Tuesday, 31 July 2007
Belajar dari Pakistan
*tulisan ini di muat dalam jurnal al qalam, edisi juli, no: 9 thn 2Fenomena fundamentalisme, ekstrimisme dan militansi Pakistan yang saat ini direpresentasikan oleh Lal Masjid begitu ramai menghiasi berbagai surat kabar lokal, nasional bahkan internasional, berderet aksi para taliban (santri) dan talibat (santriwati) masjid tersebut, dimulai dari pendudukan library, penangkapan pemilik “rumah bordil”, penggerebekan “panti pijat” cina, pembakaran toko-toko CD hingga penculikan polisi yang diakhiri dengan operation silence atas perintah Musharraf. Mereka melakukan itu semua atas dalih penegakan syariat Islam, mereka melihat bahwa pemerintah sudah mandul, bahkan berperan aktif memerangi syariat Islam di negara yang sudah jelas berasaskan Islam ini.Melihat sejarah, dasar pendirian Republik Islam Pakistan yang terartikulasikan dalam gagasan pendirinya, Iqbal dan Jinnah, merupakan kehendak komunitas Muslim untuk membentuk negara dimana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Gagasan tentang Islam yang hendak diterapkan di dalam negara Pakistan juga terukir dalam benak para pendirinya yaitu Islam yang lebih dekat kepada semangat aslinya dan kemodernan, tetapi sayang para pemimpin komunitas tradisional memahaminya sebagai Islam yang berorientasi ke belakang yang tertuang dalam rumusan Islam sejarah (baca: masa lampau). Akibatnya, sejak awal berdirinya Pakistan pada 3 juni 1947, mereka mengalami kesulitan yang serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan berkepanjangan yang tak bisa dihindari antara kubu modernis dan fundamentalis-tradisionalis -yang kemudian melahirkan Konstitusi tahun 1956 dan 1962 dan amanden-amandemen yang tidak memuaskan semua pihak- merupakan bukti riil dari kesulitan itu.Akhirnya ketika mereka sampai pada hukum Islam, kesulitan serupa dihadapi kembali oleh umat Islam Pakistan. Kubu modernis melihat hukum Islam harus dimodernisasi agar selaras dengan perkembangan zaman sehingga slogan universalisme Islam menjadi nyata. Sementara kubu fundamentalis-tradisionalis menuntut bahwa, apa yang sudah menjadi hasil ijtihad para fuqaha klasik lewat deduksi dan derivasi dari al qur’an dan sunnah harus diterapkan secara literal tanpa terkecuali. Akibatnya kontroversi sengit tak dapat dihindarkan. Ini merupakan cerminan betapa sulitnya umat Islam Pakistan dalam mendefinisikan Islam dalam konteks negeri mereka akibat pemahaman yang ‘kurang bijak’.Dalam perdebatan ini, kubu modernis kesulitan dalam memutus kaitannya dengan masa lampau dalam menerima nilai-nilai modern, sementara kaum fundamentalis- tradisionalis menemui kesulitan dalam membebaskan diri dari masa kini (baca: modern) dan berapologi dalam lindungan gemerlap masa lalu. Kubu modernis menuding para fundamentalis telah menuhankan sejarah, bukan lagi Allah, karena cenderung merujuk ke masa silam. Sebaliknya kubu fundamentalis-tradisionalis menuduh kubu modernis mempunyai keimanan yang salah karena memandang bahwa terma-terma Barat lebih unggul dari Islam dan menolak otoritas masa lampau (Luthfi Assyaukani, ed. Wajah Islam Liberal di Indonesia, 2001 hal 30-32).Hal ini mengakibatkan kerancuan dalam definisi Islam yang menyertai pengalaman Pakistan sejak awal lahirnya. Kompromi yang mereka capai bersama banyak memunculkan kekecewaan dan kecurigaan antar dua belah pihak, kontroversi tersebut akhirnya melebar, muncul kemudian penjarahan, pembakaran, aksi bom bunuh diri, terorisme dan pembunuhan. Fenomena lal masjid baru-baru ini merupakan contoh aktual akibat kontroversi ini. Akhirnya pengalaman Pakistan -sebuah negara Islam- memberikan gambaran kelam tentang Islam, seakan-akan dalam Islam, untuk mencapai surga harus dengan perang, menjarah, membakar, merusak, bom bunuh diri dan berbagai aksi teror lainnya, orang yang tidak sependapat harus dienyahkan. Islam digambarkan sebagai agama yang tidak pernah mengakui persamaan, kedamaian, toleransi dan keadilan.Hal diatas merupakan contoh riil bagaimana nasib suatu golongan apabila dalam memahami keyakinannya secara kaku dan rigid. Harusnya ‘sejarah kelam’ umat Islam bisa membuka mata dan hati mereka dan mencairkan kebekuan cara pandangnya. Sehingga pengalaman buruk ini tak terulang kembali untuk kesekian kalinya. Mari kita ambil pengalaman Pakistan ini sebagai pelajaran yang berharga bagi kita untuk membangun bangsa Indonesia pada khususnya dan umat Islam pada umumnya menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Mashaibu qoumin ‘inda qoumin fawaid (albi)Allah Knows BestG8/I, 300707, 02:25 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment