Thursday 26 July 2007

ILMU DAN AMAL

Merupakan suatu keharusan apabila agama membawa faedah dan perbaikan hidup, namun hal tersebut tidak akan pernah terlaksana apabila sistem ajarannya tidak dilaksanakan. Dari sudut pandang yang demikian apabila kita gunakan untuk menghayati kandungan al qur’an tentang dosa apabila kita mengatakan sesuatu namun tidak mengerjakannya (QS, 61:3). Maka Islam yang menjanjikan kebaikan dunia dan akhirat akan menepatinya. Namun sekali lagi apabila jika sepenuhnya ajarannya dilaksanakan.
Memang manusia terbatas kemampuan dalam melaksanakan ajaran Islam, bahkan antar manusiapun sangat fariatif tingkat kemampuannya.
Sejarah telah menunjukkan betapapun what so called ‘zaman keemasan’ tidak terbebas dari kekurangan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Melihat kenyataan tersebut mari kita lihat bersama ayat al qur’an yang memerintahkan kita untuk bertaqwa kepadaNya “sebisa mungkin” mastatho’tum (QS, 2:286)
Saya disini ingin membahas kata “sedapat mungkin” dalam ayat diatas (karena tidak sedikit yang memahaminya dengan nalar pesimis), disitu terdapat pesan agar manusia, dalam melaksanakan ajaranNya, tidak bersikap ‘sekedarnya’ melainkan berusaha dengan sungguh-sungguh menuju puncak kemungkinan dan kemampuan tertinggi. Inilah hakikat ijtihad, suatu bentuk tanggung jawab moral seseorang kepada kewajiban melaksanakan ajaran yang di yakininya. Sebagai ‘reward’nya ia tetap mendapatkan pahala sekalipun kelak ternyata menghasilkan sesuatu yang salah atau kurang tepat. Dan apabila tepat ‘reward’ tersebut akan berlipat menjadi dua: pertama karena adanya pelaksanaan tanggung jawab moral tersebut dan kedua karena pelaksanaan dari ajaran tersebut yang tepat. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, 2005) hal ini juga di tegaskan kembali oleh baginda Rasul bahwa orang yang berijtihad dan tepat akan mendapat dua pahala, dan orang yang berijtihad namun keliru maka ia masih mendapatkan satu pahala.
Ijtihad untuk malaksanakan suatu ajaran tentunya harus diikuti dengan ilmu dan pengetahuan secara tepat. Yang pertama harus mengetahui ajaran itu sendiri. Karena logikanya apabila pemahaman tersebut salah maka pelaksanaannya pun akan ikut salah, dan akan mengakibatkan kekeliruan prinsipil. Namun pengetahuan tentang ajaran secara tepat saja belum menjamin pelaksanaan yang tepat. Pada tingkat pelaksanaan harus juga difahami kondisi sosial dan lingkungan tempat melaksanakan ajaran tersebut. Tanpa kedua pemahaman tersebut segala usaha pelaksanaan ajaran akan terperosok kedalam jurang normativisme (sikap berpikir menurut apa yang seharusnya, kurang menurut apa yang mungkin) yang nantinya kan mendorong pengikutnya untuk cenderung radikalistik-destruktif.
Maka dari itu, jaminan keunggulan, superioritas dan kejayaan akan dikaruniakan oleh Allah kepada yang beriman dan berilmu. Beriman, maksudnya adalah mempunyai orientasi ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan ridha Tuhan sebagai tujuan akhir segala perbuatan. Berilmu, berarti mengerti ajaran secara proporsional, sebagaimana ilmu yang Allah karuniakan kepada Nabi Adam sebagai bekal mengemban tugas khalifah dibumi, yang menjadikan manusia unggul diatas malaikat. Memang iman akan mendorong manusia untuk selalu ‘terarah’ kepada kebaikan. Tapi iman saja tidak bisa melengkapi manusia dengan kecakapan dan ‘ketrampilan’ tentang teori dan praktek dari pelsksanaan ajaranNya. Jadi tidak menjamin kesuksesan, sebaliknya ilmu saja, mungkin akan membuat orang terampil berbuat ‘nyata’. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmu tadi yang akan membawa si empunya kepada kemudharatan (banyak contoh riil didepan kita). Bahkan akan lebih celaka dari orang yang tidak berilmu sekalipun. Maka Rasul bersabda man izdada ilman walam yazdad hudan, lam yazdad lahu illa bu’dan (barangsiapa bertambah ilmunya tanpa hidayah, maka ia tidak akan bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah). Jadi kita dituntut untuk mensejajarkan iman dan ilmu guna mencapai kesuksesan.
Allah knows Best
G8/I 260707, 08:30 PM

No comments: