Wednesday, 17 December 2008

Pakistan, Negara 'Unik' Penuh Polemik

Pakistan is a disfunctional state, demikian tutur Tariq Ali, penulis yang sosialis dan juga jurnalis kawakan senior Pakistan. Berdirinya Pakistan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mayoritas elite politik India kala itu, bahkan mayoritas menyatakan bahwa Pakistan adalah unexpected state. Berdirinya Pakistan bermula dari kalangan intelektual muslim di India yang kemudian mendirikan partai Liga Muslim yang di nahkodai oleh M. Ali Jinnah. Berakhirnya perang dunia kedua mempunyai ‘berkah’ tersendiri bagi India kala itu. Moment tersebut di gunakan Gandhi untuk meminta kedaulatan penuh dari Inggris dan Ali Jinah tak ketinggalan ’merayu’ agar rakyat muslim bisa lepas menjadi negara Pakistan.

Sejak awal Pakistan berdiri, sudah terjadi kontradiksi struktur pembagian wilayah antara West Pakistan dan East Pakistan yang jaraknya lebih dari 1000 mil, mereka sungguh berbeda latar belakang, entah bahasa, etnis dan suku, hanya faktor agamalah yang menyatukan mereka, meskipun ada banyak jga perbedaan dalam ranah fiqhnya. Bahkan di West Pakistanpun (sekarang Pakistan) permasalahan etnis masih sangat kental, belum ditambah dengan fenomena sektarian yang menyeramkan, semakin klop aroma perpecahan yang ada. Hal ini amat berbeda dengan India, yang meskipun memiliki lebih dari 36 bahasa dan terdiri dari bermacam suku mereka masih dengan bangga mengatakan I’am Hindustani. India lebih kuat semangat nasionalismenya dibanding Pakistan. Hal inilah yang banyak dikritisi oleh pengamat luar maupun lokal yang kemudian menyatakan bahwa Pakistan adalah negara ’kutukan’.

Muncul juga kemudian beberapa pernyataan bahwa berdirinya Pakistan ’mirip’ dengan Israel, karena keduanya berdiri atas landasan religious identity Pakistan dengan identitas Islamnya dan Israel dengan Yahudinya. Yang secara kebetulan, menurut banyak laporan bahwa keseharian para elite politik awal mereka tidak mencerminkan landasan idiologi negara yang di perjuangkannya. Menurut Tariq Ali, banyak laporan yang menyatakan bahwa Ali Jinah adalah seorang atheis, non-believer, ada juga yang menyatakan kalau dia penganut faham syi’ah. Mereka hanya menggunakan kedok agama untuk penguatan kedaulatan untuk menancapkan status quonya. Uniknya lagi, pernyataan bahwa Pakistan ’sama’ dengan Israel keluar dari mulut pemimpinnya Ziaul Haq yang mengatakan ’Pakistan is like Israel and want to be Israel’ entah apa maksud isi kepala sang president waktu itu sehingga terlontar kalimat kontroversial tersebut.

Tentang kemandirian, Pakistan amat jauh dari kesan itu. Dari awal berdirinya sebagai ’hadiah’ dari Inggris, kemudian perjalanan politiknya yang selalu dibayangi oleh hegemoni Amerika. Sejak perang dingin hingga detik ini Pakistan selalu berlindung dibalik wajah garang Amerika. Sejarah tidak pernah berbohong. Ketika amerika yang waktu itu di bawah kendali Carter merupakan donatur utama dalam mencetak para ’teroris’ generasi pertama. Buku-buku panduan jihad radikal dicetak oleh pihak Amerika di Universitas Nebraska dan dibagikan ketiap madrasah di Pakistan. Nampaknya nafsu Amerika ingin membalas dendam -ketika kalah telak di Vietnam dengan membuat kekalahan yang sama pada Soviet dengan Afghanistan- menghalalkan segala macam cara. Sekarang, setelah Soviet runtuh dan Amerika menjadi satu-satunya simbol kekuatan dunia. Maka dengan arogan menuding propaganda terorisme dengan ikon Usamah bin Ladin dan al qaidahnya sebagai target utama. Dan lagi-lagi usaha ini diamini oleh ’anak manis’nya, Pakistan.

Dalam menangani masalah kemiskinan dan kesehatanpun pemerintah pakistan terkesan acuh tak acuh. Terlihat dari besarnya dana yang digelontorkan untuk kepentingan meliter ditambah juga proyek nuklir yang didirikan sejak pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto. Ada penemuan yang mengagetkan dari UNDP berkenaan dengan rakyat di Pakistan. Tercatat dalam 10 tahun terakhir 60% bayi yang lahir di pakistan dinyatakan stunted (kerdil, menyusut tingginya dari tinggi rata-rata) ini menandakan buruknya gizi dan kesehatan mayoritas masyarakatnya.

Dalam hal kesejahteraan dan keadilan, Pakistan yang ’berlandaskan’ Islam justru kalah dengan India dalam land reform, reformasi kepemilikan tanah dari lanlord (tuan tanah). Jadi bisa dibayangkan betapa tingginya ketimpangan yang ada di Pakistan hingga saat ini.

Dulu, para pengamat sempat menaruh harapan kepada Zulfikar Ali bhutto yang melakukan perubahan radikal dengan mendirikan PPP yang mengagendakan modern social democratic state dan mendapat dukungan luar biasa dari rakyat. Namun hal tersebut tinggal slogan tanpa makna setelah akhirnya Bhutto meninggal di tiang gantungan. Anehnya lagi, tak seorang pun dari pendukungnya yang turun kejalan untuk menolak hukuman tersebut, mungkin karena takut atau merasa terlalu mahal untuk mengorbankan keselamatan jiwa hanya untuk seorang Zulfikar, entahlah.

Mengenai perseteruan ’abadi’ dengan India yang saat ini telah memulai ’perang’ pernyataan tentang isu terorisme dan radikalisme terkait berbagai tindak anarkisme di kedua belah pihak. Proyek nuklir dan militerpun dijadikan sebagai ajang ’unjuk kekuatan’ pada tetangga. Sehingga prioritas fundamental dalam penanganan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan terabaikan. Tak satupun rezim penguasa Pakistan bisa menangani masalah pokok ini. Musharraf and the gang juga dinilai sama mandulnya dalam hal tersebut, they are living under the illusion, mereka hidup dalam bayang-bayang ilusi dan ketergantungan terhadap Amerika. Pengangkatan Shaukat Aziz sebagai Perdana Menteri waktu itu disinyalir lebih cenderung karena kedekatannya terhadap Amerika, sehingga dia bisa dijadikan alat untuk merayu Amerika, bukan karena harapan akan kontribusinya terhadap rakyat.

Belum lagi masalah ‘terorisme’ yang sekarang sudah terlanjur menjadi isu global. Anehnya pemerintah selalu menyalahkan madrasah tanpa mengadakan reformasi sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan tingginya angka kemiskinan dan banyaknya populasi -satu keluarga rata-rata memiliki 6 anak-. Ingin menyekolahkan susah mencarikan nafkah juga payah. Akhirnya ketika para mullah datang dan meminta anaknya untuk disekolahkan dan dibawa ke madrassah mereka menyerahkannya. At least to get something, mungkin demikian pikirnya tanpa ada kekhawatiran akan kelangsungan anak tersebut nantinya, mau dicetak jadi ‘mesin’ peledak bom atau ‘alat’ radikalisme yang lain. Dan sekali lagi ini bukan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap mesin penghadang teroris, namun lebih kepada kebutuhan fundamental sebuah masyarakat berperadaban, yaitu ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

President yang terpilih sekarang pun tak jauh dari catatan-catatan kriminal tingkat tinggi, dari tuduhan pembunuhan saudara iparnya hingga isu korupsi yang memberikan dia gelar ‘Mr. Ten Percents’. Melihat pentas politik Pakistan tak ubahnya dengan film yang diangkat dari komik yang penuh ‘lelucon’ yang tak lucu. Bagaimana tidak, lihat saja wasiat Benazir Bhutto yang menyatakan bahwa anaknya Bilawal yang masih belasan tahun umurnya di baiat sebagai ketua partai seumur hidup! Dan roda kepengurusan partai di urus sang suami yang sekarang menjabat sebagai president Pakistan. (what’s on the earth going on here!)

Belum lagi polemik berkepanjangan di NWFP yang sudah amat akut. Yang begitu kuat memegang agama (tradisi?) dengan begitu ekstremnya. Bisa kita cek diberbagai media cetak nasional maupun lokal bagaimana mereka membakar sekolah khusus wanita dan berbagai aksi teror yang lain. Pakistan......memang negara yang ‘unik’ sekaligus penuh polemik. (to be concluded)

Albi, 171208/14:30

*tulisan ini bukanlah analisa pelik terhadap geopolitik Pakistan, namun hanya sekedar refleksi penulis terhadap fenomena yang tercerna dalam memory kecilnya melalui berbagai ‘media’.





Monday, 15 December 2008

urgensi identitas dalam meretas jalan komunikasi

Pendahuluan

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa komunikasi mempunyai urgensitas yang sangat substansial dalam kehidupan universal. Bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya dunia tanpa adanya elemen komunikasi. Muculnya buruk sangka dan perasaan penuh curiga akan selalu menemani roda peradaban manusia. Komunikasi merupakan elemen penting dalam ruang lingkup bermasyarakat bahkan dalam ruang yang paling sempit sekalipun dalam berkeluarga. Keharmonisan dan kerukunan amat bergantung dengan elemen yang satu ini.

Islam yang berperan sebagai agama penutup dan pelengkap rentetan agama samawi melihat pentingnya kesadaran umat untuk memahami dan melaksanakan komunikasi. banyak ayat al Qur’an dan juga Hadist yang menganjurkan kita untuk selalu menjalankan komunikasi dalam ragam ranah kehidupan. Baik bersosial, bermasyarakat bahkan ibadah vertikal. Islam selalu menganjurkan untuk menggunakannya bukan hanya man to man relation namun juga man to God relation. Yang bermuara pada konsep tauhidi. Islam menolak dengan keras dikotomis ritual dan ibadah.

Namun sayang, keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam tidak berjalan pararel dengan pemahaman dan pelaksanaan umatnya. Sehingga terkesan betapa Islam menjadi ‘negeri dongeng’ yang utopis. Sehingga umat Islam yang membayangkan dan mencita-citakan kehidupan islami rasulullah dan zaman keemasan Islam di Baghdad di anggap apologetik yang ahistoris dan apolitis.

Hal inilah yang kemudian ditakutkan oleh sebagian cendekiawan muslim, bahwasanya akan muncul -dari miskomunikasi (dalam arti yang seluas-luasnya) umat terhadap saudaranya seiman dan juga teks ilahi- faham dan aliran yang ekstrem, jumud, kaku dan rigid. Meskipun dari kuantitas amatlah minim namun kelompok ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang tinggi. Ditambah dengan sikap Barat yang phobia terhadap Islam dan selalu membenturkan Islam dengan peradaban Barat, dan menuding Islam sebagai common enemy yang berbahaya pasca perang dingin.

Artikel ringkas ini tidak bemaksud untuk membahas satu persatu problematika umat secara holistik dan proporsional dikarenakan ruang dan waktu yang sangat terbatas dalam artikel ini. Tulisan ini hanya memfokuskan tentang makna fundamental dari komunikasi dalam Islam sehingga bisa terjalin silaturrahim dalam hubungan antar sesama muslim, antar umat dan hubungan dengan Allah swt.

Relasi antara Identitas dan Komunikasi

Pertama-tama penulis ingin membawa kepada beberapa contoh riil dilapangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hampir bisa dikatakan bahwa tak seorangpun manusia di bumi ini yang terlepas dari arus globalisasi. Sehingga silaturrahmi dunia maya pun sudah tidak bisa dihindarkan. Banyaknya blog dan milist yang bertebaran merupakan bukti bahwa telah muncul arena sosialisasi baru.

Bila kita aktif dalam dunia maya, atau paling tidak bergaul dengannya kita akan mudah menemukan ragam komentar dan diskusi. Bila kita sedikit teliti dalam mengikuti alurnya akan kita temukan begitu banyak ungkapan yang penuh emosi dan caci maki apabila ada pendapat yang dianggap keluar dari rel konvensional. Biasanya komentar yang ‘nggak jelas’ itu muncul dari individu yang menyembunyikan identitasnya atau dibelakang nama samaran. Sehingga dia berani melontarkan kata-kata yang tak bertanggung jawab.

Dari fenomena tersebut terlihat adanya pola yang beraksi dengan konsisten dalam berbagai kasus, semakin kabur identitas yang terlibat dalam komunikasi virtual, semakin besar kemungkinan untuk menimbulkan paraktek komunikasi tak bertanggung jawab. Sebaliknya, apabila identitas pesertanya jelas, kemungkinan komunikasi tak bertanggung jawab itu akan sedikit sekali kemungkinananya. Kalau tidak bisa dibilang hilang sama sekali. Karena dengan identitas yang jelas komunikasi akan terkontrol. Ada semacam tuntutan etika yang mewajibkan kedua pihak untuk saling menjaga etika dalam bersilaturrahim.

Ketika mengendarai kendaraan, banyak dari pengemudi yang dengan seenaknya melontarkan kata-kata tak beradab bila merasa haknya sebagai pengguna jalan telah dilanggar oleh pengemudi lain. Hal inipun besar kemungkinan karena tidak adanya ikatan emosional sebagai individu yang saling kenal. Dan masih contoh lain.

Dari dua contoh diatas, penulis berkesimpulan bahwa salah satu faktor tersebut adalah absennya identitas. kaburnya identitas dalam individu memberikan dorangan untuk melakukan hal-hal yang diluar etika manusiawi. Semakin kabur identitas seseorang akan semakin berani ia dalam bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Apabila kita bawa contoh dan kesimpulan tadi kedalam ranah dan ruang lingkup yang lebih luas, kita akan menemukan relevansinya dalam kehidupan sehari hari kita sebagai makhluk universal. Dan kalau kita mau sedikit berkontemplasi tentang ajaran Islam, kita akan menemukan jawaban dan solusinya.

Konflik intra dan antar umat beragama merupakan contoh riil dalam fenomena kontemporer. Selalu ada rasa was-was dan buruk sangka antar umat, bahkan dalam kesatuan umat itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh hilangnya identitas dan keengganan suatu kelompok untuk memahami identitas yang lain. Dengan berlandaskan pada dalil-dalil agama yang diinterpretasikan dengan kaku, akhirnya segala aktiftas kemanusiaan yang dilakukan dengan umat lain atau kelompok yang berbeda pendapat selalu ditemani dengan perasaan curiga.

Maka konsep silaturrahim yang dibangun atas komunikasi tak bertanggung jawab dan pengkaburan identitas harus kita rubah secara radikal. Karena hal tersebut sama sekali tidak mendapatkan legalitas dalam Islam. Bahkan Islam sangat mengutuk praktek silaturrahim yang ‘menyimpang’ tersebut. Janganlah kita latah ikut-ikutan Barat yang demi menegakkan hegemoninya harus mencari ‘common enemy’ sehingga bisa selalu waspada. Kita mempunyai aturan-aturan kemanusiaan yang demikian sempurnanya yang tercantum dalam lembaran-lembaran al Quran dan Hadits nabi. Namun perlu diingat, lembaran tersebut tidaklah untuk di interpretasikan secara literal saja, harus ada upaya kontekstualisasi dengan syarat berlandas kepada acuan-acuan yang sudah ditetapkan.

Kesimpulan

Dari uraian diatas kita mendapatkan sedikit gambaran tentang arogansi sebuah peradaban yang muncul dari kebencian atas dominasi agama dan muncul dari spekulasi penuh humanisme yang materialistik dan positivistik. Sebagai umat Islam kita tidak boleh latah serta merta dengan melihat progresifitas fisik-material mengikuti apa saja dari pemegang hegemoni tersebut. Sebagaimana yang dilakukan ‘pembaharu awal islam’.

Islam tidaklah mengenal arogansi semacam itu. Islam juga tidak mengajarkan kita slogan-slogan ‘kekerasan’ seperti benturan peradaban (clash of civilization), common enemy dan pandangan dikotomis sebagaimana ideologi mayoritas bangsa Barat. Islam mengajarkan kita ‘dialog’ bukan ‘benturan’, Islam menjadi besar di Barat (Andalus) meskipun secara kuantitas minoritas namun bisa memimpin masyarakat yang multiras dan multikultur. Islam juga mampu berartikulasi dalam dialog antar peradaban dengan adaptasi ‘take and give’ yang berlandaskan pada asas-asas Islam tentunya. Tidak lain hal positif tersebut muncul dari pemahaman dan usaha untuk memahami the others dengan komprehensif sebagaiana yang dianjurkan Islam.

Sudah semestinyalah kita sebagai umat yang besar dengan ajaran universal mampu menghadapi segala tantangan modernitas dan globalisasi. Bukan dengan menghindarinya bukan juga dengan konfrontasi namun dengan dialog yang islami. Namun hal ini bisa terwujud kalau kita mulai dari dini dan dalam hal yang paling sederhana dalam lingkungan kita. Dengan membangun dan menguatkan identitas dan menjalin silaturahim dengan komunikasi. Sehingga kesejahteraan universal bisa terwujud dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam

Albi, Rawal Town 13:00/121208





Friday, 19 September 2008

global pop culture

'GLOBAL POP CULTURE'
(Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial Budaya?)
Alfina Hidayah

Pendahuluan

Adalah periode bersejarah bagi perubahan dunia yang sangat cepat dan dramatis semenjak dekade terakhir pada abad ke-20 hingga saat ini, dan proses globalisasi merupakan bagian yang berperan penting dari perubahan tersebut.(1) Globalisasi juga telah memberi warna dan erat hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial; seperti masyarakat, golongan dan budaya.(2) Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang. Fenomena tersebut tidak hanya berkutat dalam urusan politik, ekonomi, agama atau teknologi namun juga mencakup ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas, yaitu sosial dan budaya. Semua komponen tersebut merupakan objek globalisasi yang saling berhubungan satu dengan lainnya, sehingga munculah negara-negara yang berideologi, berbudaya, beretika dan bermoral tunggal yang terangkum dalam sebuah masyarakat global.

Globalisasi dan Perubahan Sosial Budaya

Dengan tumbangnya Uni Soviet dan Komunisme oleh ‘kekuatan baru’ Kapitalisme, maka Uni Soviet terbagi menjadi beberapa bagian negara-negara baru. Sedangkan negara-negara lain dibelahan timur baru saja berangsur bangkit dari jerat kolonialisme, sehingga mereka masih mengejar keterbelakangan dalam membangun sistem sosial, perekonomian dan politiknya. Dari sinilah globalisasi mulai di perkenalkan. Ia juga berperan penting dalam mengusung paham Kapitalisme ke negara-negara berkembang yang masih mencari jati dirinya. Fenomena tersebut merupakan indikasi atas upaya Barat dalam mengokohkan tancapan hegemoninya terhadap bangsa timur. Adapun maksud sesungguhnya adalah supremasi Amerika atas dunia. Hal serupa juga diungkapkan oleh Roger Gharoudy, orientalis Prancis yang kemudian memeluk Islam dan dikenal sebagai filosof muslim Perancis.(3)
Dilihat dari sudut pandang etimologi, 'globalisasi' merupakan sebuah sistem organisasi atau bisnis yang beroperasi dalam skala global,(4) istilah tersebut telah diperkenalkan untuk pertama kalinya pada era 60an yang sebagian besar digunakan dalam konteks Ekonomi. Pada bidang Ekonomi dan Manajemen Sastra, adalah Levitt (1983) yang mengenalkan istilah globalisasi yang tertuang dalam bukunya, Globalization of Markets. Di bidang Sosiologi, ada Roland Robertson yang mengenalkan istilah ini pada tahun 80-an, dan pada studi Media & Budaya, Marshall McLuhan telah memakai istilah 'global village' dalam bukunya Understanding Media di tahun 60an. Kemudian beranjak ke tahun 1990an dimana penggunaan istilah tersebut sangat pesat dan telah menjelma menjadi kosakata harian, tidak hanya diucapkan oleh para akademis dan pebisnis, namun juga telah menyapa media serta sudut kehidupan masyarakat luas.(5)
Secara terminologi 'globalisasi' merupakan proses interaksi yang intensif antara individu dan proses integrasi pasar global, yang hasilnya bukanlah suatu kebetulan tapi telah dikemudikan oleh perubahan-perubahan Politik, Ekonomi dan Teknologi tertentu yang menghapus adanya batas-batas antar negara. Menurut Sakiko Fukuda-Parr dalam artikelnya yang berjudul New Threats to human security in the era of globalization, proses globalisasi tidaklah baru, tapi telah muncul sejak tahun 1990an sebagai hasil dari eksistensi tiga kekuatan baru yang menjadi motif dan stimulusnya, yaitu; Liberalisasi Ekonomi, Liberalisasi Politik, Teknologi Informasi dan Komunikasi. (6)
Definisi lain yang ditulis oleh Dr. Khalid Abdul Halim As-Suyuti dalam artikelnya 'Al-Hiwaar Baina al Diyanaat al-Tsalas fi 'Asri al- 'Aulamah', bahwa globalisasi merupakan kebebasan dalam menuangkan komoditas, kapitalisme dan berfikir liberal dalam segala aspek kehidupan universal tanpa adanya batas dan ikatan. akan tetapi banyaknya kontroversi didalamnya telah memperkuat bahwa globalisasi tidak lebih dari suatu bentuk 'hegemoni',(7) di mana sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus -yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia dikuasai-. Dengan kata lain, dapat disimpulkan -dari beberapa definisi diatas- bahwa 'globalisasi' adalah sebuah proses tatanan masyarakat universal yang tidak mengenal batas wilayah, dimana suatu tatanan tertentu muncul kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara lain 'yang disadari atau tidak' telah menjadi panutan dan kiblat bagi bangsa-bangsa di penjuru dunia.
Banyaknya definisi 'globalisasi' menandakan kesimpang-siuran pengertian dan proses yang rumit, sehingga belum ada barometer yang baku dalam memaknai istilah tersebut. Disamping banyaknya isme-isme yang memiliki kesamaan maksud dengan globalisasi, seperti Westernisasi, Modernisasi, Liberalisasi, Internasionalisasi dll. Akan tetapi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa paham-paham tersebut merupakan bagian dari proses globalisasi, karena semua paham diatas saling berkaitan satu dengan lainnya.
Kehadiran globalisasi telah membawa beberapa pengaruh, baik positif maupun negatif dalam setiap aspek kehidupan manusia. Seperti Politik, Ekonomi, Ideologi dan sosial budaya. Adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi pada Politik dan Ekonomi berimbas pula terhadap sosial budaya negara-negara pengusung globalisasi.(8) Proses tersebut biasa dikenal dengan 'global pop culture' yaitu budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau ruang lingkup global.
'Budaya' dalam bahasa Inggris disebut Culture, yang artinya adalah: "Setiap seni dan manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif. Termasuk didalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari sekelompok masyarakat tertentu".(9) Sedikit berbeda dengan definisi yang ditulis oleh T.S.Eliot di pendahuluan bukunya 'Notes towards the Definition of Culture', mengenai keterkaitan budaya dan agama, ia mengatakan bahwa Budaya akan muncul sebagai produk dari Agama atau Agama adalah produk dari suatu budaya. Menurutnya, syarat-syarat munculnya Budaya adalah sebagai berikut: yang pertama yaitu 'organik' (tidak direncanakan tetapi tumbuh secara berkesinambungan) dan kemudian melahirkan sebuah tatanan yang dikenal dengan 'Strata Sosial'. Yang kedua yaitu sangat penting bagi suatu budaya untuk dapat diselidiki atau dipelajari, memiliki letak geografis tertentu dan memungkinkan terbagi kedalam budaya-budaya lokal. masalah yang akan muncul kemudian adalah problem 'Regionalisme'. Yang ketiga yaitu keseimbangan kesatuan dan perbedaan dalam Agama, yang mana hal tersebut merupakan universalitas doktrin dengan ritual dan kebaktian keagamaan tertentu.(10)
Sedangkan Budaya dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah, bentuk plural dari kata Buddhi (budi atau akal) yang maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayan merupakan sarana hasil karya, rasa dan cipta suatu masyarakat. Dapat kita simpulkan bahwa budaya itu bersifat abstrak, karena ia adalah sistem pengetahuan yang didalamnya terdapat ide dan gagasan-gagasan pikiran manusia. Akan tetapi bentuk perwujudannya adalah berupa ‘benda-benda’ yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang berbentuk materi dan nyata.(11)
Perihal perubahan dan perkembangan sosial budaya, hal itu sangat mungkin terjadi apabila kebudayaan dalam masyarakat tertentu melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Seperti halnya yang terjadi pada sejarah peradaban manusia semenjak peradaban Mesir kuno yang diakui sebagai peradaban tertua di muka bumi ini. Bahwa ia mempunyai pengaruh kuat terhadap peradaban-peradaban belahan lain di dunia seperti Babilonia, Persia, India, Cina dan Yunani (Barat). Pengaruh itu terjadi karena adanya gesekan-gesekan peradaban dan budaya antara masyarakat yang berbeda sehingga secara berangsur-angsur akan menghasilkan perubahan dan perkembangan pada komunitas tersebut(12) Sedangkan perubahan sosial merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam masyarakat yang terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat manusia itu sendiri yang ingin selalu berubah. Menurut Hirschman, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan itu sendiri.(13)
Ilmuwan modern juga berbeda pendapat tentang isu-isu perubahan sosial. ada kelompok yang mengacu kepada informasi perubahan sosial dengan memadukan aspek penting terhadap kehidupan sosial. Bahwa setiap masyarakat dan budaya akan melakukan perubahan secara terus menerus, cepat atau lambat. Kelompok ini dipimpin oleh Welbert Mure, yang mengatakan persamaan fenomena perubahan, universalitas dan komunisme. Kelompok lainnya adalah kelompok yang menitik-beratkan pada interpretasi perubahan sosial, dimana muncul ilmuwan-ilmuwan sosial yang ‘diskriminatif’ dalam melihat perubahan sosial dan perubahan peradaban atau kebudayaan, mereka mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan hal yang utama karena ia merupakan perubahan yang membangun masyarakat bersosial.(14) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial adalah: tekanan kerja dalam masyarakat, efektifitas komunikasi dan perubahan lingkungan (alam). Begitu juga perubahan budaya dapat timbul dengan adanya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru dan interaksi dengan kebudayaan lain.(15) Namun faktor-faktor tersebut tampak sedikit 'memaksa' dan sempit, dikarenakan banyaknya faktor lain yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan budaya, seperti ideologi, kepentingan Agama, individu, politik dll.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya

Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas, tepatnya pada negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya proses tersebut. Diantaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat, sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas, ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia.(16)
Bentuk yang ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasipun bermacam-macam, mulai dari Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (ekspor-impor, penyebaran produk-produk global, dll), hiburan (film, musik), seks bebas, nilai-nilai, gaya hidup dst.(17) Sebagai contoh yang diungkapkan George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society, bahwa McDonald atau jenis fast-food lainnya yang di usung oleh Amerika telah menjadi fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel, aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&Bs dll yang menyebar luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara.(18) Bagaimanapun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi serta budaya warisan nenek moyang mereka. Akhirnya globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran satelit internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal.(19)
Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan konflik sosial di masyarakat non-Barat, yang mana mereka memiliki warisan budaya dan kehidupan relijius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung globalisasi dan kapitalisme.(20) Karena globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku berupa tatanan etika dan selebihnya, yang mana perubahan tersebut acapkali membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada wilayah perkotaan (urbanized area) dimana proses modifikasi baru saja ditembus, seperti yang banyak terjadi di negara-negara ketiga.(21)
Adapun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin dan ilmu pengetahuan dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju. Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat -khususnya anak muda-, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian, potongan dan warna rambut, pilihan hiburan dst. Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidak pedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya.(22)
Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat, seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap, berperilaku hingga keberagamaan suatu masyarakat.(23) Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa, maka kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang disebarluaskan oleh globalisasi tersebut.

Penutup

Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru, ia muncul bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri, baik dalam politik, ekonomi dll. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi budaya, yaitu: (i) secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama masalah tranportasi, komunikasi dan arus informasi. (ii) Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol dan fakta. Meninggalkan dogma-dogma kuno seperti mitos dll, yang digantikan dengan sebuah doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan metode analisis-kritis. Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya.(24) Hal ini dikarenakan adanya bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap syle bentuk budaya tertentu, yang mana cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi budaya yang sangat besar dalam skala dunia.(25)
Oleh sebab itu, Budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting yang dimiliki oleh suatu bangsa, jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang; norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi. Karena hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya, mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata mereka, dll. (26)
Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara ‘jajahannya’, bedanya kalau zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power. Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap tegukan, tapi apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan, pasien pun akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh opium tersebut. Tapi perlu di ingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun, tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus berobat.
Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang 'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul timbal-balik yang fair dan equitable. Karena globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa kita, sehingga kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budaya-budaya seberang, tapi juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain. Wallahu wa rasuluhu a’lam

End Note:
1. Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization dalam Human Inscecurity in a Global World, Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker (editor), Harvard University Press, Cambridge, 2005, hal: 1
2. Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization: An Introduction dalam Islam Encountering Globalization, Ali Mohammadi (editor), Routledge Curzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002. hal: 1
3. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al-'Aulamah dalam Annual Journal of International Islamic University, Islamabad-Pakistan, 2002. Vol: 10, hal: 230
4. Concise Oxford English Dictionary, Edisi 11.
5. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 1
6. Fukuda, Sakiko-Parr, Op. Cit., hal: 1-4
7. As-Suyuti, Khalid Abdul Halim, Op. Cit., hal: 230
8. Featherstone, Mike, Op. Cit., hal: 2
9. Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11
10. Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture, Faber and Faber, London, 1962. Hal: 15
11. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
12. Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999. hal:87-106
13. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
14. Al-za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah, Daar al-Syuruq, Jeddah. Hal: 32
15. http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
16. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx
17. Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, dalam Majalah Islamia, Edisi IV, 2005. hal:13-14
18. Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993. Hal: 1-2
19. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 15
20. Ibid, hal: 13
21. Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism dalam Globalization, Democratization and Multilateralism, Stephen Gill (editor), United Nations University Press, Japan, 1997. Hal: 4
22. http://www.wikimu.com/n ews/Opini.aspx
23. Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996, hal: 251-255
24. http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx
25. Gill, Stephen, Op. Cit., Hal: 5
26. Al-Roubaie, Amer, Op. Cit., hal: 16-17


Referensi:
Al-Za'ir, Said Ibn Mubarok, Al-Tilfiziyun wa al-Taghayyur al-Ijtima'I fi al-Duwal al-Namiyah. Daar al-Syuruq, Jedah, tanpa tahun
Al-Roubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam (Majalah Islamia). Edisi IV,
2005
As-Suyuti, Khalid Abdul Halim. Al-Hiwaar Baina al-Diyaanaat al-Tsalaats fi 'Asri al
'Aulamah (dalam Annual Journal of International Islamic University), Islamabad-Pakistan,
2002. Vol: 10
Concise Oxford English Dictionary, Edisi ke-11
Eliot,T.S., Notes towards the Definition of Culture. Faber and Faber, London, 1962
Fukuda, Sakiko-Parr, New Threaths to Human Security in the Era of Globalization (in Human Inscecurity dalam a Global World edited by Lincoln-Chen, Sakiko Fukuda-Parr, Ellen Seidensticker). Harvard University Press, Cambridge, 2005
Featherstone, Mike, Islam Encountering Globalization An Introduction (dalam Islam Encountering Globalization edited by Ali Mohammadi). RoutledgeCurzon Taylor & FrancisGroup. New York, 2002
Gill, Stephen, Global Structural Change and Multilateralism (dalam Globalization, Democratization and Multilateralism edited by Stephen Gill). United Nations University Press, Japan, 1997
Ismail, Mansyawi Abdul Rahman, Fi Taarikh al-Fikri al-Falsafi, Daar al-Tsaqofah al-'Arabiyah, 1999
Ritzer, George, The McDonaldization of Society, Pine Forge Press, California, 1993
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, Routledge, London, 1996
http://id.wikipedia.org/wiki/kebudayaan
http://www.wikimu.com/news/Opini.aspx




Thursday, 11 September 2008

Ramadhan

Ramadhan, demikianlah orang menyebutnya, rangkaian hari dalam sebulan yang penuh dengan untaian rahmat Ilahi, lantunan ayat-ayat suci, dzikir, sedekah, zakat, dan banyak lagi kebaikan dan berkah didalamnya. Seandainya dalam setiap tahunnya selalu dilalui dengan indahnya ramadhan. Atau mungkinkah kita sebagai umat Islam telah salah dalam memahaminya? Seakan ramadhan hanyalah satu-satunya waktu dalam ajang kontes pertandingan amal dimana seluruh umat berlomba menjadi juara, namun di bulan yang lainnya tidak ada bekas sama sekali dalam kehidupan serta perilakunya.

Ramadhan adalah bulan pelatihan diri, bukan hanya pelatihan dimensi spiritual saja, namun ia merupakan olah fikir, olah jiwa dan olah raga. Bilamana manusia tanpa siyam/puasa, tanpa latihan menahan diri, sebagaimana bilamana ia tanpa rukun/tiang Islam yang lain, apalagi tanpa ajaran Islam sedikitpun.

Banyak yang takut dan phobia terhadap Islam karena ada yang memakai Islam untuk alat kepentingan dirinya, keluarganya atau kelompoknya; sebab dalam sejarah agama manapun hal tersebut sering terjadi; agama untuk kepentingan dirinya, keluarganya, kroni-kroninya, kelompoknya, golongannya dsb.

Hal ini harus diluruskan, dikembalikan lagi bahwa Islam adalah penghormatan dan penghargaan, islam adalah identitas, pelatihan, pendidikan dan pelatihan untuk selalu berlomba-lomba fastibiqul khairat dunia akhirat.

Diatas status dan fungsi itu semua Ramadhan merupakan ibadah, ubudiah, pengabdian; bakti, persembahan; penyembahan, penghambaan.

Puasa merupakan ujian menuju perolehan maslahat manusia sendiri. Sayang kita kurang atau bahkan tidak sadar,seakan itu untuk Allah swt. saja, berdasar sabda Rasul dalam hadits:

....fa'innahuu lii, wa ana ajzii bihii,dst.; artinya puasa adalah untuk KU. Kita harus menyadari bahwa puasa kita, ramadhan kita banyak mengandung nilai plus bagi diri kita. Ia merupakan Santapan otak, bimbingan jiwa dan tuntunan budi menuju kualitas insan yang berTAQWA. Dalam Islam, tidak ada kegiatan ibadah yang sepi dan kosong dari kandungan unsur kejiwaan dan nilai – nilai kemanusiaan. Penataan aneka ragam bangsa juga ditanamkan dalam sendi-sendi IBADAH KITA. termasuk juga ibadah Ramadhan. Sehinga dengan berpuasa kita bisa menjernihkan hati, mencerahkan fikiran dan menggelorakan amal shaleh.

Maka salah apabila kita menilai puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya sebagai dimensi individual-spiritual, hubungan vertikal tanpa unsur horizontal. Islam mencakup semua. Vertikal dan horizontal, spiritual dan intelektual. Maka dari itu naif apabila ada segolongan orang dengan melihat pengalaman pahit umat beragama lain menyatakan bahwa Islam adalah agama pribadi, agama antar individu dan tuhannya. Karena banyak sekali unsur pembelajaran sosial dibalik ritual ibadah tersebut. Dalam hal ibadah shalat misalnya, imam sholat/masjid, siap dengan cadangan yang tak kurang kualitasnya. Apa dasar filisofis, rahasia, hikmah "WHY, mengapa?" nya. Adzan, waktu dan "the man" nya, juga lafadh-lafadhnya.

Kesehatan, kekuatan dan kesabaran sebagai tiang - tiang persyaratan setiap ibadahnya. Subuh, dhuhur, ashar, maghrib, isya' dengan kedisiplinan disiplin dan rahasia - rahasianya, spesifikasinya. Di tambah dengan sarana dan prasarana kualitas keikhlasan, kekhusyukan yang harus diupayakan dengan perwujudan maksimal. Why? Disinilah salah satu tanda universalitas Islam. Yang merangkul segala aspek kehidupan. Islam bukan hanya olah rohani, namun upaya dalam melatih kesadaran manusia untuk sholeh secara individu, sholeh secara sosial dan menjunjung tinggi profesionalisme dengan catatan berlandaskan pada ajaran qur’an dan sunnah rasulNya. Sehingga kebahagiaan dunia akhirat bisa tergapai. Ramadhan, merupakan salah satu rangkaian ibadah untuk menuju tujuan tersebut.

Disinilah diperlukan kesadaran individu dalam berIslam. Pidato, ceramah, diskusi, dialog, seminar, dan sebagainya tidak cukup, belum menjamin keberhasilan penyadaran. Kesadaran diharapkan datang bila dikerjakan dengan faham yang benar. Maka, kegiatan-kegiatan Ramadhan, sayang bila kurang diintensifkan; dilengahkan! Merugilah kita bila dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya justru menurun kwalitas dan kwantitasnya, rugi dan merugikan! Kehilangan sesuatu yang mahal tidak pantas kalau tidak menimbulkan penyesalan.

Untuk mewujudkannya, memang perlu usaha membina, menciptakan kemauan, kesempatan dan miliu penunjang. Tidak berdosa, insya Allah, bila dilakukan dengan sedikit pemaksaan. Harus diingat bahwa syetan juga mengintensifkan pemaksaan agar tidak taat. Kita berusaha,berupaya, IBLIS menggoda kita; tidak berusaha, tidak berupaya IBLIS juga menggoda. "berpuasa, menahan diri, membentengi nafsu ditengah-tengah arena pesta pora kema'siatan: makan, minum, gerakan/tontonan/pertunjukan syahwat keduniaan, merupakan ajang pelatihan diri, pembelajaran dan penyadaran diri. Dengan puasa ramadhan umat kita akan berhasil memenanginya! Hingga IBLISpun gigit jari!

Ramadan merupakan ujian sikap nyata,dalam amal perbuatan, bukan ujian lisan bukan ujian tulis juga bukan sekedar ujian fisik kekuatan. Spesifikasi Ramadhan sebagai bulan obral rahmat kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNYA, investasi ritual, dan sosial. Haruslah kita manfaatkan dengan sesempurna mungkin sebagai Benteng proteksi total dari segala macam dan bentuk bisikan rayuan kesesatan.

Kegiatan ramadhan adalah ibadah, keilmuan, kesadaran, kepedulian dan kemasyarakatan, mewaspadai penjajah akbar, paling berat "PEMUASAN NAFSU DIRI", sebab kalau dibebaskan, tidak disegerakan, sampai melestarikan Ibahiyyah, Permisivveness sungguh akan merusak kesehatan jiwa raga kita nantinya. Siyam Romadlan Kita bukan berupa menghadiahi sesaji makan minum, jasa kepada ALLAH tapi dengan bakti pengabdian total dan pengorbanan maksimal, kapital aset-aset tabungan dihari penghitungan,"yaumul hisaab" menuju falaah, kemenangan, sa'aadah, kebahagiaan. Untuk di dunia, Untuk diri kita, dan untuk akhirat kita.

Kalau ada orang kafir mengatakan " It's good for you but not good for me" maka demikianlah ma'na ibadah dalam Islam. ALLAH punya kriteria, dan raport tersendiri.





“The Raison d’etre” Keselarasan Antar Agama di Pakistan

Islam telah banyak melahirkan revolusi peradaban dan dinamika budaya, yang semua itu tak lepas dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Dalam setiap kehidupan telah diatur di dalamnya, tak terkecuali urusan Politik, Ekonomi, dll. karena Islam merupakan suatu budaya, agama dan negara. Begitu pula Islam telah banyak berpengaruh dalam meningkatnya sumber daya manusia secara keseluruhan. Pantas kalau hal tersebut menjadi landasan berdirinya sebuah negara Islam.

Pakistan merupakan salah satu negara dari sebagian kecil negara di dunia yang berdiri berasaskan agama. Dengan ditetapkannya Islam sebagai ideologi mereka, sebagian besar sistem dan aturan agama diberlakukan lebih dominan dalam berbagai permasalahan sosial. Maka, salah satu syarat yang diberlakukan untuk menjadi Presiden Republik Islam Pakistan-pun harus seorang muslim yang mampu menjalankan semua aturan-aturan Islam sebagai muslim yang baik dan juga berstatus penduduk asli Pakistan. Dengan demikian, Islam merupakan agama dengan tuntunan yang harus dijalankan bagi seluruh penganutnya, dan menjadi tata aturan dalam pemerintahan Pakistan itu sendiri.

Pakistan berdiri karena keinginan penduduk muslim di anak benua (sub-kontinen) untuk membangun tempat tinggal dan kehidupannya sesuai dengan ajaran dan tradisi Islam, bahwasanya mereka ingin mendemonstrasikan kepada dunia bahwa Islam mampu memberikan obat mujarab untuk setiap penyakit yang mana telah menyerang kehidupan manusia hingga saat ini. Maka Pakistan didirikan dengan alasan Ideologi dan kemanusiaan. Karena konflik yang terjadi antara muslim dan Hindu bukanlah urusan politik semata, tapi merupakan masalah ideologi. Ini merupakan suatu perjuangan yang patut dikagumi bagi sekalian muslim demi tegaknya negara Islam Pakistan.

Namun lain halnya kenyataan yang sekarang ini hadir di tengah-tengah kita, sebuah fenomena sosial yang sedikit banyak menyita perhatian berbagai kalangan hingga masyarakat luas. Bukanlah hal yang aneh memang, bila suatu negara yang dibangun berdasarkan agama, kemudian tumbuh berkembang lalu melupakan bahkan meninggalkan landasan atau pondasi kenapa semula ia dijadikan. Berbagai budaya dan tradisi baru mulai bermunculan di hampir seluruh Negara Islam, tak terkecuali seperti yang kita perhatikan belakangan ini di Negeri Ali Jinnah, Pakistan. Sebuah masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan tatanan dan banyak aturan-aturan islami. Bahkan seperti yang telah disebutkan di atas, Pakistan merupakan Negara yang berdaulat Islam. Sejarah nyata telah seringkali kita dengarkan bagaimana perjuangan para pendiri beserta laskarnya untuk membebaskan umat Islam di Sub-Continent pada masa itu, agar bisa menjalankan syariat Islam dengan baik dalam sebuah naungan Negara Islam. Hingga tercapailah harapan mereka dengan berdirinya Negara Islam Pakistan, yang tentunya tak lepas dari masalah-masalah yang mulai bermunculan kemudian. Seperti urusan sekte, perbedaan agama, dll.

Kiprah para muslim yang berjuang di berbagai bidang dan sektor-sektor penting Negara, dari sebelum berdirinya Pakistan hingga saat ini sudah sangat besar menambah kredibilitas dan kekuatan Islam untuk membangun Pakistan, baik Ekonomi, Politik, Sosial-Budaya, dll. Walaupun tidak secara gamblang diterangkan, namun akan terlihat jelas disini bagi sebagian massa yang menjunjung tinggi arti sebuah Nasionalisme Bangsa, bahwa penduduk muslim adalah penduduk sah Pakistan dengan adanya mayoritas dan minoritas kelompok dalam negeri. Dengan kata lain berarti penduduk non-muslim sebagai agama minoritasnya.

Sebagian orang akan berpendapat bahwa sebuah negarapun bisa maju bila mungkin tidak melahirkan beragam sekte khusus, atau menggolongkan penduduk ke dalam kelompok-kelompok tertentu, sehingga tidak menjadikan adanya kelompok minoritas dalam suatu negara. Seperti halnya fenomena agama minoritas di berbagai bahkan hampir di semua negara, termasuk Pakistan. Sebuah permisalan Zia ul Haq yang dikenal sebagai Presiden diktator militer Pakistan, saat beliau mencabut hak suara penduduk minoritas (non-muslim) dalam pemilihan. Dengan sistem hak suara yang terpisah antara muslim dan non-muslim maka akan menggeserkan peralihan suara pula. Kemudian Zia ul Haq juga membagi seluruh penduduk negeri ke dalam lima kelompok agama/kepercayaan dan tidak diperbolehkan bagi agama minoritas untuk memberikan suaranya atas orang muslim. Begitu pula tidak diperkenankan untuk memilih non-muslim (agama minoritas). Walhasil penduduk muslim akan lebih mengabaikan agama minoritas dan akan menjadikan mereka sebagai warga negara kelas dua atau tiga, layaknya “orang asing” di Tanah Air mereka sendiri, sebuah kampung halaman dimana nenek moyangnya telah tinggal sejak bertahun-tahun bahkan ribuan tahun lalu.

Sejak saat itulah maka dibentuk “The Raison d’etre”. Yang maksudnya tidak lain adalah suatu keadaan dengan adanya perbedaan atau perbandingan manusia ke dalam kelompok-kelompok. Karena tidak adanya alternatif lain yang dapat mereka ambil, dan hanya ada satu garis besar yang menyatakan bahwa masyarakat mayoritas dan tempat untuk masyarakat yang beragama minoritas. Pada konstitusi tahun 1973 dengan suara bulat, maka telah disetujui oleh seluruhnya usul perubahan dalam satu sekte disebutkan Ahmadiyah seperti halnya non-muslim yang dengan demikian menjadi agama minoritas. Ini juga termasuk di dalamnya penduduk Hindu, Kristen, dll.

Hal demikian merupakan konteks ideologi sebagai negara Islam, bahwa sistem pemilihan yang terpisah memberikan peranannya untuk suatu perusakan atau pembinasaan dalam pemerintahan ketika diktator militer memperkenalkan sebuah sistem tersebut yang mana bertujuan untuk membagi suatu Negara ke dalam jangkauan yang lebih luas lagi. Dengan kata lain, menjadikan masyarakat Kristen dan Hindu hanya bisa memberikan suaranya kepada agama mereka sendiri pada masa itu, yang kemudian lahirlah pusat pembangunan sumber daya manusia atau yang mereka sebut sebagai “Human Development Centre”. Tentu saja itu akan menimbulkan tekanan pada keharmonisan antar masing-masing kepercayaan yang ingin mempromosikan sebuah kesepakatan dan kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut. Salah satu alasan kenapa timbul banyak kerusakan dimana-mana adalah masih adanya pemisahan atau penggolongan masyarakat. Maka kita akan melihat sebuah fenomena dalam konteks nyata negara Pakistan, yaitu Negara yang berideologikan Islam kokoh dan kuat, yang kemudian akan nampak selanjutnya kibaran bendera agama minoritas yang mana mereka layaknya sekelompok orang asing dari segala segi dan dalam setiap level.

Membangun sosial Islam yang ideal haruslah memperhatikan kepada perkembangan pola kehidupan dan isu-isu sosial yang erat sekali kaitannya dengan perbedaan-perbedaan dalam kasta, kepercayaan, warna, daerah, status ekonomi, dll., dengan tetap menjunjung tinggi norma-norma dan nilai akhlak.

Keselarasan antar kepercayaan yang sama sekali berbeda bukanlah kemewahan atau kesenangan, tapi justru merupakan sebuah keharusan yang mutlak. Ia mengalir dari ideologi negara dimana para muslim bersama-sama mengangkat dan memperbaiki aturan-aturan yang ada. Reformasi dan reformulasi atas ideologi ini mampu menghendaki keberanian yang besar dan kerja keras. Namun itu merupakan agenda pokok kekuatan liberal dalam negara. Tapi dalam kurun waktu terakhir ini, hal itu hanyalah mimpi semata. Realita yang menuntut adanya keselarasan antar agama, dimana muslim dan non-muslim berkolaborasi bersama untuk memajukan bangsa, bahu-membahu setiap hari dan bekerja biasa seperti penduduk lainnya dalam satu negara yang sama.

Tentunya sebagai muslim kita dapat mengerti apa saja yang diberlakukan dalam syariat Islam. Sunah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menghormati sesama, tidak merendahkan yang satu dari yang lainnya. Karena sebagai muslim kita harus percaya, bahwa agama dan Tuhan kita adalah yang benar. Namun kita tidak melupakan agama atau kepercayaan yang dianut oleh umat lainnya, tetap bertoleransi sesuai dengan batasan yang telah diatur dalam Islam. Begitupun juga telah dikatakan dalam pidatonya Muhammad Ali Jinnah, pada majelis konstitusi 11 Agustus, beliau mengatakan kepada seluruh masyarakat Pakistan pada masa itu: “ kalian bebas...kalian bebas untuk pergi ke kuil-kuil, kalian bebas untuk pergi ke masjid, atau tempat peribadatan lainnya di Pakistan. Kalian diperkenankan untuk beragama, berkasta, atau berkeyakinan apapun. Bahwasanya itu tidaklah menjadi urusan Negara, …dll…dll…dll…Pakistan Zindabad!.”

Sumber Bacaan:

1. Rauf, Abdul. Islamic Culture in Pakistan. Ferozsons, Lahore, 1994.

2. Sattar, Abdul. Pakistan’s Foreign Policy 1547-2005. Kagzy, Karachi, 2007.

3. Sidhwa, Bapsi. Ice-Candi-Man. Penguin book, India, 1988.

Thursday, 10 July 2008

Khayalan

Prediksi para pemikir, antropolog dan sosiolog sekelas Comte, Freud, Weber, Durkheim, Marx, Darwin yang menyatakan bahwa agama akan ditinggalkan para pengikutnya ternyata tidak terbukti kebenarannya, justru diawal abad 20 geliat keagamaan semakin terasa dengan munculnya berbagai jurnal studi agama, berdirinya rumah ibadah dan makin kuatnya ketergantungan manusia pada simbol keagamaan. Hal ini semakin menggilas prediksi ‘dunia sekular’ sebagai cadangan tunggal yang diramalkan para pemikir Barat awal abad 19. Pandangan tersebut bermula dari berbagai macam penemuan ilmiah yang selalu mematahkan dokrin-doktrin agama (baca: kristen). Semakin mereka menemukan penemuan baru, semakin berkurang otentitas dogma gereja dan kitab sucinya. Maka terjadilah bentrok antar teolog dan saintis kala itu, yang tak lepas dari kekerasan fisik yang berdarah-darah. Galileo Galilei dan Bruno merupakan bukti ril dari kebiadaban tirani para ‘wakil tuhan’ masa itu. Hal inilah yang membangkitkan semangat anti gereja dikalangan masyarakat, khususnya para saintis. Anggapan bahwa agama dan Tuhan hanyalah khayalan semakin kuat menggema dalam berbagai ruang ilmiah. Inilah cikal bakal sebuah aliran yang kemudian menamakan diri mereka sebagai ateis.

Namun semangat anti-Tuhan dan agama para saintis-ateis seakan tenggelam dengan gairah keagamaan yang muncul. Nama-nama agamawan kembali muncul menggantikan tokoh idola sekular abad 19 dan awal 20. sebut saja nama Khomaeni, Desmond Tutu, Paus Yohanes Paulus, Bunda Theresa, Dalai Lama dan masih banyak kaum agamawan yang muncul menggeser ide-ide sekularistik ateis.

Kebangkitan agama sudah hampir lima dekade, dan para ateis juga sudah tenggelam dalam keputus asaan. Tapi diawali dengan runtuhnya WTC di AS oleh ‘wakil Tuhan’, bom di Spanyol, Bali, peledakan di Inggris, bom bunuh diri di Pakistan yang juga merupakan tanggung jawab yang di klaim oleh ‘orang-orang yang beriman’, polemik berkepanjangan umat kristiani di Irlandia seakan memberikan amunisi baru yang dahsyat buat para atheis untuk menghantam Tuhan dan agama. Seakan mereka berteriak “inilah ajaran agama! Inilah anjuran Tuhan! Menghancurkan setiap inchi garis kemanusiaan!” mereka bersorak gembira, sekularisme bangkit lagi! Atheisme belum mati! Bukan darwin yang mengancam eksistensi kemanusiaan dan peradaban, tapi agamalah yang merusaknya. Darwin tak pernah menyuruh untuk membunuh, agamalah yang dengan lantang meneriakkan aroma kematian dengan bumbu kekejaman. Agama bangkit bukan untuk perdamaian, tapi pertikaian dan kematian.

Inilah fenomena kontemporer, bahwa faham sekular-ateis semakin menemukan jalan mulusnya menuju singgasana globalisasi. Muculnya para ateis semisal Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens dan Daniel C. Dennett dalam berbagai acara talk show di berbagai media, menunjukkan geliat baru neo-darwinisme ini. Belum lagi buku-buku mereka menghiasi rak-rak best seller diberbagai toko buku di dunia, sebut saja The End of Faithnya Harris (2005) God Delusionnya Dawkins (2006) Breaking the Spell karya Dennet (2006) dan karya Hitchens The God is Not Great (2007) kesemuanya langsung ludes dipasaran. Banyak dari para pembacanya yang dengan yakin akhirnya menyatakan bahwa mereka adalah ateis pengikut dawkins dan kawan-kawan.

Dawkins dalam bukunya God Delusion, menolak keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari bukti-bukti ilmiah yang ditemukannya. Dawkins adalah seorang ahli biologi evolusioner dan pengikut setia Darwinisme. Baginya sangat jelas bahwa bukti-bukti ilmiah menunjukkan ketiadaan Tuhan. Yang dia maksud dengan “Tuhan” bukanlah Tuhan seperti yang digambarkan religious saintists semisal Einstein dan pengikut Deisme lainnya (Tuhan ada namun tidak melakukan apa-apa, Dia hanya mencipta lalu meningalkannya), tapi Tuhan personal yang disembah sebagian besar pengikut agama, khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bukunya tersebut ia juga memberikan 6 argumen kenapa kita harus yakin dengan ketiadaan Tuhan. (Dawkins, 2006, hal: 111-159)

Dawkins yang juga diamini pengikut setianya meneror agama dan Tuhan dengan bertubi-tubi. Mereka hendak mengusir Tuhan dan agama jauh dari lingkungan kemanusiaan dan peradaban. Agama selalu dengan seenaknya mendaku penemuan-penemuan ilmiah sebagai ilmu Ilahi yang sudah termaktub dalam kitab suci, tanpa mau mencari kebenarannya. Klaim atas validitas eternal kitab suci ini menambah geram kaum ateis. Ditambah dengan the worship of gaps (penyembahan celah; ejekan Dawkins terhadap kaum kreasionis yang selalu memasukkan unsur Tuhan dalam celah yang belum bisa di temukan oleh nalar ilmiah (Dawkins, 2006, hal: 125-134)) yang diusung oleh kaum agamawan. Hal tersebut bukan menguatkan argumen wujud Tuhan, justru nantinya akan semakin menguatkan argumen kaum ateis. Karena semakin celah-celah tersebut tertutup dengan penemuan ilmiah yang rasionil akan semakin sempit pula ruang lingkup tuhan didalamnya, bahkan akan hilang sama sekali.

Gambaran fenomena diatas merupakan pertarungan pemikiran kontemporer yang terjadi antara kaum ateis penolak Tuhan dan agamawan. Memang mayoritas agama dan dogma kitab suci yang mereka tentang adalah ajaran kristen dimana mereka berinteraksi langsung dengannya sejak kecil, sedangkan Islam dan agama Timur lainnya mereka pelajari dengan kacamata antropologis-sosioligis. Namun justru hal ini yang amat berbahaya. Karena dalam memahami Islam dengan metode demikian bisa membawa kesalah fahaman yang fatal. Hal ini akan semakin parah, karena arus globalisasi yang kuat merupakan sebuah keniscayaan yang kita akui bersama merupakan penyalur berbagai macam aliran pemikiran dan kebudayaan terhadap dunia global yang nantinya akan merasuk secara perlahan dalam pemikiran umat Islam tanpa sadar.

Argumen-argumen Dawkins dalam The God Delusion telah menohok ulu hati agamawan Barat maupun Timur. Sebagai umat Islam, kita harus menerima kenyataan bahwa banyak dari ulama kita yang hanya wait and see terhadap penelitian ilmiah dan kemudian mencari ayat al-Qur’an dan kemudian mencocokkan dengannya. Kemudian sibuk menulis buku dan artikel menunjukkan bukti ayat-ayat al Qur’an yang sesuai dengan penemuan tersebut.

Sungguh ironis apabila umat Islam dangan kesempurnaan ajarannya yang merupakan nilai final dari semua agama sebelumnya tidak melaksanakan ajarannya. Puluhan ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir, menelaah alam, makhluk dan lainnya hanya sekedar buah bibir bacaan umatnya tanpa ada bentuk implimentasi praktis. Kita tidak sadar bahwa penemuan ilmiah yang ada nilainya relatif, sebagai konsekwensinya apabila dikemudian hari ada penemuan yang mematahkan argumen awal dengan bukti ilmiah yang memadai, maka argumen awal akan gugur. Apabila kita hanya sekedar mencari titik temu antara penemuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an, itu sama saja menghukumi relativisme al Qur’an. Sudah saatnya umat Islam sadar dan bangkit dari tidur panjangnya. Segala kesempurnaan ajaran agama harus digunakan dengan maksimal. Bukannya berhenti pada ayat-ayat teertentu dan kemudian menafsirkannya secara kaku dan rigid yang akhirnya melahirkan berbagai kekerasan dan kekejaman atas nama agama.

Disini saya kira pentingnya rekonstruksi ide Islamisasi Ilmu yang pernah digulirkan oleh Al Attas dan Faruqi. Sehingga pemahaman umat akan berbagai ilmu dan pengetahuan selalu berlandaskan framework Islam. Sehingga tidak mudah terombang ambing oleh samudara logika relativisme ilmiah. Dan kejayaan sains Islam bisa terwujud tanpa harus meyakini bahwa Tuhan hanya sekedar khayalan manusia yang pesimis dan fatalis.

Allah Knows Best

Albi 100708, 16:30

'Sembahyang'; Identitas Umat Beragama

Oleh: Alfina HM

Agama merupakan landasan setiap umat manusia, termaktub dalam kisah panjang bagaimana sebenarnya manusia itu membutuhkan sesuatu yang supreme-power untuk bersandar dan menyerahkan diri. Tak lepas dari itu, setiap agama pasti memiliki ritual dan ibadah yang berbeda dan bermacam-macam. Karena ritual merupakan bagian pokok dari suatu agama. Dengan kata lain ia disebut juga sebagai tata cara keagamaan. Secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa orang yang beribadah atau melakukan ritual tertentu berarti ia adalah penganut agama tersebut, maka segala praktek keagamaan seperti 'sembahyang' adalah sebuah identitas bagi setiap umat beragama.

Agama Hindu memiliki keyakinan terhadap banyak Tuhan (dewa-dewa) yang harus mereka sembah, seperti Brahma, Wisnu, Siwa dll. Begitu juga dengan agama Budha yang mengabdikan dirinya dalam ritual-ritual agama seperti yoga untuk mencapai nirvana. Umat Yahudi melakukan sembahyang atau doa selama beberapa kali dalam sehari (sekharit, Mincha, ma'ariv), puasa dll sebagai ritual mereka. Tak ketinggalan dengan umat Kristen yang biasa melakukan ibadah mereka setiap hari minggu seperti Eucharist yang mereka percayai sebagai seremonial suci, serta masih banyak sakramen lainnya. Lalu bagaimana dengan ritual umat Islam yang terangkum dalam lima rukum Islam, misalnya salat? Kenapa seorang muslim harus salat dan apa untungnya meninggalkan salat? Bukankah masih banyak ibadah lainnya yang berpahala seperti bersedekah, membantu orang lain dll?

Salat merupakan suatu ibadah memuliakan Allah Swt yang menjadi tanda rasa syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad Saw dengan ketentuan Al-Quran dan Sunnah. Salat sendiri sudah ada dan telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, seperti perintah salat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, Nabi Syu'aib, Nabi Musa, dan kepada Nabi Isa Alaihim Assalam. Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh kisah-kisah yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil) yang menceritakan bagaimana Nabi-nabi terdahulu melakukan salat (beribadah kepada Allah Swt). Berikut isi Perjanjian Lama dalam kitab keluaran (Exodus) 34:8 "Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut dihadapan Tuhan yang menjadikan kita". Dalam Perjanjian Baru dikatakan dalam surat Markus 14:35 "Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya". Dengan demikian maka jelas bagi umat Islam bahwa salat sudah menjadi tradisi dan ajaran yang baku bagi semua Nabi dan Rasul Allah beserta para pengikutnya sepanjang jalan, Allah Swt telah berfirman: "Sebagai ketentuan Allah (sunnatullah) yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekalipun tidak akan menemukan perubahan bagi ketentuan Allah itu" (Q.S: Al-Fath: 23)

Dalam Islam salat merupakan salah satu rukun Islam, dimana agama akan kokoh berdiri diatasnya. Salat juga merupakan pengabdian (ketundukan) yang mencakup fisik, mental dan spiritual seorang muslim kepada Allah Swt yang diawali dengan mengucapkan Takbir (Allahu Akbar) meyakini bahwa Allah Swt Maha Besar dan diakhiri dengan salam. Begitu pentingnya salat bagi seorang muslim telah berulang kali Allah tegaskan dalam firman-Nya, bahwa hukum yang berlaku bukanlah 'semau' hamba-Nya, akan tetapi sudah ditetapkan dan tidak bisa ditawar lagi.

               Allah Swt memberikan keutamaan mengerjakan Salat dengan perintah untuk selalu menjaganya karena

semua amal saleh akan dibalas dengan surga kelak, dimana kita akan tinggal selamanya. Allah Swt berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusuk dalam sembahyangnya"

(Q.S: Al-Mukminun 1-2)

Wallahu a’alam




Monday, 30 June 2008

Hindu rituals and ceremonies in contemporary Bali and its impact on muslim society (a research proposal)

By: Alfina Hidayah HM

Preface
According to Concise Oxford English dictionary the term 'Hinduism' means a major religious and cultural tradition of the Indian subcontinent, including belief in reincarnation and the worship of a large pantheon of deities.[1] This religion develops and expands to a number of countries in the world, and Indonesia is one of them where Hinduism has existed and continues to survive with other religious communities.
The expansion of Hindu in Indonesia started when the native people of the archipelago went to India for trade; the Indians reciprocated in the beginning of first millennium. As more and more Indians started settling in the archipelago, their influence started increasing. Over the islands; so much so that many Hindu kingdoms were founded in Java and have affected the Indonesian society and its customs.[2]
After the advent of Islam in the 11th century, the religion and beliefs of a majority of the people became Islam which continues to this day. However, one notice that even with the gradual downfall of the Hindu kingdoms one can still find their strong and perhaps increasing influence in the environment and community in contemporary Indonesia. Most of them inhabit the Hindu island of Bali, where the entire population is Hindu with an approximate percentage of 93% of the settled citizens.
Hinduism in Bali Indonesia has many rituals which have influence the society particularly the Muslims’ society. Since their ancestors were adherent of Animism who believed in a supernatural power that organizes and animates the material universe. Subsequently the Hindus of Indonesia also adopted the animistic as well as their original beliefs and practices. Unfortunately, traditional Javanese Muslims also practice those rituals of Animism and Hindu. These kinds are a mixture of religion and indigenous cultures.

Introductory Statement
The project will undertake to answer the questions “what is the impact of Hindu rituals and practices upon the Muslim community of Bali. These questions are:
1. How do Hindu kingdoms develop and rule the ancient archipelago in the history of Indonesia? (development of ancient Hindu in Indonesia)
2. The classical Hindu in Indonesia is a mixture of Hindu and Buddha as a single religion, why?
3. When we look at the contemporary Indonesia, we will find that Hindu make an effort to revive as one religion and separate from Buddhism, this revival what they called by Parisada Hindu Dharma. What are their aims for that?
4. What are their rituals which still present until today?
5. Bali is known as gods island (Devata Island), is Hindu and its rituals the main reason that promote Bali into well-known and became rich tourism island today?
6. Why is a Balinese Hindu more concerned with the rituals and art than beliefs, laws etc?
7. What is the impact of Hindu rituals on the society especially upon the Muslims?
8. Why the Muslims adopt and adapt the Hindu rituals? What are their purposes?
9. What is our position and statement as Muslims concerning this issue?

Methodology of Research
This project will try to answer the above questions through a historical study and a brief introduction of Hinduism in Indonesia all over its various periods. Secondly will mention some of their main rituals and ceremonies practices in detail to understand which are related to and adopted by Muslims. Finally I will come up to the contemporary issues between Hindu and Islam which relate to this topic followed by approaching to the conclusion that being a Muslim what we are going to do then.

Outline

I divided my topic as below:
ü A brief introduction to the historical background of Hinduism in Indonesian Archipelago
ü Chapter one: The rituals and ceremonies
ü Chapter two: Its impact on Muslim society
ü Conclusion
ü References

Some references arranged for project

Concise Oxford English Dictionary (Eleventh edition)
Hinduism in Indonesia-wikipedia, the free Encyclopaedia

Radhakrishnan, S. The Hindu Dharma. (International Journal of Ethics, Vol. 33, No. 1, (Oct., 1922), pp. 1-22). The University of Chicago Press

Schiller, Anne. An "Old" Religion in "New Order" Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation. (Sociology of Religion, Vol. 57, No. 4, (Winter, 1996), pp. 409-417). Association for the Sociology of Religion, Inc.

Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respons gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia. (The Muhammadiyah movement and its controversy with Christian mission in Indonesia). Mizan, Bandung Indonesia, 1998

Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Mizan, Bandung-Indonesia, 2001.

Van der Kroef, Justus M. The Hinduization of Indonesia Reconsidered (The Far Eastern Quarterly), Vol. 11, No. 1, (Nov., 1951), pp. 17-30. Association for Asian Studies.

[1] Concise Oxford English Dictionary (Eleventh edition).
[2] Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respons gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia. (The Muhammadiyah movement and its controversy with Christian mission in Indonesia). Mizan, Bandung Indonesia, 1998. P.1.

Sunday, 29 June 2008

Can romance novel be a type of Islamic literature?

Question
Can romance novel be a type of Islamic literature?

A. Introduction
In the Eickelman and Anderson, 1999, in the Muslim World, Maimuna Huq wrote that how romance novel can be a suggestion and a message that implied moral and ethic. She begin her writing with the reaction of Bangladeshi toward the controversial novel lajja written by Bangladeshi feminist-secularist writer Tasleema Nasreen, it seemed to demonstrate the growing strength of Islamic “fundamentalism” in Bangladesh. Further, she explain that some enjoy reading her works and some “fundamentalists” write novel themselves-romantic ones with hard cover as “secularly” and provocatively illustrated as Nasreen’s, a style and language as contemporary as hers, and plots equally laden with the suffering of women in an unjust society, paradoxically, the producers and readers of these novels consider them “Islamic” works, so do not deem them objectionable. It shows us how the “symbolic Islam” and all product that come from “fundamentalists” has already so-called taken for granted. It is similar to Charles Lindholm research about Muslim daily life, he said that before the coming of anthropology to understand Islam and Muslim daily life, the rural tribal Muslim only bothered about using the Sheikh to resolve their conflict and took the authority of religion for granted. She added that most scholars of Bangladesh attribute the recent and unexpected growth in Islamic activism to “internal” effort to the state and “external” efforts of Middle Eastern countries. It shows us how it related to Olivier Roy description about the interventions of “islamist” or “neo-fundamentalist” in spreading secularization within Islam (Roy 2002: 25-57)
Huq’s article on new media in the Muslim world (here, she take Bangladesh as her object) identifies that romance novel as a form of media products that are consumed by the Bengali middle classes. She identifies how “islamist” writers and publisher have in the past written about piety and ritual related themes while increasingly more and more of this literature is changing its form. She shows how a lot of the new publications are written in the genre of romance novels with implied on moral messages.

B. Mas’ala Texts, Biographies, Booklets and Novels
Mas’ala texts provide detailed and specific information on how to benefit from Qur’anic verses in various aspects of life-health, intellectual ability, socio-economic well being, family affairs, and the attainment of greater virtue or sawab for success in the Life After Death. Most of Islamic literature produced between 1971-1975 focused on mas’ala. The books enjoy wide popularity, although both Islamic and secular activists tend to look down on them.
Mas’ala text play a significant role in shaping public consciousness of Islam by encouraging a ritual-based piety in readers. The content of the books spreads quickly by words of mouth, especially in the densely packed middle class and lower middle class neighborhoods, foregrounding Islam and the Qur’an in daily practice, even if the text do not encourage explanations. More like handbooks than discursive formations, Mas’ala texts appeal to a majority of the madrassa-educated.
Lacking in secular modalities for meaningful renderings of sacred phenomena, mas’ala texts fail to engage a majority of the modern-educated, who are reluctant to perceive a text as authoritative and interesting simply because it’s full of Qur’anic verses and a text as authoritative and interesting simply because it’s full of Qur’anic verses and hadith. While the newer mas’ala texts respond to shifting criteria for persuasiveness more effectively than older ones, they do not compete well with more recent booklets and novel in attracting reader in society with rising levels of modern/secular higher education, especially readers from influential circle.
Like mas’ala texts, biographies are an old literary form, one that constituted a very popular category of Muslim Bengali literature during the nineteenth and early twentieth centuries. They are one of the few types of Islamic literature available in general bookstores, probably because of their apolitical nature, easy-read style, and suitability for both adult and children. The texts are primarily stored at stores affiliated with Islamists groups and located around group headquarters or mosques that tend to be Islamists strongholds, such us Kantaban Mosque in Dhaka.
One example of the new biographies is Sirate Ibnu Hisham, translated from Arabic into Bangla by Akram Farooq and first published in 1988, this biography of the prophet Muhammad is much longer and of a more “authoritative” or “serious” appearance than most popular biographies. Another biography is Rasulullah Biplabi Jiban (The Revolutionary Life of the Messenger of Allah).
Booklet started to appear in noticeable numbers in 1970s. As far as the basic nature of their contents is concerned, of course they can be traced to “social” and “political” works of 19th and early 20th century punthi literature. current booklets are cheap and readable because they adhere closely to colloquial Bangla and treat specific issue. The production of most mas’ala and traditional biographical texts is not directly connected to Islamic activism, but most authors, publishers, and readers of booklets are affiliated with various Islamic groups.
While some Islamists do not accept novel as “Islamic” literature, according to Huq, some Islamic publishers see novels becoming the most popular form of Islamic writing in the near future. Most importantly, added Huq, perhaps these novels bridge the gap between the type of romantic novels written by Nasreen, who advocate transcendence of all social mores and attack religious values, and normative Islamic literature, which is preoccupied with reaffirming Islamic principles, purifying society, and decrying the moral depravity of various Bengali cultural practices.
Among more contemporary Islamic novels are series of paperback thriller such as Thypoon and Saimoom, which closely resemble secular series like Masud Rana and Western in both writing and appearance style. Most important, stressed Huq, romantic fiction, as a popular performative genre and emblem, is a powerful pathway to the heart of the national imagination. Speaking in general term, Huq added, madrassa students tend to read romantic novels by Islam-orientd writers; Bengale-medium students read novels by secularly oriented writers.
Reading between the lines in such novels where Islam barely perceptible, one could perhaps see in them certain implicit Islamic messages, such as the ill of extra-marital sexual relations and of free mixing, and the need to uproot prostitution. However, such views are also fully consonant with popular Bengali cultural ideology. Instead of relying on Islam for legitimizing a particular social value, as early generations of Islamists in the region tended to do, contemporary Islamic novelist draw on the authority of popular notions of “cultural decency”.(Huq, 1999:134-151)

C. Conclusion
It remains difficult to define “Islamic” literature, especially since there is little consensus among readers: Islamic is a volatile signifier. But looking on several kinds of Islamic literature tell us several things.
First, mas’ala texts, biographies and booklets exemplify an “objectification” of the Muslim consciousness-codification, principles, citation from the Qur’an and hadith, and recognizable forms of authority.
Second, novel depict a different type of objectification: Islam is objectified not through apparent systematicity, coherence, organization, and the positing of clear-cut difference but through the openness of cultural symbols and shared local notions, the presence of Islamic element like premarital romance, the voicelessness of religious authority, and the absence of particularity.
Third, variety in Islamic literature, even within a specific category such as the novel, reflects a pluralistic view of Islam.
Forth, types of literature such as thrillers and romantic novels indicate attempts to talk about religion in ways that undercut either “secularist” or “fundamentalist” approach to Islam.
Fifth, closeness in form between secular and Islamic writing styles, as is evident in the novel, reflects complex interactions between formal, secular, higher education and informal religious training, especially in the case of writers affiliated with the politic Islam.
Sixth, while the recent varieties of Islamic literature do not have massive audiences, they are often aimed at and read by those from the prestigious circle of upwardly mobile professionals, the powerful communities of high school, college and university students, and the influential associations of small and big businessman. (Huq, 1999:152-155)
Last, Maimuna Huq thesis is related –implicitly- to sociological theory of Lindholm and Roy as we mention above, and according to Huq, romance novels can be assumed as a type of Islamic literature. Because, a lot of the new publications are written in the genre of romance novels with implied on moral messages and of course religious doctrine of daily life.