Integrasi Ilmu dan Agama
Hamdan Maghribi
Sesungguhnya ide dan kontroversi tentang integrasi ilmu dan agama di berbagai kalangan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Kalau kita telaah ulang ternyata gagasan integrasi ilmu dan agama sudah lahir bersamaan dengan munculnya Islam, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Namun lambat laun hal tersebut pudar dan bahkan hilang dari umat Islam, kita lihat bagaimana kemudian Barat merangkak menuju kebangkitannya melalui penerjemahan karya ulama-ulama klasik Islam, namun sayang disaat yang sama justru umat Islam diam bahkan mundur dari kemajuan.
Melihat kondisi tersebut gagasan integrasi tersebut sungguh amat terasa urgensinya sekarang ini, ia tidak hanya sekedar mempertegas bahwa pandangan dikotomis antara ilmu dan agama (Islam) tidak lagi produktif. Namun juga untuk menegaskan bahwasanya Islam sesungguhnya bisa difahami melalui berbagai perspektrif, karena Islam bukan ajaran yang tertutup dan menutup diri. Ia bisa didatangi dan difahami oleh siapapun melalui berbagai jalan variatif sekalipun. Karena itu perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangatlah bermanfaat sebagai salah satu alat untuk memahami keluasan dan kemahabesaran Tuhan dan ajaranNya; Islam (Sudarnoto Abdul Hakim (editor), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, UIN Press, 2003)
Dari cara pandang tersebut maka akan tidak berlebihan apabila kita menggaris bawahi sikap para ulama dan ilmuwan terdahulu kita yang memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap ilmu pengetahuan, kemajuan peradaban dan kemanusiaan dengan terus menggali dan meningkatkan khazanah intelektualnya tanpa melihat apakah ia karya asing atau tidak. Bahwasanya terjadi pertentangan dan perselisihan antara para ulama dahulu bukanlah selisih pandang terhadap integrasi ilmu dan agama, melainkan ikhtilaf dalam keyakinan (baca: madzhab). Contoh riilnya adalah mihnah (inkuisisi) yang pernah dilakukan oleh pemuka mu’tazilah yang menyiksa Imam Ibn Hambal karena menolak kemakhlukan qur’an. (A.Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsaat Islam, 2003)
Sudah semestinya kita menjadikan pengalaman masa lalu sebagai ‘ibrah, kita ambil baiknya dan tinggalkan jeleknya. Cara pandang ulama terdahulu terhadap integrasi ilmu dan agama patut kita contoh. Namun kita harus jeli dan bisa memilah serta memilih, jangan sampai kita mengadopsi tanpa ada proses islamisasi. Syamsuddin arif mengatakan bahwa umat Islam saat ini terpecah pendapatnya menjadi tiga dalam memandang hubungan agama dan ilmu, golongan yang menolak serta merta tanpa kopmpromi dengan alasan bid’ah, yang kedua golongan yang menelan mentah-mentah begitu saja dan yang ketiga adalah golongan yang menerima namun dengan ‘seksama’. Sudah pasti golongan pertama dan kedua tidaklah layak kita jadikan sikap, karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal, sikap ketiga yang merupkan langkah adil dan bijak dalam melihat perkembangan ilmu dan sains, yaitu menerima dengan seksama dan meletakkan pada porsinya secara proporsional (Syamsuddin Arif, Islam dan sains, www.insistnet.com)
Hendaknya, dengan berjalannya waktu diharap bertambah pula sikap dewasa umat Islam dalam melihat segala fenomena yang ada, dengan melihat catatan sejarah para pendahulu kita tanpa melupakan kontribusi Barat modern, namun sikap menerima tersebut bukanlah permissif begitu saja tanpa ada proses. Disini kejelian kita sangat dibutuhkan. (albi)
Allah knows best
G8/1 200707,01:00AM
Thursday, 19 July 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment