Wednesday 13 June 2007

memaknai fundamentalisme

Munculnya gerakan2 yang disebut fundamentalisme di Pakistan membuat saya bertanya-tanya apa maksud dari fundamentalisme sebenarnya. Pembunuhan menteri wanita zilla huma, pengeboman sekolah2 co-education dan sekolah wanita serta maraknya ancaman terhadap wanita yang tak berhijab merupakan segelintir contoh riil yang bersliweran disurat kabar lokal maupun nasional, penggerebekan PIMS (Pakistan Institute for Medical science) oleh santri dan santriwati jamiah hafsa yang terjadi baru2 ini menambah daftar aksi gerakan para “fundamentalis” ini.
Sebenarnya apa makna dibalik kata fundamentalisme tersebut? apakah istilah tersebut murni datang dari Islam ataukah istilah kaum orientalis untuk merancukan pemahamn umat terhadap Islam? catatan ringkas dibawah ini berusaha untuk menguak tabir yang selama ini menyelubungi makna fundamentalisme.
Pertama-tama, berbicara soal agama Islam dan fundamentalisme perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa ajaran Islam sebenarnya tersusun atas dua kategori: pertama, ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal dan tidak bisa berubah. Kedua, ajaran yang didasarkan pada ajaran pertama yang bersifat nisbi, dinamis, tidak kekal dan bisa berubah sesuai perubahan zaman dan tempat. Ajaran2 yang absolut terdapat pada kedua panduan utama; al qur’an dan hadits. Sedangkan ajaran kategori yang kedua merupakan hasil ijtihad para ulama atas ajaran-ajaran dasar tersebut, dan dapat kita temukan dalam buku2 tafsir, hadist, fiqh, ilmu kalam, tasawuf dan lainnya.
Kalau yag dimaksud dengan fundamentalisme adalah kembali pada ajaran-ajaran dasar agama, -seperti yang terkandung dalam arti kata fundamentalisme sendiri- maka fundamentalisme dalam Islam berarti kembali kepada ajarn2 kategori yang pertama, yaitu ajaran dasar yang tercantum dalam qur’an dan sunnah, bukannya kembali pada ajaran kedua, yang merupakan hasil ijtihad para ulama. Apabila konsep awal yang digunakan dalam memaknai fundamentalisme, akan tertarik sebuah kesimpulan bahwa fundamentalisme yang sesungguhnya adalah kembali kepada al qur’an dan sunnah dengan tujuan mengadakan interpretasi maupun ijtihad baru - pintu ijtihad masih terbuka lebar-, dan bukan kembali kepada buku2 tafsir, hadits, fiqh, ilmu tauhid, tasawuf dan lain sebagainya, memang, tidak dipungkiri, karangan hasil ijtihad para ulama memang sangat kita perlukan, tapi hanya sebatas sumber sekunder dan bukan primer.
Kalau fundamentalisme diartikan dengan kembali kepada ajaran2 kategori yang kedua (ijtihad para ulama), ia bukanlah istilah yang dipakai umat Islam, tapi cenderung merupakan faham atau gerakan yang mempertahankan ajaran lama dan menentang pembaharuan seperti dalam gerakan protestan di Amerika Serikat dua abad yang lalu. Kalau diartikan demikian, maka istilah fundamentalisme tidak sesuai dengan faham dan gerakan sejenisnya dalam Islam. Karena tujuan dari faham kedua ini adalah menghidupkan kembali ajrn-ajaran dari madzhab tertentu; hasil ijtihad ulama klasik.
Dengan argumen ringkas diatas sudah jelas, bahwa pengelompokan paham dan gerakan yang akhir2 ini marak di Pakistan kedalam aliran salafiyah tidaklah tepat. Kaum salafiyah tdk sempit dalam pendapat, tidah mudah teriak takfir (mengakafirkan gologan lain), tidak memakai kekerasan dan tidak melulu berpegang pada masa lampau, tapi juga melihat kedepan. Betul kaum wahabiah dulunya berorientasi pada masa silam, tapi kemudian mereka juga mau menerima pembaharuan dalam bidang tertentu. Istilah fundamentalis juga kata skriptualis sangat tidak tepat untuk dipakai kepada mereka, karena –menurut pengamatan saya- gerakan mereka bukan kembali ke kitab suci, al qur’an dan sunnah, tetapi cenderung ke penafsiran mazhab tertentu. Allahumma arina al batila batilan warzuqna ijtinabah. H I/141 020607-03:15 PM (albi)

Renungkan ungkapan orientalis terhadap Islam dibawah ini:

Alfred Guillaume : sekiranya orang Islam bersifat ganas seperti orang mongol dalam menghancurkan api ilmu pengetahuan.....renaissance di Eropa mungkin akan terlambat lebih dari seratus tahun.

Gustav Lebon : orang Islamlah yang menyebabkan orang-orang Eropa mempunyai peradaban. Merekalah yang menjadi guru Eropa selama enam ratus tahun.

Hamdan Maghribi
IIU Islamabad-Pakistan
Islamic Studies-Departement of Aqeeda and Philosophy

Dewan Redaksi Al-‘Ibrah
Departemen Pengembangan Intelektual PPMI
www.al-ibrah.blogspot.com
www.albi4ever.blogspot.com

No comments: