Sunday, 29 July 2007

Turki, Jepang dan Tradisi Nenek Moyang

Innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan (QS, 16:90)
Dalam menilai sesuatu kita dituntut untuk adil, atau berusaha menuju keadilan, ayat diatas dengan nyata menerangkannya, akan tetapi bukan berarti kita harus selalu berhusnuddzan dalam menilai, memang untuk adil kita diharap meletakkan landasan husnuddzan tersebut. Akan tetapi, tentu saja kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharap seseorang yang tidak mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangan jauh2 ke non-muslim orang muslim masih bisa salah.
Tidak sedikit dari umat Islam yang terkadang melihat modernism adalah Barat plek 100% ada juga yg berpendapat Barat dan budayanya adalah setan dalam wujud manusia maka dari itu harus dihindari, segala bentuk kegiatan yang berbau Barat adalah bid’ah, kedua pandangan diatas merupakan salah satu contoh penafsiran yang kurang tepat –menurut saya-
Dalam hal ini saya berpendapat dan berpegang pada jargon al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah, memelihara yang lama yang baik dan dan mengambil yang baru yang lebih baik. Maksudnya kita perlu mengembangkan tradisi intelektual yang otentik secara intensif. Ada seorang orientalis, H.R.Gibb yang agak objektif bilang “kalau tren modernis Islam tidak berpegang pada warisan intelektual mereka akan mengalami pemiskinan intelektual, yang akan menyebabkan kemacetan berpikir”. Karena apa yang mereka lakukan ga nyambung dengan masa lampau, ibarat kata maju kena mundur kena, mundur hancur karena buta akan warisan intelektual Islam dan majupun akan terhadang oleh Barat, yang tidak terkalahkan karena kita tidak punya bekal, hal ini dialami secara dramatis oleh Turki.
Turki merupakan bangsa non Barat pertama yang merasa harus modern supaya tidak ketinggalan oleh Barat, tetapi tetap saja gagal. Dibanding dengan jepang, yang agak terakhir ingin modern dibanding turki, justru sekarang merupakan ancaman besar peradaban barat, khususnya dibidang teknologi. Sekarang apa kaitannya Turki, jepang dan slogan diatas?
Menurut Nurcholish Madjid (dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, 1990) jepang adalah bangsa yang dengan teguh menerapkan al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah,sedang turki tidak, sehingga bagi orang jepang kemodernan itu secara organik terkait dengan jepang, kemodernan bukan barang asing lagi, tapi merupakan “produk lokal”. Sedangkan diturki nilai kemodernan masih asing dan hal tersebut didramatisasi oleh Kemal ataturk. Kalaupun dia menghapus sistem kekhalifahan mungkin agak bisa dinalar (meskipun saya kurang setuju dengan penghapusan tersebut) ataupun dengan pelarangan ulama2 untuk tampil dimasyarakat, ada juga beberapa alasan logis yg bisa diterima. Akan tetapi yang sangat fatal adalah mengganti huruf arab dengan latin untuk menulis bahasa turki. Alasannya sangat naif, ataturk berpendapat bahwa turki tidak akan modern kecuali apabila berhuruf latin, dan diakui oleh eropa. Ia ingin sekali dipanggil sebagai orang eropa.
Dengan menggantikan huruf arab tersebut terputuslah mata rantai intelektual turki dengan masa lampau, sejarah mencatat bahwa selama tujuh abad kekhalifahan turki mewariskan banyak hal, terutama bidang arsitektur dan seni. Memang dalam pengetahuan mereka tidak begitu hebat namun dalam sistem administrasi dan kemiliteran kehebatan mereka diakui, dan khazanah intelektual yang kaya tersebut tersimpan dan tertulis dalam bahasa turki usmani yang berhuruf arab, yang orang turki sekarang tidak bisa membacanya karena sudah berganti dengan huruf latin. Mereka terputus dengan masa lampau hanya gara2 huruf latin, sednagkan kedepan mereka harus bersaing dengan Barat yg sulit tersaingi dalam waktu singkat.
Apa bedanya dengan jepang? Jepang (kita ambil contoh simbolis saja) tidak berpikir untuk mengganti huruf kanji mereka dengan latin. Unsur kebudayaan dan ke’jepang’an teguh dipertahankan, mereka tetap bangga ber’etos’kan jepang. Mata rantai intelektual jepang tetap terhubung rapi dan kuat. Yang dengan demikian mereka mampu bertahan, bahkan sekarang menjadi saingan terberat Barat.
Bagaimana dengan indonesia?
Umur negara kita (yang mayoritas Mulim) sebentar lagi masuk usia ke 62, waktu yang sudah seharusnya membuat rakyatnya dewasa, tapi sayang kita masih terpuruk dalam golongan ketiga dunia. Tapi hal tersebut tidak boleh membuat putus asa, sekaranglah waktunya untuk memulai, mencipatakan ‘kemodernan’ di berbagai segi yang berangkat dari sejarah dan tradisi intelektual sendiri al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah. Karena merupakan hal naif apabila kita bicara tentang hal2 kontemporer tanpa bisa membuat kaitan organis denga masa lampau.
Abraham Lincoln, salah seorang presiden amerika, betapapun dia adalah anak kandung intelektual Barat. Oleh karen itu lincoln tidak akan pernah menjadi lincoln tanpa tahu sejarah, filsafat dan budayanya. Sulit dibayangkan, eropa, Jepang dan negara maju lainnya akan menjadi seperti sekarang ini bila mengabaikan masa lampaunya seperti turki (dan mayoritas negara berpenduduk muslim) yang berkoar2 tentang msalah kontemporer dalam politik misalnya, tapi tidak tahu al ahkam al shulthaniyyah. Dan inilah pemiskinan intelektual.
Allah knows Best
G8/I 290707, 02:30AM

Hamdan Maghribi

No comments: