Saturday, 6 October 2007

BUKAN SEKEDAR "BACAAN" BIASA

BUKAN SEKEDAR "BACAAN" BIASA

Tanpa bermaksud untuk berapologi ria dengan kejayaan masa lalu umat Islam, mari sejenak kita menoleh kepada lembaran-lembaran sejarah silam dimana disitu tertoreh peradaban Islam yang gemilang. Bukan hanya karena luasnya wilayah pemerintahan namun juga diiringi dengan sumbangan berharga kepada peradaban manusia yang menurut Seyyed Hossein Nasr mencakup segala bidang ilmu pengetahuan. Sungguh diluar jangkauan nalar logis manusia, sebuah peradaban yang gemilang bisa muncul dari tengah gurun pasir yang gersang yang penduduknya dikenal dengan kebengisannya. Peradaban tersebut tidak hanya mengangkat bangsa Arab namun juga menjadi sumber inspirasi perkembangan dunia kontemporer.

Kenyataan tersebut membuat geram para musuh Islam, sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk memutar balikkan fakta dari yang paling santun hingga yang brutal dan kasar. Maka tidak heran apabila kajian orientalis pada awal mulanya bertaburan dengan nada sinis dan garang dalam menggambarkan Islam. Namun bagaimanapun juga kebenaran mustahil untuk ditutupi sehingga perlahan namun pasti ada pergeseran opini mengenai Islam. Sehingga tak jarang para orientalis tersebut pada akhirnya dengan bangga menyatakan keislamannya. Munculnya berbagai karangan dan penelitian yang objektif terhadap Islam merupakan bukti signifikan atas pergeseran tersebut. Dipenghujung abad dua puluh kajian-kajian Islam yang objektif bermunculan bahkan menyerahkan kelanjutannya kepada para cendekiawan muslim.

Memang Allah telah berjanji akan keunggulan kebenaran atas kebatilan, namun bukan berarti kita serta merta lupa diri. Masih banyak yang harus kita perbuat untuk mewujudkan janji tersebut. Kenyataan bahwa umat Islam merupakan umat yang paling terbelakang saat ini harus diakui. Kita mampu bangkit bila kita menyadari keunggulan ajaran-ajaran Islam.

Luka yang ditimbulkan sistem kapitalisme yang dahulu dipuja-puja terbukti tidak bisa menjadi solusi krisis kemanusiaan, sosialisme dan komunisme yang digaungkan sebagai alternatif pengganti, tak jauh lebih baik bahkan punya dampak yang lebih buruk, nah sekarang mampukah kini kita menawarkan Islam sebagai solusi final? sebelum menjawabnya muncul pertanyaan, bagaimana bisa kita mengajukan Islam sebagai alternatif sedangkan kita umatnya tidak yakin dengan Islam? Sejarah membuktikan bagaimana Islam sebagai ajaran baru waktu itu yang selalu dicemooh dan dimusuhi oleh para bangsawan arab, pemeluknya disiksa bahkan dibunuh namun kemudian berubah menjadi alternatif dan solusi dari segala keruwetan dan dekadensi moral arab jahilyah masa itu bahkan setelah Islam menyebar keberbagai wilayah semakin jelas wujud kontribusi Islam sebagai solusi krisis peradaban waktu itu.

Sudah saatnya kita menyodorkan Islam sebagai alternatif, namun hal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa usaha yang proporsional dalam menggali 'nilai lebih' ajarannya, mengangkatnya dalam realitas dan menawarkannya kepada umat manusia. Nilai-nilai tersebut akan kita dapatkan dengan membaca dan mempelajari Al-qur'an. Seorang orientalis James A Minchener perah menulis "the qur'an is probably the most often read book in the world" kegairahan membaca Al-qur'an bagi umat Islam sangatlah baik. Banyaknya sistem pembelajaran membaca Al-qur'an, perlombaan membaca Al-qur'an dan kompetisi tahfidz qur'an semakin membenarkan tesis Michener tadi. Namun ada satu hal penting yang perlu diingat, fungsi Alqur'an bukan hanya sekedar 'bacaan' (meski tidak dipungkiri membacanya merupakan ibadah). Al quran sendiri telah menjelaskan secara gamblang bahwa ia juga berfungsi sebagai al-furqan (pembeda yang baik dan buruk) al dzikr (peringatan) al huda (petunjuk) dan lainnya. Untuk mencapai fungsi tersebut tidak cukup sekedar bacaan yang indah dan mendayu-dayu tetapi juga membutuhkan kemampuan untuk memahami isinya, menangkap isyarat, tafsir dan makna metaforisnya. Disini kekuatan logika dan berbagai disiplin ilmu dibutuhkan guna mengangkat nilai lebih yang terkandung dalam Al-qur'an. Bukankah pernemuan-penemuan menakjubkan para ulama klasik kita bermula dari perenungan kitab suci dengan akal?

Inilah tugas terpenting. Bisa saja kita meneriakkan kebangkitan Islam tapi bila tanpa disertai kesiapan diri dalam menawarkan ajaran Islam yang kita petik dari Al qur'an sebagai solusi, usaha kita akan sia-sia.

Kemudian tradisi klasik umat Islam dalam mencari ilmu harus kembali dihidupkan. Ilmu harus dihargai lebih dari apapun. Ulama harus diletakkan pada posisinya. Pemimpin haruslah dipilih atas dasar ilmunya bukan harta atu pangkatnya karena apabila kepemimpinan diserahkan kepada sosok yang jahil dan munafiq maka kemurnian Islam akan ternoda.

Bulan ramadahan ini merupakan momen yang baik untuk berintrospeksi, dimana lantunan ayat-ayat suci berkumandang disetiap ruang, akan tetapi apa yang bisa kita petik dari bacaan itu? Bisa saja seminggu kita khatam berkali-kali dan mendapat pahala yang berlipat darinya. Tapi akan jauh lebih baik jika kita mampu menangkap maknanya sehingga kita bisa merenungi isi dan kegunaannya.

Konon Rasulullah SAW sering meminta Abdullah ibn Mas'ud untuk membaca Al qur'an dihadapan beliau. Tapi sebelum selesai bacaan tiap ayatnya air mata sudah mengalir dari mata beliau. Karena beliau mampu menangkap makna dan kandungan dari ayat-ayat yang dibaca tersebut. Beliau bersyukur dan bangga karena dirinya dan umatnya dikaruniai Allah SWT kitab yang sarat dengan ajaran dan pengetahuan untuk menuju kebahagiaan yang abadi dunia akhirat.

Segala bentuk ilmu merupakan ilmu Allah dan ilmu bukanlah sekedar ilmu agama, karena Al qur'an pun mengakuinya, ia tidak hanya berisi ajaran-ajaran bagaimana menghadapi hidup diakhirat, namun juga berbagai ajaran dan tuntunan untuk hidup di dunia. Tak salah kalau kita merenungi tulisan H.R. Gibb dalam whiter Islam yang berbunyi " Islam is indeed much more than a system theology but it is complete civilization"

Sekali lagi marilah kita membaca Al-qur'an yang bukan sekedar membaca, tapi membaca dan juga mengambil nilainya dan kemudian mengamalkannya. Untuk mewujudkan hal tersebut memang berat, namun dengan usaha yang maksimal dan kemudian menyerahkannya kepada Allah, niscaya kebangkitan Islam akan bisa terwujud. Allahummaftah qulubana!

Albi H I/141 061007 02:35PM

TOLERANSI DAN KESATUAN UMAT

Allah SWT berfirman dalam Al-qur'an

Bersikaplah tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembutlah terhadap sesama muslim

Setelah melihat makna dari ayat al qur'an diatas, terbersit sebuah pertanyaan, mengapa kadang-kadang toleransi dan persatuan umat seagama terasa lebih sulit daripada antar umat beragama? Fenomena sektarianisme di Pakistan, pertikaian antar ormas di Indonesia, perdebatan yang tak jarang berujung pada takfir antar madzhab pemikiran merupakan bukti nyata akan fenomena sulitnya menanamkan sikap toleran antar umat Islam.

Mungkin yang mendasari hal ini adalah, antar umat beragama memiliki batasan-batasan yang jelas dikarenakan adanya perbedaan prinsipil antara satu agama dengan yang lainnya, sehingga memudahkan bagi masing-masing untuk menumbuh kembangkan sikap toleran dan berusaha untuk tidak melibatkan diri dalam urusan agama yang lain karena perbedaan yang jelas dan prinsipil tadi.

Sedangkan dengan umat seagama, dimana masing-masing memiliki keterikatan dalam satu ruang agama -yang seharusnya bisa dijadikan landasan tercapainya persatuan yang kokoh dan kuat- namun kadang karena pemahaman yang kurang atau berlebihan terhadap agama, acapkali menimbulkan sikap intoleran dalam hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu prinsipil untuk disamakan secara paksa. Hal ini terjadi akibat pemahaman tentang persatuan ummat yang harus dicapai dengan penyatuan segala hal tanpa melihat mana yang ushul dan mana yang furu'. Ironisnya lagi ikatan kesatuan agama ini kadang-kadang dijadikan alasan untuk mencampuri urusan orang lain atas dalil 'ukhuwwah Islamiyyah', meskipun dalam hal-hal yang sebenarnya tidak prinsipil sehingga melibatkan diri dalamnya. Sehingga tanpa disadari sikap tersebut (pemaksaan 'keseragaman' terhadap hal-hal furu'iyyah dengan dalil persatuan ummat) jutru akan mengorbankan hal-hal yang lebih prinsipil dan ushuly yang dapat mengakibatkan perpecahan ummat.

Akhir-akhir ini tak jarang kita disuguhi berbagai slogan toleransi beragama yang memang diperlukan demi perdamaian umat manusia. Bahkan ada yang terlalu jauh, banyak dari mereka yang kemudian meneriakkan pluralisme agama. Menurut hemat saya, tak ada salahnya jika sekali-kali mari kita merenung dan bertanya pada diri kita masing-masing 'sampai sejauh manakah sikap toleran kita terhadap sesama muslim?' jangan hanya mengumandangkan toleransi antar agama namun dirinya sendiri intoleran terhadap sesamanya yang muslim. Timbulnya berbagai macam istilah Barat yang kemudian diamini sebagaian tokoh muslim seperti Islam Fundamentalis, sekuler, ekstrimis, modernis, liberal, literal, emansipatoris, humanis dan Islams (baca: Islam-islam) yang lainnya merupakan suatu indikator tentang kurangnya kesadaran umat Islam terhadap sikap toleran yang sangat ditekankan oleh ajaran Islam. Sungguh ironis apabila diluar kita meneriakkan bermacam slogan toleransi antar agama, namun didalam kita enggan untuk bersikap toleran.

Mari sekali lagi kita renungkan sikap baginda Rasulullah SAW yang dilukiskan dalam ayat alqur'an pada pembuka tulisan ini 'asyiddau 'alal kuffari ruhamaau bainahum'. Demikianlah sikap lemah lembut beliau kepada sesama muslim. Namun, berbagai bukti nyata didunia muslim sekarang menampakkan sebaliknya.

Tantangan terbesar kita sekarang adalah dimanakah letak kekuatan umat Islam yang dahulu bisa menyatukan berbagai etnis dan budaya serta beragam corak pemahaman terhadap ajaran Islam? Bagaimana Rasulullah dan para shahabat bisa tetap bersatu meskipun kadang berbeda? Menurut saya, salah satu faktor utamanya adalah toleransi. Persatuan umat tidak akan bisa tercipta dengan memaksakan 'keseragaman' dalam segala bidang ajaran Islam. Justru dengan berbagai corak dan warnanya tersebut Islam bisa menjadi agama yang universal rahmatan lil'alamin dan dengan demikian persatuan umat akan mudah terwujud.(albi)

Allah knows best.

H I/141 061007 12:35PM

Thursday, 20 September 2007

Imam Syafi'i dan Pengikutnya Masa Kini

Berbagai gerakan ilmiah dalam Islam sudah berkembang pada kurun abad pertama dan kedua H, ia mendapat ke'legalan' dalam lingkup kebebasan berfikir, politik dan sosial yang luas. Islam memberi kebebasan berbicara sebagaimana memberikan kebebasan pada akal dan jiwa. Islam juga memberikan dorongan penuh ilmu dan pemikiran, Islam adalah kekuatan penggerak yang menimbulkan ledakan intelektual dan tsaurah tsaqafiyyah (revolusi budaya) yang luar biasa. Banyaknya gerakan ilmiah dengan ragam corak dan warnanya melahirkan alternatif dan solusi atas berbagai problematika yang timbul sesudahnya. Namun kondisi yang menyejukkan hembusan ilmu pengetahuan dan pemikiran ini kemudian menimbulkan banyak perselisihan yang terus melebar, tidak hanya dalam ide dan gagasan saja, akan tetapi juga mengarah kepada hal-hal yang pokok (ushuly) dan cara berfikir. Sebagaimana perbedaan antara penduduk Hijaz (ahl al-asar) dengan penduduk Irak khususnya Baghdad yang mengedepankan penalaran rasional (ahl al-ra'yi). Perbedaan yang tajam dalam tataran ushuli ini kemudian melahirkan perselisihan (ikhtilaf) dalam banyak persoalan fiqh yang diikuti dengan berbagai diskusi perdebatan dan pertempuran wacana antar ulama. Perselisihan tersebut terkadang berujung pada pembentukan madzhab atau aliran tertentu, atau pembentukan kelompok yang berdasarkan letak geografis atau berdasar pada kultus individu.
Ketika kebebasan ilmiah dan pemikiran mencapai puncak kebebasannya, muncullah ketidakstabilan dan kerancuan dalam diri umat. Berbagai reaksi muncul, dari pengakuan hingga penolakan. Namun ada juga yang sangat moderat, rasional dan ilmiah. Adalah Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, salah satu ulama yang menjadikan metode ilmiah yang komprehnsif sebagai alat penuntun dalam menghadapi fenomena kebebasan berfikir pada masa itu.
Salah satu kelebihan Imam madzhab yang dianut masyarakat indonesia ini adalah kerena ia melakukan perjalanan dalam mencari ilmu keseluruh negeri, menemui dan bergaul dengan para ulama, mujtahid dan kaum cendekia di kediaman mereka. Ia berdiskusi, bertukar pikiran dan selalu mendengarkan argumentasi mereka, yang kemudian diseleksi guna membangun konstruksi pemikiran dan madzhabnya.
Dalam konteks sejarah atau metodologi, kita akan menemukan seorang Syafi'i sebagai sosok yang moderat (al wasathiyyah) dan kompromis antara pandangan kelompok ahl al-asar dan ahl al-ra'yi. Sikap ini semakin jelas ketika Syafi'i lebih memihak ahl al-asar dalam menetapkan kedudukan teks dan prioritasnya, yaitu Al qur'an dan Sunnah. Namun pada sisi lain, ia cenderung pada kelompok rasionalis ahl al-ra'yi dalam merumuskan dasar prinsip qiyas, menetapkan dan memperluas cakupannya.
Meskipun demikian, ia berseberangan dengan ahl al-asar yang dianggap terlalu memudahkan dan kaku dalam merujuk Al-qur'an dan Hadits secara literal. Ia mensyaratkan penelitian dan verifikasi atas nash, dengan menyatukan dan mengkompromikan antar makna dan hukum yang betujuan untuk menghilangkan kerancuan dan kekakuan dalam melandaskan teks dan aktualisasinya. Menurutnya tidak semua orang yang bersikap literal-tekstual memiliki dan mendapatkan kebenaran.
Disisi lain, ia pun berseberangan dengan ahl al-ra'yi. Ia sangat mencela ketergantungan mereka atas akal dan rasio dan terlalu berlebihan dalam menggunakannya. Ia sangat menentang ijtihad intuitif-rasional yang dikenal dengan istihsan, ia pun kemudian mempersempit ruang ijtihad akal dengan membatasinya melalui qiyas, dan menjadikan ijtihad dan qiyas seakan-akan sebagai dua istilah yang bermakna satu (Al Syafi'i, al risalah)
Demikianlah sikap seorang Imam Syafi'i, dengan mengkaji, meneliti dan memetakan pandangan ahl al-asar dan ahl al-ra'yi secara bersamaan serta mengambil apa yang menjadi keunggulan dan kelebihan mereka, ia adalah penggagas pertama ilmu ushul fiqh, ilmu yang sejak awal mulanya dilengkapi dengan metode analisis dan observasi serta disertakan pula batasan-batasan akan kesalahan dan kerancuan dalam berijtihad dan berargumentasi.
Sudah semestinya, sebagai pengikut madzhab Syafi'i kita berusaha mencontoh sikap dan usahanya dalam mencari solusi dan kerancuan yang timbul pada saat ini, bukan hanya mengekor pada 'produk' dan melupakan 'proses'nya. Sangat disayangkan bahwa mayoritas pengikut madzhab Syafi'i (khususnya di Indonesia) telah lupa dan meninggalkan keteladanannya. Alih-alih meneladani sikapnya, siapa Imam Syafi'i dimana dan kapan lahirnya, bagaimana proses pendidikannya dan apa saja produk pemikirannya, hanya segelintir penganut madzhabnya yang mengetahuinya. Sungguh ironis......(albi)
Allahummaftah qulubana!
Allah Knows Best
G8/I 010807, 12:00AM

Filsafat dan Metodologi Pemikiran Islam

Banyak kalangan yang telah salah faham tentang filsafat Islam, ia masih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit kajian metafisika. Hal tersebut tidak hanya terjadi dikalangan pesantren di Indonesia dan Madrasah di Pakistan yang memang masih diselimuti trauma-filsafat, namun juga di berbagai perguruan tinggi Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah (kata pengantar dalam Wacana Baru Filsafat Islam:2003) hal serupa juga saya rasakan di IIU Islambad, kajian filsafat masih banyak terfokus pada aspek historis tanpa ada perhatian berarti terhadap aspek metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi. Akibatnya –menurut saya- dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Yang dimaksud dengan filsafat Islam sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian panjang lebar tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam beserta tokoh-tokohnya, tapi lebih merupakan bahasan tentang proses berfikir. Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan 'proses' berfikir dan bukan sekedar 'produk' pemikiran. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain. Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah melakukan bunuh diri intelektual (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982)
Kelesuan berfikir dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan (Bunyah al Aql al Araby:1990). Karena itu kita tidak boleh lagi berpaling dan menghindar dari filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit untuk menjelaskan identitasnya dalam lingkungan dunia global. Namun filsafat yang saya maksud disini bukan hanya sekedar uraian sejarah dan tokoh-tokohnya yang merupakan 'produk' pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi.

Metodologi Bayani, 'Irfani dan Burhani
Dalam khazanah filsafat Islam dikenal tiga buah metodologi pemikiran, bayani, 'irfani, burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci al qur'anlah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut. 'Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Sedangkan burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, teks dan pengalaman hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logis.
Masing-masing dari ketiga model metodologi berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam), irfani menelurkan teori besar dalam sufisme dan burhani telah membawa filsafat kepada puncak kegemilangannya. Namun bukan berarti ketiga metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika berhadapan dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas terletak ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat berhadapan dengan pertentangan tersebut nalar bayani biasanya cenderung mengambil sikap dogmatik, defensif dan apologetik, ia demikian tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang sehat. (untuk lebih lanjut lihat Farid Esack, Qur'an, Liberation and Pluralism: 2006). Sedangkan dalam metode 'irfani bisa lihat dari ter'baku'kannya term-term semisal ilham, kasyf dan dlamir dalam tarekat-tarekat dengan berbagai wiridnya. Hal inilah yang kemudian dikritk oleh Fazlur Rahman sebagai religion within religion (Islam:1979) sementara itu, metode burhani, meskipun ia rasional tapi masih lebih berdasar pada model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam perkembangan pemikiran kontemporer. (al Mantiq al Aristhi kama Shawwarahu al Ghazali: 1980)
Melihat kenyataan diatas, bisa disimpulkan bahwa masing-masing metodologi tidak bisa digunakan secara mandiri untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapainya, ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah jalinan sirkuler. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perngembangan keilmuan Islam kedepan. Amin
Allah knows best
Albi, 130907, 12:00AM

ORIENTALIS, FILSAFAT DAN ISLAM

Dalam kajian studi orientalis tentang filsafat Islam ada kesan kuat yang sudah berkembangan dan mengakar sejak awal kajian mereka bahwa “filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam. Ia tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka menambahkan, peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja, tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan dari filsafat Yunani. Bahkan lebih dari itu menurut mayoritas orientalis justru filsafat Islam menjadi polusi dan limbah yang mengotori atmosfir keilmuan dan peradaban Yunani dalam hembusan angin sejarah manusia.
Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam (Majid Fakhry: 2002) menyebutkan setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban Yunani. Gairah intelektual muslim tersebut oleh sebagian besar orientalis dilihat sebagai upaya-semu dalam mengIslamkan khazanah intelektual Yunani. Padahal kegairahan tersebut berangkat dari ajaran fundamental Islam sendiri yang bukan hanya memerintahkan para pemeluknya untuk menelaah dan mengkaji tapi juga mengkritisinya dalam upaya mencari hikmah, hadis yang menyeru untuk “menuntut ilmu sampai ke negeri Cina” dan “memungut hikmah dari sumber manapun ia berasal” merupakan contoh kecil dari perhatian Islam mengenai hal ini. Kegagalan para peneliti Barat dalam memahami motif intelektual muslim yang dimulai sejak abad ke-9 inilah yang akhirnya membawa kegagalan yang lebih besar dalam memahami proyek Islam secara utuh yang mengakibatkan klaim sepihak bahwasanya Islam adalah agama hegemonik vis a vis peradaban dunia.
Yang kedua, minimnya penguasaan para sarjana Barat terhadap literatur kebudayaan Islam secara umum dan pengembangannya di daratan Persia pasca Ibn Rusyd secara khusus. Melepaskan sejarah filsafat Islam dari konteks perkembangannya pasca ibnu Rusyd, khususnya di Persia akan semakin mengukuhkan klaim dan asumsi duplikasi filsafat Yunani dalam filsafat Islam. Perpaduan dan penggabungan dua buah peradaban bukanlah duplikasi dan upaya-semu dalam peningkatan peradaban manusia. Murtadha Muthahhari membuktikannya dalam buku Islam dan Iran; Suatu Kontribusi Timbal balik secara ekstensif menerangkan hubungan saling memperkaya antara peradaban Persia dan Islam, hal ini menunjukkan bahwasanya Islam merupakan agama yang memiliki daya tampung luar biasa terhadap segenap aktifitas yang menyempurnakan potensi manusia.
Adalah louis Massignon, Reynold Nicholson, Annemarie Schimmel, William Chittick dan Sachiko Murata yang telah memulai berbagai kajian ilmiah dalam studi Islam -khususnya mistisisme- meskipun masih belum mencapai tataran ilmiah-objektif, namun telah membangunkan kesadaran Barat akan kekayaan khazanah Islam di belahan Timur. Kejutan ini berlanjut dengan berbagai penelitian filsafat Timur oleh Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu dan para orientalis kontemporer lainnya. Namun demikian masih begitu banyak objek yang luput dari kajian orientalis dalam melihat sejarah Islam, terutama tradisi intelektual-filosofis Islam di belahan Timur. Disamping itu masih banyak kajian orientalis yang menonjolkan tokoh-tokoh dan pokok pemikiran mereka dalam kaitannya dengan tradisi filsafat Yunani dan Neoplatonis, dan bukan sebagai suatu sistem yang utuh dan otentik. Penonjolan hal inilah yang akhirnya memudarkan ciri khas Islam sebagai sejarah filsafat yang holistik dimata sarjana Barat.
Bukti otentisitas keislaman filsafat Islam -yang terlepas dari atribut duplikasi sebagaimana klaim mayoritas sarjana Barat- bisa dirangkum dalam dua segi:
Pertama, dari segi sumber, kita menemukan semangat para filosof untuk perenungan filosofisnya dalam konteks sumber-sumber pengetahuan Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu Islam yang lain, filsafat Islam pada hakikatnya bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah. Dengan landasan inilah S.H. Nasr menyatakan bahwa filsafat Islam disebut Islam bukan hanya karena pemekaran filsafat didunia Islam dan ditangan para sarjana muslim, melainkan karena seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber utama, yaitu Wahyu Islam....(S.H. Nasr dan Oliever Leaman: 1996).
Semua filosof mulai dari al-Kindi, al-farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Mulla Sadra, Ibn Bajjah, Suhrawardi, al Razi hingga filosof kontemporer semisal Khomeini dan Muthahhari telah hidup dan menghirup udara realitas Al qur’an dan Sunnah. Mereka berpegang teguh kepada sumber wahyu Islam. sebagai contoh, konon Ibn Sina ketika mendapat permasalahan yang rumit, dengan segera ia akan ke masjid dan melakukan shalat meminta petunjuk Allah. Al-qur’an dan Sunnah telah mengubah filsafat menjadi filsafat profetik. Realitas yang terkandung dalam Al-qur’an merupakan landasan awal mereka dalam berfilsafat. Sehingga al-aql al nadzary-nya para filosof Islam tidak bisa semerta-merta bisa disamakan dengan nous-nya Aristoteles, -meskipun terminologi arestotelian masih tetap digunakan- karena pola berfilsafat mereka telah mengacu kepada sumber wahyu Ilahi.
Kedua, dalam kata hikmah (para filosof muslim cenderung menggunakan istilah hikmah sebagai pengganti filsafat) kita bisa menemukan ciri khas filsafat Islam yang lain, yaitu sinergi antara perenungan filosofis, penyucian jiwa, dan ritual keagamaan. Kata hikmah disebut lebih dari duapuluh kali dalam Al-qur’an. Dengan memakai istilah hikmah sebagai pengganti al-falsafah, para filosof sebenarnya ingin menegaskan posisi filsafat Islam. Hikmah merupakan perpaduan tritunggal akal-ruh-raga untuk mencapai kesempurnaan intelektual-spiritual-ritual manusia. Itulah makna hikmah dalam filsafat Islam yang belum tercakup dalam filsafat Yunani kuno.
Catatan singkat tentang genealogi filsafat Islam yang unik dan khas diatas tidak ditujukan untuk membangkitkan sikap sentimen dikalangan Islam terhadap Barat dan orientalisnya, namun diharapkan untuk meningkatkan kesadaran dialog antar-peradaban yang sehat, sejajar dan adil. Dialog bukanlah ajang dimana yang satu merasa superior terhadap yang lainnya, dialog merupakan upaya saling memahami secara ilmiah-objektif, adil dan proporsional terhadap peradaban lain, sehingga kebenaran yang menjadi tujuan bersama bisa tercapai. (albi)
Allah knows Best.
H I/141 010907, 06:00 PM

Saturday, 4 August 2007

Melihat kembali Orientalisme

Tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak sumbangan orientalisme kepada dunia Islam, meskipun dampak negatifnya lebih banyak (namun hal tersebut tidak boleh melunturkan nilai objektifitas dalam diri kita)
Hal yang menjadi kelemahan orientalis ialah titik tolak dari iman, mereka berangkat dari ketidak percayaan kepada agama Islam, Islam dilihat sebagai fenomena dan gejala yang diobservasi, ini yang membuat kajian mereka menjadi fenomenologis. Dalam hal ini Nurcholish Madjid memberi contoh sebuah buku yang berjudul hajarism, maksudnya adalah Hajar istri nabi Ibrahim (yang darinya lahir Isma’il yang kemudian keturunannya berdomisili di Arab). Mereka mengartikan bahwa semua mentalitas orang Arab yang kemudian menjadi Islam adalah hajarisme tersebut, yaitu inferiority complex karena Hajar adalah seorang budak Mesir yang dihadiahkan Fir’aun untuk nabi Ibrahim.
Kita juga mengetahui bahwa orientalisme erat hubungannya dengan kolonialisme, contoh yang jelas dinegara kita adalah Snouck Hourgronye. Adalah Edward Said seorang kristen keturunan Palestina yang kemudian berusaha membongkar kedok dan kepalsuan orientalisme dalam bukunya orientalism (Buku ini mendapat respon yang massif, terutama dari kaum orientalis, salah satunya adalah Bernard Lewis). Reaksi itu muncul karena didalamnya menunjukkan bahwa orientalisme itu dimotivasi oleh kolonialisme. (untuk lebih jelasnya baca, Edward Said, Orientalism, 2006)
Dari sinilah orientalisme terikat dengan bias kolonialisme yang akhirnya kehilangan sebagian watak ilmiahnya, dan kemudian menjadi alat penjajah, misal yang dramatis sekali seperti yang dilakukan oleh Snouck Hourgronye di negara kita. Katanya hadits al dunya sijnu al mu’min itu adalah buatan Van Der Plas. Contoh yang lain adalah ungkapan Clifford Geertz dalam bukunya Islam in Java. Dari buku tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa Geertz adalah tokoh orientalis yang bias kolonial, yang sangat negatif dalam memandang Islam dan mencoba untuk memahami Islam. Buku ini kemudian dikritik oleh Hudson, menurut dia “ini adalah keberhasilan antropologis yang cross cultural, namun tidak historis dan tidak didasari oleh pengertian tentang Islam itu sendiri”. Hudson mencontohkan betapa salahnya Geertz yang mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan orang jawa kepada roh halus atau jin itu khusus javanese, padahal jin adalah perkataan dalam al-qur’an (Nurcholish madjid, pengaruh Israiliyat dan orientalisme terhadap Islam)
Bagaimanapun, tren positifnya tentu ada, dan itu menghasilkan kenyataan baru, misalnya sejak awal abad 20an semakin banyak pusat-pusat kajian Islam di Barat yang diserahkan pelaksanaanya kepada Muslim seperti Hasyim Mahdi, Hamid Algar dan juga Seyyed Hussein Nasr, ada juga Isma’il Raji Al-Faruqi yang syahid itu. Terlepas dari intersest ‘terselubung’ Barat dalam pengangkatan tersebut, pengangkatan orang Islam dalam pusat kajian Islam di Barat merupakan langkah positif untuk meletakkan Islam kepada posisi yang sebenarnya di mata Barat. Sekali lagi mari kita melihat orientalisme dengan kacamata ilmiah dan objektif, sehingga terjadi dialog peradaban yang kondusif dan proporsional dengan syarat jangan sampai tamu (Barat) menjadi tuan rumah di rumah kita. (albi)
Allah knows Best.
G8/1 040807 12:15 PM

Shahabah

“Umar bin Khattab dan Islam Liberal”, demikian salah satu judul dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia yang disunting oleh Luthfi Assyaukani, tulisan tersebut mengangkat tindakan Umar yang meniadakan potong tangan atas pencuri onta, karena pencuriannya atas desakan perut dan dalam kondisi panceklik yang parah (Luthfi Assyaukani ed., Wajah Liberal Islam di Indonesia, 2002) dalam judul tersebut banyak menyinggung ijtihad Umar yang terlalu banyak menggunakan ra’yi dan seolah-olah ini merupakan pelegalan atas tafsir metaforis terhadap ayat-ayat al qur’an. Hal ini juga sering dibandingkan dengan sikap para sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud dan Ali. Memang tidak dipungkiri bahwa Umar banyak menggunakan ra’yi dalam penafsiran dan penerapan hukum Islam semasa pemerintahannya. Namun ada satu hal yang tidak banyak mendapat porsi perhatian yang semestinya yaitu kedudukan Umar dan para sahabat waktu itu.
Ketika melakukan ijtihad, fungsi umar adalah sebagai penguasa, sedangkan fungsi para sahabat, misalnya Ibn Mas’ud adalah guru dan Ali adalah qadhi (hakim). Perbedaan fungsi tersebut melahirkan gerak ijtihad yang berbeda. Dalam proses pengambilan hukum, Umar –sebagai penguasa- sering dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang rumit dan mendesak. Situasi perang bergolak ketika menghadapi Romawi dan Persia. Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan adalah potensi intelektual Umar yang unik dan cenderung revolusioner, respon dan tanggapan baliknya cepat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, dan ini sangat diperlukan, karena beliau adalah penguasa waktu itu. Lain halnya dengan Ali, karena beliau adalah hakim, berpikirnya dituntut untuk lebih tenang dalam mengambil keputusan. Hal ini yang sering dilupakan orang. Akibatnya Umar sering menjadi bulan-bulanan dan ‘kambing hitam’ kelompok tertentu. Padahal dalam berbagai kitab sering kita peroleh bahwa Umar merujuk kembali kepada nash, tidak hanya kepada akal sebagaimana yang dikutip oleh kalangan liberal. Karya Ibn Hazm al muhalla contohnya, Ibn Hazm menceritakan dalam kasus mahar dan pembagian tanah Irak bahwa Umar merujuk kembali kepada nash.
Hal lain yang perlu dijadikan perhatian adalah kaidah qaulu shahabi laisa bihujjah (yang dikatakan oleh satu orang sahabat bukanlah hujjah) perkataan sahabat, baik individu maupun kelompok, seperti manhaj madinah, kubu kufah atau metode Imam Malik dan yang lainnya, belum merupakan hujjah yang tarafnya sama dengan al qur’an dan sunnah. Maka tidaklah layak meng’kambing hitamkan’ Umar.
Pengantar diatas menunjukkan adanya dua kubu yang mempertanyakan kedudukan sahabat nabi tertentu, yang membawa dua sikap berbeda dalam menanggapi permasalahan, pendapat pertama sepakat dengan ash shahabah kulluhum ‘udul (sahabat semuanya adil). Mereka tau bahwa siapa yang mencelanya (sahabat) adalah bid’ah, zindiq dan memusuhi Islam (Ibnu Hajar, al Ishabah fi Tamyiz al Shahabah dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, 1990) yang kedua adalah sikap yang diwakili oleh para cendekiawan yang berkeyakinan bahwa determinisme sejarah telah banyak memanipulasi atau mendistorsi data dan fakta sejarah yang sebenarnya. Mereka berkeyakinan bahwa tidak mustahil terjadi upaya tertentu, dari pihak tertentu demi kepentingan tertentu telah ikut mewarnai sejarah dengan warna yang sesuai seleranya sendiri, sehingga tidak mustahil muncul kelompok pemalsu hadits yang akhirnya terekam oleh para muhaddits, mufassir dan muarrikh. Hal ini bisa kita lihat dalam dunia orientalisme, israiliyyat dan sektarianisme yang banyak memasukkan fakta-fakta palsu dalam kemasan Islam. Dan tidak jarang dari masukan tersebut di’yakini’ dan dijadikan acuan para ‘penjaga Islam’. Dalam hal ini fanatisme dan sektarianisme merupakan monster mematikan dalam pencarian kebenaran yang tidak boleh menjadi monopoli salah satu madzhab tertentu. Mereka yang tidak terburu-buru curiga akan mendapatkan kesimpulan bahwa banyak hal yang dipandang baru selama ratusan tahun telah direkam oleh para ulama dalam menelaah Islam.
Al qur’an telah memberi peringatan, agar kita mendahulukan ilmu dan kepastian dari prasangka (QS, 6: 116), nafsu dan bias pribadi maupun golongan (QS, 53: 23), al qur’an juga melarang kita untuk tergesa-gesa dan menerima tradisionalisme serta obsesi masa lampau (QS, 4: 170). Menyinggung sikap serta kedudukan sahabat tertentu merupakan hal yang mendesak, karena perilaku sahabat sering dijadikan legitimasi tanpa analisa terlebih dahulu, tanpa melihat mana yang shalih dan bathil, mana yang shahabi Islami dan mana yang bukan (mengatasnamakan Islam saja) hal ini sangat penting ditengah mewabahnya virus ‘mujtahid amatir’ dan sulitnya membedakan mana yang muqallid dan mana yang mujtahid, karena kekeliruan dalam hal ini akan memporak-porandakan ukhuwwah Islamiyyah, ditambah lagi dengan tumbuhnya keberanian merekonstruksi dan mendistorsi ajaran-ajaran pokok Islam dengan dalih modernisasi dan universalisme Islam.
Menurut saya sudah terjadi kesalah fahaman dalam menilai ungkapan “kesalahan dalam ijtihad” yang tetap mendapatkan pahala (apabila benar mendapat pahala ganda dan apabila salah mendapatkan satu pahala) sehingga marak orang berdalih hal tersebut dalam melegalkan ijtihad tanpa melihat prasyaratnya terlebih dahulu. Memang membicarakan dan mempertanyakan kembali sikap dan eksistensi sahabat yang kurang jelas –pada saat mayoritas orang yang membicarakan Islam masih miskin intelektualisme- merupakan hal yang akan mengundang kontroversi dan polemik. Keterikatan emosi sering didahulukan tinimbang keterikatan intelektualnya. Oleh karena itu pro-kontra sering terjadi, bahkan sampai tataran fisik. Hal ini wajar, karena dimana-mana membicarakan sesuatu yang sudah taken for granted dan menjadi status quo cenderung dituduh macam-macam.
Namun bukan berarti kita harus diam nrimo begitu saja tanpa usaha. Karena ajaran Islam (al qur’an) sudah jelas menganjurkan tiap individu untuk selalu menggunakan kekuatan logika bukannya logika kekuatan. Dalam menguji data dan fakta kita diseru untuk menghindari prasangka dan agar metode analis kritis selalu didahulukan, hanya saja kekuatan logika tersebut harus terkontrol, karena akal tidak bisa menuntun kita, ia hanya bisa melayani.(albi)
Allah knows Best.
G8/1 040807 11:30 AM

Tuesday, 31 July 2007

Belum Ada Judul

Sejarah mencatat bahwasanya orientalis Barat (tidak semua, karena ada pula dari mereka yang objektif dalam penelitiannya) berusaha dengan giat untuk selalu mencari titik kelemahan Islam, dari keotentikan al qur’an kemudian kritik atas hadis, dan lainnya. Melihat kebuntuan dalam mengaburkan otentitas kitab suci mereka mengalih pada penelitian yang ingin menyimpulkan bahwasanya Islam adalah agama yang irrasional, tidak masuk akal dan penuh khurafat.
Namun bagaimanapun gigihnya Barat untuk membuktikan bahwa ajaran Islam tidak relevan dengan akal akan berujung dengan tangan hampa pula, alih2 menyatakan ke”statis”an Islam, mereka malah terperanjat kaget betapa rasionalnya ajaran Islam, ini terbukti dari studi dan kajian mereka tentang ilmu kalam dan filsafat Islam. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional atau teologi dialektis, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Ilmu kalam sangat dialektis dan logis. Dengan mempelajari ilmu kalam yang mengakibatkan berbagai polemik, akan melatih umat Islam untuk melihat kembali agamanya. Agama Islam sudah berada ditangan umatnya selama 15 abad. Kita tidak boleh melihat perjalanan panjang itu dengan hampa tanpa makna. Sudah barang tentu banyak hal –negatif maupun positif-yang terjadi dalam kurun waktu sepanjang itu. Orang yang tidak mempelajari turast (warisan lama) dan tiba2 mengklaim kembali kepada qur’an dan Hadits, bisa terjerembab kedalam tafsiran yang paling awal terhadap qur’an dan sunnah.
Dengan ilmu kalam kita bisa mempelajari banyak hal. Contoh mudahnya adalah sifat yang 20. sifat yang 20 ini tidak semerta merta datang begitu saja. Ia mempunyai latar belakang yang rumit sekali. Banyak lagi contoh yang lain, kata aqidah yang berarti simpul atau ikatan tidak termuat dalam term al qur’an, namun sekarang seolah2 ia seperti suci, sakral. Contoh kongkrit lainnya adalah kalimat ushuluddin. Secara logika kalau ada ushuluddin berarti ada juga furu’uddin, dan tiba2 kita sudah diwarisi stereotip bahwa ushuluddin adalah ilmu kalam sedangkan furu’uddin adalah fiqh. Artinya sangat menjadi artificial(dibuat-buat). Tapi apa benar begitu? Dulu Ibn Taimiyyah dan beberapa ulama lainnya tidak setuju dengan pembagian ushul-furu’ tadi. Jadi dengan mempelajari kalam dan sebagainya orang akan menjadi terbuka dan tidak dogmatis. Memang diakui sebagai konsekwensinya terjadi apa yang disebut dengan relatifisasi doktrin (ajaran), yakni ketika orang mengetahui bahwa suatu doktrin adalah dari hasil proses sejarah. Dan inilah yang dikhawatirkan banyak ulama Islam termasuk di Indonesia.
Menurut saya, sebenarnya kekhawatiran tersebut berlebihan. Sebab dalam ajaran2 Islam ada bagian2 yang absolut, tetap dan tak boleh berubah, misalnya bahwa Allah itu Esa dan kita wajib berbuat baik, bahwa kita berbuat untuk mencapai ridhaNYa, dan sebagainya. Jadi kita tidak perlu khawatir akan muncul relatifisasi doktrin sbagaimana yang dikwatirkan sebagian besar ulama. Karena hal yang tersebut diatas haruslah berpegang teguh kepada ajaran dasar Islam yakni qur’an dan sunnah dan bahwa tidak semuanya bisa ditafsirkan secara metaforis, namun ada juga hal2 absolut yang tidak berubah, tapi disini kita diuntut untuk jeli dalam membedakan antara keduanya. Wallahu a’lamu bisshowab. Albi
H I/141 060607, 08:00 PM

Islam, Fundamentalisme dan Dongeng pengantar tidur

Melihat berbagai fenomena yang ada saat ini, entah dinegara kita maupun dipakistan (dan juga Negara muslim majority lainnya) tiba2 saya teringat dengan dongeng “lullaby” sebelum tidur ibu tercinta saya….
Singkat ceritanya begini….
Ada seorang pemuda yang tampan, mempunyai teman hewan peliharaan beruang yang sejak kecil sudah dilatihnya dan amat setia. Pada suatu hari, sang pemuda ketiduran dibawah pohon rindang. Ia diganggu oleh seekor lalat, sehingga terganggu tidurnya, sang beruang berusaha mengusir lalat tersebut, namun dasar lalat, diusir sekali datang lagi dan begitu seterusnya.
Melihat hal ini si beruang yang taat dan setia itu, merasa jengkel karena tuannya diganggu tidurnya. Saking jengkelnya diambilnya batu besar disampingnya dan dengan sekuat tenaga dilemparkannya kearah sang lalat. Lalat itu mati, tapi pemuda itu juga mati, karena lalat yang dilempar tadi tepat berada dikening si pemuda.

Saya baru sadar sekarang, betapa dalam nilai yang bisa diambil dari dongeng pengantar tidur tadi…
Kita semua mencintai Islam sebagai agama kita. Kitalah beruang dalam dongeng tadi. Dan Islam adalah pemuda tampan itu. Lalat adalah gangguan2 yang muncul dari umat Islam terhadap Islam, entah itu ‘fundamentalisme’, cara berpikir beku (malas pakai otak lebih suka berperilaku), golongan sekuler-liberal atau ‘penyakit’ seperti yang dibilang Muladi. Kita menghindarkan segala bahaya tadi dari Islam agar tetap subur dan menjadi pegangan kita. Caranya dengan menghalau lalat tadi dengan sapu lidi, obat atau kipas dan lain sebagainya. Dengan kata lain kita menjaga Islam dari segala gangguan tadi dengan mendidik diri kita supaya tidak hanya belajar fikh saja atau hadits saja atau tafsir saja, akan tetapi -umpamanya saja- melihat fiqh abad 10-15M dengan konteks sosial sekarang, cara kita bukanlah seperti yang dilakukan beruang tadi, karena dengan tindakan sembrono meskipun dengan niat yang baik (niat saja gak cukup!) maka matilah si pemuda tadi.
Dengan munculnya berbagai macam ‘penyakit’ dalam ‘tubuh’ kita, kita harus berfikir jernih dengan niat yang tulus mencari ‘obatnya’ sehingga cerita siberuang diatas tidak perlu terulang kembali…….

Politik (kekuasaan) Solusi Umat?

banyak kaum umat Islam yang berfikir bahwa jika aspek politik bisa direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. pendapat ini -menurut saya- bisa dibilang sebagian benar tapi kurang sempurna. memang kekuasaan politik adalah bagian penting dari permasalahan umat. karena daulah adalah pendukung perkembangan agama. ini tidak hanya dibuktikan oleh islam, namun juga agama2 lain. sebagai contoh mari kita lhat agama kristen yang berkembang dengan demikian pesatnya di Eropa tak bisa dipungkiri merupakan jasa besar Konstantin yang mengeluarkan dekrit 'edict of milan' dan Theodosius yang kemudian menjadikan kristen sebagai agama resmi negra Romawi. demikian pula halnya dengan agama Budha yang tidak terlepas dari campur tangan Ashoka. demikian pula dalam agama2 lain, sulit untuk memisahnya dengan politik baca:kekuasaan) sama halnya dengn ideologi2 juga tak lepas dari campur tangan penguasa (marxisme, kapitalisme, sosialisme dsb). eksistensi dan poerkembanganya sangat ditopang oleh kekuasaan. komunime kehilanagan pamor setelah sovyet runtuh. kapitalisme juga 'kayaknya' akan sulit menegukan wksistensinya jikalau suatu saat amerika ambruk mengikuti jeak sovyet.

tapi, perlu kita catat disini, bahwa kekuasaan bukanlah segala2nya. ssejarah mencatat banyak pemikiran, keyakinan, attitude dari masyarakat yang tidak sejalan dengan penguasa. peran ulama disamping umara (kekuasaan) juga memegang peranan yang tak kalah pentingnya, keduanya harus diselaras-harmonikan. para aktivis politik harus mempunyai pemahaman yan benar tentang Islam. jika tidak mereka nantinya akan menjadi perusak Islam yang signifikan. jadi -menurut saya- tidaklah benar apabila dlam perjuangan Islam kita mengabaikan slah satu aspek kehidupan. kesemuanya harus pada posisi masing2 secara proporsional. itulah namanya adil.....

contoh riil adalah teladan baginda rasul SAW memulai dakwah dengan aspek ilmu, memberkan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentan konsep2 dsr dalam Islam. afkar (pondasi pemikiran) mafahim (pemahaman) maqayis (standar2 nilai) dan 'ketundukan' yang Islam ditanamkan secara kokoh kepada para shabat waktu itu. akhirnya mereka bisa tampil sebagai sosok ulama-cendekiawan yang handal dalam berbagai bidang kehidupan. bisa dibuka lembaran sejarah bagaimana hebatnya argumentasi ja'far bin abi thalib ketika berdebat dengan \raja najazyi dan kafir quraisy di mekah. ja'far yang terjepit terdesak oleh serangan kafir minta perlindungan raja najasyi yang kristen, beliau mampu menguraikan argumen yang canggih seputar maslah kristen dan Isa yang menjadi titik sentral kontroversi dalam Islam dan Kristen.

jadi kesimpulan yang bisa saya ambil, dalam menghadapi problematika saat ini kita harus bijak, dan bisa mensinergikan berbagai aspek keilmuan kejiwaan kebendaan dan lainnya. jadi kekuasaan bukanlah satu2nya sarana (tapi bukan berarti harus menafikan secara mutlak atau mengurangi esensinya yang signifikan) harus ada sinergi antara 'ulama-umara' sehingga kaum muslim bisa kembali mengukir kejayaannya......wallahu a'lam.

Islam; Historical Religion?

dalam mata kuliah 'comparative religion' kita bisa melihat begitu banyak tekanan2 dan beban psikologis dalam umat kristiani (inkuisisi, penolakan sains dan konflik sektarian).melihat hal ini, tindakan yang diambil oleh para pemuka kristen dengan meski 'terpaksa' merevisi ulang konsep teologis mereka agar sesuai dengan perkembangan zaman. akhirnya mereka merubah pandangan 'eksklusif' mereka menuju pandangan yang terbuka 'inklusif' namun (menurut sebagain besar mereka) itu saja belum cukup, mereka kemudian melebarkan sayap teologi inklusifnya menuju teologi yang bercorak 'pluralis'. hal ini mendapat reaksi keras dari pihak kereja yang kemudian pada tahun 2001 mengeluarkan dekrit 'dominus jesus' yang secara tegas menentang pluralisme agama.

maka amat wajar kalau kiranya Huston Smith (the worlds religion,1991) menyimpulkan bahwa 'christianity is basically a historical religion.........' (tolong islahnya pak Eko ya kalo salah...). kristen merupakan agama sejarah, maka dari itu perubahan 'evolusi teologi' masih terbuka. karena konsep teologisnya terbentuk melalui proses sejarah yang akhirnya melahirkan 'kristens' (kristen yang banyak) yang mengakibatkan relatifnya 'truth claim'. kebenaran menjadi relatif sesuai pendapat masing2 yang dalam istilah filsafatnya sufhisthaiyyah 'indiyyah hal yang demikian ternyata juga terjadi dalm agama hindu budha dan agama kulturan dan agama sejarah (historical religion) lainnya.

contoh perubahan ekslusif-inklusif-pluralis bisa kita tengok dari pertarungan martin luther-paus. yang mengakibatkan pengucilan dan ancaman hukuman mati pada luther. luther akhirnya melarikan diri dan kemudian mendirikan kristen protestan. hal tersebut disusul dngan konflik berkepanjangan -sampai hari ini- dan merupakan catatan kelam dalam sejarah umat kristiani. disamping hal2 yang sudah dipaparkan diatas, problematika teks bibel juga menambah kerincuan polemik sektarian dalam kristen. yang pd ujungnya menjadikan agama (kristen) harus mengubah diri dan beradaptasi dengan sejarah, yang sesuai dengan tuntutan sekularisme dan liberalisme peradaban Barat.

demikian polemik teologis kristen yang rumit, yang kita sayngkan sekarang, mengapa para 'ilmuan' muslim (termasuk Indonesia) latah ikut2an umat kristiani? (dengan menerapkan paham islams (banyak islam) ) harusnya kita melihat secara adil jangan asal 'membeo'. kita harus meletakkan keduanya secara adil dan proporsional. kajian yang kritis dan mendalam tentang sejarah, konsep dan fenomena modern terhadap kekristenan dan agama2 lain sangatlah diperlukan supaya tidak dengan mdah menggeneralisir masalah. karena pengabaian kajian2 kritis diatas akan menyimpulkan bahwa semua agama adalah sama,( ini bisa kita lihat dari pemikiran Huston smith, john hick, WC Smith, dan juga beberapa ulama muslim semisal husein nasr dan frichof schuon)

merujuk kepada pendapat mas ni'am mengenai teori objektifitas (metode yang bags akan menghasilkan objektifitas). kita harus melihat bahwa banyak dari teori2 dan metodologi yang lahir dari latar belakang yang khas sejarah Barat-Kristen tidak begitu saja dengan mudahnya diaplikasikan untuk studi terhadap Islam. disini dituntut kejelian peneliti dalam memilh dan memilah metodologi untuk penelitiannya. sebab apa? islam tidak mengalami problem teologis-historis sebagaimana yang dialamai kristen.

dengan demikian kita bisa menghidar tradisi latah dan 'membeo' kepada istilah asing (pengadopsian sah2 saja asal melalu proses islamisasi' dan penyaringan yang adil dan jangan sampai sang tamu (Barat) kemudian mengganti posisi tuan rumah(Islam) ) tanpa melakukan kajian ktiris-historis sebelumnya.

Islam bukanlah historical religion, al quran juga bukan merupakan 'karangan' rasulullah SAW, tapi Islam adalah agama wahyu dan alqur'an adalah wahyu dan bukan karangan manusia.
allahumma arina al haqqa haqqan war zuqna ittiba'ah

Why Do They Hate Us?

banyak sekarang ini pemerhati Islam baik muslim maupun non-muslim yang bertanya tanya, kenapa agama islam dan umatnya sering -untuk tidak dikatakan selalu- menjadi target kolonialisme dan kritikan barat dibanding dengan agama2 yang lain dalam catatan sejarah manusia? tidak kita lihat kritikan2 Barat yang bertubi2 -selama beratus2 tahun lamanya- terhadap siddarta gautama, lao tse, kung fu tse, dibanding dengan kritikan mereka terhadap rasulullah SAW......
semalem sewaktu 'hunting' buku bersama temen saya marli, saya menemukan 'jawaban' yang ditulis oleh muhammad naquib al attas dalam bukunya Islam and Secularism (kalau tidak salah di bab empat) secara ringkas beliau menyatakan alasan atau sebab2 mengapa Barat 'menyerang' Islam, muhammad SAW serta umatnya secara bertubi tubi
1- kebangkitan islam diatas pangung sejarah peradaban manusia telah menantang keuniversalan kristen beserta ajaranya
2- sejak awal mulanya, ajaran islam telah menggugat dsar2 agama kristen dan aqidahnya dengan menolak bahwa Allah tidak beranak pinak serta hakikat nabi isa serta siti maryam yang berlainan dengan ajaran mereka
3- al quran juga dngan jelas menceritkan tingkah laku yahudi (bani israil) dalam menyelewengkan ajaran para nabi dari bani israwl
4- islam telah merubah tubuh dan jiwa orang orang barat secara revolusioner dalam berbagai bidang (linguistik,budaya,susial,keilmuan dan ekonomi)
5- perluasan islam yang massif termsuk wilayah2 yang dimilki oleh Bizantium
5- Islam mempunyai potensi besar untuk bangkit kembali berdasarkan dengan konsep2 tajdid dan mampu utuk menantang hegemoni barat pada masa yang akan datang.

demikian beberapa alasan yang disimpulkan oleh al attas dalam buknya Islam and secularism.....
yang ingin saya garisbawahi disini adalah, bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim menyikapi hal ini?apakah kita harus selalu apriori terhadap bart dan selalu curiga? ataukah kita menerima merka apa adanya tanpa kritik yang objektif....
menurut hemat saya, islah adalah agama dan worldview (baca: pandangan hidup) yang tlah melahirkan peradaban gemilang dan memukau
dan untuk mempertahankannya dan mengembangkannya tidak berarti menolak mentah2 msuknya unsur2 barat (peradaban asing). sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain tanpa proses adaptasi.....
dr hamid fahmi pernah menulis "jangan sampai tamu (peradaban asing) menjadi tuan rumah di rumah kita (peradaban Islam)

Hakekat Ilmu

Ilmu adalah suatu hal yang mulia, maka dari itu, beramal tanpa ilmu sama dengan ‘membabi-buta’. Merupakan kewajiban bagi tiap Muslim sebelum beramal adalah berilmu. Agar aqidah kita lurus dan terjaga kualitasnya, ia harus selalu kita pupuk dengan ilmu. Bila ‘pupuk’ ilmu ini benar, maka imannya pun akan tumbuh subur dan lurus, dan si empunya akan dihiasi dengan sikap dan sifat-sifat yang terpuji. Namun sebaliknya, apabila ilmunya tersebut adalah ‘racun’ maka ia akan menghancurkan tanaman iman dalam diri si Muslim. Yang akan membawa dia pada sikap skeptik agnostik dan melihat segala sesuatu dengan kacamata positivisme. Kebenaran bukanlah hal yang abadi, namun relatif……
Karena itu, kemungkaran yang terbesar dalam pandangan Islam, adalah kemungkaran dibidang aqidah atu kemungkaran yang mengubah dasar-dasar Islam. Kemungkaran ini berasal dari ‘rusaknya’ ilmu yang telah berubah statusnya dari pupuk menjadi racun. Kemungkaran di bidang ilmu lebih besar dibandingkan dengan amal. Sebagai contoh, dosa pengingkaran kewajiban sholat 5 waktu lebih besar dibandingkan dengan orang yang meninggalkan shalat karena alasan ‘malas’, tapi masih meyakini kewajiban shalat tersebut. Demikian juga pengingkaran terhadap ayat-ayat alqur’an adalah lebih besar dosanya dibandingkan dengan orang yang tidak mengamalkannya akan tetapi masih meyakini kevalidannya….
Marilah kita pupuk iman kita dengan ilmu yang benar-benar ilmu, bukannya ‘racun’ yang akan mengobrak-abrik keimanan kita…….
Amal memang merupakan hal yang signifikan dalam Islam, tapi itu saja tidaklah cukup…..harus ada ilmu yang benar untuk mengarahkan amal tersebut….
Wallahu warasuluhu a’lam

HIKMAH

Islam selalu memerintahkan umatnya untuk selalu mencari ilmu dimanapun dan kapanpun berada, sebuah hadits yang tidak asing lagi ‘carilah ilmu sampai ke negeri China’ merupakan gambaran betapa islam menjunjung tinggi martabat ilmu (baca:akal) karena maklna yng bisa kita ambil dari hadist tersebut adalah, kita tidak hanya diperintahkan belajar ilmu-ilmu agama, tapi juga berkewajiban untuk belajar ilmu ‘dunia’, dari hadist diatas juga bisa kita ambil kesimpulan bahwa kita, umat Islam diperintahkan untuk tidak bersikap apriori terhadap hal-hal asing. Hikmah, dimanapun berada dan dari manapun asalnya, adalah merupakan harta orang Muslim yang hilang. Maka kita harus mengambilnya. Maslahnya sekarang, yang wajib kita pahami terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan ‘hikmah’ dan untuk apa ia digunakan. Jangan sampai minyak goreng dibuat keramas dan sampo dibuat goreng ikan…..harus tahu mana minyak goreng mana sampo. Dan kemudian harus mengetahui apa kegunaan masing2 dari sampo dan minyak goreng. Demikian juga ilmu2 yang datang dari barat, kita harus tahu benar apa dan bagaimana ia, dan apa pula gunanya. Tidak perlu terburu2 dengan hal2 yang baru yang nampaknya ‘logis’ dan ‘mencerahkan’. Ada pepatah jawa yang bilang, ‘ojo gumunan’. Janganlah mudah kagum dan terpesona oleh hal-hal yang tampaknya menyilaukn mata, lalu tanpa basa basi membuang khazanah lama yang sudah tahan uji selama ratusan tahun.

Adapsi dan Adopsi

kalau kita mau jujur membuka lembaran-lembaran sejarah secara objektif akan kita temukan bahwa yang mendorong lahirnya tradisi keilmuan dan timbulnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam adalah cara pandang islam (worldview) dan bukan lah semerta2 pengaruh budaya luar, implikasinya adalahpengembangan konsep2 ilmiah atau disiplin ilmu baru dalam Islam harus merujuk kepada pandangan hidup Islam tadi. sebab, ilmu tidak dapat timbul dan berkembang pada suatu masyarakat dari hasil impor. (alparslan, Islamic science)
artinya adalah, suatu ilmu tidak dapat muncul begitu saja dalam suatu peradaban atau kebudayaan yang tidak memiliki latar belakang tradisi ilmiah. memang kita tidak memungkiri adanya pengaruh asing. tapi harus kita fahami pengaruh tersebut oleh umat Islam terdahulu adalah 'diadapsi' bukannya 'diadopsi' melalui peminjaman konsep2nya atau istilah2 tertentu. isltilah istilah asing tersebut disebut sebagai konsep pinjaman atau elemen pinjaman. karena proses pinjam meminjam antara suatu budaya ke budaya lain adalah hal yang alami 'natural process'. ada ungkapan menarik dari prof MM sharif (tentang penggambaran pemikiran muslim sebagai kain dan pemikiran asing sebagai jahitannya)dalam bukunya a history of muslim philosophy. yang kurang lebih sebagai berikut "although it was a golden thread we shold not take the thread for the fabric". kalau dimaknai secara bebas "meskipun jahitan itu adalah benang emas kita hendaknya tidak menganggap jahitan itu sebagai kain"....
artinya adalah...jika pemikiran asing masuk kedalam pemikiran Islam, ia akan mengalami proses 'islamisasi' oleh meknisme yang ada adalam worldview Islam. oleh sebab itu kita tidak layak menganggap dan menempatkan elemn2 itu sebagai elemen dominan dalam Islam. ia hanyalah berperan secara 'marginal'. malah, sebenarnya ketika elemen2 asing itu ditransmisikan ke dalam worldview Islam, pada saat yang sama telah terjadi proses Islamisasi. disaat ini pandangan hidup Islam dengan struktur konseptualnya yang kokoh dapat dijadikan sebagai framework kajian pemikiran keislaman. ia dapat dipakai untuk menggali dan mereformulasi konsep2 penting dalam tradisi pemikiran Islam, mengembangkan suatu disiplin ilmu pengetahuan Islam yang baru maupun untuk merespons tantangan2 pemikiran filosofis dari berbagai ideologi dan pandangan hidup asing.....sekali lagi kita harus bisa membedakan antara 'adapsi' dan 'adaptasi'...
wallahu a'lam

Menyikapi Perbedaan

membaca kembali beragam diskusi, perdebatan, dialog, analisis, argumentasi, interpretasi dan pertukaran pendapat dalam Islam adalah merupakan hal yang wajar, karena memang Islam adalah agama yang meletakkan akal pada tempat yang tinggi, banyak ayat2 alquran yang secara tegas mensinyalir urgensi akal dan penggunaannya, tapi al qur'an juga memperingatkan bahwa penggunaan akal harus di"monitor" oleh wahyu Tuhan.
mengingat hal diatas rasanya kurang bijak-menurut saya- kalau pintu2 menuju ruang keilmuan yang progressif dan dinamis ditutup begitu saja dengan dalih 'takut' akan terjadinya perpecahan umat, memang kita juga harus berhati2 untuk mengemukakan suatu 'bahan' untuk didiskusikan, mengingat dalam Islam ada ajaran2 absolut yang bersifat statis dan tak boleh berubah. apalagi bila hal2 yang sensitif tersebut kita lontarkan begitu saja kepada "khalayak". tapi untuk kalangan akademisi?.......kenapa tidak? bahkan menurut saya hal tersebut merupakan langkah positif yang perlu kita kembangkan. bukankah kita juga yang nantinya akan menghadapi 'bombardir' pertanyaan2 berkenaan dengan hal2 sensitif tersebut dimasyarakat? lalu jawaban apa yang akan kita berikan apabila pintu2 menuju ruang tersebut ditutup? bukankah dampak negatifnya akan lebih besar?
sejak lama, disetiap sejarah peradaban manusia pasti terjadi perbedaan dan pertentangan, tak lepas pula umat Islam, bahkan para sahabat sekalipun, banyak contoh yang telah kita ketahui bersama dan tak perlu saya sampaikan disini. dengan kata lain, perbedaan pemikiran adalah evolusi, adaptasi dan perubahan-yang cepat atau lambat-pada keperluan manusia dalam sejarah peradabannya yang terus mengalami perubahan. sudah barang tentu proses menuju perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah dan tak jarang menyebabkan adu argumen dan pendapat yang kadang diselingi dengan kata2 yang pejoratif. ini merupakan keharusan "sunnatullah". kita tidak bisa memaksakan "uniformy" (penyeragaman) dalam satu perkara, karena itu akan menyalahi 'fitrah'.
bukankah sebagai muslim kita wajib tahu tentang agama kita? (apalagi sebagai mahasiswa, otomatis tanggung jawab tersebut semakin besar dan berat) bukankah kita harus mengetahui seluk beluk dinamikanya?
semakin kita menguak dan membuka lembaran2 sejarah agama kita, akan semakin terbuka pikiran kita, bagaimana beragamnya pendapat pendahulu kita mengenai agama dan penafsirannya. memang tidak kita pungkiri ada memori yang berdarah2 berkenaan dengan kasus 'beda pendapat' tapi apakah dngan demikian kita kemudian menutup dialog, diskusi dan tukar pikiran mengenai hal yang mungkin dianggap "peka dan sensitif" oleh sebagian kalangan? apakah setiap hal yang 'dikhawatirkan' nantinya menimbulkan perpecahan kemudian kita berhenti mengkajinya?lantas apa yang akan kita lakukan jikalau berbicara mengenai khilafah, jihad, pluralisme, poligami dkk dilarang dngan dalil "sesama muslim kok gak akur!.....
banyak perkara dalam agama kita yang memunculkan keragaman pendapat umatnya. menurut saya, menghindar dari hal2 yang sensitif tersebut bukanlah sikap yang dewasa, kita harus ingat, siapa kita dan untuk apa kita berdialog dan berdiskusi.....
perbedaan bukanlah 'hantu' yang harus kita takuti, untuk menghindarinya bukan berati kita harus lari darinya...menurut saya, yang terpenting adalah sikap dewasa kita dalam melihat segala perbedaan yang ada......bagaimana kita berusaha dengan tenang menghadapi isu2 "peka" tersebut dan bukannya kabur, ketika anda lari darinya, berarti anda juga telah lari dan menghindar dari sunnatullah.
saya kira sebagai mahasiswa tidaklah layak untuk menutup diri dari hal2 yang teramat penting tersebut (pembahasan masalah agama) bagaimana kita berani lantang berteriak Muslim sedangkan kita tidak mengetahui apa hakikat Islam kita........
perbedaan bukan untuk dihindari,
perbedaan tidak selamanya melahirkan perpecahan...
tapi perbedaan bisa melatih kita untuk lebih peka, bijak dan dewasa.....
untuk apa ada dialog dan diskusi dimilis ini kalau kita takut berbeda?
demikian, mohon maaf apabila ada kata yang kurang berkenan.

wassalam

hamdan maghribi

Nash, Akal dan Ijtihad (renungan malam)

Berbagai rentetan diskusi dan dialog telah banyak dilakukan semenjak lahirnya Islam, saling mengisi dan melengkapi, ataupun kadang sebaliknya, saling bertentangan dan bertolak belakang. Apalagi bila ranah kajiannya mengenai hal-hal yang tergolong ‘sensitif’ dan ‘peka’ terutama hal yang mengenai nash wahyu dari Allah yang sudah jelas tidak ada kesalahan dan kekeliruan.
Berbagai macam tanya dalam hatiku menyeruak, apakah nash ini dapat diaktualisasikan dalam dunia nyata, sehingga terwujud keadilan bagi umat manusia? Bagaimana sesuatu yang tsabit melihat dan memahami perubahan, dan mewujudkan kemaslahatan yang organik yang selalu berubah?
Jika membumikan al qur’an pada realitas menjadi tuntutan zaman, maka bagaimana memahami makna dan tujuan dari nash tersebut?
Mungkinkah manusia bersatu dalam perspektif tunggal terhadap satu teks dalam satu ruang dan waktu, bahkan berlainan zaman?
Nah, jika persepsi ini benar dalam menafsirkan nash Ilahi, apakah persepsi manusia mencapai derajat kesucian?
Dan dengan berbagai varian persepsi (baca:interpretasi) manusia, manakah yang dianggap suci?
Al quran berkali2 menyeru kita untuk menggunakan akal, jika bersungguh sungguh dalam memfungsikan akal untuk memahami nash, menjelaskan makna dan tujuannya dianggap sebagai ijtihad, maka apakah ijtihad ini memerlukan pintu yg kapanpun bisa dibuka dan ditutup? Kondisi yg bagaimana yg bisa membuka dan menutupnya?
Apakah dengan terbukanya pintu ijtihad bagi akal –dengan segala keterbatasannya- akan melahirkan kesalahan?
Penutupan pintu ijtihad (apabila ia punya pintu) tidak lain sebagai bentuk pengebirian dan pemasungan akal manusia. Padahal Allah memerintahkan untuk menggunakan akal dan nalar, mengoptimalkan kekuatan logika dan bukannya logika kekuatan..........
Ya Rabb....
Salahkan hambaMU apabila mempertanyaakan semua itu.....
Ini hanyalah wujud syukurku atas nikmatMU, nikmat akal yang membedakanku dari semua makhlukMU.....
Ya Rabb...bukalah hati hambaMU...
Aku mohon dengan sangat...
Aku mohon dengan sangat...
Aku mohon dengan sangat...

Inklusif vs Eksklusif

terma2 seperti inklusif, ekslusif, konservatif, progressif dsb..seakan2 tak kunjung reda membanjiri berbagai media dinegara kita...
namun dalam kesempatan kali ini saya ingin meangkat tema ekslusif-inklusif terlebih dahulu..
banyak kalangan yang menafsirkan ekslusif merupakah sikap merasa benar sendiri, selain ajaran dia adalah salah dan penafsiran pejoratif lainnya...
disini saya kok cenderung berpihak pada sikap 'ekslusif' (dalam arti yang proporsional tentunya)
deskripsi saya begini...
jika seorang muslim tidak boleh menganggap atau meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama yang lain salah, maka untuk apa konsep dan lembaga2 dakwah? jika seseorang tidak yakin dngan apa yang dianutnya (dengan dalil kebenaran relatif) maka untuk apa ia berdakwah? untuk apa berhisbah 'amar ma'ruf nahi mungkar'?sedangkan dia sendiri tidak yakin mana yang benar dan mana yang mungkar...
konklusi 'gampangan'nya adalh para agnostik (golongan yang selalu ragu) akan berdakwah juga kepada hal2 yang ragu2, sebenarnya kalo kita mau jeli sedikit, mereka sejatinya juga telah memilih keyakinan baru, yaitu tidak ada agama yan benar, atau semua agama benar. ia tidak memilih sikap untuk tidak beragama, artinya, ia telah memilih agama baru dengan teologi yang baru pula yang kemudian disebut dengan teologi agama2. sebagaimana yang disuarakan WC Smith, John Hick, Weber, SH Nasr dan Frichof Schoun...
memang para orientalis (tidak semua) dari sononya selalu berupaya untuk mendekontruksi dan mereduksi makna Islam dan terus berjalan mengiringi catatan sejarah.
namun ironisnya, banyak kalangan muslim sendiri sekarang yang menyambung lidah para orientalis tersebut dalam upaya dekonstruksi makna Islam, dan yang lebih ironis lagi, banyak dari kalangan alim ulama yang menganggap hal tersebut sebagai hal yang remeh.
allahummaftah qulubana!

Problematika Teologi

adalah Ludwig Feurbach yang menegaskan bahwa prinsip dasar dari filsafat bukan "substansi" ala spinoza, atau juga kant dan fitche yang membawa prinsip "ego", bukan pula "absolut identity"nya Schelling, maupun Hegel dengan "akal absolutnya, namun menurut dia yang benar adalah realitas wujud, yaitu manusia....
oleh karena itu -masih menurut feurbach- manusia merupakan prinsip tertinggi dari filsafat, meskipun agama dan konsep teologi membantahnya, namun hakikatnya...agamalah yang menyembah manusia (religion that worship man...begitu katanya). kemudian ia menmbahkan bahwa tuhan adalah manusia dan manusia adalah tuhan...akhirnya agama mau tak mau harus menafikan Tuhan yang bukan manusia...the true sense of theology is anthropology...and religion is the dream of human mind.
berawalk dari sinilah -ide feurbach- kemudian muncul para antropolog/sosiolog dan teolog semacam Martin Buber dan karl Marx
menghadapi fenomena yang demikian terpecahlah kemudian para teolog krsten menjadi 2, yang pertama adalah teolog konservatf (Mascal) yang berpegang teguh pada "tradisi" dan yang kedua adalah radikal (Bonhoeffer) yang mersikeras untuk menanggalkan baju agama dari hal2 duniawi (baca: sekulerisme)
kemudian muncullah Harvey Cox sebagai penengah antar keduanya, cox ingin menjembatani dua kubu yang paradox secara ekstrem, yakni teologi radikal dan teologi konservatif...
namun pendapat cox ini pun ditentang berbagai kalangan, baik agamawan maupun sosiolog....dst..dst...

gambaran diatas ingin mengungkapkan bahwa sanya gagasan sekulerisasi ataupun yang lainya (pluralisme, liberalisme dkk) muncul di Barat (kristen) karena ketidak sanggupan doktrin dan dogma agama (kristen) untuk menjawab tantangan dan fenomena peradaban barat yang terbentuk dari berbagai unsur.....

nah...sekarang, seperti yang sudah kita ketahui bersama, banyak kalangan diIndonesia, yang demikian getolnya ingin mengaplikasikan pengalaman barat dengan trauma2 teologi kristen kedalam Islam...

apakah memang Islam (secara pengalaman teologis) mengalami polemik seperti yang dihadapi kristen? tentu jawabnya tidak....
lantas bagaimana seharusnya kita bersikap dengan paham2 asing tersebut?...
teori "adapsi dan adopsi" yang pernah saya posting beberapa hari yang lalu -menurut saya- bisa dijadikan salah satu dari sekian banyak renungan.....

menurut anda?

Belajar dari Pakistan

*tulisan ini di muat dalam jurnal al qalam, edisi juli, no: 9 thn 2Fenomena fundamentalisme, ekstrimisme dan militansi Pakistan yang saat ini direpresentasikan oleh Lal Masjid begitu ramai menghiasi berbagai surat kabar lokal, nasional bahkan internasional, berderet aksi para taliban (santri) dan talibat (santriwati) masjid tersebut, dimulai dari pendudukan library, penangkapan pemilik “rumah bordil”, penggerebekan “panti pijat” cina, pembakaran toko-toko CD hingga penculikan polisi yang diakhiri dengan operation silence atas perintah Musharraf. Mereka melakukan itu semua atas dalih penegakan syariat Islam, mereka melihat bahwa pemerintah sudah mandul, bahkan berperan aktif memerangi syariat Islam di negara yang sudah jelas berasaskan Islam ini.Melihat sejarah, dasar pendirian Republik Islam Pakistan yang terartikulasikan dalam gagasan pendirinya, Iqbal dan Jinnah, merupakan kehendak komunitas Muslim untuk membentuk negara dimana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Gagasan tentang Islam yang hendak diterapkan di dalam negara Pakistan juga terukir dalam benak para pendirinya yaitu Islam yang lebih dekat kepada semangat aslinya dan kemodernan, tetapi sayang para pemimpin komunitas tradisional memahaminya sebagai Islam yang berorientasi ke belakang yang tertuang dalam rumusan Islam sejarah (baca: masa lampau). Akibatnya, sejak awal berdirinya Pakistan pada 3 juni 1947, mereka mengalami kesulitan yang serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan berkepanjangan yang tak bisa dihindari antara kubu modernis dan fundamentalis-tradisionalis -yang kemudian melahirkan Konstitusi tahun 1956 dan 1962 dan amanden-amandemen yang tidak memuaskan semua pihak- merupakan bukti riil dari kesulitan itu.Akhirnya ketika mereka sampai pada hukum Islam, kesulitan serupa dihadapi kembali oleh umat Islam Pakistan. Kubu modernis melihat hukum Islam harus dimodernisasi agar selaras dengan perkembangan zaman sehingga slogan universalisme Islam menjadi nyata. Sementara kubu fundamentalis-tradisionalis menuntut bahwa, apa yang sudah menjadi hasil ijtihad para fuqaha klasik lewat deduksi dan derivasi dari al qur’an dan sunnah harus diterapkan secara literal tanpa terkecuali. Akibatnya kontroversi sengit tak dapat dihindarkan. Ini merupakan cerminan betapa sulitnya umat Islam Pakistan dalam mendefinisikan Islam dalam konteks negeri mereka akibat pemahaman yang ‘kurang bijak’.Dalam perdebatan ini, kubu modernis kesulitan dalam memutus kaitannya dengan masa lampau dalam menerima nilai-nilai modern, sementara kaum fundamentalis- tradisionalis menemui kesulitan dalam membebaskan diri dari masa kini (baca: modern) dan berapologi dalam lindungan gemerlap masa lalu. Kubu modernis menuding para fundamentalis telah menuhankan sejarah, bukan lagi Allah, karena cenderung merujuk ke masa silam. Sebaliknya kubu fundamentalis-tradisionalis menuduh kubu modernis mempunyai keimanan yang salah karena memandang bahwa terma-terma Barat lebih unggul dari Islam dan menolak otoritas masa lampau (Luthfi Assyaukani, ed. Wajah Islam Liberal di Indonesia, 2001 hal 30-32).Hal ini mengakibatkan kerancuan dalam definisi Islam yang menyertai pengalaman Pakistan sejak awal lahirnya. Kompromi yang mereka capai bersama banyak memunculkan kekecewaan dan kecurigaan antar dua belah pihak, kontroversi tersebut akhirnya melebar, muncul kemudian penjarahan, pembakaran, aksi bom bunuh diri, terorisme dan pembunuhan. Fenomena lal masjid baru-baru ini merupakan contoh aktual akibat kontroversi ini. Akhirnya pengalaman Pakistan -sebuah negara Islam- memberikan gambaran kelam tentang Islam, seakan-akan dalam Islam, untuk mencapai surga harus dengan perang, menjarah, membakar, merusak, bom bunuh diri dan berbagai aksi teror lainnya, orang yang tidak sependapat harus dienyahkan. Islam digambarkan sebagai agama yang tidak pernah mengakui persamaan, kedamaian, toleransi dan keadilan.Hal diatas merupakan contoh riil bagaimana nasib suatu golongan apabila dalam memahami keyakinannya secara kaku dan rigid. Harusnya ‘sejarah kelam’ umat Islam bisa membuka mata dan hati mereka dan mencairkan kebekuan cara pandangnya. Sehingga pengalaman buruk ini tak terulang kembali untuk kesekian kalinya. Mari kita ambil pengalaman Pakistan ini sebagai pelajaran yang berharga bagi kita untuk membangun bangsa Indonesia pada khususnya dan umat Islam pada umumnya menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Mashaibu qoumin ‘inda qoumin fawaid (albi)Allah Knows BestG8/I, 300707, 02:25 AM

Sunday, 29 July 2007

Turki, Jepang dan Tradisi Nenek Moyang

Innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan (QS, 16:90)
Dalam menilai sesuatu kita dituntut untuk adil, atau berusaha menuju keadilan, ayat diatas dengan nyata menerangkannya, akan tetapi bukan berarti kita harus selalu berhusnuddzan dalam menilai, memang untuk adil kita diharap meletakkan landasan husnuddzan tersebut. Akan tetapi, tentu saja kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharap seseorang yang tidak mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangan jauh2 ke non-muslim orang muslim masih bisa salah.
Tidak sedikit dari umat Islam yang terkadang melihat modernism adalah Barat plek 100% ada juga yg berpendapat Barat dan budayanya adalah setan dalam wujud manusia maka dari itu harus dihindari, segala bentuk kegiatan yang berbau Barat adalah bid’ah, kedua pandangan diatas merupakan salah satu contoh penafsiran yang kurang tepat –menurut saya-
Dalam hal ini saya berpendapat dan berpegang pada jargon al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah, memelihara yang lama yang baik dan dan mengambil yang baru yang lebih baik. Maksudnya kita perlu mengembangkan tradisi intelektual yang otentik secara intensif. Ada seorang orientalis, H.R.Gibb yang agak objektif bilang “kalau tren modernis Islam tidak berpegang pada warisan intelektual mereka akan mengalami pemiskinan intelektual, yang akan menyebabkan kemacetan berpikir”. Karena apa yang mereka lakukan ga nyambung dengan masa lampau, ibarat kata maju kena mundur kena, mundur hancur karena buta akan warisan intelektual Islam dan majupun akan terhadang oleh Barat, yang tidak terkalahkan karena kita tidak punya bekal, hal ini dialami secara dramatis oleh Turki.
Turki merupakan bangsa non Barat pertama yang merasa harus modern supaya tidak ketinggalan oleh Barat, tetapi tetap saja gagal. Dibanding dengan jepang, yang agak terakhir ingin modern dibanding turki, justru sekarang merupakan ancaman besar peradaban barat, khususnya dibidang teknologi. Sekarang apa kaitannya Turki, jepang dan slogan diatas?
Menurut Nurcholish Madjid (dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, 1990) jepang adalah bangsa yang dengan teguh menerapkan al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah,sedang turki tidak, sehingga bagi orang jepang kemodernan itu secara organik terkait dengan jepang, kemodernan bukan barang asing lagi, tapi merupakan “produk lokal”. Sedangkan diturki nilai kemodernan masih asing dan hal tersebut didramatisasi oleh Kemal ataturk. Kalaupun dia menghapus sistem kekhalifahan mungkin agak bisa dinalar (meskipun saya kurang setuju dengan penghapusan tersebut) ataupun dengan pelarangan ulama2 untuk tampil dimasyarakat, ada juga beberapa alasan logis yg bisa diterima. Akan tetapi yang sangat fatal adalah mengganti huruf arab dengan latin untuk menulis bahasa turki. Alasannya sangat naif, ataturk berpendapat bahwa turki tidak akan modern kecuali apabila berhuruf latin, dan diakui oleh eropa. Ia ingin sekali dipanggil sebagai orang eropa.
Dengan menggantikan huruf arab tersebut terputuslah mata rantai intelektual turki dengan masa lampau, sejarah mencatat bahwa selama tujuh abad kekhalifahan turki mewariskan banyak hal, terutama bidang arsitektur dan seni. Memang dalam pengetahuan mereka tidak begitu hebat namun dalam sistem administrasi dan kemiliteran kehebatan mereka diakui, dan khazanah intelektual yang kaya tersebut tersimpan dan tertulis dalam bahasa turki usmani yang berhuruf arab, yang orang turki sekarang tidak bisa membacanya karena sudah berganti dengan huruf latin. Mereka terputus dengan masa lampau hanya gara2 huruf latin, sednagkan kedepan mereka harus bersaing dengan Barat yg sulit tersaingi dalam waktu singkat.
Apa bedanya dengan jepang? Jepang (kita ambil contoh simbolis saja) tidak berpikir untuk mengganti huruf kanji mereka dengan latin. Unsur kebudayaan dan ke’jepang’an teguh dipertahankan, mereka tetap bangga ber’etos’kan jepang. Mata rantai intelektual jepang tetap terhubung rapi dan kuat. Yang dengan demikian mereka mampu bertahan, bahkan sekarang menjadi saingan terberat Barat.
Bagaimana dengan indonesia?
Umur negara kita (yang mayoritas Mulim) sebentar lagi masuk usia ke 62, waktu yang sudah seharusnya membuat rakyatnya dewasa, tapi sayang kita masih terpuruk dalam golongan ketiga dunia. Tapi hal tersebut tidak boleh membuat putus asa, sekaranglah waktunya untuk memulai, mencipatakan ‘kemodernan’ di berbagai segi yang berangkat dari sejarah dan tradisi intelektual sendiri al muhafadhatu ‘ala al qadimi as shalih wa al akhdhu bi al jadidi al aslah. Karena merupakan hal naif apabila kita bicara tentang hal2 kontemporer tanpa bisa membuat kaitan organis denga masa lampau.
Abraham Lincoln, salah seorang presiden amerika, betapapun dia adalah anak kandung intelektual Barat. Oleh karen itu lincoln tidak akan pernah menjadi lincoln tanpa tahu sejarah, filsafat dan budayanya. Sulit dibayangkan, eropa, Jepang dan negara maju lainnya akan menjadi seperti sekarang ini bila mengabaikan masa lampaunya seperti turki (dan mayoritas negara berpenduduk muslim) yang berkoar2 tentang msalah kontemporer dalam politik misalnya, tapi tidak tahu al ahkam al shulthaniyyah. Dan inilah pemiskinan intelektual.
Allah knows Best
G8/I 290707, 02:30AM

Hamdan Maghribi

Thursday, 26 July 2007

ILMU DAN AMAL

Merupakan suatu keharusan apabila agama membawa faedah dan perbaikan hidup, namun hal tersebut tidak akan pernah terlaksana apabila sistem ajarannya tidak dilaksanakan. Dari sudut pandang yang demikian apabila kita gunakan untuk menghayati kandungan al qur’an tentang dosa apabila kita mengatakan sesuatu namun tidak mengerjakannya (QS, 61:3). Maka Islam yang menjanjikan kebaikan dunia dan akhirat akan menepatinya. Namun sekali lagi apabila jika sepenuhnya ajarannya dilaksanakan.
Memang manusia terbatas kemampuan dalam melaksanakan ajaran Islam, bahkan antar manusiapun sangat fariatif tingkat kemampuannya.
Sejarah telah menunjukkan betapapun what so called ‘zaman keemasan’ tidak terbebas dari kekurangan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Melihat kenyataan tersebut mari kita lihat bersama ayat al qur’an yang memerintahkan kita untuk bertaqwa kepadaNya “sebisa mungkin” mastatho’tum (QS, 2:286)
Saya disini ingin membahas kata “sedapat mungkin” dalam ayat diatas (karena tidak sedikit yang memahaminya dengan nalar pesimis), disitu terdapat pesan agar manusia, dalam melaksanakan ajaranNya, tidak bersikap ‘sekedarnya’ melainkan berusaha dengan sungguh-sungguh menuju puncak kemungkinan dan kemampuan tertinggi. Inilah hakikat ijtihad, suatu bentuk tanggung jawab moral seseorang kepada kewajiban melaksanakan ajaran yang di yakininya. Sebagai ‘reward’nya ia tetap mendapatkan pahala sekalipun kelak ternyata menghasilkan sesuatu yang salah atau kurang tepat. Dan apabila tepat ‘reward’ tersebut akan berlipat menjadi dua: pertama karena adanya pelaksanaan tanggung jawab moral tersebut dan kedua karena pelaksanaan dari ajaran tersebut yang tepat. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, 2005) hal ini juga di tegaskan kembali oleh baginda Rasul bahwa orang yang berijtihad dan tepat akan mendapat dua pahala, dan orang yang berijtihad namun keliru maka ia masih mendapatkan satu pahala.
Ijtihad untuk malaksanakan suatu ajaran tentunya harus diikuti dengan ilmu dan pengetahuan secara tepat. Yang pertama harus mengetahui ajaran itu sendiri. Karena logikanya apabila pemahaman tersebut salah maka pelaksanaannya pun akan ikut salah, dan akan mengakibatkan kekeliruan prinsipil. Namun pengetahuan tentang ajaran secara tepat saja belum menjamin pelaksanaan yang tepat. Pada tingkat pelaksanaan harus juga difahami kondisi sosial dan lingkungan tempat melaksanakan ajaran tersebut. Tanpa kedua pemahaman tersebut segala usaha pelaksanaan ajaran akan terperosok kedalam jurang normativisme (sikap berpikir menurut apa yang seharusnya, kurang menurut apa yang mungkin) yang nantinya kan mendorong pengikutnya untuk cenderung radikalistik-destruktif.
Maka dari itu, jaminan keunggulan, superioritas dan kejayaan akan dikaruniakan oleh Allah kepada yang beriman dan berilmu. Beriman, maksudnya adalah mempunyai orientasi ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan ridha Tuhan sebagai tujuan akhir segala perbuatan. Berilmu, berarti mengerti ajaran secara proporsional, sebagaimana ilmu yang Allah karuniakan kepada Nabi Adam sebagai bekal mengemban tugas khalifah dibumi, yang menjadikan manusia unggul diatas malaikat. Memang iman akan mendorong manusia untuk selalu ‘terarah’ kepada kebaikan. Tapi iman saja tidak bisa melengkapi manusia dengan kecakapan dan ‘ketrampilan’ tentang teori dan praktek dari pelsksanaan ajaranNya. Jadi tidak menjamin kesuksesan, sebaliknya ilmu saja, mungkin akan membuat orang terampil berbuat ‘nyata’. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmu tadi yang akan membawa si empunya kepada kemudharatan (banyak contoh riil didepan kita). Bahkan akan lebih celaka dari orang yang tidak berilmu sekalipun. Maka Rasul bersabda man izdada ilman walam yazdad hudan, lam yazdad lahu illa bu’dan (barangsiapa bertambah ilmunya tanpa hidayah, maka ia tidak akan bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah). Jadi kita dituntut untuk mensejajarkan iman dan ilmu guna mencapai kesuksesan.
Allah knows Best
G8/I 260707, 08:30 PM

Tuesday, 24 July 2007

Perbedaan

Hamdan Maghribi
Adalah Islam, salah satu dari abrahamic religion disamping Yahudi dan Kristen, meski paling muda, Islam mampu membuktikan dirinya sebagai agama yang paling pesat perkembangannya. Kurang dari satu abad setelah kelahirannya, Islam sudah menyeberang ke Eropa (spanyol) dan menjadikannya puat budaya dan peradaban hingga abad ke 15M. Dibawah naungan Islam, berbagai suku bangsa hadir dengan corak dan warna adat, tradisi dan worldview masing-masing. Tentu saja ketika masuk ‘payung’ Islam ada prinsip-prisnsip fundamental yang harus dipegang, prinsip dasar yang membuat mereka disebut Islam. Tetapi mengadopsi prinsip Islam tersebut tidak lantas mematikan khazanah tradisi dan peradaban mereka, inilah tanda universalitas Islam.
Islam datang dengan penuh kesederhanaan, baik ajaran maupun pemeluknya, menjadi orang Islam tidaklah susah, kaya atau miskin bukan menjadi kendala, Islam juga tidak melihat adanya kesenjangan sosial berdasarkan materi dan tahta, semuanya tergantung kadar iman dan takwa. Atas dasar itulah para saudagar kaya Mekkah merasa ‘kebakaran jenggot’ karena wibawa mereka jatuh. Akhirnya dengan segala daya upaya berusaha menghalangi nabi Muhammad dan dakwahnya demi melanggengkan status qou yang bertahun-tahun telah mereka nikmati. Namun dengan keagungan rasulullah dan kegigihan para sahabat, Mekkah pun dapat di taklukkan dan berdirilah sebuah bangunan politik di Madinah, bermula dari sana berbondong-bondong orang arab maupun non-arab dengan status sosial yang beragam memeluk Islam. Islampun tidak identik lagi dengan orang pinggiran seperti ketika mereka dianiaya saudagar kaya Mekkah. Tapi menjadi agama yang khas dan kreatif dalam mengakomodasi kekayaan tradisi umatnya yang beragam dan memfasilitasinya untuk menjawab tantangan zaman.
Berbagai aliran pemikiran tumbuh subur yang kemudian oleh para ulama diklasifikasikan menjadi beberapa bagian antara lain adalah fikih, teologi (ilmu kalam), filsafat dan tasawuf. Dalam masing-masing aliran ada keragaman yang saling mengkritisi. Dalam fikh misalnya ada madzhab Hanafi yang rasional berseberangan dengan madzhab az Dzahiri yang literal. Ada pula madzhab Hanbali yang dekat dengan madzhab Dzahiri, dan Maliki yang dekat dengan madzhab Hanafi, ada pula madzhab Syafi’i yang kurang lebih berda ditengah-tengahnya (sudartono abdul hakim (editor), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan humaniora, 2003). Dalam telogi ada Mu’tazilah yang rasional dan progresif berseberangan dengan Imam Ibn Hanbal dan para pengikutnya yang tradisionalis. Ada pula Asy’ariyah yang berusaha menengahi keduanya. Bahkan didalam masing-masing madzhab pun masih ada sub-aliran. Dalam mu’tazilah misalnya terbagi menjadi Mu’tazilah Basrah dan Baghdad kemudian masing-masing individu dalam sub-sub aliran tersebut juga mengembangkan pemikiran individu yang variatif dan khas. Dari sini lahirlah tradisi Islam yang kaya dan beragam. (Hasan As Syafi’i, Al Madkhal Ila dirasati ‘Ilmi Al Kalam, 1988)
Apa yang digambarkan diatas hanyalah contoh dinamika masyarakat muslim yang variatif. Hal tersebut bukan hanya dalam ajarannya tapi juga diberbagai aspek kehidupan yang lainnya. Dengan keberagaman tersebut bukannya membuat Islam mundur, namun berkembang dengan dibarengi munculnya berbagai disiplin ilmu keagamaan (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985) Perlu diingat pula, zaman keemasan Islam tidak semata-mata ditandai dengan berkembangnya ilmu keIslaman, tetapi juga dengan keberagaman ilmu pengetahuan, sains, sosial dan politik.
Maka dengan berjalannya waktu umat Islam harusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi segala perbedaan didalamnya. Perbedaan bukan untuk dihindari tapi untuk difahami. No differences can make only difference. Allah knows best (Albi)
H I/141, 210707, 01:00 AM

Thursday, 19 July 2007

Intgegrasi Ilmu dan Agama

Integrasi Ilmu dan Agama
Hamdan Maghribi
Sesungguhnya ide dan kontroversi tentang integrasi ilmu dan agama di berbagai kalangan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Kalau kita telaah ulang ternyata gagasan integrasi ilmu dan agama sudah lahir bersamaan dengan munculnya Islam, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Namun lambat laun hal tersebut pudar dan bahkan hilang dari umat Islam, kita lihat bagaimana kemudian Barat merangkak menuju kebangkitannya melalui penerjemahan karya ulama-ulama klasik Islam, namun sayang disaat yang sama justru umat Islam diam bahkan mundur dari kemajuan.
Melihat kondisi tersebut gagasan integrasi tersebut sungguh amat terasa urgensinya sekarang ini, ia tidak hanya sekedar mempertegas bahwa pandangan dikotomis antara ilmu dan agama (Islam) tidak lagi produktif. Namun juga untuk menegaskan bahwasanya Islam sesungguhnya bisa difahami melalui berbagai perspektrif, karena Islam bukan ajaran yang tertutup dan menutup diri. Ia bisa didatangi dan difahami oleh siapapun melalui berbagai jalan variatif sekalipun. Karena itu perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangatlah bermanfaat sebagai salah satu alat untuk memahami keluasan dan kemahabesaran Tuhan dan ajaranNya; Islam (Sudarnoto Abdul Hakim (editor), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, UIN Press, 2003)
Dari cara pandang tersebut maka akan tidak berlebihan apabila kita menggaris bawahi sikap para ulama dan ilmuwan terdahulu kita yang memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap ilmu pengetahuan, kemajuan peradaban dan kemanusiaan dengan terus menggali dan meningkatkan khazanah intelektualnya tanpa melihat apakah ia karya asing atau tidak. Bahwasanya terjadi pertentangan dan perselisihan antara para ulama dahulu bukanlah selisih pandang terhadap integrasi ilmu dan agama, melainkan ikhtilaf dalam keyakinan (baca: madzhab). Contoh riilnya adalah mihnah (inkuisisi) yang pernah dilakukan oleh pemuka mu’tazilah yang menyiksa Imam Ibn Hambal karena menolak kemakhlukan qur’an. (A.Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsaat Islam, 2003)
Sudah semestinya kita menjadikan pengalaman masa lalu sebagai ‘ibrah, kita ambil baiknya dan tinggalkan jeleknya. Cara pandang ulama terdahulu terhadap integrasi ilmu dan agama patut kita contoh. Namun kita harus jeli dan bisa memilah serta memilih, jangan sampai kita mengadopsi tanpa ada proses islamisasi. Syamsuddin arif mengatakan bahwa umat Islam saat ini terpecah pendapatnya menjadi tiga dalam memandang hubungan agama dan ilmu, golongan yang menolak serta merta tanpa kopmpromi dengan alasan bid’ah, yang kedua golongan yang menelan mentah-mentah begitu saja dan yang ketiga adalah golongan yang menerima namun dengan ‘seksama’. Sudah pasti golongan pertama dan kedua tidaklah layak kita jadikan sikap, karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal, sikap ketiga yang merupkan langkah adil dan bijak dalam melihat perkembangan ilmu dan sains, yaitu menerima dengan seksama dan meletakkan pada porsinya secara proporsional (Syamsuddin Arif, Islam dan sains, www.insistnet.com)
Hendaknya, dengan berjalannya waktu diharap bertambah pula sikap dewasa umat Islam dalam melihat segala fenomena yang ada, dengan melihat catatan sejarah para pendahulu kita tanpa melupakan kontribusi Barat modern, namun sikap menerima tersebut bukanlah permissif begitu saja tanpa ada proses. Disini kejelian kita sangat dibutuhkan. (albi)
Allah knows best
G8/1 200707,01:00AM

Thursday, 12 July 2007

Pluralisme Agama; an Introduction

Untuk memahami diskursus pluralisme agama hendaknya kita telusuri sejarahnya, paling tidak, sejak awal abad 20an. Adalah Ernst Troeltsch seorang teolog Kristen asal Jerman yang mengemukakan urgensi sikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal antar umat kristiani maupun antar agama, ia menambahkan lagi bahwa umat kristiani tidak berhak untuk mengklaim dirinya benar sendiri (truth claim), berturut2 setelahnya kemudian diikuti oleh William Hocking dan Arnold Toynbee, seorang sejarawan yang terkenal dikalangan akademisi. kalau kita runut, faham diatas sudah dirintis oleh tokoh protestan liberal F. Schleilmacher (sekitar paruh abad 19) dengan protestantisme liberalnya.
dari sini bisa kita lihat, bahwa pluralisme agama sebagai bentuk liberalisasi agama merupakan respon teologis terhadap liberalisasi politik yang telah muncul sebelumnya. liberalisasi politik ini dimunculkan oleh para "founding fathersnya" demokrasi pada awal abad modern, yang kemudian secara prakteknya dijalankan oleh Amerika (waktu itu kecenderungan barat selalu ingin memodernkan segala bidang, termasuk juga agama (baca:Kristen)) slah satu ciri kemodernan ini adalah globalisasi, demokrasi dan human right. Dari wacana inilah kemudian lahir pluralisme politik...kalau dilihat dari sisi ini, sebenarnya pluralisme agama adalah gerakan politik "par exellence" dan bukanlah agama. dasar dari faham ini adalah persamaan, kebebasan dan tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran dirinya sendiri.
bagaimana sikap gereja?
disini perlu kita cermati, karena oleh para pengusung pulralisme di Indonesia sering digambarkan bahwasanya para "ulama" kristen terkesan mengamini gerakan tersebut. hal ini perlu diluruskan, mengingat pihak gereja, disaat bergulirnya isu tersebut menentangnya dengan keras. indikasinya terlihat jelas dengan terus berjalannya misi kristen keseluruh dunia (kristenisasi), John Hick (tokoh pulralisme internasional dan juga teolog di gereja Presbyterian) banyak mendapat tantangan dari pihak gereja, yang akhirnya melahirkan perdebatan antar pro-kontra pluralisme (perdebatan tersebut bisa di baca di "problem in the philosophy of religion" diedit oleh Harold Hewitt) dari buku tersebut bisa kita lihat begitu banyak kelemahan faham pluralisme agama.
bagaimana dengan indonesia?
pertanyaanya sekarang, bagaimana msadepan faham ini bila diterapkan diindonesia? melihat keterangan diatas, jika faham ini dikembangakan di Indonesia (yang mayoritas Muslim) akan memunculkan berbagai permasalahan teologis, dan bahkan juga sosial-politik serta HAM yang luar biasa...
apa kelemahan pluralisme agama?
setidaknya pluralisme memiliki beberapa kelemahan yang fundamental, menurut anis malik toha (tren pluralisme agama:2005) dan adian Husaini (pluralisme agama:Haram:2005) ada beberapa point penting yang perlu dicatat mengenai ide pluralisme tersebut

pertama, kaum pluralist mengaku menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran dan tidak pluralist! karena menafikan kbenaran "eksklusif" sebuah agama, mereka menafikan truth claim, tapi mereka sendiri mengklaim bahwa ajarannya (pluralisme) adalah paling benar dalam memahami agama. tampaknya disini mereka tidak sadar kalau mereka melanggar kaidah fundamental mereka sendiri....

kedua, adanya 'pemaksaan' nilai2 budaya barat (westernisasi) terhadap negara2 timur, dari embargo perang dll, ini menandakan tidak adanya toleransi Barat terhadap Timur. mereka merelatifkan tuhan2 orang Timur (yahweh, yesus, Trinitas, Trimurti dsb) namun pada waktu yang bersamaan 'secara tidak sadar' mereka telah mengklaim absolut tuhan mereka sendiri "the Real" yang diusulkan Hick ataupun 'al Haq'nya Hussein Nasr. diantara mereka pun (antara hick dan Nasr), belum ada kata sepakat mengenai istilah 'the real' dan 'al haq' (adnan aslan: religious pluralism between Cristian and Muslim Philosophy :1997)

ketiga, bila kita cermati dengan seksama, pluralisme agama merupakan agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritualnya sendiri. sebagaimana humanisme, juga merupakan agama, yang menuhankan nilai2 kemanusiaan, sebagaimana yang dilontarkan "bapakknya" postivisme August Comte. john Dewey pun mengatakan bahwa demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai2 demokrasi.
hal tersebut bisa dikaitkan dengan 'teori civil' religionnya Robert N Bellah (civil Religion in america) disini ia menyimpulkan bahwa yg berkembang diamerika adalah 'agama civil' yaitu agama yang tidak berpihak pada agama2 tradisional apapun yang dipeluk oleh warganya.

keempat, pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secra utuh, seperti mengenkan simbol2 keagamaan dll.

jadi wacana pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya 'unifomy' (penyeragaman) segala bentuk perbedaan dan keberagaman agama, hal ini jelas jelas scr ontologis bertentangan dengan "sunnatullah" yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri, karena itu, aneh jikalau gagasan tersebut ingin digagaskan di Indonesia yang mayoritas Muslim.

wallahu wa rasuluhu 'know best'
G8/1 kemis, rolas-juli-rongewupitu/ jam siji awan

Wednesday, 13 June 2007

berdoa atas kematian

Hari ini secara tidak sengaja saya membaca berita diinternet yang membuat hati tertegun...................
Sebuah program anak-anak disebuah station TV milik Hizbullah : seorang anak gadis berumur 10 tahun, anak dari pelaku bom bunuh diri berkata: “aku selalu berdo’a memohon agar ayahku mati dalam keadaan syahid. Aku sangat gembira, Tuhan telah mengabulkan doaku” (http://www.manartv.com.lb/).
Agence France-Presse (AFP). Seorang ibu dari anak yang mati dalam aksi bom bunuh diri: “Saya sangat bahagia anak saya telah syahid. Saya telah mengucapkan selamat tinggal kepadanya sebelum dia pergi untuk misi suci dan saya berdoa semoga dia sukses dalam melaksanakan misinya. Saya bersyukur kepada Tuhan atas terkabulnya doa-doa saya” (http://www.afp.com/english/home/).
Naluri kemanusiaan saya tiba-tiba menyeruak dengan berbagai pertanyaan: apakah “manusiawi” bila seorang gadis kecil dengan suka ria merayakan kematian ayahnya? “Manusiawikah” apabila seorang ibu kegirangan atas hilangnya sang anak, buah hatinya? Mungkin hanya dalam masyarakat yang “mengagungkan” kematian (dan bukan kehidupan), hanya apabila seseorang sudah dibentuk dalam “budaya kematian”, hanya ada dimana logika yang sudah “babak belur” dihajar oleh klaim kebenaran mutlak..........semua itu bisa dibilang “manusiawi”.
Sama sekali tidak ada maksud untuk melangkahi “nalar agama”, hanya ingin menanyaKEN......NAPA??? bukankah kita diajarkan untuk selalu bertanya tentang “fenomena” yang ada? Untuk menuju hidup yang lebih sejahtera? Kita semua tahu betapa berlimpahnya ayat alqur’an yang menganjurkan untuk itu.