystics of Islam, it is al-Hallaj who has been granted the function of opening doors to hearts for those who are consumed by Divine love for his was a passionate affair, lived, and relived in countless hearts as they journey toward God.
For those who are only concerned with the outward, his passionate calling to a life devoted to God and only God may seem blameworthy, but for those who are in the midst of an all consuming love for God, his mystical journey remains irresistible. At the heart of this mystical journey is an abandonment of the self for the sake of the friend:
O All of my all, the all of all things, equivocal enigma
It is the all of Your all that I obscure in wanting to express You
Let my heart be Your ransom! O my hearing, O my sight!
Why do You keep me so long at such a distance?
Diambil dari Koran The News Pakistan
By Dr Muzaffar Iqbal
On the evening of March 26, 922, a large crowd gathered on the banks of the Tigris, just in front of Bab Khurasan; they had come to witness the public hanging of an extraordinary man who had lived in Baghdad for almost seventeen years now. His death sentence, passed by the public prosecutor in the presence of many prominent members of the judiciary, listed a number of charges against the man who was, at that time, being kept in the police station across the river. Whatever the nature of charges against him, the condemned man was not interested in defending himself. In a public outburst of unusual nature, he had, in fact, declared his killing lawful, that it was almost a religious duty for his brethren in faith. This bold and daring invitation to kill him was, however, not merely for a simple death, but for a violent one: "Kill me, O my dear friends, for me living is death, and death life. Kill me, and burn me, and spread my crumbling bones…"
Ironically, the reasons for which he was being hanged by a thoroughly corrupt government had nothing to do with his own call; he was being killed for political reasons. During the last few years, his fervent sermons had stirred up a revolution in Baghdad that sought to purify the decaying and corrupt milieu of the Abbasid Empire. In fact, Caliph al-Muqtadir had been deposed by an unprecedented coup in December 908, but the next day the new Caliph was removed by the powerful generals. Thus the young al-Muqtadir regained caliphate though the real control of power remained in the hands of his mother and more so in the hands of military generals who then thrived on corruption and power politics of the worst kind.
For al-Hallaj, the reasons for his hanging had no importance. He had reached a state in his mystical journey where reasons had no meaning; only his unflinching love for God mattered. Thus when he was hanged that night before an enormous crowd that had gathered to witness hanging, he was smiling, eagerly awaiting the meeting with his Lord. Among those who had gathered around the place of hanging were many celebrated Sufis of Baghdad, including his friend Shibli, who threw a red rose toward al-Hallaj in a highly symbolic act that has drawn attention of countless scholars over the centuries.
Over the last 1085 years, Mansur al-Hallaj has become one of the most celebrated legends of Islamic mysticism and poetry. Generations of Sufis, poets, and scholars have written about him, and he continues to draw attention both in the East and the West. He has left behind a Divan, a short treatise of eleven chapters, Kitab al-Tawasin, which contains one of the best eulogies of the Prophet (PBUH) ever composed in any language, and some three hundred and fifty isolated sayings. It is, however, not the corpus of his works that has made this extraordinary man a living legend, it is the scant record of his mystical journey and his public testimony to it that has made him what he is.
He was not a recluse, but a man of action who has left a deep mark on Islamic thought. In addition to the function he serves for those on the mystical journey, he is also a heroic figure for those who wish to bring about a change in the public domain. He has provided guidance and inspiration to such varied men and women as Iqbal, Goethe, Dante, and Louis Massignon. Massignon, in fact, spent his entire life collecting, annotating, and editing his works.
To al-Hallaj is attributed the metaphor of the moth and the flame. The moth flutters around the flame, for it has received news of its light. But once there, it is not content with mere news: it wants to taste Reality. Thus revolving in ever smaller circles, it finally throws itself into the flame, thereby becoming one with it; consumed by it, it regains another life. This powerful metaphor has appeared time and again in poetry of various languages.
Perhaps no one stood by the banks of Tigris on March 26, 2007 to remember al-Hallaj, but millions of men and women around the world quietly celebrated the memory of this mystic of Islam, who had traveled far and wide during his life, leaving behind memoirs of his transit in places as far apart as Makkah and Ughir. Among all the mystics of Islam, it is al-Hallaj who has been granted the function of opening doors to hearts for those who are consumed by Divine love for his was a passionate affair, lived, and relived in countless hearts as they journey toward God.
For those who are only concerned with the outward, his passionate calling to a life devoted to God and only God may seem blameworthy, but for those who are in the midst of an all consuming love for God, his mystical journey remains irresistible. At the heart of this mystical journey is an abandonment of the self for the sake of the friend:
O All of my all, the all of all things, equivocal enigma
It is the all of Your all that I obscure in wanting to express You
Let my heart be Your ransom! O my hearing, O my sight!
Why do You keep me so long at such a distance?
Diambil dari Koran The News Pakistan
Monday, 7 May 2007
Menembus Batas, Mungkinkah? Akal dan Kebebasan Berpikir
MENEMBUS BATAS, MUNGKINKAH?
Analisa terhadap Akal dalam Wacana Kebebasan Berpikir
Hamdan Maghribi
We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve.
-Albert einstein-
Pendahuluan
Wacana kebebasan berpikir seringkali kita jumpai dalam setiap sudut pembahasan pengusung Islam Liberal di Indonesia. Ternyata paham ini bukanlah bahan dagangan baru dalam kancah filsafat dan pemikiran Barat. Pakar sejarah Barat seringkali merujuk motto Revolusi Perancis -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia -yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.
Di sini kita bisa melihat pengaruh sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” -sebuah doktrin yang kemudian diagung-agungkan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche sang “pembunuh Tuhan”.
Sebagai anak kandung Humanisme, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).
Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi.
Secara umum, tujuan mereka adalah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab suci, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-a-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan. Inilah yang kemudian mendapat kecaman keras dari pihak gereja. Kecenderungan-kecenderungan seperti inilah yang kemudian mereka sebut “modernisme”
Di dunia Islam paham liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu”. Mereka yang menjadi “liberal” antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M). (Lihat: Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998).
Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988).
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain.
Dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup beberapa hal yang terangkum dalam wujud pengagungan terhadap akal dan free thinking (kebebasan berpikir) -yang akhirnya berujung pada faham sufistha’iyyah, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik-. Menurut mereka free thinking berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja.
Pertanyaannya sekarang mampukah akal menembus batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh agama (baca: Islam)? Benarkah Bepikir dilarang? Bisakah akal berpikir bebas sebagaimana yang dikumandangkan kaum rasionalis? Dalam artikel singkat berikut penulis akan berusaha memjawab berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan wacana kebebasan berpikir tersebut diatas.
Posisi Akal dalam Islam
Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Allah berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk (Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), syari’at (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), mengambil ‘Ibrah atas umat terdahulu (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Fenomena lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak (dogmatis), tidak memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun, diberikan padanya kebebasan memilih, iman atau kufur (QS: al-Baqarah: 256). Bukti lain fenomena penghormatan terhadap akal, yakni adanya celaan terhadap Muqallidin (orang-orang yang taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya perintah memelihara akal dan larangan untuk merusaknya. Semua itu menunjukkan, betapa Islam begitu menghormati akal dan meletakkannya pada kedudukan dan posisi yang terhormat.
Meskipun demikian, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasus yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang tampaknya bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena’wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh ulama. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta’wil –sekarang lebih populer dengan nama hermeneutika-, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka dan sebagainya.
Memang kemerosotan umat Islam saat ini, mengutip pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan peradaban Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat. Tapi bukan berarti lantas kita dengan seenaknya menafsirkan nash dengan akal kita, dengan alasan kebebasan berpikir demi mengatasi krisis.
Maka tanggungjawab kita sebagai Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kebodohan. Yang menjadi kendala sekarang adalah kekeliruan epistemologi; ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan ini. Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Sangat disayangkan kemudian sebagian intelektual Muslim kita terpengaruh pemikiran Barat dan terperangkap dalam dikotomi; liberal-literal, objektif-subjektif, progresif-konservatif, teokrasi-demokrasi. Meraka lupa bahwa dikotomi tersebut berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernitas dan kemajuan manusia. Lantas dengan mebabi buta menerapkannya dalam Islam tanpa kritik.
Harus kita ketahui bahwa akal dan kebenaran yang diperolehnya tidaklah independent. Kebenaran sains harus tunduk kepada kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Paparan al Kindi dan ibn Rusyd tentang hubungan akal dan wahyu sangatlah patut kita gunakan sebagai contoh.
Kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal menggunakan metode yang benar. Al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal pikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya. Tidak ada dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, Al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkarannya yang sempit.
Kemunduran umat Islam dalam berpikir saat ini tidak ada kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat apapun ajaran yang dijadikan acuan (baca: al-Qur’an) tidak akan berarti kalau yang menjadikannya acuan tidak punya minat untuk mendalaminya dengan adil dan bijak. Harus disadari, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga harus dirubah dan disifati dengan liberal, substantif, inklusif, emansipatoris maupun sejenisnya, bukan pula salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki “ego” (khudi-meminjam istilah Iqbal) yang lemah.
Maka seharusnya yang menjadi perhatian dalam mempelajari pemikiran dan filsafat Barat adalah tujuannya. Tujuan dalam mempelajari pemikiran barat harus diletakkan sebagai perbandingan dan bukan mengekor dan atau selalu mengamini setiap ajarannya karena sebagai seorang Muslim kita telah memiliki worldview dan framework tersendiri dalam berpikir. Kita memang tidak memungkiri ide-ide cemerlang pemikir Barat seperti konsep cogito ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge is powernya Foucault, namun bukan berarti lantas kita mengagung-agungkan dan mensakralkannya tanpa kritik.
Semua ada batasannya
Untuk lebih jelasnya, marilah kita renungi bersama beberapa pertanyaan yang seringkali menggoda alam pikir kita berikut; mengapa kita dilahirkan dalam berbagai keterbatasan? Mengapa indera kita tak mampu mencapai semua hakikat kebenaran? Mengapa kita tak mampu mengindera Tuhan? Kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai keterbatasan?
Untuk membuktikan keterbatasan akal kita mari kita tinjau beberapa analog berikut. Pertama, Mata kita begitu terbatas. Kita tak mampu melihat sesuatu yang terhalangi. Bahkan, mata kita pun terbatas pada sesuatu yang tak terhalangi. Rembulan di malam hari terlihat hanya sebesar bola basket di mata kita. Gugusan bintang hanya terlihat sebesar titik saja di langit yang luas. Begitu terbatasnya mata pada benda yang nyata (fisik) dan tentu saja mata kita lebih terbatas pada benda atau hal yang melampaui nyata (metafisik).
Kedua, Telinga kita pun demikian. Kita tak mampu mendengar bisikan hati teman kita, sekalipun ia ada di samping kita. Telinga kita tak mampu mendengar suara yang halus di sekitar kita. Telinga kita benar-benar terbatas. Telinga hanya bisa mendengar bunyi, sesuai dengan kemampuan pendengarannya yang terbatas.
Ketiga, Hidung kita pun terbatas pula. Kekuatan penciuman kita benar-benar terbatas. Kita hanya bisa mencium bau yang ada di sekitar kita. Tak mampu hidung mencium bau yang jauh dari tempat kita berada. Seluruh organ-organ kita tak mampu melebihi batas-batasnya. Pada intinya, kita benar-benar terbatas. Untuk mencerap alam di sekitar kita saja, kita terbatas dan tentu saja alam “di luar” kita pun terbatas untuk di cerap. Semua indera kita terbatas.
Lalu kenapa kita diciptakan terbatas? Bayangkan jika mata kita tak terbatas. Mampu melihat dibalik dinding kamar mandi tetangga. Mampu melihat apa yang seharusnya tersembunyi. Mampu melihat bakteri yang melayang-layang diudara, kuman yang berkeliaran dalam minuman dan makanan kita. Bayangkanlah jika hidung kita mampu mencium bau yang ada di dalam tubuh kita sendiri.
Bayangkan pula jika telinga kita melebihi batasnya. Bayangkan jika kita mampu mendengar semua kebisingan yang ada. Mampu mendengar suara-suara yang mengerikan. Mampu mendengar suara-suara di dalam tubuh kita. Padahal melihat darah yang mengucur saja tidak jarang dari kita yang ngeri. Mencium bau yang sedikit busuk saja sudah jijik. Mendengar suara bising saja kepala pusing. Bayangkanlah jika diri kita tak terbatas.
Lantas bagaimana halnya dengan akal kita?. Akal kita tak akan mampu menembus batas-batas yang telah ditentukan olehNya. Akal kita tak mampu (dan tak akan pernah mampu) mengetahui diriNya secara nyata, karena Allah terhalang oleh hijab. Kita hanya bisa mengetahui keberadaan Allah, melalui kabar yang diturunkanNya kepada Rasulallah Saw. Akal kita benar-benar terbatas. Jangankan menghadapi diriNya Yang Maha Agung, untuk menghitung jumlah rambut kita saja akal akan mendapat kesulitan. Memikirkan sistem dalam tubuh kita pun, akal harus tunduk pada fakta penciptaan yang nyata. Akal kita tidak dapat memikirkan ada apa sebelum kita. Jika pun kita memikirkannya, kita tak akan mampu memahaminya. Hanya kepercayaan kepada Allah sajalah yang dapat kita lakukan.
Cangkir hanyalah bisa menampung air yang sesuai dengan kadar ruang tampungnya, tidak mungkin kita menuangkan air seember kedalam cangkir tersebut. Bukanlah cangkir itu rusak atau salah, tetapi cangkir itu terbatas dan tak akan mampu melampaui batasnya. Demikian pula halnya akal budi kita. Bukanlah dirinya yang salah atau rusak ketika memikirkan Tuhan, tetapi karena ia terbatas.
Lantas, apakah ini sebuah sikap yang pesimis terhadap kebenaran? Sama sekali tidak! Ini hanya pengakuan dan kesadaran akan keterbatasan diri. Kita mampu mengetahui Allah Swt dengan benar melalui pengabaran diriNya tentang diriNya sendiri melalui Al Quran. Akan tetapi pengetahuan kita tentangNya tentu terbatas pada apa yang ia kabarkan tentang diriNya tersebut.
Penutup
Dengan menyadari keterbatasan dan kelemahan kita, tentu kita akan senantiasa sujud menyerah kepadaNya. Kita patuhi semua kehendak dan takdirNya. Tapi bukan berarti ini menggiring kita pada fatalisme. Sekali lagi ini hanya kesadaran keterbatasan diri. Oleh karena itu kita harus yakin bahwa hukum-hukum Allah memang begitu.
Dengan demikian, kita tak akan lagi perlu menanyakan keadilan Allah. Tentang ‘kenapa benyak orang jahat yang diberi kesenangan, dan banyak orang beriman yang menderita padahal Allah Maha Kuasa’. Allah Swt memiliki banyak rahasia yang tak tergapai oleh kita. Di mana letak sorga dan neraka? Tak perlu lagi dipertanyakan karena akal kita terbatas, sedang letak imajinasi atau khayalan saja, yang senantiasa bersama kita, tak mampu dijelaskan. Di mana terjadinya mimpi saja tak mampu kita terangkan. Padahal mimpi senantiasa menemani kita di saat tidur. Padahal kita tak mampu menjelaskan bentuk nyata alam bawah sadar. Kita terbatas. Oleh karena itu kita harus menyandarkan diri kita pada hal yang melebihi diri dan semua makhluk yang ada. Dia lah Allah Swt.
Keterbatasan sudah merupakan sunatulallah, sesuai dengan keadaan semesta, sesuai dengan takaran keberadaan segala sesuatu di luar diri kita, sesuai dengan fitrah penciptaan. Sementara itu, Allah telah melebihkan sebagian manusia di antara manusia lainnya. Ada para Nabi yang mampu menembus batas-batas manusia biasa. Hal sedemikian itu merupakan bentuk lain kasih sayang Allah Swt atas diri kita. Dengan adanya para Nabi, kita mampu mengetahui apa yang harus kita lakukan di alam dunia. Kita di tuntun untuk menapaki jalan yang benar, yang ia turunkan kepada para Nabi. Akal kita terbatas dan tidak akan mampu untuk mengetahui perintah Allah Swt yang dapat menuntun kita menuju jalan keselamatan. Oleh karena itu Allah menurunkan perintah itu kepada Nabi.
Upaya-upaya untuk menembus batas memang kerap dilakukan oleh manusia. Saat ini, batas sudah tak lagi dihiraukan. Sebagian manusia berlomba-lomba melampaui batas. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa kita tak pernah kemana-mana. Kita tetap dalam keterbatasan kita.
Akhirnya, marilah kita melihat pernyataan Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya The Need for Sacred Knowledge, yang menawarkan sebuah konsep integral antara sains (akal) dan agama, yaitu sains suci (sacred science). Dengan sains suci, Nasr mencoba untuk mengatakan bahwa agama dan sains dapat bersatu. Karena, sains suci, yang merupakan sains tertinggi, mempunyai kaitan erat dengan prinsip-prinsip Ilahiah dan manifestasinya. Ia adalah pengetahuan yang bersemayam dalam manusia, seperti juga pengetahuan yang dimengerti lewat wahyu. Sains suci bukanlah pengetahuan metafisika, akan tetapi merupakan suatu ilmu yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip metafisika kepada makrokosmos dan juga mikrokosmos. Kata kuncinya adalah totalitas dan kesatuan. Menurutnya, sains modern, walaupun berkorepondensi dengan realitas, namun tidak akan melampaui fenomena. Karena, jika hanya pada tingkat fenomena, manusia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekosongan.
Islam memang menyeru umatnya untuk selalu berpikir dan menggunakan akalnya, tapi harus selalu diingat, semuanya itu ada batasnya. Maka diakhir tulisan ini penulis mengajak untuk merenungi ungkapan einstein pada awal tulisan ini. We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve. Allahumma arina al haqqa haqqa warzuqna ittiba’ah. (albi_4eva)
Referensi
Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Knowledge, Suhail Academy, 2000.
Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988.
Hassan as Syafi’i, At-Tayyar al-Masyai fi al Falsafah al Islamiyyah, Cairo, 1998.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Routledge, London, 2003.
Farhad Daftary (ed), Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (terj. Fuad Jabali, Udjang Tholib) Erlangga, Jakarta, 2002.
Analisa terhadap Akal dalam Wacana Kebebasan Berpikir
Hamdan Maghribi
We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve.
-Albert einstein-
Pendahuluan
Wacana kebebasan berpikir seringkali kita jumpai dalam setiap sudut pembahasan pengusung Islam Liberal di Indonesia. Ternyata paham ini bukanlah bahan dagangan baru dalam kancah filsafat dan pemikiran Barat. Pakar sejarah Barat seringkali merujuk motto Revolusi Perancis -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia -yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.
Di sini kita bisa melihat pengaruh sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” -sebuah doktrin yang kemudian diagung-agungkan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche sang “pembunuh Tuhan”.
Sebagai anak kandung Humanisme, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant).
Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi.
Secara umum, tujuan mereka adalah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab suci, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-a-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan. Inilah yang kemudian mendapat kecaman keras dari pihak gereja. Kecenderungan-kecenderungan seperti inilah yang kemudian mereka sebut “modernisme”
Di dunia Islam paham liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu”. Mereka yang menjadi “liberal” antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M). (Lihat: Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998).
Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988).
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain.
Dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup beberapa hal yang terangkum dalam wujud pengagungan terhadap akal dan free thinking (kebebasan berpikir) -yang akhirnya berujung pada faham sufistha’iyyah, yakni pandangan-pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik-. Menurut mereka free thinking berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja.
Pertanyaannya sekarang mampukah akal menembus batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh agama (baca: Islam)? Benarkah Bepikir dilarang? Bisakah akal berpikir bebas sebagaimana yang dikumandangkan kaum rasionalis? Dalam artikel singkat berikut penulis akan berusaha memjawab berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan wacana kebebasan berpikir tersebut diatas.
Posisi Akal dalam Islam
Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Allah berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk (Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), syari’at (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), mengambil ‘Ibrah atas umat terdahulu (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Fenomena lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak (dogmatis), tidak memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun, diberikan padanya kebebasan memilih, iman atau kufur (QS: al-Baqarah: 256). Bukti lain fenomena penghormatan terhadap akal, yakni adanya celaan terhadap Muqallidin (orang-orang yang taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya perintah memelihara akal dan larangan untuk merusaknya. Semua itu menunjukkan, betapa Islam begitu menghormati akal dan meletakkannya pada kedudukan dan posisi yang terhormat.
Meskipun demikian, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasus yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang tampaknya bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena’wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh ulama. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta’wil –sekarang lebih populer dengan nama hermeneutika-, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka dan sebagainya.
Memang kemerosotan umat Islam saat ini, mengutip pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan peradaban Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat. Tapi bukan berarti lantas kita dengan seenaknya menafsirkan nash dengan akal kita, dengan alasan kebebasan berpikir demi mengatasi krisis.
Maka tanggungjawab kita sebagai Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kebodohan. Yang menjadi kendala sekarang adalah kekeliruan epistemologi; ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan ini. Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Sangat disayangkan kemudian sebagian intelektual Muslim kita terpengaruh pemikiran Barat dan terperangkap dalam dikotomi; liberal-literal, objektif-subjektif, progresif-konservatif, teokrasi-demokrasi. Meraka lupa bahwa dikotomi tersebut berlaku di Barat karena kegagalan Gereja mengakomodasi modernitas dan kemajuan manusia. Lantas dengan mebabi buta menerapkannya dalam Islam tanpa kritik.
Harus kita ketahui bahwa akal dan kebenaran yang diperolehnya tidaklah independent. Kebenaran sains harus tunduk kepada kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan secara saintifik. Paparan al Kindi dan ibn Rusyd tentang hubungan akal dan wahyu sangatlah patut kita gunakan sebagai contoh.
Kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan kebenaran akal, jika akal menggunakan metode yang benar. Al-Qur’an sebagai pembimbing akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang. Tugas akal pikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya. Tidak ada dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, Al-Qur’an adalah kitab akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari lingkarannya yang sempit.
Kemunduran umat Islam dalam berpikir saat ini tidak ada kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat apapun ajaran yang dijadikan acuan (baca: al-Qur’an) tidak akan berarti kalau yang menjadikannya acuan tidak punya minat untuk mendalaminya dengan adil dan bijak. Harus disadari, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga harus dirubah dan disifati dengan liberal, substantif, inklusif, emansipatoris maupun sejenisnya, bukan pula salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam karena memiliki “ego” (khudi-meminjam istilah Iqbal) yang lemah.
Maka seharusnya yang menjadi perhatian dalam mempelajari pemikiran dan filsafat Barat adalah tujuannya. Tujuan dalam mempelajari pemikiran barat harus diletakkan sebagai perbandingan dan bukan mengekor dan atau selalu mengamini setiap ajarannya karena sebagai seorang Muslim kita telah memiliki worldview dan framework tersendiri dalam berpikir. Kita memang tidak memungkiri ide-ide cemerlang pemikir Barat seperti konsep cogito ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge is powernya Foucault, namun bukan berarti lantas kita mengagung-agungkan dan mensakralkannya tanpa kritik.
Semua ada batasannya
Untuk lebih jelasnya, marilah kita renungi bersama beberapa pertanyaan yang seringkali menggoda alam pikir kita berikut; mengapa kita dilahirkan dalam berbagai keterbatasan? Mengapa indera kita tak mampu mencapai semua hakikat kebenaran? Mengapa kita tak mampu mengindera Tuhan? Kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai keterbatasan?
Untuk membuktikan keterbatasan akal kita mari kita tinjau beberapa analog berikut. Pertama, Mata kita begitu terbatas. Kita tak mampu melihat sesuatu yang terhalangi. Bahkan, mata kita pun terbatas pada sesuatu yang tak terhalangi. Rembulan di malam hari terlihat hanya sebesar bola basket di mata kita. Gugusan bintang hanya terlihat sebesar titik saja di langit yang luas. Begitu terbatasnya mata pada benda yang nyata (fisik) dan tentu saja mata kita lebih terbatas pada benda atau hal yang melampaui nyata (metafisik).
Kedua, Telinga kita pun demikian. Kita tak mampu mendengar bisikan hati teman kita, sekalipun ia ada di samping kita. Telinga kita tak mampu mendengar suara yang halus di sekitar kita. Telinga kita benar-benar terbatas. Telinga hanya bisa mendengar bunyi, sesuai dengan kemampuan pendengarannya yang terbatas.
Ketiga, Hidung kita pun terbatas pula. Kekuatan penciuman kita benar-benar terbatas. Kita hanya bisa mencium bau yang ada di sekitar kita. Tak mampu hidung mencium bau yang jauh dari tempat kita berada. Seluruh organ-organ kita tak mampu melebihi batas-batasnya. Pada intinya, kita benar-benar terbatas. Untuk mencerap alam di sekitar kita saja, kita terbatas dan tentu saja alam “di luar” kita pun terbatas untuk di cerap. Semua indera kita terbatas.
Lalu kenapa kita diciptakan terbatas? Bayangkan jika mata kita tak terbatas. Mampu melihat dibalik dinding kamar mandi tetangga. Mampu melihat apa yang seharusnya tersembunyi. Mampu melihat bakteri yang melayang-layang diudara, kuman yang berkeliaran dalam minuman dan makanan kita. Bayangkanlah jika hidung kita mampu mencium bau yang ada di dalam tubuh kita sendiri.
Bayangkan pula jika telinga kita melebihi batasnya. Bayangkan jika kita mampu mendengar semua kebisingan yang ada. Mampu mendengar suara-suara yang mengerikan. Mampu mendengar suara-suara di dalam tubuh kita. Padahal melihat darah yang mengucur saja tidak jarang dari kita yang ngeri. Mencium bau yang sedikit busuk saja sudah jijik. Mendengar suara bising saja kepala pusing. Bayangkanlah jika diri kita tak terbatas.
Lantas bagaimana halnya dengan akal kita?. Akal kita tak akan mampu menembus batas-batas yang telah ditentukan olehNya. Akal kita tak mampu (dan tak akan pernah mampu) mengetahui diriNya secara nyata, karena Allah terhalang oleh hijab. Kita hanya bisa mengetahui keberadaan Allah, melalui kabar yang diturunkanNya kepada Rasulallah Saw. Akal kita benar-benar terbatas. Jangankan menghadapi diriNya Yang Maha Agung, untuk menghitung jumlah rambut kita saja akal akan mendapat kesulitan. Memikirkan sistem dalam tubuh kita pun, akal harus tunduk pada fakta penciptaan yang nyata. Akal kita tidak dapat memikirkan ada apa sebelum kita. Jika pun kita memikirkannya, kita tak akan mampu memahaminya. Hanya kepercayaan kepada Allah sajalah yang dapat kita lakukan.
Cangkir hanyalah bisa menampung air yang sesuai dengan kadar ruang tampungnya, tidak mungkin kita menuangkan air seember kedalam cangkir tersebut. Bukanlah cangkir itu rusak atau salah, tetapi cangkir itu terbatas dan tak akan mampu melampaui batasnya. Demikian pula halnya akal budi kita. Bukanlah dirinya yang salah atau rusak ketika memikirkan Tuhan, tetapi karena ia terbatas.
Lantas, apakah ini sebuah sikap yang pesimis terhadap kebenaran? Sama sekali tidak! Ini hanya pengakuan dan kesadaran akan keterbatasan diri. Kita mampu mengetahui Allah Swt dengan benar melalui pengabaran diriNya tentang diriNya sendiri melalui Al Quran. Akan tetapi pengetahuan kita tentangNya tentu terbatas pada apa yang ia kabarkan tentang diriNya tersebut.
Penutup
Dengan menyadari keterbatasan dan kelemahan kita, tentu kita akan senantiasa sujud menyerah kepadaNya. Kita patuhi semua kehendak dan takdirNya. Tapi bukan berarti ini menggiring kita pada fatalisme. Sekali lagi ini hanya kesadaran keterbatasan diri. Oleh karena itu kita harus yakin bahwa hukum-hukum Allah memang begitu.
Dengan demikian, kita tak akan lagi perlu menanyakan keadilan Allah. Tentang ‘kenapa benyak orang jahat yang diberi kesenangan, dan banyak orang beriman yang menderita padahal Allah Maha Kuasa’. Allah Swt memiliki banyak rahasia yang tak tergapai oleh kita. Di mana letak sorga dan neraka? Tak perlu lagi dipertanyakan karena akal kita terbatas, sedang letak imajinasi atau khayalan saja, yang senantiasa bersama kita, tak mampu dijelaskan. Di mana terjadinya mimpi saja tak mampu kita terangkan. Padahal mimpi senantiasa menemani kita di saat tidur. Padahal kita tak mampu menjelaskan bentuk nyata alam bawah sadar. Kita terbatas. Oleh karena itu kita harus menyandarkan diri kita pada hal yang melebihi diri dan semua makhluk yang ada. Dia lah Allah Swt.
Keterbatasan sudah merupakan sunatulallah, sesuai dengan keadaan semesta, sesuai dengan takaran keberadaan segala sesuatu di luar diri kita, sesuai dengan fitrah penciptaan. Sementara itu, Allah telah melebihkan sebagian manusia di antara manusia lainnya. Ada para Nabi yang mampu menembus batas-batas manusia biasa. Hal sedemikian itu merupakan bentuk lain kasih sayang Allah Swt atas diri kita. Dengan adanya para Nabi, kita mampu mengetahui apa yang harus kita lakukan di alam dunia. Kita di tuntun untuk menapaki jalan yang benar, yang ia turunkan kepada para Nabi. Akal kita terbatas dan tidak akan mampu untuk mengetahui perintah Allah Swt yang dapat menuntun kita menuju jalan keselamatan. Oleh karena itu Allah menurunkan perintah itu kepada Nabi.
Upaya-upaya untuk menembus batas memang kerap dilakukan oleh manusia. Saat ini, batas sudah tak lagi dihiraukan. Sebagian manusia berlomba-lomba melampaui batas. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa kita tak pernah kemana-mana. Kita tetap dalam keterbatasan kita.
Akhirnya, marilah kita melihat pernyataan Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya The Need for Sacred Knowledge, yang menawarkan sebuah konsep integral antara sains (akal) dan agama, yaitu sains suci (sacred science). Dengan sains suci, Nasr mencoba untuk mengatakan bahwa agama dan sains dapat bersatu. Karena, sains suci, yang merupakan sains tertinggi, mempunyai kaitan erat dengan prinsip-prinsip Ilahiah dan manifestasinya. Ia adalah pengetahuan yang bersemayam dalam manusia, seperti juga pengetahuan yang dimengerti lewat wahyu. Sains suci bukanlah pengetahuan metafisika, akan tetapi merupakan suatu ilmu yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip metafisika kepada makrokosmos dan juga mikrokosmos. Kata kuncinya adalah totalitas dan kesatuan. Menurutnya, sains modern, walaupun berkorepondensi dengan realitas, namun tidak akan melampaui fenomena. Karena, jika hanya pada tingkat fenomena, manusia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekosongan.
Islam memang menyeru umatnya untuk selalu berpikir dan menggunakan akalnya, tapi harus selalu diingat, semuanya itu ada batasnya. Maka diakhir tulisan ini penulis mengajak untuk merenungi ungkapan einstein pada awal tulisan ini. We should be careful not to make the intellect our God. It has, of course, powerful muscles, but no personality. It cannot lead, it can only serve. Allahumma arina al haqqa haqqa warzuqna ittiba’ah. (albi_4eva)
Referensi
Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Knowledge, Suhail Academy, 2000.
Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988.
Hassan as Syafi’i, At-Tayyar al-Masyai fi al Falsafah al Islamiyyah, Cairo, 1998.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Routledge, London, 2003.
Farhad Daftary (ed), Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (terj. Fuad Jabali, Udjang Tholib) Erlangga, Jakarta, 2002.
Saturday, 5 May 2007
jadi Awam kok Bangga!!!!
Pada hari senin lalu saya menemui salah seorang dosen aqidah filsafat di kampus guna konsultasi tentang penulisan proposal thesis, ditengah diskusi kami tentang judul thesis, beliau menyinggung sikap para akademisi muslim saat ini -khususnya di Indonesia-, menurutnya permasalahan mendasar yang dialami oleh para akademisi muslim adalah miskonsepsi terhadap visi dan misi awal dari ilmu, bidang yang mereka geluti. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut?.
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini. Dan penyebab utama dari kerancuan konsep tersebut adalah pengaruh barat-sekular yang memberikan sekat dan batasan terhadap ilmu dengan dalih spesialisasi ilmu.
Pada tingkat perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep barat-sekular, sehingga lahirlah universitas Umum dan Universitas Islam. Konsep dasar ini jelas sangat rancu, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
Mahasiswa yang belajar ilmu umum, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya. Hal ini diakui oleh Adian Husaini dalam artikelnya di majalah hidayatullah.
Menurut perasaan mereka (mahasiswa fakultas umum, red.), mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, mahasiswa ushuluddin, syari’ah dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa yang belajar ilmu umum, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ilmu-ilmu agama lainnya.
Mereka biasanya sudah “puas” mendengar ceramah keagamaan, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui radio, telivisi maupun majalah dan surat kabar. Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu luang, dengan tenaga dan pikiran sisa. Anehnya lagi, mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak punya tanggung jawab sama sekali.
Biasanya, para mahasiswa atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama, dan merasa tidak bertanggung jawab atas segala problematika agama. “Saya kan bukan mahasiswa ushuluddin”, seloroh mereka. Ironis! Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.
Al ghazali telah menjelaskan konsep ilmu menurut Islam dalam Ihya’ Ulumuddin. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Yang kedua adalah ilmu fardhu kifayah, contohnya adalah ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi. Ilmu jenis ini diperlukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar keren-kerenan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia.
Ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Adian menegaskan dalam tulisannya, jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar? Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia.
Akhirnya, semoga tulisan pendek ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama sebagai mahasiswa muslim yang belajar di Universitas Islam tanpa memandang predikat fakultas ataupun jurusan yang kita tekuni, tulisan ini bukanlah untuk mendeskriditkan ilmu atau fakultas tertentu, tapi tidak lebih hanya sekedar sentilan buat kita atas kekeliruan pemahaman terhadap konsep ilmu dalam Islam, semoga kita bisa membawa amanat Islam sebagai agama yang universal rahmatan lil ‘alamin. Amin. (albi/red.)
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini. Dan penyebab utama dari kerancuan konsep tersebut adalah pengaruh barat-sekular yang memberikan sekat dan batasan terhadap ilmu dengan dalih spesialisasi ilmu.
Pada tingkat perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep barat-sekular, sehingga lahirlah universitas Umum dan Universitas Islam. Konsep dasar ini jelas sangat rancu, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
Mahasiswa yang belajar ilmu umum, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya. Hal ini diakui oleh Adian Husaini dalam artikelnya di majalah hidayatullah.
Menurut perasaan mereka (mahasiswa fakultas umum, red.), mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, mahasiswa ushuluddin, syari’ah dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa yang belajar ilmu umum, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ilmu-ilmu agama lainnya.
Mereka biasanya sudah “puas” mendengar ceramah keagamaan, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui radio, telivisi maupun majalah dan surat kabar. Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu luang, dengan tenaga dan pikiran sisa. Anehnya lagi, mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak punya tanggung jawab sama sekali.
Biasanya, para mahasiswa atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama, dan merasa tidak bertanggung jawab atas segala problematika agama. “Saya kan bukan mahasiswa ushuluddin”, seloroh mereka. Ironis! Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.
Al ghazali telah menjelaskan konsep ilmu menurut Islam dalam Ihya’ Ulumuddin. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Yang kedua adalah ilmu fardhu kifayah, contohnya adalah ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi. Ilmu jenis ini diperlukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar keren-kerenan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia.
Ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Adian menegaskan dalam tulisannya, jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar? Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia.
Akhirnya, semoga tulisan pendek ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama sebagai mahasiswa muslim yang belajar di Universitas Islam tanpa memandang predikat fakultas ataupun jurusan yang kita tekuni, tulisan ini bukanlah untuk mendeskriditkan ilmu atau fakultas tertentu, tapi tidak lebih hanya sekedar sentilan buat kita atas kekeliruan pemahaman terhadap konsep ilmu dalam Islam, semoga kita bisa membawa amanat Islam sebagai agama yang universal rahmatan lil ‘alamin. Amin. (albi/red.)
Subscribe to:
Posts (Atom)