Sejarah mencatat bahwasanya orientalis Barat (tidak semua, karena ada pula dari mereka yang objektif dalam penelitiannya) berusaha dengan giat untuk selalu mencari titik kelemahan Islam, dari keotentikan al qur’an kemudian kritik atas hadis, dan lainnya. Melihat kebuntuan dalam mengaburkan otentitas kitab suci mereka mengalih pada penelitian yang ingin menyimpulkan bahwasanya Islam adalah agama yang irrasional, tidak masuk akal dan penuh khurafat.
Namun bagaimanapun gigihnya Barat untuk membuktikan bahwa ajaran Islam tidak relevan dengan akal akan berujung dengan tangan hampa pula, alih2 menyatakan ke”statis”an Islam, mereka malah terperanjat kaget betapa rasionalnya ajaran Islam, ini terbukti dari studi dan kajian mereka tentang ilmu kalam dan filsafat Islam. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional atau teologi dialektis, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Ilmu kalam sangat dialektis dan logis. Dengan mempelajari ilmu kalam yang mengakibatkan berbagai polemik, akan melatih umat Islam untuk melihat kembali agamanya. Agama Islam sudah berada ditangan umatnya selama 15 abad. Kita tidak boleh melihat perjalanan panjang itu dengan hampa tanpa makna. Sudah barang tentu banyak hal –negatif maupun positif-yang terjadi dalam kurun waktu sepanjang itu. Orang yang tidak mempelajari turast (warisan lama) dan tiba2 mengklaim kembali kepada qur’an dan Hadits, bisa terjerembab kedalam tafsiran yang paling awal terhadap qur’an dan sunnah.
Dengan ilmu kalam kita bisa mempelajari banyak hal. Contoh mudahnya adalah sifat yang 20. sifat yang 20 ini tidak semerta merta datang begitu saja. Ia mempunyai latar belakang yang rumit sekali. Banyak lagi contoh yang lain, kata aqidah yang berarti simpul atau ikatan tidak termuat dalam term al qur’an, namun sekarang seolah2 ia seperti suci, sakral. Contoh kongkrit lainnya adalah kalimat ushuluddin. Secara logika kalau ada ushuluddin berarti ada juga furu’uddin, dan tiba2 kita sudah diwarisi stereotip bahwa ushuluddin adalah ilmu kalam sedangkan furu’uddin adalah fiqh. Artinya sangat menjadi artificial(dibuat-buat). Tapi apa benar begitu? Dulu Ibn Taimiyyah dan beberapa ulama lainnya tidak setuju dengan pembagian ushul-furu’ tadi. Jadi dengan mempelajari kalam dan sebagainya orang akan menjadi terbuka dan tidak dogmatis. Memang diakui sebagai konsekwensinya terjadi apa yang disebut dengan relatifisasi doktrin (ajaran), yakni ketika orang mengetahui bahwa suatu doktrin adalah dari hasil proses sejarah. Dan inilah yang dikhawatirkan banyak ulama Islam termasuk di Indonesia.
Menurut saya, sebenarnya kekhawatiran tersebut berlebihan. Sebab dalam ajaran2 Islam ada bagian2 yang absolut, tetap dan tak boleh berubah, misalnya bahwa Allah itu Esa dan kita wajib berbuat baik, bahwa kita berbuat untuk mencapai ridhaNYa, dan sebagainya. Jadi kita tidak perlu khawatir akan muncul relatifisasi doktrin sbagaimana yang dikwatirkan sebagian besar ulama. Karena hal yang tersebut diatas haruslah berpegang teguh kepada ajaran dasar Islam yakni qur’an dan sunnah dan bahwa tidak semuanya bisa ditafsirkan secara metaforis, namun ada juga hal2 absolut yang tidak berubah, tapi disini kita diuntut untuk jeli dalam membedakan antara keduanya. Wallahu a’lamu bisshowab. Albi
H I/141 060607, 08:00 PM
Tuesday, 31 July 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment